Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan pada dasarnya telah ada semenjak hadirnya manusia pertama dimuka bumi ini.
Kebudayaan berfungsi memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik yang bersifat
supranatuaral maupun kebutuhan materil. Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut untuk
sebagian besar  dipenihi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan adalah sejumlah cita-cita, nilai, dan standar prilaku yang didukung oleh
sebagian warga masyarakat, sehingga dapat dikatakan kebudayaan selalu pada setiap
rumpun masyarakat di muka bumi. Meskipun demikian penting untuk disadari bahwa
semua itu bukan berarti keseragaman. Dalam setiap masyarakat manusia, tedapat
perbedaan- perbedaan kebudayaan khas dan unik.kemudian kebudayaan dapat dipahami
sebagi identitas suatu rumpun masyarakat bersangkutan.
Mandar adalah nama suatu suku (etnis) yang terdapat di sulawesi selatan dan nama budaya
dalam Lembaga Budayaan Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional.
Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari
empat suku yang mendiami kawasan provinsi Sulawesi Selatan yakni etnis
Makassar (makasara’), etnis Bugis (ogi‟), etnis Toraja (toraya). Pengelompokkan ini
dimaksudkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut“lagaligologi”.
Mandar sesuai dengan makna kuantitas yang dikandung dalam konteks geografis merupakan
wilayah dari batas paku (wilayah polmas) sampai surename (wilayah kabupaten mamuju).
Akan tetapi dalam makna kualitas serta symbol dapat kita batasi diri dalam lingkup kerajaan
Balanipa sebagi peletak dasar pembangunan kerajaan (landasan idial dan andasan structural),
dan sebagai bapak perserikatan seluruh kerajaan

dalam wilayah mandar Pitu ulunna Salu dan Pitu Ba‟pana Binanga.

Suku mandar adalah satu-satunya suku bahari dinusantara yang berhadapan langsung
dengan laut dalam, tanpa ada pulau yang bergugus. Teknologi kelautan mereka sudah
demikian sistematis, yang merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Mandar sebagai
salah satu suku di sulawesi selatan memiliki aneka ragam corak kebudayaan yang khas.
Dengan kekhasan kebudayaan mandar tersebut maka deskripsi suku mandar ini saya angkat
dalam makalah saya ini.
KEBUDAYAAN SUKU MANDAR DILIHAHAT DARI UNSUR-UNSUR
BUDAYANYA

Wilayah suku mandar terletak diujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Selatan
bagian barat dengan letak geografis antara 10-30 lintang selatan dan antara 1’180-1’190 bujur
timur Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 km2, terurai dengan :
1. luas kabupaten Mamuju dan Mamuju Utara  : 11.622,40 Km2
2. luas kabupaten Mamej: 1.932 Km2
3. luas kabupaten Polewali Mamasa : 9.985 Km2
Semula dari zaman dahulu, dizaman perjanjian atau Allamungang Batu di Lujo, batas-batas
wilayah Mandar adalah :

a) Sebelah Utara dengan Lalombi, wilayah Sulawesi Tengah

b) Sebelah timur dengan kabupaten poso, kabupaten Lawu dan Kabupaten Tana Toraja.

c) Sebelah selatan dengan Binanga Karaeng, kabupaten Pinrang.

d) Sebelah barat dengan Selat Makasar.

Kini batas Mandar di utara berubah menjadi Suremana, yang berarti kita kehilangan wilayah
lebih dari 10 km, dan juga kehilangan 10 km di selatan, karena batas wilayah Mandar di
selatan sekarang sudah bukan Binanga Karaeng, tetapi Paku.

Berikut merupakan kebudayaan suku Mandar dilihat dari unsur-unsur  budayanya:


1. Agama
Pada umumnya dewasa ini suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi
dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kepercayaan-kepercayaan seperti
pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat atau benda-benda
keramat dan sesaji. Didaerah pedalaman seperti di pegunungan Pitu Ulunna Salu
sebelum Islam masuk, religi budaya yang dikenal ketika itu adalah adat Mappurondo yang
diterjemahkan sebagai bepeganng pada falsafah Pemali Appa Randanna. Sedangkan
untuk wilayah persekutuan Pitu Ba’bana Binanga sendiri, religi budayanya dapat
ditemui pada peningglaanya yang berupa ritual dan upacara-upacara adapt yang
tampaknya bisa dijadikan patokan bahwa ia besumber dari religi budaya dan kepercayaan
masa lalunya. Seperti ritual Mappasoro (menghanyutkan sesaji di sungai) atau
Mattula bala’ (menyiapkan sesjai untuk menolak musibah) dan lain sebagainya yang
diyakini akan membawa manfaat kepada masyarakat yang melakukannya. Dari sini
jelas tampak betapa symbol-simbol budaya itu berangkat dari religi budaya, yang untuk itu
tidak dikenal dalam Islam.
2. Bahasa

Suku mandar menggunakan bahasa yang disebut dengan bahasa mandar, hingga kini
masih dengan mudah bisa ditemui penggunaannya di beberapa daerah di Mandar seperti:
Polmas, Mamasa, majene, Mamuju dan Mamuju Utara.
Kendati demikian di beberapa tempat atau daerah di Mandar juga telah menggunakan
bahasa lain,seperti untuk Polmas di daerah Polewali juga dapat ditemui penggunaan
bahasa Bugis. Begitu pula di Mamasa, menggunakan bahasa Mamasa, sebagai bahasa
mereka yang memang di dalamnya banyak ditemui perbedaannya dengan bahasa Mandar.
Sementara di daerah Wonomulyo, juga dapat ditemui banyak masyarakat yang
menggunakan bahasa Jawa, utamanya etnis Jawa yang tinggal dan juga telah menjadi to
Mandar di daerah tersebut.Kecuali di beberapa tempat Mandar, seperti Mamasa. Selain
daerah Mandar atau kini wilayah Provinsi Sulawesi Barat tersebut, bahasa Mandar juga
dapat ditemukan penggunaannya di komunitas masyarakat di daerah Ujung Lero
Kabupaten Pinrang dan Tuppa Biring Kabupaten Pangkep.

3. Perkawinan

Untuk perkawinan di daerah Mandar secara umum, garis besarnya melalui 14 fase seperti:
a. Massulajing

Massulajing artinya mencalonkan dan mencocokkan antara dua orang yang akan di
persunting. Fase ini dilakukan oleh orang tua si lelaki berssama keluarga terdekat. Ini
bermakna saling menghargai antara keluarga dan merupakan isyarat bahwa pengurusan
dan seluruh tanggung jawab akan menjadi tanggung jawab bersama.

b. messisi‟ atau Mammanu‟manu

messisi‟ adalah langkah permulaan yang berfungsi sebagai pembuka jalan dalam rangka
pendekatan pihak laki-laki terhadap pihak wanita. Tugas ini biasanya dilakukan oleh satu
atau dua orang diambil dari orang-orang yang kedudukannya dapat menengahi urusan ini.
Artinya dia ada hubungan keluarga dengan wanita dan juga ada hubungan kelurga dengan
pihak pria.

4. Mettumae atau Ma‟duta

Mettumae atau ma‟duta ialah mengirim utusan untuk melamar, merupakan proses lanjutan
utuk lebih memastikan dan membuktikan hasil yang dicapai pada fase mammanu‟-manu.
Duta artinya utusan tediri dari bebrapa pasangan suami istri yang biasanya dari keluarga
dekat, pemuka adat dan penghulu agama dengan berbusana secara adat. Pada fase ini
biasanya berlangsung ramai karena disini para utusan berkesempatan menyampaikan
maksudnya secara simbolik melalui puisi atau „kalinda‟da mandar‟.
5. Mambottoi Sorong
Sorong atau mas kawin adalah sesuatu yang memiliki nilai moral dan material yang
mutlak ada dalam suatu perkawinan. Tanpa adanya mas kawin, perkawianan dianggap
tidak sah menurut aturan adat maupun menurut syariat Islam.Sedang menurut adapt
istiadat suku Mandar, “sorong” adalahgambaran harga diri dan martabat wanita yang
ditetapkan menurut aturan adat yang disahkan oleh hadat yang tidak boleh diganggu gugat
atau ditawar-tawar naik turunnya. Seorang ini adalah milik si wanita yang harus diangkat
oleh si pria menurut strata si wanita itu sediri. Sampai saat sorong didaerah mandar
dikenal lima tingkatan :
a. Sorong bagi anak raja yang berkuasa menggunakan istialah “Tae”
b. Sorong Tau anak pattola hadat bisa 120 atau 160 real . Jika sedang
berkuasa menjadi anggota hadat bisa 200 real.
c. Sorong tau samar (orang biasa), 60 dan 80 real
d. Sorong to batua (budak), 40 real kemudian sorongnya diambil oleh tuannya.
Semenjak suku mandar, Bugis, Makasar, dan Toraja itu lahir di Sulawesi selatan, telah lahir
dan berkembang pula budaya dan adat- istiadat yang mendasari dan mengatur kegiatanya
masing-masing.Bila kegiatannya dilakukan dengan suku yang sama maka tidak akan ada
masalah. Kalaupun ada masalah penyelesaiannya mudah karena sama- sama berpegang
pada budaya dan aturan adat yang sama. Tetapi bila kegiatan itu, masalnya perkawinan
dilakukan oleh suku yang berlainan maka timbul masalah tentang budaya dan aturan adat
mana yang akan mendasari perkawianan tesebut. Jika kedua belah pihak bersikeras ingin
menerapkan budayanya masing-masing, maka perkawinan yang seharusnya terlaksana
dengan baik, bisa menjadi batal.

Anda mungkin juga menyukai