Anda di halaman 1dari 7

PERSOALAN SIFAT DAN ZAT

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, M.A.

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 10

Muh. Riswang 11180331000001

Syahrul Drajat Harahap 11180331000006

Arif Ramadhan 11180331000037

Ahmar Abiad Lubis 11180331000024

AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2019 M
Abstrak

Sejarah mencatat bahwa berbagai aliran-aliran kalam yang ada dan pernah ada
lahit dan dilatar belakangi oleh persoalan politik. Dari masalah politik itu kemudian
meningkat menjadi persoalan teologi. Agak aneh namun itulah fakta sejarah yang
terjadi. Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan penyebaran ajaran
Islam ke berbagai pelosok, memungkinkan masuknya berbagai paham dan pemikiran
yang bisa jadi mengancam konsep ketauhidan dalam Islam. Hal inilah yang menajadi
salah satu faktor mengapa muncul perbedaan pendapat selain adanya kepentingan-
kepentingan khusus. Aliran-aliran kalam ini mencoba menafsirkan sifat dan zat Allah
yang dapat dikelompokkan menajdi dua golongan yaitu pertama golongan Tasybih
dan Tajsim dan golongan kedua yaitu Nafi dan Isbat. Melalui argumen-argumen yang
dikeluarkan, mereka meyakini bahwa apa yang mereka pahamilah yang paling benar.
Pertentangan-pertentangan ini masih terus berlanjut hingga saat ini, yang sebelumnya
mengalami kemunduran akibat masa jumudnya perkembangan Islam.

Kata kunci : Mu’tazilah, nafi, tasybih, tansih.

2
A. Pendahuluan

Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan


akal, fungsi wahyu, dan persoalan wujud Tuhan, manusia telah memunculkan pula
perbedaan pendapat tentang zat dan sifat Tuhan
Salah satu persoalan yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran
kalam adalah masalah sifat dan zat Tuhan. Tarik-menarik di antara aliran-aliran
kalam dalam menyelesaikan dalam persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth
claim yang di bangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing dan klaim
menauhidkan dan menyucikan Allah. Tiap –tiap aliran mengaku bahwa fahamnya
dapat menyucikan dan memelihara keesaan Allah.

B. Awal Lahirnya Persoalan Zat dan Sifat

Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang


beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran
sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut
khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul adanya
perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul
pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada
masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai
pada masalah teologis.

Faktor politik tersebut merupakan faktor utama munculnya aliran-aliran


kalam. Namun, pada awal lahirnya Islam persoalan zat dan sifat belum nampak dan
naik ke permukaan dikarnakan waktu mereka digunakan fokus pada penyebaran
ajaran Islam. Baru setelah muncul berbagai macam aliran dengan berbagai
kepentingan mencoba menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat yang
sebelumnya tidak dibicarakan sama sekali. Selain itu, kaum muslim setelah

3
menguasai negeri-negeri baru, mereka mulai tentram dan tenang pikirannya. Disinilah
mereka mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-
nas agama yang kelihatannya saling bertentangan.

Faktor lainnya yang menyebabkan munculnya persoalan zat dan sifat karena
berkembangnya filsafat yang dianggap mengancam ajaran agama Islam melalui
pemikiran-pemikirannya.

C. Perbedaan Pendapat Aliran Kalam Persoalan Zat dan Sifat


1. Musyabbihah
Golongan Musyabbihah atau Karramiyyah mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai muka, dua tangan dan dua mata, bahwa lebih dari itu. Tuhan Jism (tubuh)
lain dari tubuh biasa. Dengan demikian mereka mirip dengan agama-agama lain yang
mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.Yang menjadi dalil
mereka adalah ayat-ayat yang mengatakan bahwa Tuhan berada dalam suatu arah
tertentu, yaitu di atas, di langit, di Arsy bahkan berpindah-pindah. Yaitu Taha ayat 5,
Al-Mulk ayat 16, As-Syura ayat 51 dan Al-Kahfi ayat 48 dan lainnya.
Juga pada Hadits nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Tuhan kita turun ke
langit dunia setiap malam pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia berfirman, siapa
yang berdoa pada-Ku akan saya kabulkan, siapa yang minta ampun akan Saya
ampuni”.
Golongan Musyabbihah ini termasuk ke dalam faham Antropomorphisme
yaitu Tuhan di interpretasikan sama seperti manusia.

2. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat (Nafi sifat). Definisi mereka tentang Tuhan,
yaitu Tuhan tidak mempunyi pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak

4
mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa, dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut
bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya.
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan: yaitu, Pertama,
“Tuhan mengetahui“ kata Abu al-huzail, ialah Tuhan mengetahui dengan perantara
pengetahuan dan pengetahuan tersebut adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian,
pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan oleh Abu huzail adalah Tuhan sendiri,
yaitu dzat atau esensi Tuhan.
Kedua, “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-juba’i, ialah untuk
mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau
keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan
mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.

3. Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan mu’tazilah
di atas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut
al-asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatanya. Ia juga menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan menurut al- baghdadi, terdapat konsensus di kalangan kaum asy’ariah
bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda
Tuhan adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan, malahan
lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian –uraian ini
juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum asy’ariah
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
Karena sifat-sifat tidak lain dari tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada
faham banyak kekal.

5
4. Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran
antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebaginya. Walaupun begitu,
pengertian Al-Matirudi tentang sifat tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari
mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada
dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-
Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.
Kaum maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan
banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan
kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan
bersama-sama sifat-Nya kekal,tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Sedangkan kaum maturidiyah golongan samarkand dalam hal ini kelihatanya
tidak sepaham dengan mu’tazilah karena al-maturidi mengatakan bahwa sifat
bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.

5. Syi’ah Rafidhah
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati Tuhannya dengan bada (perubahan).
Mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian mereka
mengatakan bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Terkadang pula ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena
ada perubahan pada diri-Nya. Perubahan ini bukan dalam arti Naskh, tetapi dalam arti
bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang
kedua.

D. Referensi
Hanafi, Ahmad, 2010. Teologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam. Jakarta: Penerbit UI (UI Press).

6
7

Anda mungkin juga menyukai