Anda di halaman 1dari 9

TUGAS RUTIN

NAMA MAHASISWA : ANITA BASRAH


NIM : 8186112005
DOSEN PENGAMPU : ARIF RAHMAN
MATA KULIAH : LEADERSHIP

PROGRAM STUDI S2 LINGUISTIK TERAPAN BAHASA INGGRIS


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
STRUKTUR ORGANISASI MASYARAKAT SUKU MANDAILING, SUMATERA
UTARA
SUKU MANDAILING

A. SUKU MANDAILING
Etnis Mandahilng yang sering didialekkan Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami
tiga provinsi di Pulau Sumatera yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Provinsi
Riau d Indonesia. Orang mandailing di Provinsi Sumatra Utara berada di Kabupaten Mandailing
Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan,
Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan,
Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara. Sedangkan di Provinsi sumatera barat ada di
Kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, dan di Kabupaten Rokan Hulu. Tempat menjadi ciri khas
bagi suku Batak contohnya daerah Mandailing sebagian besar dihuni orang Mandailing. Pada
masa awal penjajahan Belanda, kesemua wilayah Mandailing awalnya masuk dalam Karesidenan
Mandahiling atau Residence Mandahiling dibawah Gubernuran Pesisir Barat Sumatera bersama-
sama Karesidenan Padang Laut dan Karesidenan Padanag Darat. Namun Mandailing merupakan
penduduk asli di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ibukota Padangsidempuan dan Kabupaten
Mandailing Natal atau yang sering disingkat dengan Madina yang beribukotakan di
Penyabungan, Sumatera Utara.
Kabupaten Mandailing Natal berdiri sejak 1999 setelah dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli
Selatan. Kabupaten Mandailing Natal didiami oleh empat etnik yaitu etnik Mandailing mendiami
wilayah Mandailing, etnik Pesisir mendiami wilayah Natal, etnik Lubu mendiami Tor Sihite dan
etnik Ulu mendiami wilayah Muara Sipongi. Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di
Kabupaten Mandailing Natal di tengah Pulau Sumatera sepanjang Jalan Raya Lintas Sumatera
kurang lebih 40 km dari Padangsidempuan ke selatan dan kurang lebih 150 km dari bukit tinggi
ke utara berbatasan dengan Angkola di sebelah utara, Pesisir di sebelah barat, Minangkabau di
selatan dan Padanglawes di timur. Kabupaten ini berdiri sejak tahun 1999 setelah dimekarkan
dari Kabupaten Tapanuli Selatan.
Etnik mandailing adalah orang yang berasal dari mandailing secara turun temurun
dimanapun ia bertempat tinggal. Etnik ini menurut garis keturunan ayah terdiri dari marga-marga
Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batu bara, Daulay, Matondang, Perinduri, Hasibuan.
Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah mandailing. Ada beberapa yang datang
kemudian dan mendiami wilayah mandailing yang kemudian dianggap sebagai warga
mandailing dan tidak ingin disebut warga pendatang, contohnya Hasibuan yang ada di
mandailing berasal dari Barumun. Menurut Tuan Syech Muh. Yacub, Mandailing terbagi
menjadi Mandailing Kecil, Ulu dan Pakantan serta Mandailing Besar dan Batang Natal.
Mandailing dibagi menjadi dua walaupun adatnya sama yaitu Mandailing Godang dan
Mandailing Julu. Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution, wilayahnya mulai dari
Sihepeng di sebelah utara panyanbungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang
Natal sampai Muarasoma dan Muara Parlampungan di sebelah barat. Sedangkan Mandailing Julu
didominasi oleh marga Lubis yang wilayahnya mulai dari Laru dan Tambangan di sebelah utara
kota Nopan sampai Pakantan dan Hutanagodang di sebelah selatan. Mata pencaharian
masyarakat mandailing adalah petani. Penduduk mandailing Godang sebagian besar petani
sawah dan mandailing Julu sebagaian besar petani perkebunan. Tanaman perkebunan yang
ditanam adalah karet, kopi, kulit manis, cengkeh.

B. . ASAL USUL NAMA MANDAILING


Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing. Mandala
berarti pusat dari federasi beberapa kerajaan, sedangkan Holing berasal dari nama kerajaan
Kalingga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum kerajaan Sriwijaya
dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan
Dharmasraya setelah diislamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri
Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Sima. Sri Paduka Maharaja Indrawarman
kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada
abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah
menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal
dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Dalam
bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud “ibu yang
hilang”.

C. RELIGI MASYARAKAT SUKU MANDAILING


Agama masyarakat mandailing sekarang ini mayoritas adalah penganut Islam yang taat
meskipun demikian ada juga orang mandailing yang menganut kristen. Namun sebelumnya, suku
batak adalah penyembah berhala dan banyak dewa (begu) atau yang disebut si pelebegu. Orang
mandailing hampir 100% adalah penganut agama islam yang taat, oleh karena itu Islam memiliki
pengaruh yang besar dalam pelaksanaan upacara adat. Dalam mandailing ada falsafah yang
menyebutkan Hombar do adat dohot ibadat yang artinya adalah adat dan ibadat tidak dapat
dipisahkan. Adat tidak boleh bertentangan dengan agama islam. Jika dalam upacara adat ada hal-
hal yang mengganggu dengan pelaksanaan agama, adat itu harus dikesampingkan. Adat istiadat
mandailing baik dalam kehidupan sehari-hari atau upacara adat masih tetap dipakai oleh orang
mandailing. Adat istiadat mandailing berdasarkan Dalihan Na Tolu. Sebelum Islam masuk,
pelaksanaaan upacara adat masih terasa kental sekali namun setelah Islam masuk , upacara masih
dilakukan namun disesuaikan dengan kaidah islam. Contohnya sebelum islam masuk, mayat
dibawa dengan keranda bertingkat-tingkat atau yang disebut roto dam keluarga harus meratapi
kepergian anggota keluarganya tersebut, namun setelah islam masuk kegiatan meratap itu
dihiliangkan.
Letak wilayah Mandailing yang berbatasan langsung dengan wilayah Minagkabau (Sumatera
Barat) memberikan andil yang besar terhadap proses Islamisasi di bagian pedalaman Mandailing,
Angkola (Tapanuli selatan), dan sampai ke perbatasan Tapanuli bagian Utara (Batak toba).
Pengembangan Islam di wilayah ini di kaitkan denganperang pantry atau Paderi di
Minangkabau Sumatera Barat tahun 1821-1837. Agama Islam disebarkan dari Minangkabau dan
sekarang ini dianut oleh sebagian besar masyarakat batak Mandailing dan batak Angkola.
Sedangkan agama Kristen Katolik dan Protestan disebarkan oleh para missionaris Jerman dan
Belanda sejak tahun 1863 ke daerah batak Toba, Simalungun, Pak Pak

E. SISTEM KEKERABATAN SUKU MANDAILING


Berdasarkan hubungan kekeluargaan yang bersifat genealogis dikenal pula tiga jenis sistem
kekerabatan berdasarkan garis keturunan yaitu:
1. Berdasarkan garis keturunan kebapakan (Patrilineal) dimana secara turun temurun bahwa
turunan dari pihak bapak menjadi satu kelompok (clan), di mandailing disebut dengan marga
(marga bapak).
2. Berdasarkan garis keturunan ibu (Matrilineal) dimana keturunan dari pihak ibu mulai dari nenek
moyang menjadi satu kelompok marga (clan). Dikenal umpamanya di Minangkabau (marga ibu).
3. Berdasarkan garis keturunan bapak dan ibu (parental) dimana keturunan dari pihak bapak dan
ibu bersama-sama dianggap sebagai satu kelompok (clan) dan pada kelompok ini tidak dikenal
istilah marga contohnya adalah sistem kekerabatan pada suku Melayu.
4. Kelompok patrilineal dan matrilineal biasanya memakai sistem perkawinan yang eksogam
sedangkan kelompok parental memakan sistem yang endogam misalnya suku Aceh.

Masyarakat Mandailing menganut sistem kekerabatan unilateral yang patrilineal. Pada


sistem kekerabatan yang demikian peranan keluarga batih kurang berfungsi dan yang memegang
peranan adalah Dalihan Na Tolu. Meskipun kekerabatannya berbentuk Patriakal tapi perempuan
berhak memilih dahulu pasangannya sendiri. Pada umumnya perempuan batak suka pasangan
yang berdagang atau pemilik modal karena mereka suka berpergian. Orang Mandailing
mengelompokkan diri ke dalam tiga kelompok kekerabatan. Menurut adat-istiadat, ketiga
kelompok kekerabatan itu masing-masing berkedudukan sebagai mora (kelompok pemberi anak
gadis), anak boru (kelompok penerima anak gadis), dan kahanggi (kelompok kekerabatan yang
se-marga), di mana ketiga kelompok kekerabatan tersebut terikat erat satu sama lain berdasarkan
hubungan fungsional dalam satu sistem sosial yang dinamakan Dalihan Na Tolu, yang artinya
“tumpuan yang tiga” atau “tiga tumpuan”. Dengan menggunakan sistem sosial Dalian
Natolu itulah orang Mandailing mengatur dan melaksanakan berbagai aktivitas sosial-
budayanya. Dalam bahasa batak hanya anak laki-laki yang disebut anak sedangkan anak
perempuan disebut boru. Lelaki langsung memakai marga sesudah nama kecilnya tapi
perempuan dengan sebutan boro contoh laki-laki bernama Asal Siahaan beristrikan Lis yang
kemudaian dipanggil Lis boru batubara.
Dalam bahasa batak, ama adalah ayah dan ina adalah ibu yang kemudaian menjadi
amang dan inang dalam bahasa pemnaggilan. Kakak dipanggil abang dan adik dipanggil anngi.
Saudara laki-laki menyapa saudara perempuan dengan istilah ito (iboto) begitupun sebaliknya.
Dalam sistem patrilineal, ada belasan marga seperti Lubis Singasoro, Lubis Singengu, Nasution,
Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, rambe, Dalimunthe atau Nai Monte,
Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang dan Hutasuhut. Namun ada dua marga yang
paling berkuasa yaitu marga Lubis dan Nasution. Bentuk perkawinan yang terjadi dalam
masyarakat mandailing adalah eksogam. Eksogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan,
suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogamai sendiri dapat dibagi menjadi dua
yaitu Eksogami connobium asymetris yang terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak
sebagai pemebrri atau penerima gadis seperti pada perkawinan suku batak dan ambon. Kedua
adlah eksogami connobium symetris yaitu perkawinan yang terjadi bila apabila pada dua atau
lebih lingkungan saling tukar-menukar jodoh bagi para pemuda. Eksogami melingkupi
heterogami dan homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda
seperti misalnya anak bangsawan menikah dengan anak petani. Homogami adalah perkawinan
antara kelas golongan sosial yang sama contohnya pernikahan antara anak saudagar.

D. FUNGSIONARIS ADAT
Fungsionaris adat adalah orang yang berfungsi mengatur dan menjaga agar adat dapat terpelihara
dengan baik. Fungsionaris adat adalah orang yang berfungsi mengatur dan menjaga agar adat
dapat terpelihara dengan baik, fungsionaris adat terdiri dari Raja, Namora Natoras dan
pembantu-pembantu raja lainnya.
1. Raja
Raja menurut Commissie Kruese Stibhe terdiri dari
a. Raja Panusunan yaitu raja tertinggi sesuai perjanjian dan sekaligus sebagai raja huta. Raja ini
menjadi pemimpin dalam hutanya sendiri. Raja panusunan ini merupakan raja tertinggi dari
kesatuan beberapa huta.
b. Raja Ihutan merupakan raja dari kumpulan huta yang berada dibawah Raja Panusunan.
c. Raja Pamusuk yaitu raja yang berada dibawah raja Ihutan yang memimpin satu huta.
d. Raja Sioban Ripe berada dibawah raja pamusuk dan berdiam bersama-sama di satu huta.
e. Suhu, yang berada dibawah raja pamusuk dan raja sioban ripe.
Adapun ketentuannya yaitu pagaran dipimpin oleh raja ripe karena belum memnuhi syarat
sebagai suatu huta. Contoh Pagaran Sigatal dan pagaran Korak. Jika pagaran sudah berkembang
karena penduduk banyak dan syarat sebagai huta terpenuhi, maka menjadi huta. Apabila
beberapahuta bersatu untuk kepentingan tertentu maka disebut janjian dan dipimpin oleh Raja
Janjian. Pimpinan haruslah yang tertua dan berwibawa.
2. Namora Natoras
Namora natoras berfungsi sebagai pendamping raja dalam mengambil keputusan saat membahas
atau mnyelesaikan suatu peradatan yang menyangkut kepentingan bersama huta yang dipimpinya
serta mengawasi raja dalam menjalankan pemerintahannya. Namora natoras terdiri dari namora
yaitu orang yangmenjadi kepala dari satu parompuan. Saparompuan berarati satu nenek, empu,
eyang, kakak. Kemudian natoras yaitu seorang yang tertua dari satu parompuan yang oleh suatu
kerapatan adat suatu huta diangkta dan disahkan sebagai utusan untuk mewakili kerabatnya pada
setiap kerapatan adat. Toras berarti seorang teras (trunk) yang secara sosiologis dipandang
sebagai primus interpares.
Namora natoras dapat dirinci dengan :
a. Anggi ni Raja yaitu yang duduk membantu raja dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sebagai
wakil raja.
b. Imbang raja yaitu yang bertugas memberikan saran-saran yang diperlukan dalam memajukan
hutanya.
c. Suhu ni Raja yaitu yang memberikan nasehat-nasehat dan pertimbangan kepada raja
d. Lelu ni Raja yaitu yang menjaga keamanan raja
e. Gading ni Raja yaitu yang turut menentukan jalannya pemerintahan
f. Sibaso ni Raja yaitu yang membantu keamanan raja dalam melaksanakan tugasnya dengan
memebrikan doa-doa dan pasu-pasu dalam tugasnya selalau dilindungi Tuhan.
g. Bayo-bayo Nagodang yaitu orang yang mengetahui seluk beluk perbendaharaan raja atau yang
mengatur keuangan raja.
h. Goruk-goruk hapinis yaitu yang mempertahankan kerajaaan dari gangguan keamanan.

E. BAGAS GODANG DAN SOPO GODANG


Tanda bahwa sebuah huta telah menjadi bpna bulu adalah mempunyai bagas godang sebagai
tempat tinggal raja dan sopo godang sebagai balai pertemuan serta telah ditanami pohon-pohon
bambu, beringin yang berfungsi sebagai bentang terhadap seranagan musuh dari luar dan telah
disesuaikan dengan ketentuan adat. Bagas godang mempunyai pekarangan yang luas yang
disebut dengan alaman bolak atau alaman silang se utang yang berarti apabila sesorang yang
berutang dikejar oleh yang berpiutang dan dia lari ke alaman bolak dia tidak boleh lagi
diganggu, pertengkaran harus dihentikan dan dicari perdamaian. Bagas godang berfungsi sebagai
tempat timpat raja panusunan maupun raja pamusuk sebagai tempat tinggal raja. Biasanaya
bagas godang raja panusunan lebih besar dari raja pamusuk. Secara adat, bagas godang
melambangkan bona bulu yang berarti bahwa huta tersebut telah memiliki satu perangkat desa
yang lengkap seperti dalihan na tolu, namora natoras, datu, sibaso, ulu balang, panggora dan raja
pamusuk sebagai raja adat. Setiap Bagas Godang yang senantiasa didampingi oleh sebuah Sopo
Godang harus mempunyai sebidang halaman yang cukup luas. Oleh kerana itulah maka kedua
bangunan tersebut ditempatkan pada satu lokasi yang cukup luas dan datar dalam Huta. Halaman
Bagas Godang dinamakan Alaman Bolak Silangse Utang (Halaman Luas Pelunas Hutang).

H. LEMBAGA DALIHAN NA TOLU


Dalihan na tolu secara harfiah dapat diartikan sebgai tungku yang penyangganya terdiri dari
tiga agar tungku tersebut dapat seimbang. Secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan
yang komponennya terdiri dari tiga. Dalihan na tolu dalam masyarakat adat mandailing
mengandung arti tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Lembaga ini memegang
peranan penting dalam mengambil keputusan dalam upacara-upacara adat. Tiga unsur dari tiga
kelompok tersebut adalah Suhut dan kahangginya, anak boru dan mora. Ketiganya memilki
fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda. Perbedaaan ditentukan oleh kedudukannya. Suhut dan
kahangginya. Perangkat ini adalah suatu kelompok keluarga yang semarga atau mempunyai garis
keturunan yang sama dalam suatu huta yang merupakan bona bulu (pendiri kampung). Suhut
berkedudukan sebagai tuan rumah dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Anak boru berarti
kelompok keluarga yang dapat atau mengambil isteri dari keluarga suhut. Sedangkan mora yaitu
pihak yang memberikan boru menjadi isteri dari pihak keluarga suhut. Dalam pelaksanaan
uapacara-upacara adat, ketiga unsur dalihan na tolu harus tetap dalam mardomu nitahi (selalu
mengadakan musyawarah mufakat). Musyawarah mufakat tercapai apabila unsur rasa kesatuan,
tanggung jawab dan saling memiliki tersebut tetap terpelihara. Unsur yang harus ada dalam
pelaksanaan acara adat terdiri dari suhut dan kahangginya, anak boru, mora, namora natoras, raja
di huta (raja pamusuk), harajaon tobing balok, raja panusunan.
Upacara Adat saat ini yang dilakukan masyarakat mandailing adalah: Upacara
Adat Siriaon/Horja Haroan Boru/Pabuat Boru (Upacara Adat Perkawinan), Upacara
Adat Siluluton/Mambulungi (Upacara Adat Kematian) dan Horja Siulaon (Upacara Adat
Berkarya). Setiap masyarakat mandailing yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota
dalam melaksanakan dalihan natolu

F. UPACARA PERKAWINAN BATAK MANDAILING


Perkawinan berdasarkan adat berarti berlangsungnya perkawinan tersebut tidak
bertentangan dengan norma-norma adat yang berlaku (perkawinan secara wajar). Upacara
perkawinan dalam adat batak mandailing merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan mulai
dari pra-upacara hingga pasca-upacara perkawinan.
1. Pelamaran dan pertunangan
a. Manyapai Boru. Masa pendekatan masih menjadi proses penting dalam kelanjutan sebuah
hubungan, Dalam adat Batak Mandailing pun mengenal masa pendekatan yang
disebut manyapai boru.
b. Mangairirit Boru. Merupakan tahapan dimana orang tua mempelai pria akan mencari tahu
seluk-beluk sang wanita idaman anaknya tersebut. Hal ini penting guna menghindari kekeliruan
dan penyesalan dikemudian hari; diantaranya akibat pelanggaran adat.
c. Padamos Hata. Sekali lagi, keluarga pria menyambangi rumah kediaman wanita untuk
mendapatkan jawaban. Dalam ritual ini pula akan dibahas kapan waktu yang tepat untuk
melamar, serta syarat apa saja yang harus disanggupi pihak keluarga pria.
d. Patobang Hata.Inti dari seremoni ini adalah untuk memperkuat perjanjian antara dua belah
pihak, keluarga mempelai wanita dan keluarga mempelai pria. selain itu akan dibicarakan
berapa sere yang akan diantar pada prosesi selanjutnya.
e. Manulak Sere. Sesuai kesepakatan, pihak keluarga pria datang bersama kerabat yang berjumlah
10-15 orang untuk mengantarkan sereatau hantaran. Barang hantaran yang diberikan di
antaranya silua(oleh-oleh) dan batang boban (berupa barang berharga).

2. Upacara Perkawinan Adat batak Mandailing


a. Mangalehen Mangan Pamunan. Seorang gadis yang akan dinikahi kelak akan ikut bersama
suami meninggalkan rumah orang tuanya. Maka sebelum melepas kepergian anak perempuannya
itu diadakan makan bersama/ mangan pamunan.
b. Horja Haroan Boru.Seusai dilaksanakan pesta adat yang diselenggarakan di kediaman bayo
pangoli, sebelum pergi meninggalkan kedua orang tuanya, boru na ni oli akan menari tor-
torsebagai ungkapan perpisahan.
c. Marpokat Haroan Boru. Satu langkah sebelum pernikahan adat berlangsung, terlebih dahulu
akan dimusyawarahkan (marpokat) membagi-bagi tugas sesuai prinsip dalihan na tolu yang
terdiri darikahanggi, anak boru, dan mora.
d. Mangalo-Alo Boru Dan Manjagit Boru. Diarak dua orang pencak silat, pembawa tombak,
pembawa payung, serta barisan keluarga pria dan wanita, terakhir iringan penabuh, kedua
mempelai berjalan menuju rumah. Sesudahnya, kedua pengantin serta keluarga akan mangalehen
mangan (makan bersama)menyantap makanan yang dibawa, dilanjutkan pemberian pesan dari
tetua kepada kedua mempelai. Selesai memberi petuah, secara bersama-sama rombongan akan
menuju ke rumah suhut (tempat pesta).
e. Panaek Gondang. Pada prosesi ini akan dimainkan gordang sambilanyang sangat dihormati
masyarakat Mandailing, maka sebelum dibunyikan harus meminta izin terlebih dulu. Dan setelah
mendapat izin, gordang sambilan ditabuh seiring markobar (pembicaraan) yang
dihadiri suhut dan kahangginya, anak boru, penabuh gondang, namora natoras dan raja-raja
adat. Dalam prosesi ini pula diselingi tari sarama yang seirama dengan ketukan gordang
sambilan. Serta manortor atau menari tor tor.
f. Mata Ni Horja. Mata ni horja menjadi acara puncak yang diadakan dirumah suhut. Sekali lagi
tari tor tor ditarikan oleh para raja, yang disusul oleh suhut, kahanggi, anak boru, raja-raja
Mandailing danraja panusunan.
g. Membawa Pengantin Ke Tapian Raya Bangunan. Melaksanakan prosesi ini dipercaya dapat
membuang sifat-sifat yang kurang baik ketika masih lajang. Dengan jeruk purut yang dicampur
air, kedua mempelai akan dipercikan air tersebut menggunakan daun silinjuang (seikat daun-
daunan berwarna hijau).
h. Mangalehen Gorar (Menabalkan Gelar Adat)Maksud dari upacara ini adalah untuk menabalkan
gelar adat kepada bayo pangoli. Sebelum diputuskan gelar apa yang cocok, harus dirundingkan
terlebih dahulu. Gelar adat diperoleh mengikuti dari kakeknya dan bukan mengambil gelar dari
orang tuanya.
i. Mangupa. Inti dari prosesi ini dengan menyampaikan pesan-pesan adat kepada kedua
mempelai, bayo pangoli dan boru na ni oli.Mangupa merupakan wujud kegembiraan telah usai
seluruh rangkaian upacara adat, dan kedua mempelai pun telah sah menjadi sepasang suami istri
di mata adat.

G. MARGA
Marga dalam masyarakat mandailing mempunyai peranan penting dalam menentukan
kedudukan sesorang di dalam pelaksanaan berkehidupan, berkeluarga dan bermasyarakat yang
merupakan tat aturan yang disebut tata aturan dalam lembaga dalihan na tolu sehingga yang
bersangkutan dapat berperilaku dan bertutur yang baik. Marga seoarang anak perempuan hanya
diperuntukan bagi dirinya sendiri dan tidak dapat diturunkan kepada anak keturunanya karena
menganut sistem patrilineal. Pemberian marga dilakukan untuk mengetahui dimana
kedudukannya dalam masyarakat adat. Marga yang diperoleh adalah marga yang didasarkan
pada ketentuan dari pihak laki-laki sesuai dengan prinsip adat yang berdasarkan patrilineal.
Pemberian marga dapat dikarenakan pengabdian, perkawinan, pengormatan kepada sesorang dan
marga karena turun temurun. Pemberian nama bagi orang batak tidak harus berdasarkan makna
tertentu tapi apa saja hal yang terlintas dalam benak pemberi nama dapat menjadi nama si bayi
orang batak.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan


Daerah, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sumatera Utara, Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.
Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu: Prinsip dan Pelaksanaanya, Medan: Prima Anugerah,___.
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan, Medan: FORKALA SUMATERA
UTARA, 2005.

Anda mungkin juga menyukai