Anda di halaman 1dari 2

ETIKA WELAS ASIH K.H.

AHMAD DAHLAN DALAM PENDIDIKAN


MUHAMMADIYAH

Seringkali etos gerakan Muhammadiyah di kaitkan dengan surat Al-Ma’un dan surat Ali
Imran ayat 104, K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah ialah satu-satunya
perintis gagasan Islam Liberal di Indonesia yang asli dari suku jawa (Kurzman, 1998; 2002).
Melalui pengkajian surat Al-Ma’un, K.H. Ahmad Dahlan mengupayakan kesadaran Islam
yang baru, bahwa tujuan Islam ialah agar orang-orang yang mampu secara finansial, bersedia
memenuhi hak dan berlaku adil kepada orang-orang yang kurang mampu, anak yatim dan
orang-orang terlantar, hal inilah yang kemudian di katakan oleh Dr Soetomo sebagai gerakan
kemanusiaan berbasis ke-welas asih-an. Dr Soetomo kemudian memandang nilai dasar
(profetik) yang di sebut “welas asih” itu, merupakan kekuatan yang menggerakkan seseorang
melakukan tindakan sosial antar sesama.

Rasionalisasi fungsional yang melahirkan etika welas asih seperti yang di sebutkan di atas,
bisa disebut sebagai paradigma pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan dalam merealisasikan
ajaran agama Islam yang ia pahami dalam praktik kehidupan sosial.

Reinterpretasi pemahaman Al-Ma’un itulah yang mendasari K.H. Ahmad Dahlan dalam
pembangunan amal usaha muhammadiyah yang berupa Rumah Sakit, Rumah Jompo, Rumah
Miskin, Panti Asuhan, Pendidikan formal dan nonformal serta berbagai aksi sosial yang
seluruhnya di peruntukkan bagi kaum dhuafa. Sehingga pemahaman itu diteruskan dan
dikembangkan oleh santri-santrinya pasca pertemuan sore itu di tempat yang sekarang
dikenal dengan langgar kidul.

Kisah itu dimulai, ketika para murid yang belajar mengkaji kitab Al-Quran kepada K.H.
Ahmad Dahlan sudah merasa bosan karena pelajaran Surat Al Ma’un yang telah mereka hafal
dan pahami artinya, belum juga di ganti atau di lanjutkan pada pelajaran surat yang lain.
Ketika para murid itu mengajukan keberatan, K.H. Ahmad Dahlan mulai bertanya kepada
mereka apakah sudah hafal mengenai surat pendek tersebut. Ketika para murid itu menjawab
bahwa mereka sudah hafal, kemudian K.H. Ahmad Dahlan bertanya lagi apakah dalam surat
tersebut sudah di mengerti dan di pahami mengenai isi dan maksud surat Al Ma’un tersebut.
K.H. Ahmad Dahlan lalu bertanya kembali untuk yang ketiga kalinya, apakah para murid
sudah melaksanakan isi dan maksud surat tersebut dalam kehidupan mereka, para murid pun
mulai mengerti apa sebab dan alasan mengapa K.H. Ahmad Dahlan tidak melanjutkan
pelajaran.

Dari dialog tersebut, lahirlah gerakan penyantunan bagi anak yatim, orang miskin dan
yang menderita dalam hal apapun. Tafsir pragmatis atas ayat-ayat Al-quran itulah sebagai
dasar berbagai aksi sosial yang mempunyai kegunaan praktis dalam menyelesaikan berbagai
masalah yang tengah dihadapi umat pada saat itu, yang sebenarnya membuat kegiatan
Muhammadiyah di tahun-tahun awal berdirinya segera mendapat sambutan luas.
Pemikiran dan gerakan Amal di Muhammadiyah

Muhammadiyah terlahir dari sebuah gagasan pembaharuan islam (sosial dan kemanusiaan)
lalu diorganisir untuk mengamalkan gagasan itu dan dirumuskan dalam anggaran dasarnya.
Setelah Muhammadiyah menyatakan diri sebagai organisasi yang beruang lingkup nasional,
maka tujuan Muhammadiyah merumuskan anggaran dasarnya sebagai berikut:

1. Memajukan dan mengembangkan pengajaran dan pelajaran agama Islam.


2. Memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam.

Gagasan tersebut kemudian diserap oleh warga Muhammadiyah dengan pengertian yang
sangat sederhana. Berbeda dengan Muhammad ‘Abduh yang melakukan pembaharuan
pendidikan di Mesir dengan menyempurnakan kurikulum Al-Ahzar, maka K.H. Ahmad
Dahlan dengan semangat itu membangun pondasi awal untuk mengembangkan kelompok
studi dalam bentuk pengajian, dan selanjutnya K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Madrasah
Diniyah Ibtidaiyah yang sekarang dikenal dengan Sekolah Dasar Muhammadiyah. Dalam
pembaharuan kurikulumnya dititikberatkan kepada usaha untuk mengamalkan pengetahuan
agama Islam, baik dalam pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan formal itu
kemudian ditopang oleh lembaga pendidikan nonformal dalam bentuk organisasi wanita dan
pemuda, ialah ‘Aisyiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah dan kepanduan Hizbul Wathan.
Dengan demikian tidak ada yang baru di dalam pengembangan pendidikan
Muhammadiyah tersebut, kecuali materi pengajaranya yang diorganisir untuk menopang
usaha memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam. Seolah-olah
apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan hanya memanfaatkan institusi sosial yang sudah ada
di dalam masyarakat, untuk kemudian diberi “isi” islam. Hal ini kemudian menjadi ciri khas
Muhammadiyah dalam usahanya untuk mengembangkan institusi masyarakat supaya hidup
sesuai dengan kemauan agama Islam.
Konsep itu memang tidak pernah ditulis, sehingga menimbulkan suatu pendapat seolah-
olah yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan tindakan praktis dan tidak disertai
dengan pemikiran pemikiran teoritis sama sekali. Tapi jika kita merekonstruksi pemikiran
K.H. Ahmad Dahlan mengenai pendidikan, maka kita akan menemukan teori pendidikan
yang beberapa tahun kemudian dirumuskan oleh Ki Hajar Dewantara sebagai teori Tri Pusat
Pendidikan, dengan tujuan yang kita kenal sekarang sebagai “manusia seutuhnya”. Dalam
rekonstruksi pemikiran pendidikan formal yang di ajukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan
didukung dengan pendidikan nonformal dalam Muhammadiyah itu tidak hanya meliputi
aspek kognitif saja, namun juga menyangkut aspek afektif dan psikomotorik. Sehingga boleh
dikatakan bahwa pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu
merupakan pendekatan manusia seutuhnya yang meliputi aspek afektif, kognitif dan
psikomotorik.

Mukhamad Fadhir
Ketua Umum IMM BPP UAD 2019-2020

Anda mungkin juga menyukai