Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH TENTANG SUKU MANDAILING

OLEH :

REZIY ROZINAH SUGIANTO

KELAS 88 / ABSEN 31

SMPN 1 SUMENEP

TAHUN 2019
SEJARAH SUKU MANDAILING

Mandailing adalah salah satu sub kelompok dari suku bangsa Batak yang daerah
asalnya termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing punya daerah
asal yang lebih khusus, yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan.
Secara garis besar, Mandailing adalah salah satu suku yang banyak ditemui di utara
Pulau Sumatera atau lebih spesifik berada di selatan Provinsi Sumut. Suku ini
memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan
kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak dan Melayu.

Generalisasi kata Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh
keturunan asli wilayah itu. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku
Batak.

Abdur-Razzaq Lubis dalam bukunya “Mandailing-Batak-Malay: A People Defined


and Divided. In: 'From Palermo to Penang: A Journey into Political Anthropology',
University of Fribourg, 2010, mengemukakan, bahwa penjajahan Belanda di
Sumatera menyebabkan Mandailing menjadi bagian dari Suku Batak berdasarkan
aturan irisan yang dibuat untuk mengklasifikasi dan membuat tipologi.

Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak
Mandailing di Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia.

Mengenai sejarah Mandailing, M Dolok Lubis dalam Bukunya “Mandailing; Sejarah,


Adat dan Arsitektur Mandailing” menjelaskan bahwa keberadaan Mandailing sudah
diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam
sumpah Palapa Gajah Mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya
Prapanca sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke
beberapa wilayah di luar Jawa.

Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi


(berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke
Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane
mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di
Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok,
Angkola dan Mandailing.

Budayawan Mandailing, Z Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga


di Mandailing’. Nama Mandailing disebut berasal dari kata Mandehilang (bahasa
Minangkabau, artinya ibu yang hilang). Kata Mundahilang, kata Mandalay (nama
kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua)
Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun
1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera
melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera.

Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diyakini berawal sejak abad ke-9
atau ke-10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution.
Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi
Selatan.

Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang
Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar
Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan
Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah
Guluan Gajah.

Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande
Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari
Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan
istri pertamanya yang berasal dari Angkola.

Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan
antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik
perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga.

Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal
dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung
Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di
Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian).

Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah
satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga
Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo
(dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.

Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh
sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu
Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga
ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia.
Kabupaten Tapanuli Selatan terbagi atas 20 kecamatan, yaitu kecamatan Barumun,
Barumun Tengah, Batangangkola, Batangnatal, Batangtoru, Dolok, Kotanopan,
Muarasipongi, Natal Padangbolak, Padang Sidempuan Barat, Padan Sidempuan
Selatan, Padang Sidempuan Timur, Padang Sidempuan Utara, Panyabungan,
Sampatdolokhole, Siabu, Sipirok, Sosa, Sosopan.

Lingkungan Hidup Suku Mandailing


Wilayah dan topografinya terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah, dan bagian
sebelah barat berbatasan dengan Lautan Hindia. Di lautan itu termasuk beberapa
pulau yang menjadi bagian wilayah Kabupaten ini. Daratannya ditandai cuatan
sejumlah gunung, mengalir banyak sungai dan ada pula sejumlah danau. Alamnya
juga mengandung macam-macam barang tambang. Hutan masih cukup luas, terdiri
dari hutan produksi, hutan lindung dan hutan cagar alam.

Di tengah alam yang demikian, sebagian besar warganya hidup dengan mata
pencaharian pertanian, sawah dan ladang. Mereka juga bertanam jagung, kacang
hijau, kacang tanah, kacang kedelai, sayur-mayur, dan buah-buahan. Sektor
perkebunan menghasilkan karet, kopi, coklat, kelapa, kelapa sawit, nilam, jambu
mete, dan lain-lain.

Penduduk Suku Mandailing


Jumlah orang Mandailing tidak dapat diketahui secara pasti. Sensus penduduk tahun
1990 mencatat jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan sebesar 954.332.
Dalam jumlah tersebut di perkirakan, orang Mandailing merupakan yang terbesar,
karena dalam wilayah ini tentu terdapat pula kelompok-kelompok dengan latar
belakang etnik atau budaya lain.

Sejak dari zaman Belanda, orang Mandailing sudah mulai banyak yang pergi
merantau, lebih banyak dari sub kelompok Batak yang berasal dari bagian utara.
Faktor penunjang merantau ini adalah karena mereka sudah lebih awal mendapat
kesempatan memperoleh pendidikan formal. faktor lain yang mendorong adalah
faktor budaya, mereka melihat tanah yang diperoleh dirantau merupakan perluasan
dari tanah yang ada di kampung halaman.

Pola Perkampungan Suku Mandailing


Mereka yang berdiam di pegunungan di sela-sela pegunungan Bukit Barisan di sebut
Mandailing Julu, sedangkan yang berdiam di dataran rendah disebut Mandailing
Godang. Yang bermukim di kampung-kampung atau dea (huta) umumnya mendiami
rumah-rumah (bagas) tradisional. Rumah adat disebut  bagas godang. Sebagai
kediaman kepala kampung, sebuah desa biasanya mempunyai balai desa dan sopo
godang, tempat melaksanakan pertemuan atau musyawarah.

Dahulu, wilayah kampung (huta) tidak terlalu luas, sehingga kini sebuah desa
merupakan gabungan dari beberapa kampung. Oleh sebab itu sebuah desa memiliki
beberapa rumah adat. Sebuah huta di masa lalu itu di huni oleh kelompok-kelompok
kerabat yang terdiri dari kelompok yang mewakili unsur dalihan na tolu.
Kehidupan Suku Mandailing
Kelahiran anak merupakan satu peristiwa penting. Menurut adat, orang yang pertama
menjenguknya adalah mora atau pihak ibunya, kemudian baru disusul pihak
kelompok anak boru, yakni kelompok "penerima wanita". Pihak mora tadi biasanya
membawa makanan khas, berupa nasi bungkus dengan tiga butir telur dengan sedikit
garam.

Selanjutnya, rentang kehidupan anak ini masih saja diliputi aturan adat dan kebiasaan
lainnya. Ketika sang bayi sudah mulai kuat ia dibawah ke rumah mora untuk
menerima "kaing penggendong" (parompa sadun) dengan tata cara tertentu pula. Pada
waktunya, seorang anak di haruskan mempelajari aksara Batak, dan setelah masuk
Islam belajar bahasa Arab di surau.

Daur hidup lainnya yang penting ialah perkawinan. Mereka berpegang pada adat
eksogami marga dalam hal pemilihan jodoh. Pasangan yang ideal bagi seorang adalah
anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (tulang). Anak perempuan itu disebut
boru tulang, sedangkan laki-laki itu disebut oleh anak perempuan dengan istilah anak
namboru. itulah sebabnya sejak kecil seorang anak laki-laki sudah dibudayakan untuk
menghormati tulangnya itu.
Upacara perkawinan mempunyai kaitan penting dengan unsur-unsur dari dalihan na
tolu tadi. Unsur-unsur itu adalah kelompok kerabat sendiri (kahanggi), kelompok
kerabat pemberi wanita (mora) dan kelompok kerabat penerima wanita (anak boru).
Berbagai tata cara dilaksanakan dalam upacara perkawinan ini dengan berbagai hak
dan kewajiban dari kelompok-kelompok kerabat tadi.

Orang Mandailing pernah mengenal suatu adat sehubungan dengan kematian.


Apabila yang meninggal itu berusia lanjut dan yang dihormati masyarakat, upacara
biasanya dilaksanakan secara lengkap (pasidung ari). Upacara ini biasanya menelan
biaya yang besar. Biasa itu biasanya ditanggung oleh keluarga, kahanggi, dan anak
boru.

Agama dan Kepercayaan Suku Mandailing


Orang Mandailing umumnya beragama Islam. Ajaran agama Islam ini konon
masuknya melalui Minangkabau (Sumatera Barat). Orang Mandailing adalah
pemeluk agama Islam yang taat, sehingga unsur-unsur kepercayaan leluhur
(permalin) menjadi tergeser atau hampir tidak ada lagi.

Struktur Adat dan Sistem Sosial


Dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya, Mandailing menggunakan satu struktur
sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga). Masyarakat Mandailing
menganut sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora
(kelompok kerabat pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima
anak gadis).

Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat,
seperti Horja (pekerjaan/pesta), yaitu tiga jenis yaitu, (1) Horja Siriaon adalah
kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki rumah
baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru); (2) Horja
Siluluton (upacara Kematian) dan (3) Horja Siulaon (gotong royong).

Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan


pemerintahan yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat. Yaitu raja dan Namora
Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas
beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah Panusunan),
Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk), Sioban Ripe (di
bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak
terdapat di semua Huta).

Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu
marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang
masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas Namora
(orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan
kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang
yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja)
dan Bayo-bayo Nagodang (mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang
bersama-sama pada waktu tertentu ke huta tersebut).
Sistem sosial ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sangat menghormati
dan menghargai orang tua. Namun demikian, orang tua yang dihormati tidak lantas
tinggi hati. Tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain yang
bukan siapa-siapa bagi mereka dalam melaksanakan setiap aktivitas di dalam hutan.

Marga-Marga Mandailing
Menurut Abdoellah Loebis, penulis asal Mandailing, marga-marga di Mandailing
Julu dan Pakantan adalah Lubis (yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis
Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte,
Hasibuan, Pulungan.

Marga-marga di Mandailing Godang pula adalah Nasution yang terbagi kepada


Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga,
Pidoli, dan lain-lain.
Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan Hasibuan), Rangkuti,
Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte,
Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya
satu marga.)

Menurut Basyral Hamidy Harahap, di daerah Angkola dan Sipirok terdapat marga-
marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat
marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution
dan Lubis di Padang Lawas.

Selain di Mandailing Natal (Madina), suku Mandailing juga banyak tersebar di


Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas
Utara, Kota Padangsidimpuan. Kelompok pertama yang datang di wilayah tersebut
adalah Pulungan dan Nasution.

Seiring waktu, kini populasi orang Mandailing tersebar luas ke penjuru Indonesia dan
luar negeri. Mereka mudah dikenal karena adanya identitas marga yang melekat pada
nama mereka.

Adat istiadat[sunting | sunting sumber]


Suku Mandailing mempunyai aturan adat istiadat yang diatur dalam suatu tuntunan yang
bernama Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Surat Tumbaga
Holing biasanya selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Selain itu, orang
Mandailing pun mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak atau Urup Tulak-
Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatra, yang berasal dari
huruf Pallawa. Bentuknya tidak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara
Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuno, dan Aksara Nusantara lainnya.
Meskipun Etnis Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan
dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha / pustaka, tetapi
hampir tidak ada sejarah yang dituliskan dalam huruf itu, umumnya huruf itu hanya
digunakan untuk menulis aturan adat dan pengobatan. Sejarah Mandailing sendiri
berkaitan erat dengan Sejarah Minangkabau, tetapi perbedaannya sejarah Mandailing
diceritakan berdasarkan garis silsilah laki-laki, sementara sejarah Minangkabau
berdasarkan garis silsilah perempuan. Oleh sebab itu, sejarah Mandailing umumnya
tertulis dalam bahasa Minangkabau.

Kesenian tradisional
Kesenian yang ada di Mandailing antara lain:

 Sibaso adalah acara yang dilakukan oleh dukun/tabib dalam rangka


menyembuhkan penyakit atau memberi peruntungan pada masyarakat yang
membutuhkannya. Pada masa masyarakat pra Islam, Si Baso biasanya melakukan
hal-hal magis dengan upacara tertentu, untuk memenuhi keinginan masyarakat yang
meminta bantuannya. Dalam riwayatnya, acara Sibaso ini diperkenalkan oleh
seorang Datu (Dukun/Tabib tradisional) yang berasal dari Bugis yang tinggal
di Sayurmaincat.
 Gordang Sambilan adalah alat kesenian terdiri atas sembilan gendang besar
(beduk) yang ditabuh bersamaan, dalam rangka tertentu, misalnya pada hari raya.
Salah satu beduk ditabuh oleh seorang raja/pemimpin wilayah, yang biasanya
memulai irama penabuhan.
 Tarian Tor-tor atau Tarian Gunung-gunung adalah tarian yang dilakukan oleh
raja-raja dan keturunannya di Mandailing. Tor dalam bahasa Mandailing bisa berarti
gunung, bisa juga berarti bukit, yang berasal dari bahasa Arab/Ibrani, yaitu Thur.
Tarian Tor-tor di Mandailing dilakukan dengan irama lambat, dengan gerakan pelan
dan lembut dari penarinya, dan berpindah tempat secara pelan atau diam di tempat,
sehingga terkesan sakral. Biasanya Tarian Tortor ini diiringi musik yang disebut
sebagai Onang-onang. Tarian Tor-tor ini dikenal sebagai warisan dari Nabi
Sulaiman yang berasal dari suku Levi's, yang diciptakan sekitar 3000 tahun yang
lalu, ketika berhasil menguasai wilayah Saba'.
 Moncak atau Poncak adalah tarian yang berasal dari gerakan pencak silat.
Biasanya tarian ini dilakukan dalam rombongan yang hendak mendatangi tempat
yang dituju, semisal dalam rangka pesta perkawinan (Marolet/Baralek), ketika
rombongan pengantin pria mendatangi tempat mempelai perempuan.
 Markusip yang berarti berbisik adalah acara yang dilakukan para bujang di
Mandailing dalam rangka merayu anak gadis yang diincarnya pada tengah malam,
dengan cara mendatangi bawah kolong kamar dimana sang anak gadis itu tidur
(biasanya pada zaman dahulu rumah tradisional di Mandailing berbentuk rumah
panggung. Awalnya, sang bujang akan meniup Tulila, yaitu alat tiup tradisional
dengan irama tertentu, sehingga anak gadis yang diincarnya mengetahui
keberadaannya. Selanjutnya, anak bujang akan mengeluarkan rayuan melalui
pantun dan kata-kata bersyair secara berbisik-bisik, melalui lubang papan lantai, dan
dibalas dengan pantun dan kata-kata bersyair pula.
 Ende-ende adalah nyanyian tradisional yang berbentuk puisi atau pantun yang
dinyanyikan secara oral, yang isinya menggambarkan nilai-nilai budaya, relijius,
filsafat, estetika serta hiburan, juga termasuk di dalamnya riwayat leluhur atau kisah
tertentu.
 Turi-turian adalah cerita adat yang menggambarkan cerita atau kejadian di masa
lalu, yang pernah terjadi dalam masyarakat Mandailing, bisa menggambarkan
silsilah keluarga dan lainnya.
 Salung adalah alat musik tiup yang digunakan untuk menghibur dengan cara
sambil menyanyikan sebuah cerita dalam suatu pesta adat.

Makanan khas suku Mandailing


a. Alame (Dodol Mandailing)
b. Asam Pade.
c. Gule Bulung Gadung.
d. Lemang.
e. Pakkat,Pucuk Rotan.
f. Ikan Sale.
g. Rondang Bolut.
h. Rondang Itik.
Tarian suku mandailing
Tarian adat suku Mandailing biasanya sering dipertontonkan pada saat upacara adat,
dimana uning-uning dibunyikan (margondang). Dan ini selalu dilengkapi dengan
acara manortor.
Dalam pelaksanaannya, pelaku tortor terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok
Manortor yang berbaris di depan yaitu: kelompok barisan yang dihormati. Ini
barisan seperti Mora dan Raja-Raja Adat. Sedang kelompok pengayapi yang
berbaris di belakang.

Pelaksanaan tortor biasanya berdasarkan taraf atau kedudukan seseorang, yaitu:

- Tortor Suhut, Kahanggi Suhut, Mora dan Anak Boru


 Tortor Raja-raja
- Tortor Raja Panusunan
- Tortor Naposo Bulung
- Tortor Sibaso

Yang terakhir ini sudah tidak pernah lagi dilaksanakan karena orang yang manortor
harus kesurupan sehingga dinilai bertentangan dengan ajaran agama.

* Pakaian adat pernikahan


Pada pernikahan adat Mandailing, biasanya pengantin Mandailing menggunakan
pakaian adat yang didominasi warna merah, keemasan dan hitam. Pengantin pria
menggunakan penutup kepala yang disebut ampu-mahkota yang dipakai raja-raja
Mandailing di masa lalu, mengenakan baju godang yang berbentuk jas, ikat
pinggang warna keemasan dengan selipan dua pisau kecil disebut bobat, gelang
polos di lengan atas warna keemasan, serta kain sesamping dari songket Tapanuli.

Sedangkan pengantin wanita memakai penutup kepala disebut bulang berwarna


keemaasan dengan beberapa tingkat, penutup daerah dada yaitu kalung warna hitam
dengan ornamen keemasan dan dua lembar selendang dari kain songket, gelang
polos di lengan atas berwarna keemasan, ikat pinggang warna keemasan dengan
selipan dua pisau kecil, dan baju kurung dengan bawahannya songket. (bbs/int)

Anda mungkin juga menyukai