Disusun Oleh:
NABILAH NUR
(F052231004)
PENDAHULUAN
Studi tentang Mandar masih sangat terbatas dibandingkan dengan Makassar dan
Bugis. Bahkan Mandar kadang dimasukkan sebagai bagian dari Makassar atau Bugis.
Padahal, sejarah asal-usul dan identitas budaya mereka berbeda. Dalam sumber lokal
Mandar disebutkan bahwa leluhur orang Mandar menyebar dari Hulu Saddang
(Toraja) ke Makassar, Luwu, dan Bone. Hal itu menunjukkan bahwa mereka
mempunyai sudut pandang sendiri mengenai asal-usul dan identitas serta hubungan
dengan Makassar, Luwu, dan Bone. Identitas Mandar menguat setelah terbentuk
Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004. Apabila sejarah adalah satu album
keluarga, setiap anggotanya berhak ditampilkan dalam album tersebut. Namun, dalam
konteks ini, Mandar sebagai salah satu anggota keluarga belum tampak secara utuh
dalam album sejarah Indonesia. Bahkan, Mandar cenderung dalam bayang-bayang
Makassar dan Bugis. Implikasinya, meminjam konsep Susanto Zuhdi (2018), Mandar
terabaikan dalam sejarah Indonesia. Dalam tugas pada mata kuliah demokrasi dan
budaya politik di Sulawesi Selatan & Barat, penulis memilih mengungkit khususnya
di Kerajaan Balanipa di Mandar, hal ini terkait karena asal dari penulis makalah
adalah suku Mandar. Adapun Isi dari tulisan dalam makalah ini, merupakan
kumpulan dari tugas-tugas mata kuliah demokrasi dan budaya politik di sulawesi
selatan & barat khususnya di Mandar yang mencakup; Tomanurung Di Tanah
Mandar, Budaya Politik Di Mandar, Ekspansi Dan Persekutuan Antar Kerajaan Di
Mandar, Budaya Malu (Siri’) di Mandar, dan Perang Di Kerajaan Balanipa Mandar.
Di Tanah Mandar, berbagai aspek budaya dan politik telah memainkan peran
penting dalam pembentukan identitas dan sejarah wilayah ini. Tomanurung, sebuah
tradisi adat khas Mandar, adalah salah satu contohnya. Tomanurung merupakan
simbol budaya dan politik yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Mandar dan
telah mempengaruhi dinamika politik di wilayah tersebut. Selain itu, ekspansi dan
persekutuan antar kerajaan di Mandar juga merupakan elemen penting dalam
pemahaman sejarah Mandar. Kerajaan-kerajaan di Mandar sering kali menjalin
aliansi dan melakukan ekspansi wilayah untuk memperluas pengaruh politik dan
ekonomi mereka. Namun, di samping aspek positif dari budaya dan politik Mandar,
ada juga tantangan yang perlu dipahami, seperti konsep budaya malu (Siri’). Budaya
Malu adalah bagian penting dari etika sosial Mandar yang mendorong individu untuk
menjaga kehormatan dan martabat diri serta komunitas mereka. Tidak hanya itu,
wilayah Mandar juga mengalami sejarah konflik dan perang. Perang di Kerajaan
Balanipa Mandar, sebagai salah satu contoh, mencerminkan konflik internal dan
eksternal yang pernah terjadi dalam sejarah Mandar. Perang-perang ini memiliki
dampak signifikan pada perkembangan sosial, politik, dan budaya di Mandar.
Memahami dinamika budaya politik, ekspansi kerajaan, budaya malu, dan sejarah
perang di Mandar adalah penting untuk memahami latar belakang masalah yang
kompleks di wilayah ini dan dampaknya terhadap identitas dan perkembangan
masyarakat Mandar.
1.2 Rumusan Masalah
sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Pesan-pesan yang diberikan tomanurung itu mengambil perhatian para tetua karena
masuk diakal pera tetua sehingga kemudian mereka sepakat untuk menjadikan orang
itu sebagai pemimpin mereka. Suami isteri inilah yang pada awalnya memerintah
kelompok masyarakat itu. Tidak diketahui berapa lama mereka memerintah, tetapi
yang pasti bahwa mereka ini kemudian melahirkan tujuh orang anak dan menjadi
tomakaka di masing-masing wilayah tersebut. Berakhirnya pemerintahan tomakaka
ini ditandai dengan hadirnya seseorang yang tidak diketahui darimana asal-usulnya
sehingga orang menyebutnya topole-pole (orang pendatang). Setelah lama tinggal
wilayah ini barulah diketahui bahwa beliau ini cucu dari Tokombong di bura’ yang
bernama Pongkapadang yang kemudian menetap di Salabose bersama anak isterinya
yang bernama Merrupa Bulawang. Tople-pole kemudian memperisterikan Merrupa
Bulawang dan melahirkan anak yang bernama Daengta di Poralle 5. Selama Tople-
pole bermukim di Poralle, beliau berhasil mempersatukan kelompok masyarakat
kedalam kepemimpinannya. Dari hasil perkwinannya dengan Tomerrupa , maka
lahitlah anak yang bernama I Salabose Daeng Poralle dan I BanggaE. Daetta di
Poralle yang pergi kawin dengan anak Todilaling. Dia melahirkan empat orang anak.
Yang sulung jadi raja di Tande, dialah yang mewarisi Tande. Berikut anaknya ialah
Daetta Nigayang. Anak berikutnya lagi ialah Baliabaru, dialah yang kawin dengan
bangsawan dari Tubo. Anaknya yang keempat ialah Daetta Melantoq, dialah yang
pergi kawin ke Totoli, pada adiknya Ipuang Ditalise. Ibu – bapak dari Tomakakadi
Talise ialah Tomakaka di Lambeq Tuqduq. Tomakaka di Totoli anak dari raja di
Para. Waktu itu, dia kalah perang, maka pergilah ia meninggalkan daerahnya dan
tibalah ia di Totoli dan dialah yang melahirkan I Puang di Talise. Adik dari I Puang
di Taliselah yang diperisterikan Daetta Melantoq, lahirlah seorang anak yang
bernama Daetta di Masigi. Daetta di Masigi kawin pula dengan sepupu sekalinya dan
lahirlah anak Tomatindo di Panuttungang, dialah yang dipusakai oleh orang Totoli.
5
A.M.Mandra, dkk, 1985-1986, op.cit., hlm.182
Dari hasil pusaka orang Totoli, dialah yang jadi To Padang, lahir lagi Tomatindo di
Rusung-Rusung. Kemudian lahir lagi Tomatindo di Barobboq, kemudian lahir lagi
yang melahirkan Tomatindo di Sallomboq, kemudian lahir lagi ibu Toniboseang).
(Besok lusa manakala saya mangkat, walaupun anak saya dan cucu saya, janganlah
hendaknya diangkat menjadi raja kalau bukan dia orang yang cinta kepada tanah air
dan rakyat kecil. Jangan pula diangkat menjadi calon raja bila mempunyai tutur sapa
yang kasar, berbuat, bertindak kasar dan kaku pula, sebab orang seperti itulah yang
akan menghancurkan negeri)
7
Muhammad Amir, “Gerakan Mara’dia Tokape di Mandar 1870-1873” (Makassar: De La
Macca, 2014), h. 27
ditakuti musuh-musuh8. Untuk perluasan wilayah di Mandar dilanjutkan oleh
Tomepayung yang merupakan raja kedua, setelah menggantikan ayahnya Todilaling
setelah wafat. Perluasan wilayah terus dilakukan oleh Tomepayung. Cara
Tomepayung memperluas wilayahnya dilakukan dengan menaklukkan musuhnya
sehingga wilayah taklukkannya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa
(mandar). Hal ini dibuktikan ketika Kerajaan Passokkorang ditaklukkan maka
wilayahnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa. Selain penaklukkan,
perluasan wilayah Kerajaan Balanipa dilakukan dengan jalan damai. Seperti melalui
perjanjian persahabatan atau persaudaraan yang dilakukan dengan Kerajaan Allu dan
Taramanu sehinggga kedua Kerajaan ini menyatu menjadi wilayah Kerajaan
Balanipa. Juga Kerajaan yang suka rela menggabungkan wilayahnya kedalam
Kerajaan Balanipa, salah satunya adalah Kerajaan Tu’bi. Kerajaan ini kemudian
menjadi daerah otonom dalam wilayah Kerajaan Balanipa. Pada masa kepemimpinan
Kerajaan Balanipa mencetuskan pertemuan kerajaan-kerajaan yang ada di pesisir
sehingga terbentuklah persekutuan pitu ba’bana binanga yang menggabungkan tujuh
Kerajaan yang ada di muara sungai menjadi satu kesatuan dibawah pimpinan
Kerajaan Balanipa. Pertemuan itu diselenggarakan di Tammajarra (Napo-Balanipa)
yang menghasilkan perjanjian assitalliang Tammajarra I dan diperbaharuai pada
perjanjian assitalliang Tammajarra II9.
8
Muhammad Amir, Assitalliang Tammajarra Di Mandar Abad Ke-16. Indonesia
Platform Kebudayaan, 02 Januari 2018.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/assitalliang-tammajarra-di-mandar-abad-ke-
16-oleh-muhammad-amir/. (18-09-2023)
9
Nur Iqmal, “Kerajaan Balanipa Pada Abad XVI-XVII M” Jurnal Rihlah Vol. IV No.1 (2016). h.
148
dan besar di daerah pesisir pantai Mandar. Kemudian Sendana diangkat sebagai ibu,
karena itu dianggap sebagai kerajaan yang paling senior di antara anggota-anggota
Pitu Babana Binanga. Sebelumnya, Sendana merupakan pimpinan persekutuan Bocco
Tallu (Sendana, Alu dan Taramanu) yang berdiri sebelum runtuhnya Passokkorang.
Sendana sebagai ibu dari persekutuan Pitu Babana Binanga berarti wakil dan
bersama-sama Balanipa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh
persekutuan, seperti yang disebutkan dalam lontarak sebagai berikut:
disanga tau, kedo mapiaditia disanga tau anna gau mapia ditia disanga tau, io
nasammo tuq u to mappunnaisiri dialawena (hakekat kemanusiaan seseorang
dicirikan oleh ucapannya, akhlaknya, dan perilaku baiknya yang lain, keseluruhan
karakteristik tersebut hanya dimiliki pada individu yang memelihara rasa malu dan
martabat dirinya). Konsep siri‟ juga sangat kuat pada etnis Makassar dan salah
satu klausulnya ditemukan dalam pangngadderreng, di antaranya:Siri’ga rodo siriku
puang tongeng-tongengta,ungkapaan bijak ini dimaknai B.F Mathes sebagai : ik
schaam mij bovenmate voor God (siri’ apapulakah yang namanya, siri’ aku kepada
Allah).12
11
Muhammad Rais “Etika Bisnis Wirausaha Majene-Mandar”.Makasssar:
UniversitasHasanuddin, 2008),241.
12
Laica Marzuki, siri: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, Sebuah Telaah
Filsafat Hukum (ujung pandang: universitas hasanuddin press, 1995), 245, Diakses 31 Juni 2020
perasaan yang mengandung aib, misalnya mencuri, korupsi dan lain-lain. Siri’-siri’,
yaitu dengan pengertian biasa yang tingkatannya siri paling kecil seperti merasa
malu karena memakai baju tua (robek dan sebagainya)13. Inilah beberapa tingkatan
perilaku siri’ yang masih dipertahankan orang Mandar dengan menjaga harga dirinya.
I ntegrasi ajaran islam (syara) dengan nilai-nilai dan moral sosial budaya yang
telah eksis dan menjadi pandangan dunia masyarakat Mandar yang dikenal dengan
adat, maka pranata budaya sebagai wahana aktualisasi nilai-nilai sosial- budaya
tersebut mendapatkan pengayaan dengan keberadaan lembaga syara, dengan tidak
merubah cetak biru institusi-institusi sosial-budaya yang ada, dan kepatuhan orang
Mandar pada syara hampir sejajar dengan kepatuhan mereka kepada adat sepanjang
keduanya tidak bertentangan. Islam mengisi dan menambah, bahkan
menyempurnakan kearifan-kearifan yang sebelumnya dianut masyarakat. Dalam
Islam telah diajarkan bersikap sopan dan saling menghargai satu sama lain. Hal ini
telah dijelaskan dalam firman Allah, Qur‟an Surah Al- israa‟/17 a:37 di atas:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-sekali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung”.14
13
Baharuddin Lopa, Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan. (Bandung : Penerbit
Alumni, 1982), 99, Diakses 30 Juni 2020.
14
Kementrian Agama RI, Syaamil Qur’anHijaz Terjemahan Per Kata, 285.
Selain itu pacce atau pesse merupakan suatu perasaan hati yang menyayat pilu
terlebih apabila sesama warga masyarakat, keluarga, atau sahabat yang ditimpa
kemalangan, yang menimbulkan suatu dorongan ke arah solidaritas dalam berbagai
bentuk terhadap mereka yang ditimpa kemalangan (Hamid, et al., 2007).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Daftar Pustaka