Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH

DEMOKRASI DAN BUDAYA POLITIK SULAWESI SELATAN DAN BARAT

KERAJAAN BALANIPA MANDAR

Disusun Oleh:

NABILAH NUR

(F052231004)

PROGRAM STUDI MAGISTER SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
Daftar isis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Studi tentang Mandar masih sangat terbatas dibandingkan dengan Makassar dan
Bugis. Bahkan Mandar kadang dimasukkan sebagai bagian dari Makassar atau Bugis.
Padahal, sejarah asal-usul dan identitas budaya mereka berbeda. Dalam sumber lokal
Mandar disebutkan bahwa leluhur orang Mandar menyebar dari Hulu Saddang
(Toraja) ke Makassar, Luwu, dan Bone. Hal itu menunjukkan bahwa mereka
mempunyai sudut pandang sendiri mengenai asal-usul dan identitas serta hubungan
dengan Makassar, Luwu, dan Bone. Identitas Mandar menguat setelah terbentuk
Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004. Apabila sejarah adalah satu album
keluarga, setiap anggotanya berhak ditampilkan dalam album tersebut. Namun, dalam
konteks ini, Mandar sebagai salah satu anggota keluarga belum tampak secara utuh
dalam album sejarah Indonesia. Bahkan, Mandar cenderung dalam bayang-bayang
Makassar dan Bugis. Implikasinya, meminjam konsep Susanto Zuhdi (2018), Mandar
terabaikan dalam sejarah Indonesia. Dalam tugas pada mata kuliah demokrasi dan
budaya politik di Sulawesi Selatan & Barat, penulis memilih mengungkit khususnya
di Kerajaan Balanipa di Mandar, hal ini terkait karena asal dari penulis makalah
adalah suku Mandar. Adapun Isi dari tulisan dalam makalah ini, merupakan
kumpulan dari tugas-tugas mata kuliah demokrasi dan budaya politik di sulawesi
selatan & barat khususnya di Mandar yang mencakup; Tomanurung Di Tanah
Mandar, Budaya Politik Di Mandar, Ekspansi Dan Persekutuan Antar Kerajaan Di
Mandar, Budaya Malu (Siri’) di Mandar, dan Perang Di Kerajaan Balanipa Mandar.

Di Tanah Mandar, berbagai aspek budaya dan politik telah memainkan peran
penting dalam pembentukan identitas dan sejarah wilayah ini. Tomanurung, sebuah
tradisi adat khas Mandar, adalah salah satu contohnya. Tomanurung merupakan
simbol budaya dan politik yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Mandar dan
telah mempengaruhi dinamika politik di wilayah tersebut. Selain itu, ekspansi dan
persekutuan antar kerajaan di Mandar juga merupakan elemen penting dalam
pemahaman sejarah Mandar. Kerajaan-kerajaan di Mandar sering kali menjalin
aliansi dan melakukan ekspansi wilayah untuk memperluas pengaruh politik dan
ekonomi mereka. Namun, di samping aspek positif dari budaya dan politik Mandar,
ada juga tantangan yang perlu dipahami, seperti konsep budaya malu (Siri’). Budaya
Malu adalah bagian penting dari etika sosial Mandar yang mendorong individu untuk
menjaga kehormatan dan martabat diri serta komunitas mereka. Tidak hanya itu,
wilayah Mandar juga mengalami sejarah konflik dan perang. Perang di Kerajaan
Balanipa Mandar, sebagai salah satu contoh, mencerminkan konflik internal dan
eksternal yang pernah terjadi dalam sejarah Mandar. Perang-perang ini memiliki
dampak signifikan pada perkembangan sosial, politik, dan budaya di Mandar.
Memahami dinamika budaya politik, ekspansi kerajaan, budaya malu, dan sejarah
perang di Mandar adalah penting untuk memahami latar belakang masalah yang
kompleks di wilayah ini dan dampaknya terhadap identitas dan perkembangan
masyarakat Mandar.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka diperoleh pokok permasalahan

menyangkut tentang Kerajaan Balanipa di Mandar, Untuk memperoleh pembahasan

secara detail, maka pokok permasalahan dijelaskan dalam beberapa permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana Tomanurung Di Tanah Mandar

2. Bagaimana Budaya Politik Di Mandar

3. Bagaimana Ekspansi Dan Persekutuan Antar Kerajaan Di Mandar

4. Bagaimana Budaya Malu (Siri’) di Mandar

5. dan Bagaimana Perang Di Kerajaan Balanipa Mandar.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TOMANURUNG DI TANAH MANDAR

Di jantung kepulauan Indonesia yang kaya akan budaya dan warisan


sejarahnya, terdapat sebuah kisah yang telah mengukir jejak mendalam dalam
perjalanan peradaban. Kisah ini berkisah tentang seorang Tomanurung yaitu seorang
tokoh bijak yang dianggap sebagai penyelamat, pembawa berkah, dan pemberi
kemakmuran bagi masyarakatnya.Tomanurung bukan sekadar seorang manusia biasa.
Menurut kepercayaan dan mitos lokal, dia adalah utusan dewa tertinggi, diutus dari
langit ke dunia, dengan misi suci membimbing, mendamaikan, dan memberikan
kehidupan yang lebih baik kepada masyarakatnya. Meskipun Tomanurung adalah
tokoh yang dikenal secara luas, cerita tentangnya dapat bervariasi dari satu komunitas
atau kelompok etnis ke kelompok etnis lain. Ini menciptakan keragaman dalam tradisi
lisan dan perayaan budaya yang terkait dengannya.

Dalam konteks budaya, khususnya Mandar di Sulawesi Barat, Indonesia,


manusia pertama sering disebut sebagai "Tomanurung." Istilah ini digunakan untuk
merujuk kepada sosok legendaris yang dianggap sebagai manusia pertama yang
muncul di daerah Mandar. Kisah Tomanurung adalah salah satu bagian penting dari
mitologi dan sejarah lisan suku Mandar. Tetapi, penting untuk dicatat bahwa kisah-
kisah tentang Tomanurung dapat beraneka dan bervariasi di setiap komunitas, dan
terkadang terdapat berbagai versi dari cerita ini. To Manurung sering kali dianggap
sebagai tokoh yang memiliki makna simbolis dalam budaya Mandar dan
dihubungkan dengan penciptaan dan asal usul masyarakat Mandar.

Seiring dengan meluasnya waktu, cerita tentang Tomanurung telah menjadi


bagian integral dari budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat di wilayah ini.
Kisahnya menggambarkan bagaimana sebuah tokoh legendaris dapat membentuk,
mempengaruhi, dan mengabadikan budaya serta sejarah sebuah bangsa. Jejak-jejak
Tomanurung dalam cerita yang memukau ini, menjelajahi pengaruhnya yang masih
hidup dalam masyarakat modern, dan memahami bagaimana sebuah legenda dapat
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya Indonesia yang kaya.
Tomanurung adalah tokoh yang memiliki signifikansi budaya dan sosial yang
mendalam bagi masyarakat Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Sejarah dan asal-
usul Tomanurung memiliki akar dalam legenda dan mitos lokal, yang mempengaruhi
pandangan, keyakinan, dan pola perilaku masyarakat di wilayah
Terdapat beberapa versi mengenai Tomanurung. Tomanurung sendiri
memiliki arti orang yang turun di suatu tempat tapi tidak di ketahui asal-usulnya
sehingga masyarakat menyebutnya orang yang turun dari kayangan atau turun dari
langit. Di dalam cerita Mandar, Tomanurung Mandar dikenal sebagai To Wisse di
Tallang atau orang yang lahir dari buih air laut atau biasa juga disebut To Kombong
di Bura’ atau sebutan lainnya yang terbuang dari perut ikan Hiu atau Tonisesse di
Tingalor. Konon katanya badannya begitu ringan sehingga air tak bergerak apalagi
terpercik air di injakannya oleh sebab itu ia diberi gelar orang yang muncul dari busa
air. Karena sewaktu terjun dari langit air yang ditempati jatuh mengeluarkan
gelembung, cepat dia terbenam kedalam air, lebih cepat lagi dia muncul persis
ditengah busa air, terus dia duduk di atas busa air itu dan busa itulah yang dijadikan
perahu menghanyutkan diri ke muara sungai sampai ke laut. Tak lama kemudian,
Penduduk menemukannya dan dibawa ke darat lalu di usung degan usungan emas
dan langsung diangkat menjadi raja di Mandar. Hal ini secara akal sehat manusia
mungkin sulit dipercayai namun inilah suatu kenyataan yang dipercayai secara turun-
temurun yang sulit untuk diperdebatkan bahkan sudah tertulis dalam Lontara’ orang-
orang Mandar.1
Versi lain menyebutkan bahwa nenek moyang orang Sulawesi Barat berasal
dari Ulu Saddang yaitu Pongkapadang. Setelah kedatangan Pongkapadang, datanglah
seorang leluhur dari Ulu Saddang ke daerah-daerah di pesisir, bernama To Mampu,
dia adalah leluhur sebagaian besar penduduk Rantebulawan. Sisa penduduk dari
lembah Mamasa, Rante Tengah berasal dari Pongkapadang, juga sebagaian dari
Tabulahan. Sebaliknya sebagaian dari yang disebut Tandalang, yaitu distrik-distrik
Pana, Ulu Salu, Manipi, Nosu, termasuk penduduk Kalumpang dan Binuang dari
asal-usul lain. Sebaliknya pula, kalau kita menanyakan hal ini kepada penduduk di
pesisir tentang asal-usul nenek moyang mereka, maka dia akan menyatakan dari
Pongkapadang, atau dari ulu Salu. Tetapi kalau ditanya apakah Pongkapadang adalah
cikal bakal penduduk dan raja, maka mereka pasti menjawab tidak tahu. 2 Dalam
sumber Lontara bahwa di Kalumpang, merupakan tempat pemukiman seorang wanita
beranama Lamber susu (buah dada panjang), anak dari seorang yang bernama
Pa’doran yang tinggal di Ulu Sa’dang, dan Lontara lain lagi menyatakan bahwa
seorang yang bernama Tobabine anak Pongka padang sebagai cikal bakal penduduk
Kerajaan Pitu Ulunna Salu (Tujuh hulu sungai) dan Pitu Babana Binanga (tujuh
muara sungai) pergi menetap di Kalumpang.3
1
Syahrir Kila, 2011, Integrasi Kerajaan Binuang. Makassar : Penerbit Dian Istana h. 20
2
W.J.Leyds, 1940, ibid., hlm. 18
3
Darmawan Mas’ud Rahman, 1988, Puang dan Daeng,Kajian Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa,
Mandar, Ujung Pandang : Disertasi Doktor pada Universitas Hasanuddin
Konsep tomanurung di wilayah Mandar terdapat beberapa versi seperti yang
disebutkan di atas, namun yang pasti bahwa keturunan mereka inilah yang merupakan
peletak dasar asanya suatu kerajaan yang berpemerintahan sentralistik. Segala sesuatu
permasalahan yang menyangkut kerajaan berada ditangan tomanurung.
Adapun penjelasan lain mengenai tomanurung dalam kata harfiahnya adalah
orang yang dianggap bijak yang diturunkan oleh dewa tertinggi di langit atau bisa
disebut Patotoe. kisah ini membaur ke dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, tomanurung dianggap sebagai sosok pembawa
berkah, pendamai, penyelamat, pemberi kemakmuran dan bahkan memiliki hal yang
berkaitan dengan penyelamatan kesejahteraan tanah dengan seluruh isinya atau biasa
disebut sebagai “cultur hero” (peletak Budaya) bagi masyarakat Sulawesi Barat dan
Sulawesi Selatan. (Darmawan Masud Buletin Arkeologi “Tomanurung” edisi perdana
1996/1997, Balai Arkeologi Ujung Pandang dalam Sabiruddin Sila 2006, Sejarah
Kebudayaan Majene Salabose Pusat Awal Kerajaan Banggae di Majene Kajian
Artefak di Atas Muka Tanah dan Sumber Tutur terbitan Dinas Pariwisata, Informasi
dan Komunikasi Kabupaten Majene)
Suku Mandar menganggap bahwa mereka masih mempunyai tali
persaudaraan dengan suku Toraja, Bugis, dan Gowa-Makassar. Ulu Saqdang,
sekarang ini termasuk dalam wilayah Kecamatan Saqdan Kabupaten Tana Toraja,
diyakini sebagai tempat asal mula hadirnya Tomanurung di Langi’ (Lontara I
Pattodioloang di Mandar, M. T. Azis Syah). Bahwa Manurung di Langiq yang
bernama Puang Tamboro Langiq bersama adik kandungnya bernama Karaeng
Kasumba datang dari daerah kaki bukit Kandora mendirikan istananya. Kedatangan
Puang Tambora Langiq di Toraja, diperkirakan sekitar abad XII dan XIII Masehi.
(Lantin, 1972. Sawerigading,sebuah versi lisan Bahasa Toraja berirama di Kandora,
Mengkendek, Tana Toraja dalam dalam Sila 2006). Tomanurung di Langiq kawin
dengan Tokombong di Bura melahirkan Tobanua Pong, sedangkan Tandinilo
Tobanua Pong adalah yang menurunkan Tomakaka yang mengalihkan kekuasaan
kepada Puang Tamboro Langiq. Peralihan ini dalam tradisi lokal terkenal dengan
sebutan pralihan dari “Aluk Sanda Pitunna (tradisi serba genap tujuh jumlahnya) ke
Aluq Sanda Saratuq (tradisi serba genap seratus jumlahnya) (Lantin, 1972).
Tomanurung di Langiq juga dikenal di Baras dari hasil perkawinannya dengan anak
Tomanurung di Baras. Maraqdia Baraslah yang menjadi neneknya Maraqdia Mamuju
yang bernama I Tanroaji Pue di Mamuju (M. T. Azis Syah, 1992:30. Demikian juga
paragraf berikutnya.).
Cerita di atas menggambarkan sejarah dan asal-usul Tomanurung, tokoh bijak
yang dianggap sebagai pemberi berkah dan pemimpin dalam kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tomanurung, menurut
legenda, dianggap sebagai "cultur hero" atau peletak dasar budaya bagi masyarakat
setempat. Kehadirannya di daerah Ulu Saqdang, khususnya dalam wilayah
Kecamatan Saqdan Kabupaten Tana Toraja, diyakini sebagai tempat asalnya. Pada
awalnya, Tomanurung di Langiq datang ke Toraja bersama Puang Tamboro Langiq
dan adik kandungnya, Karaeng Kasumba, sekitar abad XII dan XIII Masehi.
Tomanurung kemudian menikahi Tokombong di Bura dan melahirkan Tobanua Pong.
Tobanua Pong, pada gilirannya, memiliki lima anak yang menyebar ke berbagai
daerah, termasuk Lando Beluaq, Lando Guttu, Laso Kepang, Usu Sabambang, dan
Paqdorang.
Dari keturunan Paqdorang, terjadi perpindahan kepemimpinan dan pengaruh
di berbagai kelompok masyarakat di Ulu Salu dan Baqba Binanga. Salah satu
keturunan Paqdorang, I Bongka Padang, menikahi Sanrabone di Buttu Bulo, yang
melahirkan I Belo Ratte. I Belo Ratte kemudian memiliki keturunan yang menjadi
pemimpin di berbagai tempat, seperti Daeng Tumanang, Lamber Susu, Daeng
Manganna, I Sambalima, Pullao, Tandiri, Daeng Palulung, Todipikun, Tawulattu,
Topani Bulu, dan Topali. Topali, salah satu keturunan I Bongka Padang, memiliki
sebelas anak, salah satunya adalah I Tabittoeng, yang kemudian melahirkan Taurra-
urra. Taurra-urra menikah dengan keturunan Tomakaka di Lemo dan melahirkan
Weapas, yang kemudian menikahi Puang di Gandang dan melahirkan I
Manyambungi, yang disebut sebagai Todilaling dan Maraqdia Balanipa pertama.

Adapun Tomanurung menurut versi dari masyarakat Kerajaan Banggae dan


pamboang yang mengisahkan memiliki tujuh kelompok masyarakat yang bermukim
di atas pegunungan. Wilayah ini terdiri atas enam kelompk masyarakat, yaitu 1)
Totoli, 2) Lambe Allu, 3) Naung Indu, 4) Salogang, 5) Mamasa, 6) Lambe Susu. 4
Kelompok masyarakat tersebut masing-masing dipimpin oleh seorang yang diberi
gelar tumatua. Dalam kisahnya yang panjang, kelompok tersebut sering dilanda
permasalahan di antara mereka sendiri sehingga terjadinya kacau balau atau dalam
mandar disebutkan “Sewa wattu assipate-pateinna pa’banua”. Melihat kondisi yang
terjadi salah satu tumatua berinisiatif mengundang para tumatua untuk berunding
mencari jalan keluar karena merasa iba dengan kekacauan yang terjadi dan para
tumatua setelah berunding telah menyetujui bahwa dicarinya seorang figur pemimpin
yang bisa mengayomi mereka semua. Dalam kekacauan tersebut, terdengar kabar
bahwa di suatu tempat ada seorang wanita yang turun dari kayangan dan telah
diperisterikan oleh seorang pemuda bernama Pattori Bunga. Keenam orang pemimpin
4
Ahmad, 1999, Sistem Perkawinan Adat Mandar di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Majene
: Laporan Penelitian Dikbud Kecamatan Banggae, hlm. 9-10.
kelompok mendatangi mereka (maksudnya tomanurung) untuk meminta bantuan
tentang apa yang harus dilakukan agar kehidupan mereka bisa rukun dan damai.
Orang yang dianggap tomanurung itu lalu memberikan nasehat kepada para tetua
kelompok itu :

- Saling menghargailah antara sesama kamu atau sipattau


- Janganlah saling mencampuri urusan masing-masing atau posei soeimu,
kuposei soeku.
- Saling menuntunlah ke jalan kebaikan dan saling mencegahlah ke jalan
keburukan atau suitaiyang acoang tassitaiyang addeang.

Pesan-pesan yang diberikan tomanurung itu mengambil perhatian para tetua karena
masuk diakal pera tetua sehingga kemudian mereka sepakat untuk menjadikan orang
itu sebagai pemimpin mereka. Suami isteri inilah yang pada awalnya memerintah
kelompok masyarakat itu. Tidak diketahui berapa lama mereka memerintah, tetapi
yang pasti bahwa mereka ini kemudian melahirkan tujuh orang anak dan menjadi
tomakaka di masing-masing wilayah tersebut. Berakhirnya pemerintahan tomakaka
ini ditandai dengan hadirnya seseorang yang tidak diketahui darimana asal-usulnya
sehingga orang menyebutnya topole-pole (orang pendatang). Setelah lama tinggal
wilayah ini barulah diketahui bahwa beliau ini cucu dari Tokombong di bura’ yang
bernama Pongkapadang yang kemudian menetap di Salabose bersama anak isterinya
yang bernama Merrupa Bulawang. Tople-pole kemudian memperisterikan Merrupa
Bulawang dan melahirkan anak yang bernama Daengta di Poralle 5. Selama Tople-
pole bermukim di Poralle, beliau berhasil mempersatukan kelompok masyarakat
kedalam kepemimpinannya. Dari hasil perkwinannya dengan Tomerrupa , maka
lahitlah anak yang bernama I Salabose Daeng Poralle dan I BanggaE. Daetta di
Poralle yang pergi kawin dengan anak Todilaling. Dia melahirkan empat orang anak.
Yang sulung jadi raja di Tande, dialah yang mewarisi Tande. Berikut anaknya ialah
Daetta Nigayang. Anak berikutnya lagi ialah Baliabaru, dialah yang kawin dengan
bangsawan dari Tubo. Anaknya yang keempat ialah Daetta Melantoq, dialah yang
pergi kawin ke Totoli, pada adiknya Ipuang Ditalise. Ibu – bapak dari Tomakakadi
Talise ialah Tomakaka di Lambeq Tuqduq. Tomakaka di Totoli anak dari raja di
Para. Waktu itu, dia kalah perang, maka pergilah ia meninggalkan daerahnya dan
tibalah ia di Totoli dan dialah yang melahirkan I Puang di Talise. Adik dari I Puang
di Taliselah yang diperisterikan Daetta Melantoq, lahirlah seorang anak yang
bernama Daetta di Masigi. Daetta di Masigi kawin pula dengan sepupu sekalinya dan
lahirlah anak Tomatindo di Panuttungang, dialah yang dipusakai oleh orang Totoli.
5
A.M.Mandra, dkk, 1985-1986, op.cit., hlm.182
Dari hasil pusaka orang Totoli, dialah yang jadi To Padang, lahir lagi Tomatindo di
Rusung-Rusung. Kemudian lahir lagi Tomatindo di Barobboq, kemudian lahir lagi
yang melahirkan Tomatindo di Sallomboq, kemudian lahir lagi ibu Toniboseang).

Lontaraq di atas memberitakan, bahwa dua orang cucu I Bongkopadang yang


bertempat tinggal di Mambuliling Mamasa, yakni seorang laki-laki bersama istrinya
dan seorang perempuan tiba di Salabose, kemudian yang laki-laki menjadi Tomakaka
(Tomakaka Nipokaka) di Poralle. Kehadiran rumpun Tomanurung di Langiq ke
berbagai tempat di sekitar pantai di Sulawesi Barat, kemudian menjadi pemimpin
pada masyarakat setempat yang selanjutnya menjadi cikal bakal terbentuknya
kerajaan-kerajaan di wilayah pantai terutama di daerah Mandar.6

2.2 BUDAYA POLITIK DI MANDAR

Awal mula munculnya budaya politik di Mandar khusunya di kerajaan


Balanipa diawali dari kepemimpinan Tomakaka-tomakaka yang ada di mandar.
Tomakaka yang dianggap sebagai orang yang dituakan memiliki kelebihan dan
kearifan yang dapat dijadikan sebagai teladan serta pelindung dan mengayomi
masyarakat. Namun dalam perkembangannya ternyata tidak melakukan tugas
semestinya ia membuat keributan dengan berlomba-lomba menjadi penguasa
diantara tomakaka lainnya. Dari kejadian inilah, mendorong sejumlah Tomakaka,
seperti Tomakaka Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang untuk
mempersatukan diri dalam suatu ikatan persekutuan yang dikenal Appe Banua
Kaiyang (empat negeri besar).

Dalam perkembangannya, empat tomakaka menyetujui untuk mencari sosok


pemimpin yang dapat menyelesaikan kekacauan yang telah terjadi di mandar.
Dalam proses pencarian pemimpin tersebut maka terpilihlah I Manyambungi
untuk dijadikan sebagai pemimpin bagi tomakaka dan masyarakat setempat.
Karena I Manyambungi ini menghabiskan sebagian besar karier politiknya di
Kerajaan Gowa , oleh sebab itu mereka juga harus menjalin hubungan dengan
kerajaan tersebut, suatu kerajaan yang telah membangun hegemoni kekuasaan
dijazirah selatan Sulawesi sejak awal abad ke- 16. Maka diutuslah perwakilan dari
mandar untuk menjemput I Manyambungi kembali ke negerinya, Napo. I
Manyambungi merupakan seorang panglima perang yang sangat disegani oleh
kawan dan ditakuti oleh lawan. Kepulangan I Manyambungi ke negeri asalnya
disambut baik oleh Raja Gowa pada saat itu, bahkan Raja Gowa memberikan
6
Muhammad Ridwan Alimuddin. “Sekilas Sejarah Banggae (1): Nenek Moyang Orang Banggae”
http://ridwanmandar.blogspot.com/ (6 dec 2017)
berupa benda-benda pusaka sebagai bentuk penghargaan juga sebagai bentuk
keakraban antara Mandar dan Gowa. Pada waktu kembalinya I Manyambungi ke
mandar, benar ia dapat menyelesaikan kekacauan yang terjadi dan berhasil
mengalahkan tomaka-tomaka yang bertindak sewenang-wenang. Atas
pencapaiannya itulah I Manyambungi diangkat sebagai mara’dia atau raja
pertama sebagai pemimpin Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar) dan sebagai
pemegang kendala dalam sistem pemerintahan.

Sejak saat itulah merupakan awal munculnya budaya politik lokal di


Mandar khususnya Kerajaan Balanipa yang berpusat di Napo. I Manyambungi
melakukan pembenahan wilayah dengan membuat peraturan dalam berbagai
bidang, terutama pada persyaratan pengangkatan seorang mara'dia atau seorang
raja setelah pemberhentiannya. Aturan-aturan itulah yang kemudian menjadi
pola acuan yang berkelanjutan pada sistem kerajaan hingga berganti perubahan
nama dari tomakaka menjadi pepuangan atau bisa kita artikan sebagai orang-
oramg yang biasanya di panggil puang untuk masyarakat mandar sebagai
penguasa Appe Banua Kaiyang. Selain menjadi pepuangan ia juga menjadi bagian
anggota Ada’ Kaiyang (adat besar) yang berwenang dalam proses pemilihan,
pengangkatan serta pemberhentian seorang mara’dia di mandar Khususnya kerajaan
Balanipa.

I Manyambungi juga menerapkan sistem kontrak politik di dalam


kepemimpinannya yaitu ikrar dan assitalliang (perjanjian) bersama antara rakyat dan
mara’dia . Perjanjian tersebut berisikan tentang apa-apa saja yang dapat dilakukan
dan tidak dilakukan oleh rakyat dan mara’dia, baik hak maupun kewajiban mara’dia
terhadap rakyatnya. Sebaliknya, ikrar dan assitalliang dipergunakan dalam pelantikan
mara’dia berikutnya dengan cara pembacaan ikrar dan perjanjian yang diucapkan
sebagai persyaratan mutlak yang tidak dapat di tawar adanya. Dasar ikrar memiliki
makna yang dalam, berisi sifat-sifat dasar dari seseorang yang pantas dijadikan
panutan dan pedoman. Sifat itu akan menjadi pertimbangan dasar agar seseorang raja
atau mara’dia yang memerintah tidak akan diberhentikan oleh ada’ atas nama rakyat.
Ikrar dan perjanjian ini jika disamakan pada zaman sekarang merupakan sumpah
jabatan ketika seseorang akan dilantik menduduki suatu jabatan. Tapi bukan hanya
itu saja sebagai tolak ukur perangkat adat untuk mempertegas seorang mara’dia
dalam melaksanakan tugasnya, lingkungan hidup juga ikut berperan sebagai tolak
ukur yang mengendalikan lembaga ada’ dalam pemberhentian seorang mara’dia dari
hegemoninya. Dalam menilai keberhasilan seorang mara’dia di dalam
mengendalikan kepemimpinannya, kemakmuran rakyat juga kelestarian dan suburnya
lingkungan hidup menjadi standar dalam penilaian. Hal ini dikaitkan agar
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, termasuk
kelestarian dan terpeliharanya lingkungan hidup. Agar semua itu tercapai, seorang
mara’dia bersama seluruh perangkatnya harus berlaku jujur, adil, tidak materialisme,
pengayom serta menjadi suri tauladan dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Dalam perkembangannya, seorang calon mara’dia harus berasal dari


kelompok sosial yang paling tinggi. Todiang Laiyanna merupakan golongan tertinggi
dan memliki starata sosial dan ekonomi yang tinggi dan biasa juga disebut dengan
istilah mandar sebagai ana’ pattola payung (semua anak bangsawan), orang-orang
yang berhak menduduki jabatan mara’dia. Namun kecil kemungkinan bukan hanya
untuk kalangan Toding Laiyanna saja yang dapat diangkat menjadi raja (mara’di)
karena persyaratan seorang calon mara’dia harus memiliki integritas, berakhlak dan
beriman, baik tutur katanya, baik tindak tanduknya, tidak kasar, menyayangi rakyat,
sehat jasmani dan rohani serta berwawasan luas. Persyaratan tersebut diambil dari
pesan yang diucapkan I Imanyambungi sebelum wafat dan itu menjadi suatu
ketentuan bagi-calon-calon mara’dia di lita’ (tanah) mandar.

“Madondong duambongi anna matea, mau ana'u mau appo'u

muannai menjari ma'dia mua' tania tonamaassayanni lita'na

tomaossayanni pa'banua. Da muannai dai di pe'uluang, mua

mesuani pulu-pulunna, mua mato'dori kedona, apa iyamo

tu'u namarurppu-ruppu lita”

dalam bahasa Indonesia:

(Besok lusa manakala saya mangkat, walaupun anak saya dan cucu saya, janganlah
hendaknya diangkat menjadi raja kalau bukan dia orang yang cinta kepada tanah air
dan rakyat kecil. Jangan pula diangkat menjadi calon raja bila mempunyai tutur sapa
yang kasar, berbuat, bertindak kasar dan kaku pula, sebab orang seperti itulah yang
akan menghancurkan negeri)

Lembaga Sappulo sokko ada’ bertugas membantu mara’dia dalam mengurus


pemerintahan serta sebagai pembuat aturan atau undang-undang juga memimpin
wilayah pada daerahnya masing-masing yang meiliki lembaga adat tersendiri. Pada
pemerintahan I Manyambungi lembaga ini beranggotakan tiga namun pada
pemerintahan mara’dia Balanipa kedua lembaga ini beranggotakan menjadi sepuluh
sehingga disebut dengan Sappulo sokko ada’. Sepuluh anggota adat inilah yang
bertahan dari masa-ke masa hingga statusnya sebagai kerajaan dihapuskan. Dalam
sistem budaya politik lokal di kerajaan Balanipa, masyarakat dapat menyampaikan
persoalan-persoalan melalui pemangku adatnya sendiri yang disebut (ada’ keccu) lalu
diserahkan kepada pemimpin untuk penyelesaian persoaalannya. Jika hal itu harus
diselesaikan ditingkat pusat maka di serahkan kepada lembaga sappulo sokko ada’
untuk kemudian dibahas dan diselesaikan, lalu hasilnya diserahkan kepada mara’dia
kemudian mara’dia menyerahkan kembali hasil pembahasan itu kepada sappulo
sokko ada’ untuk seterusnya disampaikan kepada masyarakat untuk diterapkan
pelaksanaannya. Gambaran ini menjelaskan tentang asas demokrasi yang dianut
kerajaan Balanipa bahwa kekuasaan mara’dia dibatasi oleh lembaga adat.

2.3 EKSPANSI DAN PERSEKUTUAN ANTAR KERAJAAN DI MANDAR

Sejarah ekspansi dan persatuan antar kerajaan di Mandar, seperti banyak


daerah di Indonesia, melibatkan sejumlah peristiwa dan proses yang berlangsung
selama berabad-abad. Awal Proses pembentukan Mandar di awali seorang
Tomanurung yang menurut sumber lokal Mandar yang dikenal sebagai orang yang
turun dari langit di hulu Saddang Toraja. Kisah ini berkisah tentang seorang
Tomanurung yaitu seorang tokoh bijak yang dianggap sebagai penyelamat, pembawa
berkah, dan pemberi kemakmuran bagi masyarakatnya. Setelah Tomakaka yang
dianggap sebagai orang yang dituakan memiliki kelebihan dan kearifan yang dapat
dijadikan sebagai teladan serta pelindung dan mengayomi masyarakat tidak
melakukan tugas semestinya, Tomakaka tersebut membuat keributan dengan
berlomba-lomba menjadi penguasa diantara tomakaka lainnya. Dari kejadian
inilah, mendorong sejumlah Tomakaka, seperti Tomakaka Napo, Samasundu, Mosso,
dan Todang-todang untuk mempersatukan diri dalam suatu ikatan persekutuan yang
dikenal Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar). Terbentuknya persekutuan ini
bertujuan untuk menghadapi ancaman dari tomakaka yang agresif ingin menguasai
tomakaka lain, seperti tomakaka Passokkorang, tomakaka Lenggo, tomakaka
Lempong dan tomakaka Tande7. Untuk mencari sosok pemimpin yang akan
memimpin para Tomaka-tomakaka tersebut. Usaha pencarian itu akhirnya tertuju
kepada Imanyambungi karena dianggap mampu dan cakap untuk menjadi pemimpin
berdasarkan pengalamannya di Kerajan Gowa menjadi panglima perang yang sangat

7
Muhammad Amir, “Gerakan Mara’dia Tokape di Mandar 1870-1873” (Makassar: De La
Macca, 2014), h. 27
ditakuti musuh-musuh8. Untuk perluasan wilayah di Mandar dilanjutkan oleh
Tomepayung yang merupakan raja kedua, setelah menggantikan ayahnya Todilaling
setelah wafat. Perluasan wilayah terus dilakukan oleh Tomepayung. Cara
Tomepayung memperluas wilayahnya dilakukan dengan menaklukkan musuhnya
sehingga wilayah taklukkannya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa
(mandar). Hal ini dibuktikan ketika Kerajaan Passokkorang ditaklukkan maka
wilayahnya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa. Selain penaklukkan,
perluasan wilayah Kerajaan Balanipa dilakukan dengan jalan damai. Seperti melalui
perjanjian persahabatan atau persaudaraan yang dilakukan dengan Kerajaan Allu dan
Taramanu sehinggga kedua Kerajaan ini menyatu menjadi wilayah Kerajaan
Balanipa. Juga Kerajaan yang suka rela menggabungkan wilayahnya kedalam
Kerajaan Balanipa, salah satunya adalah Kerajaan Tu’bi. Kerajaan ini kemudian
menjadi daerah otonom dalam wilayah Kerajaan Balanipa. Pada masa kepemimpinan
Kerajaan Balanipa mencetuskan pertemuan kerajaan-kerajaan yang ada di pesisir
sehingga terbentuklah persekutuan pitu ba’bana binanga yang menggabungkan tujuh
Kerajaan yang ada di muara sungai menjadi satu kesatuan dibawah pimpinan
Kerajaan Balanipa. Pertemuan itu diselenggarakan di Tammajarra (Napo-Balanipa)
yang menghasilkan perjanjian assitalliang Tammajarra I dan diperbaharuai pada
perjanjian assitalliang Tammajarra II9.

Setelah terbentuknya persekutuan Pitu Babana Binanga, maka tugas dari


masing-masing anggota persekutuan dapat diuraikan berikut ini: (1) Balanipa sebagai
ayah Pitu Babana Binanga, (2) Sendana sebagai ibu Pitu Babana Binanga, (3)
Banggae sebagai anak laki-laki Pitu Babana Binanga, (4) Pamboang sebagai anak
perempuan Pitu Babana Binanga, (5) Tappalang sebagai anak perempuan Pitu Babana
Binanga, (6) Mamuju sebagai anak laki-laki Pitu Babana Binanga, dan (7) Binuang
sebagai sebagai anak bungsunya Pitu Babana Binanga (Muthalib, 1985: 25).
Pembagian tugas anggota dalam persekutuan itu didasarkan atas kematangan dan
kekuatan yang dimiliki oleh setiap kerajaan yang bergabung dalam persekutuan.
Balanipa diangkat sebagai ayah, karena dianggap sebagai kerajaan paling tangguh

8
Muhammad Amir, Assitalliang Tammajarra Di Mandar Abad Ke-16. Indonesia
Platform Kebudayaan, 02 Januari 2018.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/assitalliang-tammajarra-di-mandar-abad-ke-
16-oleh-muhammad-amir/. (18-09-2023)

9
Nur Iqmal, “Kerajaan Balanipa Pada Abad XVI-XVII M” Jurnal Rihlah Vol. IV No.1 (2016). h.
148
dan besar di daerah pesisir pantai Mandar. Kemudian Sendana diangkat sebagai ibu,
karena itu dianggap sebagai kerajaan yang paling senior di antara anggota-anggota
Pitu Babana Binanga. Sebelumnya, Sendana merupakan pimpinan persekutuan Bocco
Tallu (Sendana, Alu dan Taramanu) yang berdiri sebelum runtuhnya Passokkorang.
Sendana sebagai ibu dari persekutuan Pitu Babana Binanga berarti wakil dan
bersama-sama Balanipa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh
persekutuan, seperti yang disebutkan dalam lontarak sebagai berikut:

“Kalau penduduk negeri atau rakyat yang berselisih


paham,hadapkanlah ke Sendana sebagai ibu. Kalau ia tidak mau, maka
hadapkanlah ke Balanipa sebagai ayah kerajaan, karena apabila sudah berada
di Balanipa pasti dapat diperbaiki. Begitu pula halnya babana binanga,
bawalah lebih dahulu ke Sendana sebagai ibu kerajaan. Bila tidak padam,
maka hadapkanlah ke Balanipa, karena kalau sudah berada di Balanipa,
pastilah akan dapat dipadamkan” (Lontarak Pattodioloang, tt: 24).

Dalam perkembangan selanjutnya Kerajaan Balanipa juga menggagas


pertemuan antara Kerajaan-kerajaan yang ada di muara sungai (pitu ba’bana
binanga) dengan Kerajaan-kerajaan yang ada di hulu sungai (pitu ulunna salu).
Dalam pertemuan antara kedua persekutuan itu, masing-masing dipimpin oleh
mara’dia Balanipa yaitu Tomepayung dengan Tomampu atau Londong Dahata dari
Rantebulahan yang melahirkan sebuah ikrar kesepakatan yang kemudian dikenal
allamungan batu di Luyo (menanam batu di Luyo). Perjanjian tersebut bersifat
kesepakatan dalam bidang pertahanan dan keamanan persekutuan mereka.
Tujuan perjanjian allamungan batu di Luyo adalah untuk menciptakan stabilitas
yang mantap dalam menjalankan pemerintahan yang aman dan tertib dalam
lingkungannya masing-masing. Sebelum perjajian allamungan batu di Luyo ini,
ketegangan terus terjadi antara dua kelompok ini, yang diakibatkan oleh perbedaan
pandangan dari konsep norma yang diyakini masing-masing kelompok. Pitu ulunna
salu yang memegang ada’ tuo (hokum hidup) sedangkan pitu ba’bana binanga
memegang konsep ada’ mate (hukum mati). Hal inilah yang menjadi dasar
ketegangan yang terjadi antara kedua kelmpok ini. Apalagi ketika Kerajaan
Passokkorang dikalahkan oleh Kerajaan Balanipa, sebagian besar pasukan dari
Kerajaan Passokkorang melarikan diri ke daerah pitu ulunna salu, dan Kerajaan
yang ada di pitu uluna salu memberikan prlindungan kepada mereka.

Awal hubungan kekerabatan Mandar dengan Makassar terjalin dengan adanya


pelayaran dan perdagangan. Hubungan tersebut berkembang tidak hanya dalam
bidang pertukaran barang, tetapi juga ikatan kekerabatan antara kedua belah pihak
melalui perkawinan. Pada akhir abad XV seorang putri Mandar bernama I Rerasi tiba
di bandar Tallo. I Rerasi adalah putri bangsawan mandar yang ikut dengan para
pedagang kapur dari Palenggu (Turatea) saat mereka berdagang di Mandar. Ketika
tiba di Tallo, I Rerasi diambil dan dipelihara oleh raja karena merasa memiliki ikatan
persaudaraan yang terjalin dari ikatan pernikahan Tomanung dan Tokombong di bura’
yang menghasilkan empat anak. Salah satu anaknya bernama I lando Guttu yang
berada di mandar, sedangkan I Lando Belua berada di Gowa . Setelah I Rerasi
tumbuh dewasa ia dinikahi oleh Raja Gowa VI Batara Gowa (1460). Dari perkawinan
ini lahir Karaeng Tumaparrisik Kallonna dan Karaeng Makeboka (Patunru
1983, 10, 153; Wolhoff and Abdurrahim 1956, 15). Perluasan orientasi Gowa pada
perdagangan maritim, menurut Poelinggomang (2012, 84–85), tak lepas dari
pengaruh Mandar. Pada diri Tumaparrisik Kallonna mengalir darah keluarga
pedagang dari ibunya. Oleh karena itu, ketika Melaka ditaklukan Portugis pada 1511,
yang memaksa para pedagang muslim Melayu meninggalkan negerinya untuk
mencari pelabuhan lain, dia segera membuka pelabuhan baru Somba Opu dan
mengintegrasikan pelabuhan lama Tallo di bawah kekuasaannya. Pada masa ini
datang seorang bangsawan Napo, putra Puang di Gandang dari isterinya I Weapas
(putri Tobittoeng), bernama I Manyambungi. (Saharuddin 1985, 43; Yasil 1984, 205).

Hubungan Mandar dengan Makassar membawanya dalam arus perubahan


kekuasaan. Sebelum perang Makassar, Mandar mengalami kemajuan pesat sebagai
collecting centre bagi pelabuhan Makassar dan merupakan sekutu setia Makassar.
Pada saat yang sama Mandar menjadi seteru Belanda, Bone, dan sekutunya. Reputasi
pasukan Mandar, di antara pasukan gabungan Makassar, sangat dipuji oleh panglima
pasukan Belanda, Cornelis J. Speelman. Oleh karena itu, lewat Arung Palakka,
Belanda berupaya mempengaruhi Mandar agar menjadi sekutunya, namun tidak
berhasil. Mandar tetap mendukung Makassar dalam perang tersebut. Akhirnya,
karena sekutunya kalah perang, Mandar menjadi sasaran serangan Belanda. Tujuh
tahun setelah perang tersebut, barulah Mandar mengakui kekuasaan Belanda dan
tujuh tahun berikutnya menjadi sekerabat dengan Bone.

Hubungan antara Mandar dan Bone dipererat kembali melalui perkawinan.


Putri Raja Bone La Patau menikah dengan Raja Balanipa (Daeng Manguju
Tomatindo di Lanrisang) sehingga melahirkan Besse Sompung. Putri mereka
kemudian menjadi permaisuri Raja Balanipa (Tomappelei Pattujunna). Setelah
isterinya wafat, Pattujunna menikah lagi dengan putri Arung Batupute (cucu
Tomarilalang Bone) sehingga lahirlah I Sae Battupute, kelak menikah dengan
Raja Balanipa Tomattole Ganranna (Saharuddin 1985, 51–52). Cara ini dipandang
efektif untuk mengurangi efek dendam pascaperang Makassar antara Mandar dan
Bone10.

2.4 BUDAYA MALU (SIRI’) DI MANDAR

Di Masyarakat Mandar, Malu (siri') merupakan aspek kedua yang sangat


penting setelah agama. Agama dan budaya siri' saling terkait dan memengaruhi
perilaku masyarakat Mandar dalam berbagai situasi. Budaya siri' juga memiliki
dampak positif dalam pendidikan, terutama dalam pengembangan aspek-aspek
mental, moral, dan perilaku. Meskipun begitu, ada beberapa situasi tertentu di mana
budaya siri' mungkin tidak selalu berlaku.Sudah terlalu banyak kali kita melihat siri'
diekspresikan dengan cara yang tidak rasional, bahkan melanggar prinsip-prinsip
agama. Yang seharusnya terjadi adalah budaya siri' harus selalu diselaraskan dengan
syariat agama, bukan sebaliknya; agama tidak boleh diubah-ubah demi budaya siri'.

Mitawe’ dalam konsep mandar adalah akhlaq seseorang atau kepribadian


seseorang yang bisa dilihat dengan perilakunya terhadap orang lain. Siri’ dan mitawe’
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai kearifan lokal di Mandar.
Mitawe‟ berarti saling menghargai, menjaga silaturahmi antara satu dengan yang
lain, sedangkan siri’ atau lokko merupakan pranata pertahanan harga diri
kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi
dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya
ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktural dalam
kebudayaan. Siri’ adalah keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat
untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial. Inilah salah satu
konsep etika dalam budaya Mandar yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat
Kalukunangka, dan juga merupakan pertahanan harga diri (sipa’mandar‟).

Aspek kehidupan masyarakat dengan nilai-nilai kesusilaan dengan tujuan


utama menjunjung tinggi martabat dan fitrah kemanusiaan bermetamorfosis secara
kultural menjadi nilai budaya siri’ dan lokko sebagai nilai inti kemanusiaan dalam
Islam, di mana menurut Mattulada, siri’ yang maknanya rahasia kejadian atau (jamak
asrar) yang dalam istilah tasawuf berarti kebahagiaan hati manusia yang paling
dalam.

Budaya malu (siri’) sebagai etika sosio-religius dapat ditelusuri


pemaknaannya sesuai dengan paradigma dan orientasi kalangan yang berusaha
10
Abd. Rahman Hamid, “Kebangkitan MandarAbad XVI-XVII”, Pangadereng: Jurnal Hasil
Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 8 No. 1, Juni 2022: 189—209
membuat artikulasi makna, walaupun tampak memiliki perbedaan. Namun, subtansi
dan cakupan pemaknaan tersebut dapat merepresentasikan makna yang inheren dalam
konsep siri’, dan lokko. Pada hakikatnya konsep siri’ dalam domain kultural Mandar
menjadi basis pijakan etika sosio-religius dalam semua ini dan aktivitas kehidupan
yang digeluti masyarakat.

Sebagian ilmuan mendefinisikan konsep siri’ yang menjadi acuan etika di


Mandar, Bugis dan Makassar, diantaranya sebagaimana dikutip Muhammad Rais,
adalah B.F Mathes yang memaknai siri’ sebagai beschaaamd (sangat malu),
schroomvalling (dengan malu), verlegen (malu sebagai kata sifat atau kata mengenai
keadaan), schaamte (perasaan malu setelah menyesali diri), eergevoel(perasaan harga
diri), schande (noda dan aib) dan wangunst (dengki).11

disanga tau, kedo mapiaditia disanga tau anna gau mapia ditia disanga tau, io
nasammo tuq u to mappunnaisiri dialawena (hakekat kemanusiaan seseorang
dicirikan oleh ucapannya, akhlaknya, dan perilaku baiknya yang lain, keseluruhan
karakteristik tersebut hanya dimiliki pada individu yang memelihara rasa malu dan
martabat dirinya). Konsep siri‟ juga sangat kuat pada etnis Makassar dan salah
satu klausulnya ditemukan dalam pangngadderreng, di antaranya:Siri’ga rodo siriku
puang tongeng-tongengta,ungkapaan bijak ini dimaknai B.F Mathes sebagai : ik
schaam mij bovenmate voor God (siri’ apapulakah yang namanya, siri’ aku kepada
Allah).12

Berkaitan dari penjelasan di atas, siri’ merupakan perilaku yang berkaitan


dengan adat kesopanan yang dimiliki oleh setiap orang dan sebagian orang Mandar
menjunjung tinggi, baik sikap siri’ dalam bertingkah atau berinteraksi dalam sosial,
siri’ dalam cara berpakaian, dan siri’ dalam tindakan berperilaku. Bagi orang Mandar
ketika seseorang dipermalukan, atau diremehkan harga dirinya maka seseorang
tersebut akan mempertaruhkan nyawanya demi menjaga nama baiknya karena ini
bentuk penghinaan bagi orang lain, adapun istilah siri’dipomate yaitu siri’ yang dapat
mengakibatkan pengorbanan jiwa yang pada umumnya menyangkut masalah susila,
harga diri dan kehormatan pribadi. Siri’diposiri yaitu siri’ yang dapat menimbulkan

11
Muhammad Rais “Etika Bisnis Wirausaha Majene-Mandar”.Makasssar:
UniversitasHasanuddin, 2008),241.

12
Laica Marzuki, siri: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar, Sebuah Telaah
Filsafat Hukum (ujung pandang: universitas hasanuddin press, 1995), 245, Diakses 31 Juni 2020
perasaan yang mengandung aib, misalnya mencuri, korupsi dan lain-lain. Siri’-siri’,
yaitu dengan pengertian biasa yang tingkatannya siri paling kecil seperti merasa
malu karena memakai baju tua (robek dan sebagainya)13. Inilah beberapa tingkatan
perilaku siri’ yang masih dipertahankan orang Mandar dengan menjaga harga dirinya.

I ntegrasi ajaran islam (syara) dengan nilai-nilai dan moral sosial budaya yang
telah eksis dan menjadi pandangan dunia masyarakat Mandar yang dikenal dengan
adat, maka pranata budaya sebagai wahana aktualisasi nilai-nilai sosial- budaya
tersebut mendapatkan pengayaan dengan keberadaan lembaga syara, dengan tidak
merubah cetak biru institusi-institusi sosial-budaya yang ada, dan kepatuhan orang
Mandar pada syara hampir sejajar dengan kepatuhan mereka kepada adat sepanjang
keduanya tidak bertentangan. Islam mengisi dan menambah, bahkan
menyempurnakan kearifan-kearifan yang sebelumnya dianut masyarakat. Dalam
Islam telah diajarkan bersikap sopan dan saling menghargai satu sama lain. Hal ini
telah dijelaskan dalam firman Allah, Qur‟an Surah Al- israa‟/17 a:37 di atas:

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-sekali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung”.14

Menurut Hamid, et al (2007) siri’ merupakan suatu sistem nilai sosio-kultural


dan kepribadian yang merupakan pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai
individu dan anggota masyarakat. Siri’ merupakan kelayakan dalam kehidupan
sebagai manusia yang diakui dan diperlakukan oleh sesamanya. Orang yang tidak
memperoleh perlakuan yang sama akan merasa harga dirinya dilanggar. Perlakuan
yang tidak layak tersebut berupa pelanggaran hak – hak penghinaan dan sejenisnya
yang dapat menimbulkan reaksi dari orang yang dipakasiri’ atau yang dibuat malu.
Siri’ tidak bermakna negatif dan tidak hanya bersifat menentang, tetapi siri’
merupakan perasaan halus dan suci. Siri’ selain sebagai sebuah harga diri dan
kehormatan, siri’ juga menuntut adanya disiplin, kesetiaan, dan kejujuran. Pacce
dalam bahasa Makassar dan Pesse dalam bahasa bugis merupakan rasa kemanusiaan
yang adil dan beradab, semangat rela berkorban, bekerja keras dan pantang mundur.

13
Baharuddin Lopa, Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan. (Bandung : Penerbit
Alumni, 1982), 99, Diakses 30 Juni 2020.

14
Kementrian Agama RI, Syaamil Qur’anHijaz Terjemahan Per Kata, 285.
Selain itu pacce atau pesse merupakan suatu perasaan hati yang menyayat pilu
terlebih apabila sesama warga masyarakat, keluarga, atau sahabat yang ditimpa
kemalangan, yang menimbulkan suatu dorongan ke arah solidaritas dalam berbagai
bentuk terhadap mereka yang ditimpa kemalangan (Hamid, et al., 2007).

Dari uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa siri’na pacce


merupakan bentuk harga diri, martabat, dan rasa senasib sepenanggungan atau
solidaritas dari masyarakat etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja serta dijadikan
sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sehari – hari dan berperilaku baik
bagi individu itu sendiri maupun terhadap lingkungannya. Dari berbagai penjelasan
nilai budaya siri’na pacce yang ada di Provinsi Sulawesi Barat terlebih di Mandar
juga memiliki persamaan dengan budaya lain yang ada di Indonesia. Karena pada
dasarnya sebuah kebudayaan memiliki konsep yang sama yaitu, untuk mengontrol
perilaku individu sehingga membentuk suatu tatanan masyarakat yang baik. Sebagai
contoh nilai budaya jawa yang memiliki konsep tentang tata karma/sopan santun,
kerukunan, ketaatan anak terhadap orang tua, disiplin dan tanggung jawab, serta
kemandirian (Rachim, 2007).

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai