DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 10
1441 H/2019 M
Abstrak
Sejarah mencatat bahwa berbagai aliran-aliran kalam yang ada dan pernah ada
lahit dan dilatar belakangi oleh persoalan politik. Dari masalah politik itu kemudian
meningkat menjadi persoalan teologi. Agak aneh namun itulah fakta sejarah yang
terjadi. Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan penyebaran ajaran
Islam ke berbagai pelosok, memungkinkan masuknya berbagai paham dan pemikiran
yang bisa jadi mengancam konsep ketauhidan dalam Islam. Hal inilah yang menajadi
salah satu faktor mengapa muncul perbedaan pendapat selain adanya kepentingan-
kepentingan khusus. Aliran-aliran kalam ini mencoba menafsirkan sifat dan zat Allah
yang dapat dikelompokkan menajdi dua golongan yaitu pertama golongan Tasybih
dan Tajsim dan golongan kedua yaitu Nafi dan Isbat. Melalui argumen-argumen yang
dikeluarkan, mereka meyakini bahwa apa yang mereka pahamilah yang paling benar.
Pertentangan-pertentangan ini masih terus berlanjut hingga saat ini, yang sebelumnya
mengalami kemunduran akibat masa jumudnya perkembangan Islam.
2
A. Pendahuluan
3
menguasai negeri-negeri baru, mereka mulai tentram dan tenang pikirannya. Disinilah
mereka mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-
nas agama yang kelihatannya saling bertentangan.
Faktor lainnya yang menyebabkan munculnya persoalan zat dan sifat karena
berkembangnya filsafat yang dianggap mengancam ajaran agama Islam melalui
pemikiran-pemikirannya.
2. Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat (Nafi sifat). Definisi mereka tentang Tuhan,
yaitu Tuhan tidak mempunyi pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak
4
mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui,
berkuasa, dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut
bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya.
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan: yaitu, Pertama,
“Tuhan mengetahui“ kata Abu al-huzail, ialah Tuhan mengetahui dengan perantara
pengetahuan dan pengetahuan tersebut adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian,
pengetahuan Tuhan sebagaimana dijelaskan oleh Abu huzail adalah Tuhan sendiri,
yaitu dzat atau esensi Tuhan.
Kedua, “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-juba’i, ialah untuk
mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau
keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan
mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.
3. Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan mu’tazilah
di atas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut
al-asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatanya. Ia juga menyatakan bahwa tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan menurut al- baghdadi, terdapat konsensus di kalangan kaum asy’ariah
bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda
Tuhan adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan, malahan
lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian –uraian ini
juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum asy’ariah
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
Karena sifat-sifat tidak lain dari tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada
faham banyak kekal.
5
4. Maturidiyah
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran
antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat seperti sama’, bashar, dan sebaginya. Walaupun begitu,
pengertian Al-Matirudi tentang sifat tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari
mengartikan sifat tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada
dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-
Nya dan bukan pula dari esensi-Nya.
Kaum maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan
banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan
kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan
bersama-sama sifat-Nya kekal,tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Sedangkan kaum maturidiyah golongan samarkand dalam hal ini kelihatanya
tidak sepaham dengan mu’tazilah karena al-maturidi mengatakan bahwa sifat
bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.
5. Syi’ah Rafidhah
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati Tuhannya dengan bada (perubahan).
Mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan. Sebagian mereka
mengatakan bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Terkadang pula ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena
ada perubahan pada diri-Nya. Perubahan ini bukan dalam arti Naskh, tetapi dalam arti
bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang
kedua.
D. Referensi
Hanafi, Ahmad, 2010. Teologi Islam Ilmu Kalam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution, Harun, 1986. Teologi Islam. Jakarta: Penerbit UI (UI Press).
6
7