HUKUM ISLAM
Kelompok 8
M Faizal Akbar
201210160311067
Teguh Rahardja
201210160311101
M Yusvan R Sangaji
201210160311104
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjukpetunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam
sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Sumber ajaran
islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang
tegas dan nyata (Sudarsono, 1992:1).
Dengan demikian sumber ajaran islam ialah segala sesuatu yang dijadikan dasar,
acuan, atau pedoman syariat islam. Ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam.
Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang
memuat Sunnah Rasulullah. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran
agama Islam (akidah, syariah dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran
manusia yang memenuhi syarat runtuk mengembangkannya.
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ain , yakni kewajiban pribadi setiap
muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh
akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat. Allah
telah menetapkan sumber ajaran Islam yang wajib diikuti oleh setiap muslim. Ketetapan
Allah itu terdapat dalam Surat An-Nisa (4) ayat 59 yang artinya : Hai orang-orang yang
beriman, taatilah (kehendak) Allah, taatilah (kehendak) Rasul-Nya, dan (kehendak) ulil
amri di antara kamu ....
Menurut ayat tersebut setiap mukmin wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak
Rasul dan kehendak penguasa atau ulil amri (kalangan) mereka sendiri. Kehendak
Allah kini terekam dalam Al-Quran, kehendak Rasul terhimpun sekarang dalam al Hadis,
kehendak penguasa (ulil amri) termaktum dalam kitab-kitab hasil karya orang yang
memenuhi syarat karena mempunyai kekuasaan berupa ilmu pengetahuan. Pada
umumnya para ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum islam adalah
Alquran dan hadist.
Dalam sabdanya Rasulullah SAW bersabda, Aku tinggalkan bagi kalian dua hal
yang karenanya kalian tidak akan tersesat selamanya, selama kalian berpegang pada
keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnahku. Dan disamping itu pula para ulama fikih
menjadikan ijtihad sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Alquran dan hadist.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diata, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian dan tujuan hukum islam?
2. Apa macam dan karakteristik hukum islam?
3. Bagaimana peran hukum islam dalam mengatasi kejahatan?
1.3.
Tujuan Penulisan
Berkaitan dengan pembuatan makalah yang berjudul Hukum Islam, maka tujuan
pembuatan makalah ini adalah tidak lain untuk memberikan pemahaman kepada para
pembaca khususnya mahasiswa agar mengetahui secara lebih rinci mengenai hukum
islam. Selain itu tujuan pembuatan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui pengertian dan tujuan hukum islam.
2. Mengetahui macam dan karakteristik hukum islam.
3. Mengetahui peran hukum islam dalam mengatasi kejahatan.
1.4.
Metode Penulisan
Penelitian ini dilakukan selama dua minggu. Data yang ada di dalam makalah ini
diperoleh dari berbagai sumber tidak langsung yaitu melalui buku dan artikel-artikel di
internet. Selanjutnya teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data ini melalui
metode deskriptif. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tetapi
hanya untuk menggambarkan tentang keadaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.
mereka.
Syikh Muhammad Ali ath-thawi dalam bukunya kassyful istilahil funun
mengatakan:
Artinya Syariah yang telah diisyaratkan Allah untuk para hambanya, dari
hukum-hukum yang telah dibawa oleh seseorang nabi dan para nabi Allah as.
Baik yang berkaitan dengan cara pelaksanaanya, dan disebut dengan fariyah
amaliyah, lalu dihimpun oleh ilmu kalam dan syariah ini dapat disebut juga
pokok akidah dan dapat disebut juga dengan diin (agama) dan millah.
Definisi tersebut menegaskan bahwa syariah itu muradif (sinonim) dengan diin
dan milah (agama). Berbeda dengan ilmu fiqih, karena ia hanya membahas
tentang amaliyah hokum (ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang
3.
berhubungan dengan alam ghaib dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.
Prof.DR. Mahmud Salthut mengatakan bahwa:
Syariah ialah segala peraturan yang telah diisyaratkan allah,atau ia telah
mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya
sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan
sesama manusia denga alam semesta dan berkomunikasi dengan kehidupan.
bisa dicapai bila terpeliharanya lima tujuan hukum Islam yang disebut aldlaruriyyat al-khams atau al-kulliyaat al-khams atau sering juga disebut maqasid
al-syariah yaitu lima tujuan utama hukum Islam yang disepakati bukan saja oleh
ulama Islam melainkan oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan utama ialah :
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan/kehormatan dan harta.
Tujuan hukum ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti iman,
mengucapkan dua kalimat syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah
puasa di bulan ramadhan dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan hukum
muamalat merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan hata. Tjan
hukum pidana (jinayah) yang meliputi amar maruf nahi mungkar merujuk kembali
kepada pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.
2.2.2. Tujuan Sekunder
Tujuan hukum Islam sekunder adalah terpeliharanya tujuan kehidupan
manusia yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu.
Kebutuhan hidup sekunder itu bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan
menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun
demikian kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan hidup
manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang bersifat sekunder itu terdapat dalam
ibadat, adat, muamalat dan jinnayat.
Terpeliharanya tujuan sekunder hukum Islam dalam ibadat umpamanya
dapat tercapai dengan adanya hukum rukhsah yang berbentuk dispensasi untuk
menjamak dan mangqashar shalat bagi mereka yang sedang dalam perjalanan /
safar atau mereka yang tengah mengalami kesulitan baik karena sakit atau karena
sebab lainnya. Contoh tujuan hukum sekunder dalam adat, seperti adanya
kebolehan berburu dan menikmati segala hal yang baik-baik selama hal itu
dihalalkanm baik berupa makanan, minuman, sandang, papan dan lain sebagainya.
Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalat dapat tercapai antara lain,
dengan adanya hukum musaqah dan salam. Musaqah merupakan system kerja
sama dalam pertanian, yakni system bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan
sawah. Jual beli salam yaitu system jual beli melalui pesanan dan pembayaran di
muka atau di kemudian hari setelah penyerahan barang yang diperjualbelikan.
Contoh hukum sekunder dalam bidang hukum pidana atau jinayat seperti adanya
system sumpah (al-yamin) dan denda (diyat) dalam proses pembuktian dan
pemberian sanksi hukum atas pelaku tindak pidana.
2.2.3. Tujuan Tertier
Tujuan tertier hukum islam ialah tujuan hukum yang ditujukan untuk
menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik
yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela
menurut akal sehat. Pencapaia tujuan tertier hukum islam ini biasanya terdapat
dalam bentuk budi pekerti yang mulia atau al-akhlaq al-karimah. Budi pekerti atau
akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika hukum ibadah, muamalah,
adat, pidana atau jinayah dan muamalat keperdataan.
Etika hukum ibadah umpamanya dicerminkan dengan adanya ketetapan
hukum bersuci atau thaharah, menutup aurat, mensucikan dan membersihkan najis
dari tempat ibdah berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk shadaqah dan lain
sebagainya. Etika hukum dalam hukum adat umpamanya tercermin dengan adanya
hukum dan etika tentang bagaimana seharusnya makan-minum, isyraf atau
berlebihan dan sebagainya.
Etika hukum dalam pidana atau fiqh jinayah umpamanya tercermin dengan
adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam keadaan perang. Etika
hukum tersebut di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya
tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder. Apabila tidak tercapai
tujuan hukum tertier tersebut tidak akan mengakibatkan hilangnya esensi tujuan
hukum primer dan sekunder.
Tujuan hukum diliat dari segi Pembuat Hukum yakni hukum yan ditujukan agar
pembuatan hukum dapat dipahami oleh mukallaf. Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab itu untuk dipahami. Oleh akrena itu untuk mendalami hukum islam diperlukan
kecakapan dan kemampuan nmemahami bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya.
Para filolog telah berhasil merumuskan kaidah-kaidah kebahasaan yang digunakan untk
memahami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran. Terkenallah dalam ushul
fiqh ada yang disebut al-qawaid al-lughawiyyah yaitu kaidah-kaidah hukum yang
didasarkan aras produk para filolog bahasa Arab yang kemudian menjadi bagian penting
dari epistemology hukum Islam. Berdasarkan atas kaidah-kaidah kebahassaan inilah
hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran dan sunah dapat dipahami dan digali.
Demikian juga akan terjadi pada penilaian orang terhadap karakter hukum apapun juga
termasuk menyangkut karakter hukum Islam.
Karakter untuk suatu pengertian yang umum dan bebas adalah ciri khas tertentu
yang memungkinkan perbedaan dengan yang lainnya. Oleh karena ciri khas dapat
dipastikan beberapa yang menyifatinya menunjuk karakter yangs esungguhnya dari
hukum Islam. Landasan picu untuk menyatakan suatu karakter hukum adalah data
faktual menyangkut hukum Islam, di samping keterikatan bahasan-bahasan dimaksud
banyak bersifat abstrak sesuai dengan model filsafat hukum Islam
Karakteristik hukum islam dapat di jabarkan sebagai berikut:
a. Ijmali (Universalitas)
jaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia
berlaku bagi orang Arab dan orang Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit
hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga
bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).1[1] Misalnya pada zaman
modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum Islam
(Al-Quran dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada
abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan
sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah
ada dengan mengambil persamaan illatnya. Ini berarti hukum Islam itu dapat
menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap
perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Quran dan hanya kita
sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam
mengambul suatu putusan hukum tersebut. Bukti yang menunjukkan bahwa
hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam AlQuran yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam
semesta termasuk manusia. Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu
(Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa
berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (QS. Saba: 28).
b. Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis.
Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Perintah shalat dalam Al-Quran senantiasa diiringi dengan perintah zakat.
1
tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para
subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat
yang beragam macam, Itikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah. Karakter
hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai
lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di
antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan
tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.
2.5. Perah Hukum Islam Dalam Mengatasi Kejahatan
Praktik peradilan hukum positif mengalami banyak penyelewengan dan
pelanggaran hukum. Penyelewengan itu justru dilakukan aparat penegak hukum (Jaksa
dan Hakim) yang bermain mata dengan pihak-pihak tertentu yang menginginkan
kasusnya dimenangkan atau diringankan. Praktik jual beli putusan pengadilan berjangkit
di mana-mana, sehingga kerapkali kita dengar sindiran sinis mafia peradilan. Tentu
berbeda halnya dengan hukum Islam. Hukum Islam ditegakkan kepada siapa saja tanpa
pandang bulu, pejabat, politikus, pengusaha, aparat penegak hukum, dan sebagainya.
Dalam Islam, rasa taqwa kepada Allah melahirkan penegak hukum yang jujur dan adil.
Allah Swt berfirman (yang artinya):
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. AnNisa : 135).
Menurut Bismar Siregar, prinsip hukum Islam tersebut tidak dikenal dalam sistem
hukum sekuler (Barat). Peradilan hukum Islam yang berlaku secara adil dan memuaskan
para pihak. Suatu saat diajukan seorang pencuri wanita kepada Rasulullah untuk diadili
dan dijatuhi hukuman/had potong tangan. Usamah ibn Zaid memohon keringan hukuman
kepada Rasulullah, namun sikapnya ini ditanggapi Rasul seraya bersabda, Apakah kamu
mengajukan keringanan terhadap salah satu hukuman dari Allah? Demi Allah, kalau saja
Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan ku potong tangannya. (HR. Bukhari dan
Muslim). Perkara lain, Khalifah Usman ibn Affan memerintahkan eksekusi hukuman
qishash terhadap Ubaidillah ibn Umar (anak kandung mantan Khalifah Umar ibn
Khattab) karena terbukti bersalah membunuh. Hanya saja, eksekusi gagal dilaksanakan
karena pihak korban memaafkannya, sebagai gantinya ia dikenakan pembayaran diyat
(denda). Juga perkara, Khalifah (Kepala Negara Negara Khilafah Islam) Ali bin Abi
Thalib r.a yang berselisih dengan seorang Yahudi soal baju besi. Dalam proses
persidangan Kholifah Ali r.a tidak bisa meyakinkan hakim karena saksi yang diajukan
Ali adalah anak dan pembantunya. Akhirnya hakim memutuskan Yahudi tidak bersalah.
Islam sebagai agama dan ideologi, dilaksanakan secara utuh dengan tigas asas
penerapan hukum Islam, pertama ketaqwaan individu yang mendorongnya untuk terikat
kepada syariat Islam, kedua pengawasan masyarakat, dan ketiga Negara Islam yang
menerapkan syariat Islam secara utuh. Apabila salah satu asas ini telah runtuh, maka
penerapan syariat Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan
akibatnya Islam sebagai agama dan ideologi (mabda) akan hilang dari bumi Allah ini.
2.5.1. Allah Memerintahkan Manusia Agar Melaksanakan Hukum Islam
Hukum positif yang merupakan hasil rekayasa pikiran manusia sangat
paradoksal dengan hukum Islam. DR. Taher Azhari mengemukakan bahwa
substansi hukum positif (barat) berbeda dengan hukum islam. Hukum Islam
dilandasi oleh aqidah dan akhlak. Sedangkan hukum barat mengabaikan keduanya.
Norma agama dan susila dimata mereka di luar norma hukum. Pada masa
penjajahan belanda, Van Vollenhoven (sarjana belanda) mengeliminasi hukum
Islam dan mengkedepankan hukum adat. Ia sengaja menerima dan mengenalkan
pemberlakuan hukum adat dengan tujuan mencampakkan hukum Islam.
Dengan kemampuan rekayasa berpikir piciknya, ia membuat rumusan
bahwa hukum adat lebih tinggi dari pada hukum Islam. Pendapatnya segera
mendapat kritikan dan protes dari para pemikir Islam yang concern dengan hukum
Islam semisal Prof. Hazairin, SH. Dengan tajam, Hazairin menanggapi teori Van
Vollenhoven sebagai teori iblis. Hazairin mengatakan bahwa pendapat Vollenhaven
tanpa dasar dan tendensius. Taher Azhari menilai bahwa sarjana barat di masa lalu
telah salah paham memahami hukum Islam. Alasannya, sarjana barat hanya
mengkaji hukum Islam dengan parameter barat. Mereka tidak memberikan peran
pada hukum yang bersumber dari agama.
Islam adalah agama sempurna. Tidak ada sistem hukum di muka bumi ini
sesempurna Islam. Allah Swt berfirman (yang artinya):
Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS. AlMaidah : 3).
Hukum Islam sangat lengkap dan mampu menjawab persoalan hukum dan
keadilan. Menurut Syeik Abdurrahman al-maliki dalam kitabnya Nidzam alUqubat bahwa sanksi didalam hukum Islam terdiri 4 macam, yakni : Had, Jinayat,
Tazir dan Mukhalafah. Sanksi (uqubat) memiliki fungsi pencegah dan penebus.
Syeik Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabnya Fikr al-Islam menjelaskan
bahwa sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Pencegah maksudnya dengan sanksi itu orang takut berbuat jahat, karena
menyadari hukumannya berat. Penebus maksudnya orang berdosa di dunia harus
mendapatkan hukuman agar ia terlepas siksa di akhirat.
Didalam al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk berhukum dengannya dan
mencampakkan sistem hukum buatan manusia :
Maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (al-Quran)
dan janganlah kamu mengikuti hawa hawa nafsu mereka dengan meninggalkan
kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu (QS. Al-Maidah : 48).
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih
baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. Al-Maidah : 50).
2.5.2. Keampuhan Syariat Islam karena Dorongan Takwa Individu dan Ketegasan
Negara
Membicarakan tentang syariat Islam tidak bisa dipisahkan dengan akidah
Islam. Sebab, syariat Islam muncul dan berasal dari akidah Islam. Oleh karena
itu syariat Islam tidak akan dapat tegak di tengah-tengah masyarakat, kecuali
masyarakat tersebut telah menjadikan akidah Islam (tentu juga syariatnya)
sebagai pandangan hidup, sebagai ideologi (mabda)-nya. Sehingga masyarakat
tersebut memiliki ciri khas sebagai masyarakat Islam, yang menjalankan sistem
hukum (peraturan) Islam secara total.
Al-Quran telah menggandeng keimanan dengan kerelaan untuk menerima
dan menjalankan sistem hukum Islam. Firman Allah Swt (yang artinya):
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan
kamu
(Muhammad)
hakim
dalam
perkara
yang
mereka
Artinya,
seluruh
warga
negara
siapapun
orangnya
sama
Sikap tegas negara (dalam hal ini diwakili oleh sikap Rasulullah saw
selaku kepala negara) tampak di dalam sabdanya:
Seandainya Fathimah binti Muhammad kedapatan mencuri, maka aku sendiri
yang akan memotong tangannya. (HR al-Bukhari).
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan diatas, maka pelaksanaan sistem hukum Islam termasuk
sanksi-sanksi, ditentukan oleh dorongan ketakwaan kaum Muslim dan ketegasan negara
di dalam menjalankan sistem hukum Islam. Apabila hal ini terwujud, maka fungsi
hukum Islam sebagai pencegah (zawajir) dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat. Namun, semua itu memerlukan eksistensi masyarakat Islam yang memiliki
ketakwaan tinggi-yang berada di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, yang
menjalankan sistem hukum Islam secara total.
DAFTAR PUSTAKA
Nourzzaman Shiddiqi, Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1993.
Ali, Mohammad Daud: hukum islam. Jakarta: rajawali press, 1998.
http://majelispenulis.blogspot.com/2012/01/tujuan-hukum-islam.html
http://poltek-muadz.blogspot.com/
http://konsultasi-hukum-online.com/2013/06/karakteristik-hukum-islam/
https://darmintombois.wordpress.com/2012/02/21/syariat-islam-dalam-mengatasikriminalitas/