Anda di halaman 1dari 5

BATAK MANDAILING

Sejarah Suku Mandailing


Mandailing adalah salah satu sub kelompok dari suku bangsa Batak yang daerah asalnya termasuk dalam
Provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing punya daerah asal yang lebih khusus, yang sekarang
merupakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Tapanuli Selatan terbagi atas 20 kecamatan,
yaitu kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Batangangkola, Batangnatal, Batangtoru, Dolok,
Kotanopan, Muarasipongi, Natal Padangbolak, Padang Sidempuan Barat, Padan Sidempuan Selatan,
Padang Sidempuan Timur, Padang Sidempuan Utara, Panyabungan, Sampatdolokhole, Siabu, Sipirok,
Sosa, Sosopan.

Pola Perkampungan Suku Mandailing


Mereka yang berdiam di pegunungan di sela-sela pegunungan Bukit Barisan di sebut Mandailing Julu,
sedangkan yang berdiam di dataran rendah disebut Mandailing Godang. Yang bermukim di kampung-
kampung atau dea (huta) umumnya mendiami rumah-rumah (bagas) tradisional. Rumah adat disebut 
bagas godang. Sebagai kediaman kepala kampung, sebuah desa biasanya mempunyai balai desa dan sopo
godang, tempat melaksanakan pertemuan atau musyawarah.

Dahulu, wilayah kampung (huta) tidak terlalu luas, sehingga kini sebuah desa merupakan gabungan dari
beberapa kampung. Oleh sebab itu sebuah desa memiliki beberapa rumah adat. Sebuah huta di masa lalu
itu di huni oleh kelompok-kelompok kerabat yang terdiri dari kelompok yang mewakili unsur dalihan na
tolu.

Kehidupan Suku Mandailing


Kelahiran anak merupakan satu peristiwa penting. Menurut adat, orang yang pertama menjenguknya
adalah mora atau pihak ibunya, kemudian baru disusul pihak kelompok anak boru, yakni kelompok
"penerima wanita". Pihak mora tadi biasanya membawa makanan khas, berupa nasi bungkus dengan tiga
butir telur dengan sedikit garam.

Selanjutnya, rentang kehidupan anak ini masih saja diliputi aturan adat dan kebiasaan lainnya. Ketika
sang bayi sudah mulai kuat ia dibawah ke rumah mora untuk menerima "kaing penggendong" (parompa
sadun) dengan tata cara tertentu pula. Pada waktunya, seorang anak di haruskan mempelajari aksara
Batak, dan setelah masuk Islam belajar bahasa Arab di surau.

Daur hidup lainnya yang penting ialah perkawinan. Mereka berpegang pada adat eksogami marga dalam
hal pemilihan jodoh. Pasangan yang ideal bagi seorang adalah anak perempuan dari saudara laki-laki
ibunya (tulang). Anak perempuan itu disebut boru tulang, sedangkan laki-laki itu disebut oleh anak
perempuan dengan istilah anak namboru. itulah sebabnya sejak kecil seorang anak laki-laki sudah
dibudayakan untuk menghormati tulangnya itu.

Upacara perkawinan mempunyai kaitan penting dengan unsur-unsur dari dalihan na tolu tadi. Unsur-
unsur itu adalah kelompok kerabat sendiri (kahanggi), kelompok kerabat pemberi wanita (mora) dan
kelompok kerabat penerima wanita (anak boru). Berbagai tata cara dilaksanakan dalam upacara
perkawinan ini dengan berbagai hak dan kewajiban dari kelompok-kelompok kerabat tadi.

Orang Mandailing pernah mengenal suatu adat sehubungan dengan kematian. Apabila yang meninggal itu
berusia lanjut dan yang dihormati masyarakat, upacara biasanya dilaksanakan secara lengkap (pasidung
ari). Upacara ini biasanya menelan biaya yang besar. Biasa itu biasanya ditanggung oleh keluarga,
kahanggi, dan anak boru.

Struktur Adat dan Sistem Sosial


Dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya, Mandailing menggunakan satu struktur sistem adat yang
disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga). Masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri
atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok kerabat pemberi anak gadis) dan Anak Boru
(kelompok kerabat penerima anak gadis). Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap
pelaksanaan kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan/pesta), yaitu tiga jenis yaitu,
(1) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki
rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru);
(2) Horja Siluluton (upacara Kematian) dan
(3) Horja Siulaon (gotong royong).

Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang dipimpin
oleh pengetua-pengetua adat. Yaitu raja dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja
di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah Panusunan),
Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk), Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk)
dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta). Semua raja
Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan
marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora
Natoras terdiri atas Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang
merupakan kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang yang
semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang
(mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu ke huta
tersebut). Sistem sosial ini menunjukkan bahwa masyarakat Mandailing sangat menghormati dan
menghargai orang tua. Namun demikian, orang tua yang dihormati tidak lantas tinggi hati. Tetapi justru
mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain yang bukan siapa-siapa bagi mereka dalam
melaksanakan setiap aktivitas di dalam huta.

Marga-Marga Mandailing
Menurut Abdoellah Loebis, penulis asal Mandailing, marga-marga di Mandailing Julu dan Pakantan
adalah Lubis (yang terbagi kepada Lubis Huta Nopan dan Lubis Singa Soro), Nasution, Parinduri, Batu
Bara, Matondang, Daulay, Nai Monte, Hasibuan, Pulungan. Marga-marga di Mandailing Godang pula
adalah Nasution yang terbagi kepada Nasution Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga,
Dolok, Maga, Pidoli, dan lain-lain. Lubis, Hasibuan, Harahap, Batu Bara, Matondang (keturunan
Hasibuan), Rangkuti, Mardia, Parinduri, Batu na Bolon, Pulungan, Rambe, Mangintir, Nai Monte,
Panggabean, Tangga Ambeng dan Margara. (Rangkuti, Mardia dan Parinduri asalnya satu marga.)
Menurut Basyral Hamidy Harahap, di daerah Angkola dan Sipirok terdapat marga-marga Pulungan,
Baumi, Harahap, Siregar, Dalimunte dan Daulay. Juga terdapat marga-marga Harahap, Siregar, Hasibuan,
Daulay, Dalimunte, Pulungan, Nasution dan Lubis di Padang Lawas. Selain di Mandailing Natal
(Madina), suku Mandailing juga banyak tersebar di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang
Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Padangsidimpuan. Kelompok pertama yang datang di
wilayah tersebut adalah Pulungan dan Nasution. Seiring waktu, kini populasi orang Mandailing tersebar
luas ke penjuru Indonesia dan luar negeri. Mereka mudah dikenal karena adanya identitas marga yang
melekat pada nama mereka.

Rumah Adat Mandailing

Rumah adat Mandailing dihuni oleh suku Mandailing yang tinggal berbatasan dengan wilayah Provinsi
Riau.
Dalam bahasa lokal, rumah adat Mandailing disebut sebagai Bagas Godang. 
Bagas mempunyai makna rumah, sementara Godang bermakna banyak.
Secara struktur, rumah adat Mandailing memiliki bentuk yang cukup berbeda dengan rumah adat
Sumatera Utara lainnya. 

Pakaian Adat Suku Mandailing

Selain Suku Batak, di Sumatera Utara juga terdapat Suku Mandailing yang
umumnya tinggal di daerah Tapanuli Selatan, Mandailing, dan Padang
Lawas. Untuk pakaian adat Suku Mandailing sebenarnya hampir mirip
dengan pakian Batak Toba. Mereka menggunakan Ulos yang dipadukan
dengan aksesoris lain. Saat upacara pernikahan, wanita Mandailing biasanya
menggunakan bulang di keningnya. Bulang umumnya terbuat dari bahan
dasar emas, namun saat ini banyak orang yang membuat bulang dari emas
sepuhan atau bahkan logam. Bulang dalam adat Mandailing memiliki arti
sebagai lambang kemuliaan. Tak hanya itu, bulang ternyata juga menjadi
simbol struktur kemasyarakatan.
Jika wanita menggunakan bulang, pengantin pria biasanya menggunakan penutup kepala yang bentuknya
khas sekali milik suku Mandailing. Penutup kepala pakaian adat sumatera utara disebut Ampu. Pada
zaman dahulu, Ampu ini digunakan oleh para raja Mandailing dan Angkola. Warna hitam pada Ampu
memiliki fungsi magis, sedangkan untuk warna emasnya adalah simbol kebesaran.

Tarian Tradisional Khas Mandailing

Tarian Rondang Bulan merupakan tari kreasi yang menggambarkan keceriaan gadis-gadis bersuku
mandailing, Tapanuli selatan. Memamerkan persona wajah penuh senyum tawa terlihat dari ekspresi
wajah-wajah para penari yang menampilkan gerakan tari ini di atas panggung.
Tarian ini dimainkan secara berkelompok. Nama Tari rondang bulan khas Tapanuli Selatan ini biasanya
ditarikan dengan riang gembira di bawah pancaran sinar bulan purnama. Dan, Rondang Bulan itu sendiri
dalam bahasa Tapanuli Selatan berarti terang bulan.
Dalam penyajiannya, ekspresi penari yang mencerminkan keceriaan terlihat secara implisit sepanjang
gemulai tarian dibawakan diatas panggung. Para penari melakukan aksi indah dengan gerakan-gerakan
lenggak lenggok sambil sesekali membentuk lingkaran. Sambil mengitari lingkaran para penari ini
menjentikan jari jemari dengan sesekali bertepuk tangan.
Untuk segi kostum, penari Rondang Bulan mengenakan pakaian khas Suku Batak Mandailing dengan
Warna yang di dominasi oleh warna merah, keemasan, dan warna hitam. Berbeda dengan perempuan,
laki-laki Mandailing menggunakan penutup kepala yang bentuknya khas. Dan Penutup kepala pakaian
adat Sumatera Utara disebut Ampu.
gerakan tari yang lincah dan sedikit riang terlihat dari tarian yang satu ini. Mimik-mimik wajah penuh
senyum tawa terlihat dari ekspresi wajah para penari yang menampilkan tari ini di atas panggung. Inilah
tari rondang bulan, tarian khas dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Tari rondang bulan merupakan tarian yang menggambarkan keceriaan gadis-gadis Mandailing. Ini terlihat
dari ekspresi penari yang mencerminkan keceriaan sepanjang tarian

Ekspresi penari yang mencerminkan keceriaan terliohat sepanjang tarian ini dipertunjukan di atas
panggungTari rondang bulan di Tapanuli Selatan biasanya ditarikan dengan riang gembira di bawah
pancaran sinar bulan purnamaMimik-mimik wajah penuh senyum tawa terlihat dari ekspresi wajah para
penariTari rondang bulan, tarian khas dari Tapanuli Selatan, Sumatera UtaraDi atas panggung para penari
ini melakukan aksi gerakan-gerakan lenggak lenggok sambil sesekali membentuk lingkaranRondang
Bulan sendiri dalam bahasa Tapanuli Selatan berarti terang bulanTari rondang bulan merupakan tarian
yang menggambarkan keceriaan gadis-gadis MandailingSambil mengitari lingkaran para penari ini
menjentikan jari jemari dengan sesekali bertepuk tanganGerakan tari rondang bulan yang lincah dan
sedikit riang terlihat dari gerakan-gerakan setiap penari
Di atas panggung para penari ini melakukan aksi gerakan-gerakan lenggak lenggok sambil sesekali
membentuk lingkaran. Sambil mengitari lingkaran para penari ini menjentikan jari jemari dengan sesekali
bertepuk tangan.
Tari rondang bulan di Tapanuli Selatan biasanya ditarikan dengan riang gembira di bawah pancaran sinar
bulan purnama. Rondang Bulan sendiri dalam bahasa Tapanuli Selatan berarti terang bulan.

Berikut ini adalah tarian tradisional yang berasal dari Mandailing, Sumatera Utara :

1. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Tari Endeng Endeng

Tari Endeng-Endeng adalah sebuah tari tradisional yang berasal dari


Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Tari Endeng-
Endeng ini menggambarkan semangat dan ekspresi gembira
masyarakat sehari-hari, serta ungkapan kegembiraan Naposo Nauli
Bulung (Muda-Mudi) saat tertanam dan panen raya.

Dalam penampilannya, tari Endeng-Endeng dimainkan oleh sepuluh


pemain yakni dua orang bertugas sebagai vokalis, satu orang pemain
keyboard, satu orang pemain tamborin, lima orang penabuh gendang
dan seorang pemain ketipung (gendang kecil). Biasanya lagu yang
dibawakan berbahasa Tapanuli Selatan. Setiap tampil, kesenian ini memakan waktu empat jam. Daya
tarik kesenian ini adalah joget dan tariannya yang ceria, sesuai dengan lagu-lagu yang dibawakan.
2. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung
Tari Tor-Tor Naposo Nauli Bulung adalah merupakan jenis tarian
Tor-Tor Sumatera Utara yang khusus di tarikan oleh pemuda-pemuda
dan pemudi secara berpasangan. Penampilan tari Tor-Tor Naposo
Nauli Bulung biasanya terdiri dari 3 penari wanita dan 3 penari pria,
dibarisan terdepan (Na Isembar) adalah para anak gadis yang
memiliki marga yang sama misalnya Nasution, maka dibarisan
belakang (Pengayapi) adalah para pemuda yang (Harus) bermarga
lain misalnya Lubis atau sebaliknya para anak gadis di barisan depan
(Na Isembar) bermarga Nasution, sedangkan dibarisan belakang
(Panyembar) harus bermarga Lubis atau marga-marga lain seperti
Rangkuti, Pulungan, Matondang, Daulae, dan Batubara.

3. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Guro-Guro Aron Terang Bulan


Tari Guro-Guro Aron adalah arena muda-mudi untuk saling kenal dan
sebagai lembaga untuk mendidik anak muda-mudi mengenal adat.
Dahulu acara ini dibuat sebagai salah satu alat untuk membudayakan
seni tari agar dikenal dan disenangi oleh muda-mudi dalam rangka
pelestariannya. Acar ini dilengkapi dengan alat-alat musik khas
yakni : Sarune, Gendang (Singindungi dan  Singanaki) juga dari
penganak.

4. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Tor-Tor Tepak


Tor-Tor Tepak dilakukan pada saat upacara perkawinan Horja Godang Haroan Boru
(Datangnya pengantin/ Horja Godang untuk perkawinan). Tortor Tepak adalah jenis
tari persembahan atau tari pembuka untuk sidang adat pada masyarakat Mandailing
yang dilaksanakan pada saat upacara perkawinan Horja Godang Haroan Boru, yang
dilaksanakan selama tiga hari tiga malam, atau tujuh hari tujuh.

5. Tari Tradisional Mandailing Sumatera Utara - Sarama Datu


Dalam upacara ritual seperti Paturun Sibaso (Marsibaso) atau disebut juga pasusur
begu, tarian Sarama diiringi oleh ensambel musik Gordang Sambilan, sedangkan
penarinya satu orang yang dinamakan Sibaso, adalah tokoh Shaman dalam religi lama
orang Mandailing yang disebut Si Pelebegu.

Di masa lalu, upacara ritual Paturun Sibaso diselenggarakan manakala pada suatu huta
atau banua terjadi musibah besar seperti mewabahnya penyakit kolera dan musim
kemarau atau sebaliknya musim penghujan yang berkepanjangan sehingga
mengganggu aktifitas pertanian penduduk setempat, yang pada akhirnya akan
menimbulkan kelaparan karena habisnya persediaan padi (beras) sebagai makanan
pokok mereka. Untuk mengatasi Bala Na Godang (Bencana Besar) tersebut, mereka meminta pertolongan
begu, yaitu roh-roh leluhur, melalui perantaraan Sibaso karena menurut keyakinan mereka dahulu hanya
Sibaso inilah yang dapat berkomunikasi dengan begu.

Upacara ritual Paturun Sibaso dahulu dilaksanakan di alaman bolak (Halaman Luas) dari Bagas Godang
(Istana Raja), yang dihadiri oleh Raja, Namora Natoras, Si Tuan Najaji (Penduduk Setempat) dan seorang
tokoh supranatural bernama Datu yang sangat besar peranannya, terutama untuk memimpin pelaksanaan
upacara-upacara ritual. Ketika itu, datu dipandang sebagai "Gudang Ilmu" karena ia memiliki berbagai
macam kearifan tradisional (Traditional Wisdom) yang sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan hidup
komunitas huta atau banua.

Dalam upacara ritual Paturun Sibaso disediakan makanan khusus untuk Sibaso, yaitu parlaslas, yang
diletakkan di atas sebuah nampan antara lain berisi Garing (Ikan Jurung) yang dibakar dan Pege
(Lengkuas), serta Ngiro (Air Nira) di dalam Tanduk Ni Orbo (Wadah yang terbuat dari tanduk kerbau).
Setelah Gordang Sambilan dimainkan dengan Gondang (Repertoar Musik) khusus bernama Mamele
Begu, Sibaso pun menari-nari dan kemudian mengalami kesurupan (Trance). Dalam keadaan kesurupan
ini, Sibaso meminta makan dan minum. Setelah makan dan minum, Sibaso kembali menari-nari. Tidak
lama kemudian, sang Datu menghampiri Sibaso untuk memberitahukan adanya suatu peristiwa Bala Na
Godang (Musibah Besar) yang sedang melanda penduduk dan memohon kepada Sibaso agar berkenan
menanyakan apa penyebab dan bagaimana solusinya kepada begu karena pemduduk sudah tidak mampu
lagi untuk mengatasinya. Setelah itu, Sibaso memberitahukan apa penyebab dan bagaimana caranya
mengatasi musibah besar itu kepada sang Datu. Setelah itu, Sibaso pun terjatuh, lalu tidak sadarkan diri
(Pingsan). Beberapa saat kemudian ia pun sadar kembali seperti semula, yakni keadaannya sebelum
upacara ritual tersebut dimulai.

Mengenal Makna Dalam Kain Ulos Batak Mandailing


Menurut kepercayaan suku Batak, ada 3 sumber kehangatan. Yaitu matahari, api dan kain ulos. Ulos
merupakan kain tenun khas batak yang menyimpan makna tiap jenis motifnya. Beda suku bataknya, beda
pula jenis ulos kebanggaannya.
Ulos khas Mandailing tak banyak, hanya lima jenis. Berikut penjelasan fungsi tiap jenisnya.
Paling sering ditampilkan pada acara adat adalah :
1. ulos sadum.
Terutama acara-acara perayaan maupun penyambutan orang penting. Selain itu jenis
ulos ini kerap dijadikan kenang-kenangan dan pajangan. Motifnya yang kaya estetika
juga ragam warna cerah membuat ulos ini terlihat mewah.
Ulos sadum pun dipakai sebagai gendongan atau paroppa di Tapanuli Selatan.
Gendongan bayi keturunan raja. Pada acara-acara sidang adat raja pun sering
digunakan sebagai alas sirih harunduk panyurduan saat mengundang para raja.
2. ulos sabe-sabe.
Selendang adat yang dipakai khusus saat membawakan tarian tor-tor. Saat manortor
pihak mora akan menyelimutkan ulos ini pada pihak suhut atau orang yang berpesta.
Jika pesta pernikahan, ulos akan diberikan oleh para Tulang atau saudara laki-laki
Ibunya pengantin pria kepada kedua pengantin. 

3. ulos ragi hotang.

Ragi maknanya corak sedangkan hotang artinya rotan.Ulos Ragi Hotang juga diberikan
pada pengantin saat prosesi adat pernikahan. Harapannya agar ikatan batin pernikahan
pengantin erat seperti rotan.
Selain untuk pengantin,ulos ini juga dapat mengobati seseorang yang picik. Atas izin
Tuhan bisa berubah jadi lebih baik. Konon ulos ini juga sering dipakai membungkus
jenazah. Bahkan saat prosesi pemakaman kedua, ulos ini dijadikan pembungkus
tulang-belulang jenazah. 
4. Harungguan.
Jenis kain yang disematkan pada seseorang yang mendapat jabatan pemimpin atau
naik pangkat pekerjaan. Ulos ini melambangkan suka cita. Wujud meminta doa restu
keberhasilan atas apa yang telah dicapai.
Asal kata harungguan berasal dari marunggu, artinya berkumpul. Seluruh jenis motif
dimasukkan dalam ulos ini. 

5. ulos Sibolang.
Penggunaannya dapat dipakai pada semua kegiatan adat. Baik berduka maupun sedang
bersuka cita. Jika berduka, pilihan warna hitam ulos ditonjolkan. Sedangkan jika
bersuka cita memakai warna putih.
Walaupun bisa dipakai tiap kegiatan adat, namun kurang tepat jika dijadikan
gendongan dan saat mangupah. Saat upacara pernikahan pun nama ulos sibolang akan
disebut dengan ulos pamontari.
Penamaan kain ulos sibolang punya makna bahwa orang yang membawakannya adalah
orang yang berjasa istilahnya mambolang-bolangi dalam pernikahan adat.
Saat manortor misalnya, orang tua pengantin perempuan akan memberikan ulos ini kepada orang tua si
pengantin pria juga kepada kedua pengantin.

Anda mungkin juga menyukai