OLEH :
KELAS 88 / ABSEN 31
SMPN 1 SUMENEP
TAHUN 2019
SEJARAH SUKU MANDAILING
Mandailing adalah salah satu sub kelompok dari suku bangsa Batak yang daerah
asalnya termasuk dalam Provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing punya daerah
asal yang lebih khusus, yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan.
Secara garis besar, Mandailing adalah salah satu suku yang banyak ditemui di utara
Pulau Sumatera atau lebih spesifik berada di selatan Provinsi Sumut. Suku ini
memiliki ikatan darah, nasab, bahasa, aksara, sistem sosial, kesenian, adat, dan
kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan Batak dan Melayu.
Generalisasi kata Batak terhadap etnis Mandailing umumnya tak dapat diterima oleh
keturunan asli wilayah itu. Meski sebagian masih mengakui dirinya bagian dari suku
Batak.
Akibatnya Suku Mandailing melebur menjadi satu yang dinamai Suku Batak
Mandailing di Indonesia dan Suku Melayu Mandailing di Malaysia.
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diyakini berawal sejak abad ke-9
atau ke-10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution.
Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi
Selatan.
Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang
Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar
Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan
Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah
Guluan Gajah.
Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande
Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari
Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan
istri pertamanya yang berasal dari Angkola.
Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan
antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik
perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga.
Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal
dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung
Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di
Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian).
Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah
satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga
Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo
(dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.
Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh
sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu
Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga
ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia.
Kabupaten Tapanuli Selatan terbagi atas 20 kecamatan, yaitu kecamatan Barumun,
Barumun Tengah, Batangangkola, Batangnatal, Batangtoru, Dolok, Kotanopan,
Muarasipongi, Natal Padangbolak, Padang Sidempuan Barat, Padan Sidempuan
Selatan, Padang Sidempuan Timur, Padang Sidempuan Utara, Panyabungan,
Sampatdolokhole, Siabu, Sipirok, Sosa, Sosopan.
Di tengah alam yang demikian, sebagian besar warganya hidup dengan mata
pencaharian pertanian, sawah dan ladang. Mereka juga bertanam jagung, kacang
hijau, kacang tanah, kacang kedelai, sayur-mayur, dan buah-buahan. Sektor
perkebunan menghasilkan karet, kopi, coklat, kelapa, kelapa sawit, nilam, jambu
mete, dan lain-lain.
Sejak dari zaman Belanda, orang Mandailing sudah mulai banyak yang pergi
merantau, lebih banyak dari sub kelompok Batak yang berasal dari bagian utara.
Faktor penunjang merantau ini adalah karena mereka sudah lebih awal mendapat
kesempatan memperoleh pendidikan formal. faktor lain yang mendorong adalah
faktor budaya, mereka melihat tanah yang diperoleh dirantau merupakan perluasan
dari tanah yang ada di kampung halaman.
Dahulu, wilayah kampung (huta) tidak terlalu luas, sehingga kini sebuah desa
merupakan gabungan dari beberapa kampung. Oleh sebab itu sebuah desa memiliki
beberapa rumah adat. Sebuah huta di masa lalu itu di huni oleh kelompok-kelompok
kerabat yang terdiri dari kelompok yang mewakili unsur dalihan na tolu.
Kehidupan Suku Mandailing
Kelahiran anak merupakan satu peristiwa penting. Menurut adat, orang yang pertama
menjenguknya adalah mora atau pihak ibunya, kemudian baru disusul pihak
kelompok anak boru, yakni kelompok "penerima wanita". Pihak mora tadi biasanya
membawa makanan khas, berupa nasi bungkus dengan tiga butir telur dengan sedikit
garam.
Selanjutnya, rentang kehidupan anak ini masih saja diliputi aturan adat dan kebiasaan
lainnya. Ketika sang bayi sudah mulai kuat ia dibawah ke rumah mora untuk
menerima "kaing penggendong" (parompa sadun) dengan tata cara tertentu pula. Pada
waktunya, seorang anak di haruskan mempelajari aksara Batak, dan setelah masuk
Islam belajar bahasa Arab di surau.
Daur hidup lainnya yang penting ialah perkawinan. Mereka berpegang pada adat
eksogami marga dalam hal pemilihan jodoh. Pasangan yang ideal bagi seorang adalah
anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya (tulang). Anak perempuan itu disebut
boru tulang, sedangkan laki-laki itu disebut oleh anak perempuan dengan istilah anak
namboru. itulah sebabnya sejak kecil seorang anak laki-laki sudah dibudayakan untuk
menghormati tulangnya itu.
Upacara perkawinan mempunyai kaitan penting dengan unsur-unsur dari dalihan na
tolu tadi. Unsur-unsur itu adalah kelompok kerabat sendiri (kahanggi), kelompok
kerabat pemberi wanita (mora) dan kelompok kerabat penerima wanita (anak boru).
Berbagai tata cara dilaksanakan dalam upacara perkawinan ini dengan berbagai hak
dan kewajiban dari kelompok-kelompok kerabat tadi.
Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat,
seperti Horja (pekerjaan/pesta), yaitu tiga jenis yaitu, (1) Horja Siriaon adalah
kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki rumah
baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru); (2) Horja
Siluluton (upacara Kematian) dan (3) Horja Siulaon (gotong royong).
Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu
marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang
masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas Namora
(orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan
kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang
yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja)
dan Bayo-bayo Nagodang (mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang
bersama-sama pada waktu tertentu ke huta tersebut).
Sistem sosial ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sangat menghormati
dan menghargai orang tua. Namun demikian, orang tua yang dihormati tidak lantas
tinggi hati. Tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain yang
bukan siapa-siapa bagi mereka dalam melaksanakan setiap aktivitas di dalam hutan.
Marga-Marga Mandailing
Menurut Abdoellah Loebis, penulis asal Mandailing, marga-marga di Mandailing
Julu dan Pakantan adalah Lubis (yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis
Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte,
Hasibuan, Pulungan.
Menurut Basyral Hamidy Harahap, di daerah Angkola dan Sipirok terdapat marga-
marga Pulungan, Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat
marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan, Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution
dan Lubis di Padang Lawas.
Seiring waktu, kini populasi orang Mandailing tersebar luas ke penjuru Indonesia dan
luar negeri. Mereka mudah dikenal karena adanya identitas marga yang melekat pada
nama mereka.
Kesenian tradisional
Kesenian yang ada di Mandailing antara lain:
Yang terakhir ini sudah tidak pernah lagi dilaksanakan karena orang yang manortor
harus kesurupan sehingga dinilai bertentangan dengan ajaran agama.