Adat Istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Surat Tembaga Kalinga),
yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat.
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik Patrilineal maupun Matrilineal.
Dalam sistem patrilineal, orang mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya di kenal
belasan marga saja berbeda di suku Batak lainnya, yang mengenal hampir 500 marga.
Upacara adat saat ini yang sering dilakukan masyarakat Mandailing adalah :
1.) Upacara Adat Siriaon/ Horja Haroan Boru/ Pabuat Boru/ Horja Siriaon (Upacara
Adat Perkawinan)
Upacara Adat Siriaon/ Horja Haroan Boru/ Pabuat Boru/ Horja Siriaon
Dalam adat istiadat perkawinan di masyarakat Mandailing dikenal dengan nama
perkawinan manjujur, bersifat eksogami patriarchat, artinya dimana setelah perkawinan pihak
wanita meninggalkan clannya dan masuk ke clan suaminya dan suaminya menjadi kepala
keluarga dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti clan (marga)
bapaknya. Idealnya perkawinan adat masyarakat Mandailing adalah antara anak Namboru
dengan boru Tulangnya. Jujur maksudnya untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga
wanita atas hilangnya seorang anggota keluarganya yang masuk menjadi anggota keluarga
suami. Pada dasarnya benda yang akan diberikan sebagai Jujur adalah berupa Sere atau mas
kawin dan istilah menyerahkan Uang Jujur itu disebut Manulak Sere yang berarti untuk masa
sekarang sebagai bantuan untuk melengkapi keperluan pihak gadis untuk barang bawaannya
ataupun untuk tambahan biaya pesta. Dalam proses Manulak Sere (Memberi Emas) maka
pihak laki-laki membawa Batang Boban yang telah disepakati sebelumnya kerumah pihak
perempuan. Panaek Gondang merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh
rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing, jika perkawinan tersebut
dikategorikan sebagai horja godang, Panaek Gondang sendiri dalam arti bahasa indonesianya,
Panaek artinya Menaikkan, Gondang artinya Gendang atau Drum, maka Panaek Gondang
adalah menaikkan atau memainkan alat musik gendang, yaitu yang dikenal dengan nama
Gordang Sembilan. Panaek Gondang merupakan satu hal yang sangat penting dilakukan,
karena hal ini sangat terkait dengan adat.
Berbicara tentang pernikahan, Indonesia sebagai negara yang
memiliki beragam suku dan budaya juga mempunyai tata cara adat
tersendiri mengenai pernikahan.
Hal ini disebabkan pengaruh Islam yang sangat kuat dan menjadi
landasan hukum adat, walaupun sebenarnya hukum adat Batak
Mandailing bersumber dari adat budaya mereka sendiri tanpa campur
tangan agama.
Namun legal dari sudut pandang adat karena perkawinan yang terjadi
merupakan perkawinan ideal tanpa dipengaruhi oleh faktor agama.
Kemegahan yang sarat dengan keindahan. Sepertinya ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan keseluruhan tampilan pengantin wanita Batak Mandailing. Mahkota yang
tinggi menjulang begitu cantik menghias kepala pengantin wanita.
Tata Rias Pengantin Wanita Batak Mandailing
Mahkota menyerupai tanduk kerbau, yang biasa disebut bulang, tinggi menjulang berpadu
indah dengan baju godang atau baju kurung hitam bersulam ragam hias keemasan. Tinggi
rendahnya bulang menunjukkan tingkat sosial pemakainya. Bila pengantin mengenakan
bulang bertingkat lima atau tujuh, artinya keluarga mengadakan pesta besar-besaran dengan
memotong kerbau. Namun bila keluarga hanya menyelenggarakan pesta sederhana dan
hanya memotong kambing, bulang yang dikenakan pun lebih rendah, yaitu bertingkat tiga.
Tata Rias Pengantin Pria Batak Mandailing
Serupa dengan pengantin wanita, pengantin pria Mandailing pun memiliki tutup kepala yang
khas, yang disebut ampu/hampu. Terbuat dari bahan beludru dengan ornamen
emas, ampumerupakan mahkota yang dikenakan oleh raja-raja Mandailing di masa lampau.
Warnanya yang hitam dengan ornament keemasan selaras dengan busana yang juga
berwarna hitam.
– Penutup kepala disebut Ampu, yang merupakan mahkota yang dipakai raja-raja Mandailing di
masa lalu. Bahannya beludru hitam dengan ornamen keemasan. Hiasan di pinggir ampu yang
bentuknya kaya’ knalpot itu mengarah ke atas dan bawah, memiliki makna: ke atas: selalu ingat
pencipta, ke bawah: selalu rendah hati.
– Ikat pinggang warna keemasan dengan selipan 2 pisau kecil disebut bobat.
– Kain sesamping dari songket. Berhubung ga ada songket tapanuli, jadilah kita pakai songket
Palembang.
– Penutup daerah dada adalah kalung warna hitam dengan ornamen keemasan plus 2 lembar
selendang dari kaing songket.
– Ikat pinggang warna keemasan dengan selipan 2 pisau kecil juga (ga mau kalah sama yang
laki-laki)
– Baju yang dipakai harusnya baju kurung tapi aku pakai kebaya modern kali ini. Kain yang
dipakai juga songket palembang pasangan sesamping abang.
Semua baju, songket, dan asesoris sewa dari Nauli dekorasi (kecuali untuk kebayanya ya…).
Untuk baju abang, kita ga minta jait perdana karena udah ada warna marun yang pas banget
sama dengan warna kain brukat aku.
Sebagai lambang kebesaran dan kemuliaan sekaligus simbol dari status sosial
seseorang, maka hiasan pada kening dan kepala pengantin wanita yang
disebut ini memiliki aturan atau tingkatan teretentu. Bulang terdiri dari tiga
macam, masing-masing bertingkat tiga disebut bulang barbo atau kepala
kerbau, bertingkat dua atau disebut bulang bambeng (bulang kambing) dan
tidak bertingkat.
Penamaan bulang ini dikaitkan dengan jenis hewan yang disembelih pada
saat menjelang pesta adat pernikahan yang digelar. Misalnya penggunaan
bulang bertingkat tiga bila hewan yang disembelih adalah kerbau. Pada
jaman dahulu, bulang terbuat dari emas murni, namun kini sudah banyak
berganti dengan logam kuningan yang diberi sepuuhan emas.
Aksesori busana pengantin wanita Mandailing pun kian semarak dengan dua
lembar selendang yang disilangkan pada bagian dada sampai ke punggung.
Pilihan warna biasanya kuning keemasan atau disesuaikan dengan kain yang
membalut badan bagian bawah. Pada masa lalu, selendang terbuat dari kain
tenun petani (kain tenunan petani). Namun, kini sudah mulai kembali lagi
penggunaan songket atau tenun dari pengrajin Sipirok, Tapanuli Selatan,
dengan motif khas Tapanuli Selatan