Anda di halaman 1dari 9

Manfaat Puasa dari Tinjauan Psikologi

Ayat suci al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa berpuasa adalah aktivitas yang telah
menjadi ciri hidup manusia dari berbagai zaman. Tujuannya adalah agar manusia
meningkat ketakwaannya (QS al-Baqarah <2>:183).

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Apabila kita bertakwa, maka sorga dijanjikan Allah azza wa jalla untuk kita. Hal ini
sebagaimana difirmankan Allah (QS Ali Imran, 3: 15):

Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?”.
Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-
isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.

Umumnya puasa dikaitkan dengan usaha untuk memenuhi perintah Tuhan. Dalam
perkembangannya, puasa difungsikan bermacam-macam, di antaranya adalah untuk
menurunkan berat badan, menjaga kesehatan, meningkatkan kecantikan, menyembuhkan
penyakit psikologis, dan seterusnya. Tujuan dan tata cara puasa yang berbeda-beda tentu
saja akan menghasilkan efek  yang berbeda.

Puasa yang akan kita bahas ini adalah puasa yang dituntunkan agama Islam. Bila kita
melakukannya, maka akan hadir berbagai hal yang positif yang menyehatkan fisik kita,
mental kita dan akan menghilang berbagai hal yang negatif yang dapat merusak atau
mengganggu kesehatan mental kita. Beberapa di antaranya adalah (1) ketahanan fisik, (2)
nilai dan pengalaman keagamaan, (3) nilai sosial, (4) kontrol diri, (5) kreativitas, (6)
agresivitas, dan (7) perilaku seks.

Pertama: Puasa dan Ketahanan Fisik


Puasa adalah aktivitas jasadi, nafsani, dan ruhani. Tentang pengaruh puasa terhadap
kesehatan (fisik) manusia, ada sebuah hadis dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah. Shuumuu tasihhuu. Berpuasalah maka engkau sehat.

Sebagaimana kita ketahui dan alami, seseorang yang berpuasa akan memulainya dengan
sahur sebelum fajar dan berbuka puasa ketika matahari terbenam (saat maghrib tiba).
Total waktu yang digunakan untuk berpuasa (di Indonesia) adalah sekitar 14 jam. Selama
waktu tersebut orang yang berpuasa tidak melakukan aktivitas makan dan minum.
Bagaimana efeknya terhadap fisik kita?

Defrizal Siregar dan Juriana (2005) meneliti kondisi fisik –khususnya glukosa darah—
orang berpuasa yang melakukan aktivitas fisik dan orang berpuasa yang tidak melakukan
aktivitas fisik. Penelitian ini melibatkan 30 (tiga puluh) orang mahasiswa
sebagai sample, dengan pembagian 15 orang yang berpuasa dengan kerja fisik dan 15
orang yang berpuasa tanpa kerja fisik. Metode yang digunakan adalah metode
eksperimen.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu (1) Data kadar glukosa darah yang
berpuasa saja serta berpuasa ditambah kerja fisik dengan menggunakan alat bantu
berupa alat pengecek glukosa darah (cobas mira) di laboratorium Somatokinetika Fakultas
Ilmu Keolahragaan UNJ. Darah diambil dari pembuluh darah vena sejumlah 1 cc. (2)
Waktu pengumpulan darah diambil sebanyak 3 kali, yaitu (a)  pada jam 05.00 = 
pengambilan pertama, (b)  pada jam 16.00          =  pengambilan kedua, dan (c)  pada jam
16.20     = pengambilan ketiga. Bagi responden yang berpuasa dan kerja fisik
diberikan treatment yaitu jogging selama 20 menit.

Dari hasil analisis dan uji hipotesis, diperoleh rata-rata kadar glukosa darah orang
berpuasa dengan kerja fisik pada pukul 05.00 adalah 94,6 mg/dl, pada pukul 16.00 adalah
86.67 mg/dl. Dengan uji t diperoleh t-hitung = 3,979 yang berarti terdapat perbedaan yang
signifikan antara kadar glukosa darah pada saat pukul 05.00 dengan pukul 16.00. Rata-
rata kadar glukosa darah pada pukul 16.20 adalah 93,73 mg/dl. Pengujian hipotesis
menggunakan uji t diperoleh t-hitung = 4,780 yang berarti terdapat perbedaan yang
signifikan antara kadar glukosa darah pada saat pukul 16.00 – 16.20.

Sementara itu, rata-rata kadar glukosa darah orang berpuasa tanpa kerja fisik pada pukul
05.00 adalah 89,73 mg/dl sedangkan pada pukul 16.00 adalah 81.13 mg/dl. Pengujian
hipotesis menggunakan uji t diperoleh t-hitung = 5, 098 berarti terdapat perbedaan yang
signifikan antara kadar glukosa dara pada saat pukul 05.00 dengan pukul 16.00. Rata-rata
kadar glukosa darah berpuasa tanpa kerja fisik pada pukul 16.20 adalah 83,27 mg/dl dan
diperoleh t-hitung = -1,964 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kadar glukosa darah pada saat pukul 16.00 – 16.20.

Rata- rata selisih kadar glukosa darah berpuasa dengan kerja fisik adalah   -7,07,
sedangkan berpuasa tanpa kerja fisik adalah -2,13. Pengujian hipotesis menggunakan uji t
diperoleh t-hitung = 2,689 berarti terdapat perbedaan selisih kadar glukosa darah yang
signifikan antara berpuasa dengan kerja fisik dengan berpuasa tanpa kerja fisik.

Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan analisis, yaitu (1) Terdapat
pengaruh puasa terhadap kadar glukosa darah. Terjadi penurunan yang signifikan kadar
glukosa darah pada pengukuran jam 05.00 ke pengukuran jam 16.00 dan (2) Terdapat
perbedaan selisih kadar glukosa antara kelompok puasa dengan kerja fisik dan puasa
tanpa kerja fisik.

Berdasarkan kesimpulan penelitian Defrizal Siregar dan Juriana (2005) ini, diketahui
bahwa berpuasa dengan kerja fisik tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kadar
glukosa darah. Sebaliknya, berpuasa dengan kerja fisik tetap memberikan kestabilan pada
kadar glukosa darah normal. Kerja fisik pada saat berpuasa akan menjaga daya tahan
tubuh sehingga komposisi tubuh ideal yang kita inginkan dapat tercapai.

 
Kedua: Puasa Meningkatkan Nilai dan Pengalaman Keagamaan

Salah satu aspek penting puasa adalah nilai hidup. Menurut Eduard Spranger (Sumadi
Suryabrata, 2011), nilai hidup yang berkembang dalam diri seseorang dipengaruhi oleh
aktivitas latihan yang dilakukan orang tersebut. Nilai hidup sendiri, menurut Spranger
adalah nilai keagamaan, nilai sosial, nilai teori, nilai estetika, nilai ekonomi, dan nilai politik.
Puasa ramadhan adalah aktivitas yang dapat mengembangkan nilai keagaman. Dalam
tradisi beragama (Islam di Indonesia), setiap menjelang shalat tarawih dan sehabis shalat
shubuh selalu diselenggarakan kajian keagamaan di masjid-masjid, di samping berbagai
acara lain. Pengetahuan agama disampaikan secara massif dan intensif. Salah satu hal
terpenting dalam pengetahuan agama adalah strategisnya posisi aktivitas di bulan
ramadhan di mata Allah ’Azza wa jalla. Salah contoh penting adalah segala perbuatan baik
manusia akan dilipatgandakan pahalanya. Ajaran yang menunjukkan hal tersebut adalah
sebagai berikut:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda, ”Sungguh telah datang kepadamu
bulan yang penuh berkah, di mana Allah mewajibkan atas kamu berpuasa, di saat dibuka pintu-
pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu setan-setan, serta di mana dijumpai suatu
malam yang nilainya lebih berharga dari seribu bulan.”

Pada intinya, pada waktu berpuasa, orang didorong untuk beribadah dan beramal yang
sebanyak-banyaknya. Bila orang yang berpuasa melakukan upaya ibadah vertikal yang
semakin intensif (seperti puasa, tarawih dan witir, shalat sunat, membaca al-Qur’an,
mengaji, dsb) maka ia memperkuat nilai agama.

Selain itu, orang yang berpuasa dimungkinkan untuk mengalami berbagai pengalaman
keagamaan. Pengalaman keagamaan digambarkan oleh William James (2004) sebagai
ungkapan religius yang tertanam dalam relung sanubari terdalam masing-masing pribadi.
Menurutnya, setiap manusia suatu saat niscaya mengalami hal-hal yang menggetarkan
dan menakjubkan (trembling and fascinating) yang mungkin berlangsung sekejap atau
lebih lama waktunya, disadari atau tidak.

Diungkapkan oleh Ancok dan Suroso (2011), pengalaman beragama dapat disejajarkan
dengan ihsan dalam konsep Islam. Pengalaman keagamaan muncul setelah atau saat
seseorang intensif melakukan ibadah dan amal sosial. Intensitas ibadah di bulan puasa,
misalnya saat orang mengaji, berdzikir, dan melakukan muhasabah tiba-tiba muncul insight
merasa dicerahkan oleh Tuhan. Hal ini diisyaratkan oleh sebuah hadis yang berbunyi:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dengan penambahan: ”Semua ibadah anak Adam adalah untuk
dirinya sendiri kecuali puasa, (yang dilakukan) untuk-Ku, dan Aku akan memberinya pahala
untuknya.” Ada dua kegembiraan untuk orang yang berpuasa: pertama pada saat berbuka (ifthar)
puasa, dan kedua pada saat bertemu dengan Tuhannya; pada saat itulah ia akan menemukan
keriangan dengan puasanya.”

Berdasarkan hadis di atas, dapatlah diketahui bahwa salah satu pengalaman yang
mungkin diperoleh seseorang adalah pengalaman beragama berupa ”bertemu dengan
Tuhan”. Sebuah contoh ungkapan yang disampaikan oleh seorang pengamal ramahan
yang intensif adalah suatu muhasabah terhadap diri sendiri yang berupa ”apa yang bisa
kita lakukan kepada orang tua kita”. Responden ini mengungkapkan bahwa puasa
membuatnya duduk dan memperoleh suatu pencerahan bahwa orangtua kita boleh jadi
telah meninggal dunia. Tidak ada daya yang dimiliki orang yang telah meninggal. Kita,
anak-anaknya, masihkah melakukan usaha untuk membuat dosa-dosa mereka terhapus?
Pernah kita mendatangi orang-orang yang pernah ada masalah dengan kita dan kita
mintakan maaf dosa orangtua kita padanya?
Dari penjelasan ini, direkomendasikan agar bisa dilakukan penelitian dengan topik:
pengaruh puasa terhadap pengalaman keberagamaan atau pengalaman beragama
selama menjalani bulan puasa.

Ketiga: Puasa Meningkatkan Nilai Sosial


Di samping itu, pada waktu puasa seseorang dianjurkan untuk melakukan ibadah
horisontal (memberi makan orang yang berpuasa, memberi infaq, menyerahkan zakat
fitrah, menyerahkan zakat mal, mengganti ketidakmampuan berpuasa dengan fidyah, dan
sebagainya), maka puasa akan meningkatkan nilai sosial. Rasulullah sendiri memberi
contoh untuk beramal yang sebanyak-banyaknya kepada orang lain. ”Rasulullah SAW
adalah orang yang paling dermawan, dan sifat dermawannya itu lebih menonjol pada bulan
Ramadhan, yakni ketika ia ditemui malaikat Jibril” (HR Bukhari, dalam Sabiq, 2007). Suasana
puasa yang mendorong orang untuk beramal bagi kesejahteraan dan kebaikan orang lain
ini pada gilirannya akan menghidupkan nilai sosial.

Kekuatan puasa (ramadhan) dalam menghidupkan atau memperkuat nilai-nilai hidup sosial
dan agama dicapai melalui proses pengulangan. Pengulangan yang terus menerus
memberi bekasan yang relatif menetap dalam diri seseorang. Aktivitas beribadah dan
beramal sosial akhirnya menguatkan nilai sosial dan nilai keagamaan seseorang.

Berdasarkan penjelasan di atas, disarankan bagi anda yang berminat untuk meneliti:
perbedaan nilai hidup orang-orang Islam antara sebelum dan sesudah berpuasa
ramadhan, hubungan puasa dengan intensi prososial, hubungan puasa dengan altruisme,
dan sebagainya.

Keempat: Puasa Meningkatkan Kontrol Diri

Salah satu aspek terpenting dari puasa adalah kontrol diri.  Kontrol diri, menurut Calhoun
dan Acocella (1990), adalah kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan
mengatur perilakunya dalam menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang
diinginkan dan menghindari hal yang tidak diinginkan. Seorang ahli psikologi agama
bernama Bergin (1987) mengungkapkan bahwa orientasi religius intrinsik dapat memiliki
konsekuensi positif, termasuk terhadap variabel kepribadian seperti kontrol diri,
kecemasan, keyakinan irrasional, depresi, dan sifat yang lain. Apakah berpuasa adalah
ungkapan orientasi religius intrinsik? Dapatkah puasa meningkatkan kontrol diri?

Ciri dari dari orientasi religius adalah setelah memeluk suatu keyakinan agama, mereka
berusaha menginternalisasikan dan mengikuti ajaran agama secara penuh. Berbagai
macam kebutuhan sedapat mungkin diintegrasikan dalam keselarasan dengan keyakinan
dan ajaran agama (Allport & Ross, 1977). Puasa sendiri adalah perwujudan dari keyakinan
seseorang terhadap Allah ’Azza wa jalla. Orang yang berpuasa waib seperti ramadhan
menunjukkan maksud hatinya untuk selaras dengan keyakinan dan ajaran agama. Allah
’Azza wa jalla sendiri berfirman: ”Ia tidak makan dan minum dan meninggalkan nafsunya karena
Aku. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya dan setiap kebaikan akan
dibalas sepuluh kali lipatnya.” (HR Bukhari, dalam Az-Zabidi, 2002)

Saat berpuasa, seseorang mengontrol diri dari berbagai macam keinginan, baik makan,
minim, berhubungan seks, membicarakan orang lain, memaki, berkelahi, dan sebagainya.
Beberapa ayat suci al-Qur’an dan al-Hadits yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai
berikut.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda, ”Puasa adalah perisai (dari api
neraka). Maka, orang yang berpuasa janganlah berhubungan badan dengan istrinya atau berbuat
jahil, dan apabila seseorang memaki atau mengajak berkelahi, katakan kepadanya, ’Aku sedang
berpuasa.’” Nabi SAW menambahkan, ”Demi Dia yang menggenggam jiwaku, bau mulut orang
yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau misk. (Dan inilah perkataan Allah terhadap
orang-orang yang sedang berpuasa), ”Ia tidak akan makan dan minum dan meninggalkan nafsunya
karena aku. Puasa adalah untuk-Ku dan Akulah yang akan membalasnya, dan setiap kebaikan akan
dibalas 10 kali lipatnya.” (HR Bukhari, dalam Az-Zabidi, 2002).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: Rasulullah SAW bersabda, ”Siapapun yang tidak
meninggalkan kata-kata dusta dan tindakan jahat (pada bulan radhan), Allah tidak membutuhkan
puasanya.” (HR Bukhari, dalam Az-Zabidi, 2002).

Berdasarkan hadis di atas, diketahui bahwa puasa ramadhan melatih diri kita untuk
bersabar, menahan diri dan mengendalikannya dari stimulasi makanan, minuman,
dorongan seks, kemarahan, berdusta, memfitnah, melakukan sumpah palsu, berkata kotor,
menggunjing, berbuat nista dan cela

Tentang bagaimana orientasi keagamaan intrinsik, khususnya berpuasa, berpengaruh


terhadap kontrol diri, akan disampaikan dalam penjelasan berikut. Dalam kenyataan hidup,
kadang-kadang mereka ditantang berkelahi atau menerima ucapan yang menyakitkan hati.
Dalam situasi seperti ini, seseorang menerima stimulus yang mengancam yang berasal
dari luar dirinya. Dalam situasi yang tidak terkontrol, seseorang boleh jadi akan
meresponnya dengan mengatakan sesuatu yang menyakitkan orang yang menantangnya
berkelahi. Dalam situasi yang tidak terkontrol, seseorang bisa jadi akan membalas
ungkapan yang menyakitkan hati dengan balasan ucapan yang tidak kalah menyakitkan.
Puasa melatih orang mengontrol diri dalam berbagai macam situasi. Menurut penulis,
latihan selama sebulan atau lebih kurang 30 hari dapat mengubah seseorang lebih mampu
mengendalikan diri. Proses latihan yang terus-menerus secara konsisten menghasilkan
efek yang relatif menetap, yaitu kontrol diri.

Hasil penelitian Ghozali (2004) menunjukkan dukungannya terhadap pernyataan di atas.


Ghozali menemukan bahwa intensitas berpuasa sunnat memiliki korelasi dengan kendali
diri mahasiswa. Semakin intens berpuasa sunnah, semakin tinggi kendali dirinya. Menarik
untuk diteliti lebih lanjut, apakah latihan puasa selama lebih kurang 30 hari secara empiris
dapat meningkatkan kontrol diri.

Kelima: Puasa Meningkatkan Kreativitas
Berpuasa merupakan salah satu media untuk memperoleh ide yang brilian. Dalam
penelitian yang pernah penulis lakukan, ada seorang kreator Muslim yang mempercayai
bahwa di bulan ramadhan ia lebih mudah untuk mendapatkan ide-ide cemerlang. .. saat
melakukan puasa, maka ide-ide itu bermunculan, demikian ungkapnya (Nashori, 2005).
Menjadi pertanyaan, bagaimana keterkaitan puasa dengan kreativitas?

Hal yang paling pokok berkaitan dengan proses kreatif adalah menghasilkan ide yang
sebaik dan secemerlang mungkin, baik berupa pemikiran, perilaku, maupun produk. Syarat
utama untuk melakukan proses kreatif adalah memahami masalah secara mendalam.
Cara yang ditempuh oleh kreator Muslim adalah dengan menambah wawasan tentang hal
yang diminati, di antaranya adalah membaca, terutama buku, namun bisa juga majalah
atau bacaan yang lain. Mereka juga menambah wawasan melalui diskusi dengan teman
sejawat, keluarga, ahli, dan bahkan dengan orang-orang yang berseberangan pendapat.
Boleh dikatakan bahwa aktivitas utama mereka adalah melakukan usaha secara sengaja
untuk penambahan pemahaman atas suatu permasalahan yang mereka minati.

Hal lain yang juga dipandang sebagai cara untuk menghasilkan kreativitas tulisan adalah
dengan mengamati dan terlibat secara langsung. Hal ini dilakukan dengan terlibat
langsung atas aktivitas yang mereka minati atau sengaja terjuni, peka terhadap kejadian di
depan mata, sengaja datang ke pusat kegiatan manusia. Pengamatan dan keterlibatan
langsung menjadikan mereka lebih menghayati objek yang hendak mereka pelajari.
Penghayatan yang intens atas objek menjadikan mereka mendalam dalam menuliskan ide-
idenya.

Aktivitas membaca dan terlibat langsung inilah yang tampaknya memberi sumbangan
terbesar pada proses kreatif penulis Muslim. Dapat dikatakan dengan dua aktivitas inilah,
apalagi kalau keduanya dilakukan secara intensif, maka mereka memperoleh jalan untuk
menghasilkan ide-ide kreatif.

Sebagaimana dikatakan oleh ahli-ahli teori kreativitas, setelah seseorang terlibat dalam
suatu aktivitas, kadang berbagai permasalahan mereka hadapi. Sering ditemukan
situasi mentok (inkubasi). Dalam situasi seperti ini yang dapat mereka lakukan adalah
mengerjakan aktivitas yang berbeda dari aktivitas kreatif yang biasa merka lakukan. Tahap
inkubasi akan disambut oleh tahap enlightment (pencerahan) saat kreator Muslim
melakukan aktivitas lain. Dalam penelitian yang penulis (Nashori, 2005) lakukan ditemukan
bahwa aktivitas lain itu bisa berupa melakukan aktivitas yang menyenangkan (seperti
aktivitas bersama keluarga, membuat suasana atau datang dalam suasana baru,
berkebun), tapi juga dalam bentuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa jalla.

Aktivitas beribadah (berdoa, puasa, shalat sunnat) adalah aktivitas yang dipandang
penting oleh kreator Muslim. Dalam situasi inkubasi, ide akan lebih mudah turun bila
mereka berupaya menjolok turun ide itu dari pemiliknya, yang tak lain adalah Allah ‘Azza
wa jalla. Kreator Muslim percaya sepenuhnya bahwa ide adalah milik Allah. Ide akan
sampai ke otak kita bila melakukan usaha yang langsung berhubungan dengan Allah,
seperti berdoa, shalat, dan berpuasa. Saat orang berpuasa, ia dalam keadaan berproses
membersihkan jiwa mereka. Pembersihan jiwa sendiri dilakukan dengan memperbanyak
amal baik (yang bisa menutupi dosa-dosa), taubat, istighfar, meminta ampunan kepada
orang lain, serta bersalaman. Bersihnya jiwa mempermudah datangnya cahaya atau
pengetahuan yang berasal dari Allah. Dengan kebersihan jiwa, maka  berbagai persoalan
kreatif yang kita hadapi dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari dapat ditemukan jawaban-
jawaban penyelesaiannya.

Dalam suatu khotbah (Masjid Ulil Albab UII. Yogyakarta, 21 Oktober 2005) disampaikan
suatu cerita tentang seorang profesor yang kreatif. Ia telah menulis berpuluh-puluh buku
yang cemerlang di bidangnya. Yang menarik adalah apa yang membuatnya sedemikian
kreatif. Tidak lain adalah saat ia mereasa lapar, karena puasa, ia lebih mudah memperoleh
insight dan ilham, yang menjadi bahan bagi penulisannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, menarik untuk dilakukan penelitian empiris: hubungan


intensitas puasa dengan kreativitas.

Keenam: Puasa Menurunkan Agresivitas

Agresivitas adalah kecenderungan untuk melakukan perilaku menyakiti orang lain, baik
secara fisik ataupun verbal (Baron & Byrne, 2004). Agresi dapat dikurangi atau diperbesar
oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal di antaranya adalah kesulitan
hidup, rasa marah, dan sebagainya. Faktor eksternal di antaranya adalah provokasi dari
orang lain, cuaca yang panas, adanya senjata, dan sebagainya.

Bila seseorang berpuasa, maka ia dilatih untuk mengendalikan diri. Sebuah hadis Nabi
mengungkapkan bahwa salah satu yang semestinya dilakukan orang yang berpuasa
adalah ”berpuasa berkata-kata yang menyakitkan”.

”Tidaklah berpuasa itu menahan diri dari makan dan minum, tetapi berpuasa itu adalah menahan
diri dari perbuatan kosong dan perkataan keji. Maka jika kau dicaci orang atau diperbodohnya,
hendaklah katakan: ’Saya berpuasa, saya berpuasa’.” (HR Ibnu Khuzaimah, dalam Sabiq, 2007).

Bila biasanya (di luar puasa) orang membalas ucapan yang kasar dengan ucapan yang
sama atau lebih kasar, maka dengan puasa ia berusaha untuk mengendalikan diri.
Pengendalian diri yang memiliki frekuensi tinggi ditambah dengan penghayatan yang lebih
tinggi (misalnya menghayati bahwa sangatlah kasihan orang yang diejek atau
dipermalukan) selama berpuasa akan menjadikan agresivitas atau kecenderungan untuk
menyakiti orang lain berkurang.

Kecenderungan untuk menyakiti orang lain juga semakin berkurang dengan adanya
aktivitas yang menyenangkan bagi orang lain. Selama berpuasa seseorang dilatih untuk
memberi makan kepada orang lain untuk berbuka puasa, menyerahkan zakat mal dan
zakat fitrah, memelihara silaturrahmi (beberapa di antaranya dikembangkan melalui acara
berbuka puasa bersama), dan sebagainya. Semua hal di atas akan
menumbuhkembangkan kepedulian kepada oramg lain.

Fakta-fakta yang berkembang dalam kehidupan sosial kita menunjukkan bahwa saat bulan
puasa berbagai kekerasan dan agresivitas berkurang. Sebagai contoh, saat menjelang
puasa artis yang hendak bercerai suka melontarkan agresivitas verbal yang menyakitkan,
namun pada waktu bulan puasa sangat jarang yang mengungkapkan secara verbal dan
terbuka yang berisi cacian atau makian kepada orang lain.

Dengan penjelasan di atas, disarankan agar bisa dilakukan penelitian psikologi yang dapat
mengungkap pengaruh puasa terhadap penurunan agresivitas.

Ketujuh: Puasa Meningkatkan Pengendalian Perilaku Seks


Perilaku seks yang dilakukan manusia bermula dari melihat orang yang disayangi. Boleh
jadi akan berlanjut ke aktivitas seksual yang sebenarnya: mulai dari berpegangan,
berciuman pipi dan kening, berciuman bibir dan lidah, memegang daerah sensitif, hingga
melakukan aktivitas intercourse. Dalam agama aktivitas seks yang sah hanya adalam
lembaga pernikahan yang sah. (Ada lembaga pernikahan yang sah menurut konvensi
internasional, tapi tidak sah menurut Islam yaitu sesama gay atau sesama lesbi).
Ketika manusia tumbuh dan masuk dalam fase baligh, dorongan seksual itu meningkat.
Dorongan yang berasal dari dalam itu menguat terutama bila stimulus-stimulus yang
berasal dari luar itu juga kuat. Contohnya adalah tontonan lawan jenis yang kelihatan
daerah sensitifnya (seperti dada, betis, paha) atau melalui media seperti vcd, tv, dan
seterusnya membangkitkan nafsu seseorang. Dalam situasi demikian, dapatkah puasa
menurunkan dorongan seks?

Salah satu peran puasa adalah menurunkan dorongan seksual manusia, sekurang-
kurangnya selama periode puasa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh suatu hadits
Nabi:

Diriwayatkan dari ’Alqamah: Ketika aku sedang berjalan bersama ) Abdullah ra, ia berkata,
”Kami sedang bersama Rasulullah SAW dan beliau bersabda, ’Laki-laki yang sudahmampu untuk
menikah,maka meniahlah, sebab (menikah) akan menundukkan pandangannya dan memelihara
kelaminnya; dan laki-laki yang belum sanggup menikah, maka beruasalah, karenan aku
mengurangi nafsunya.”

Penjelasan yang dapat diberikan adalah nafsu yang berpusat di pertu dalamm keadaan
berkurang dayanya. Nafsu sendiri berpusat di perut manusia. Istirahtnya perut manusia
saat berpuasa menjadikan nafsu atau dorongan seks mengalami penurunan.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis merekomendasikan untuk melakukan penelitian


hubungan antara puasa dan penurunan kecenderungan perilaku seks.

Demikian. Mohon maaf bila ada kekurangan dan kesalahan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Daftar Pustaka
Allport, G.W.& Ross, M. (1977). Personal Religious Orientation and Prejudice. Dalam H.N.
Malony (ed.), Current Perspectives in the The Psychology of Religion. Michigan: William B
Eerdmans Publishing Co.
Ancok, D. & Suroso, F.N. (2011). Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zabidi, I (ed.). (2002). Ringkasan Shahih Al-Bukhari. Bandung: Mizan.
Baron, R.A. & Byrne, D. (2004). Social Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Bergin, A.E. (1980). Religiousness and Mental health Reconsidered. Journal of Consulting
Psychology, 34, 2, 95-105.

Calhoun, J.F. & Acocella, J.R. (1990). Psychology of Adjustment and Human
Relationships. Third Edition. New York: McGraw-Hill.

Ghozali, A.  (2004). Hubungan antara Intensitas Berpuasa Sunnah dengan Kontrol Diri
Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.
James, W. (2004). Perjumpaan dengan Tuhan: Ragam Pengalaman Religius Manusia.
Bandung: Mizan.

Munadhir. (2005). Seputar Kebiasaan Salah Kaprah Umat Islam dalam Menyambut Bulan
Ramadhan. Buletin Al-Islamiyyah, November 2005.
Nashori, H. F. & Mucharam, R.D. (2002). Mengembangkan Kreativitas. Yogyakarta: PenerbIT
Menara Kudus.
Nashori, H. F. (2005). Kiat-kiat Menjadi Penulis Muslim Kreatif. Yogyakarta: Quranic Media
Pustaka.
Sabiq, S. (2007). Fikih Sunnah: Jilid 3. Bandung: Penerbit Al-Maarif.
Siregar, D. & Juriana. (2005). Glukosa Daran antara Berpuasa dengan Kerja Fisik dengan
Berpuasa Tanpa Kerja Fisik. Dalam H. Fuad Nashori dkk (eds), Prosiding Temu Ilmiah
Nasional Psikologi Islami I. Yogyakarta: PP API, Penerbit Insania Cit, dan Fakultas Psikologi
UII.
Suryabrata, S. (2011). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.

Penulis: Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag., Psikolog

(Dosen Prodi Psikologi FPSB UII)

Anda mungkin juga menyukai