Anda di halaman 1dari 11

1

8 ETNIS DI SUMATERA UTARA



Suku Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema
kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari
Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai
Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan
Batak Mandailing.
Saat ini pada umumnya orang Batak menganut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan
Islam Sunni. Tetapi ada pula yang menganut kepercayaan tadisional yakni: tradisi Malim dan
juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah
penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang
orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti
arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah
ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda
(Neolitikum).
[2]
Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang
ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke
Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India
mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus
yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi
sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus
diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir
Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh
pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara.
Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu
suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan
beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di
Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo,
Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.
Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula
yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu
atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang.
Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat
kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi
sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan,
atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan
2

sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran
mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial.
[6]
Dalam disertasinya J.
Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba
menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun
mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-
kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa
Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak.
Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari
Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan
karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang
tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah
setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah
asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi
unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang
diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke
pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk
menguasai Barus.

Suku Batak Angkola
Angkola adalah salah satu sub Suku Bangsa Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang
tinggal di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Nama Angkola berasal dari nama sungai, yakni batang Angkola (batang : sungai) yag diberi
nama seorang penguasa yang bernama Rajendra Kola (angkola /yang dipertuan kola), melalui
Padang Lawas, dan kemudian berkuasa di saat itu. Di sebelah selatan batang angkola diberi nama
Angkola Jae (hilir) dan di sebelah utara sungai batang angkola diberi nama Angkola julu (hulu).

Suku Batak Angkola sendiri mengenal paham kekerabatan patrilineal. Dalam sistem patrilineal,
orang Angkola mengenal marga. Di Angkola hanya dikenal beberapa marga saja, antara lain
Siregar, Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan Hutasuhut. Orang Batak
Angkola mengenal pelarangan kawin semarga.
Suku Batak Mandailing
Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten
Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten
Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten Pasaman dan
Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi
3

Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal ini terlihat
dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Pada masyarakat Minangkabau, Mandailing atau Mandahiliang menjadi salah satu nama suku
yang ada pada masyarakat tersebut.
Asal Muasal Nama
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti
sebuah wilayah Kerajaan Kalinga. Kerajaan Kalingga adalah kerajaan Nusantara yang berdiri
sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang
mendirikan Kesultanan Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan
pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima. Sri Paduka
Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari wilayah Tamil, India Selatan, dengan
rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang
kemudian dikenal dengan nama Ang Chola (baca: Angkola). Ang adalah gelar kehormatan untuk
Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang terbentang
dari Portibi hingga Pidoli. Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande
hilang yang bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan yang mengatakan
bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Mandailing Bukan Batak
Dalam hal ini banyak sejarahwan asing menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak
mulai pada masa pemerintahan Belanda, padahal orang-orang Mandailing sendiri menolak untuk
disatukan dalam etnis Batak dalam administrasi pemerintahan Belanda pada awal abad 20 lalu,
yang dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada
tahun 1925, yang berlanjut ke pengadilan. Hingga akhirnya, berdasarkan hasil keputusan
Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah
dari Batak, karena etnis Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing berdasarkan
silsilah yang diakui etnis Batak sendiri Tarombo si Raja Batak,- nenek moyang orang Batak,
yang ibunya yang bernama Deak Boru Parujar berasal dari etnis Mandailing. Etnis Mandailing
sendiri menurut silsilahnya berasal dari etnis Minangkabau.
Adat Istiadat
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga),
yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang Mandailing mengenal tulisan yang
dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang
berasal dari huruf Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara
Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku
Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk
menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha (pustaka). Namun amat sulit menemukan catatan
sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan
pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk,
serta ramalan mimpi.

4

Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal.
Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal
belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri,
Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan
Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing
tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal ini lah yang menyebabkan marga orang Batak
bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga yang baru.
Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi perkawinan semarga, maka
mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau,
tergantung status sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi
dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah berubah, terutama di
perantauan.


Suku Batak Pakpak
Suku Batak Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia.
Tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi,
Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah (Sumatera
Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam (Provinsi Aceh)
Dalam administrasi pemerintahan, suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di
Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni:
1. Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
2. Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)
Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India
yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
Pembagian
Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak
Silima Suak yang terdiri dari:
1. Pakpak Klasen, berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah kabupaten
Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari kabupaten
Tapanuli Tengah.
2. Pakpak Simsim, berdiam di kabupaten Pakpak Bharat.
3. Pakpak Boang, bermukim di propinsi Aceh yaitu di kabupaten Aceh Singkil dan kota
Subulussalam. Suku Pakpak Boang ini banyak disalahpahami sebagai suku Singkil.
4. Pakpak Pegagan, bermukim di Sumbul dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
5. Pakpak Keppas, bermukim di kota Sidikalang dan sekitarnya di Kabupaten Dairi.
5

Marga Pakpak
Anakampun
Angkat
Bako
Bancin
Banurea
Berampu
Berasa
Beringin
Berutu
Bintang
Boang Manalu
Capah
Cibro
Gajah Manik
Gajah
Kabeaken
Kesogihen
Kaloko
Kombih
Kudadiri
Lingga
Maha
Maharaja
Manik
Matanari
Meka
Maibang
Padang
Padang Batanghari
(BTH)
Pasi
Penarik Pinayungan
Sambo
Saraan
Sikettang
Sinamo
Sitakar
Solin
Saing
Tendang
Tinambunan
Tinendung
Tumangger
Turutan
Ujung
Suku bangsa Pakpak diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dengan sulang silima.
Sulang silima terdiri dari lima unsur yakni: 1. Sinina tertua (Perisang-isang (keturunan atau
generasi tertua) 2. Sinina penengah (Pertulan tengah (keturunan atau generasi yang di tengah) 3.
Sinina terbungsu (perekur-ekur = keturunan terbungsu) 4. Berru (kerabat penerima gadis) 5.
Puang (kerabat pemberi gadis)
Kelima unsur ini sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai aspek
kehidupan terutama dalam sistem kekerabatan, upacara adat maupun dalam konteks komunitas
lebbuh atau kuta. Artinya ke lima unsur ini harus terlibat agar keputusan yang diambil menjadi
sah secara adat.
Upacara adat Pakpak dinamakan dengan istilah kerja atau kerja-kerja. Namun saat ini sering juga
digunakan istilah pesta. Upacara adat tersebut terbagi atas dua bagian besar yakni: 1. Upacara
adat yang terkait dengan suasana hati gembira dinamakan kerja baik; 2. Upacara adat dalam
suasana tidak gembira dinamakan kerja jahat.
Contoh kerja baik adalah: merbayo (upacara perkawinan), menanda tahun (upacara menanam
padi), merkottas (upacara untuk memulai sesuatu pekerjaan yang beresik0) dan lain-lain. Contoh
kerja jahat adalah mengrumbang dan upacara mate ncayur ntua (upacara kematian).
[1]



Suku Mandahiling
Etnis Mandahiling yang seringpula didialekkan Mandailing, adalah 'suku bangsa' (orang
Mandailing menyebutnya Bangso Mandailing) yang mendiami 3 Provinsi di Pulau Sumatera,
yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau di Indonesia. Orang
Mandailing di Provinsi Sumatera Utara berada di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten
Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten
Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Asahan dan Kabupaten Batubara sedangkan di Provinsi Sumatera Barat berada pada Kabupaten
6

Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat, dan di [[Provinsi Riau}} berada di Kabupaten Rokan
Hulu. Pada awal masa penjajahan Belanda, kesemua wilayah Mandailing awalnya masuk dalam
Karesidenan Mandahiling atau Residentee Mandahiling di bawah Sumatra's West Kust
Gouvernement atau Gubernuran Pesisir Barat Sumatera, bersama-sama Karesidenan Padang Laut
(Padang Lauik) dan Karesidenan Padang Darat (Padang Darek).
Namun ketika Kesultanan Barus berhasil dikuasai Belanda (Setelah perjanjian di London
Tracktaat Londonsche antara Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda, yang menukar guling
wilayah Sumatera bagian utara yang awalnya diklaim Inggris dan wilayah Kalimantan bagian
utara yang awalnya telah dikuasai Belanda), termasuk Afdeeling Tanah Batak (Negeri Toba dan
Negeri Silindung), yang kalau itu berada di bawah Kesultanan Aceh, Karesidenan Mandailing
dihapuskan. Sebagian wilayah Mandailing digabungkan dalam wilayah Karesidenan Tapanuli
yang berpusat di Tapian Na Uli (Tapanuli) di Barus, namun tetap dalam West Kust Sumatra's
Gouvernement. Sementara itu wilayah Lubuksikaping (Pasaman dan Pasaman Barat) masuk
dalam Karesidenan Padang Darat dalam West Kust Sumatra's Gouvernement, dan wilayah
Tambusai (Rokan Hulu) masuk dalam wilayah Riaw Gouvernement. Di lain pihak sebagian lagi
wilayah Mandailing masuk dalam Oost Kust Sumatra's Gouvernement atau Gubernuran Pantai
Timur Sumatra, yaitu wilayah Labuhanbatu, Asahan dan Batubara. Wilayah Mandailing yang
masuk dalam Karesidenan Tapanuli adalah Mandailing Natal, Mandailing Angkola,
Padangsidempuan, dan Mandailing Padanglawas.
Semenjak berdiri Karesidenan Tapanuli, ibukota Mandailing di kota Padangsidempuan
dipindahkan secara berganti-ganti antara Kota Tapanuli dan Kota Padangsidempuan. Ketika
masih Karesidenan Mandailing, ibukotanya pertama kali di Air Bangis sehingga dikenal sebagai
Karesidenan Air Bangis, kemudian pindah ke Kotanopan, lalu ke Kota Panyabungan dan terakhir
adalah Kota Padangsidempuan. Wilayah Karesidenan Mandailing inilah yang disebut sebagai
wilayah Kesultanan Mandailing dengan sultan terakhirnya adalah Raja Gadumbang (Lubis
Nasution). Setelah itu, pemerintahan Mandailing terpecah belah dalam beberapa Kuria yang
dibentuk oleh Belanda dalam rangka Devide et Impera, hingga mencapai 50 Kuria. Kuria sendiri
berasal dari Bahasa Arab, yaitu 'Qurya' yang berarti 'negeri', yang sering dipakai istilahnya dalam
pemerintahan Darul Islam Minangkabau selama masa perang Paderi untuk menggantikan istilah
'nagari' atau 'negeri'.
Wilayah Kesultanan Mandailing dikenal juga sebagai Kesultanan Pagaruyung Utara, yang
dahulu terpecah akibat turun tahtanya Raja Pagaruyung Daulat Yang Dipertuan Raja Naro pada
awal abad ke-19, yang digantikan Daulat Yang Dipertuan Muningsyah II oleh Baso Nan Ampek
Balai (4 raja yang merupakan pengawas tahta raja-raja Pagaruyung secara turun menurun
menurut adat), yang berlanjut dengan Perang Paderi. Namun perpecahan ini sudah disatukan
semenjak Anwar Nasution yang mewakili pihak Kesultanan Pagaruyung Utara yang berpusat di
Aek Na Ngali (Aia Madingin) di Batang Natal, - beberapa tahun lalu -, diundang pihak keluarga
Kesultanan Pagaruyung (Selatan) di Batusangkar untuk kembali bersatu, setelah 200 tahun
terpecah kongsi akibat perang saudara. Pada masyarakat Minangkabau, nama Mandailing atau
Mandahiliang menjadi salah satu nama 'suku' atau 'nama keluarga dari garis ibu' (sistem
matrilineal) yang ada pada masyarakat Minangkabau.
Mandailing Bukan Batak
Dalam rangka devide et impera, banyak sejarahwan asing yang dipengaruhi pemikiran Gubernur
Jenderal Hindia Timur Thomas Stamford Raffless dalam rangka kristenisasi, menjadikan
Mandailing menjadi sub etnis dari Batak. Secara administrasi, pemasukan Mandailing dalam sub
7

etnis Batak dimulai pada masa pemerintahan Belanda pada awal abad ke-20 lalu, walau pun
orang-orang Mandailing yang diwakili raja-raja Kuria menolak untuk disub etniskan dalam etnis
Batak. Akibatnya muncul peristiwa yang dikenal sebagai Riwajat Tanah Wakaf Bangsa
Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, hingga berlanjut ke pengadilan.
Akhirnya, berdasarkan hasil keputusan Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia,
Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena berdasarkan de facto, etnis Batak
sendiri sebenarnya lebih muda dari etnis Mandailing. Berdasarkan silsilah yang diakui etnis
Batak sendiri dalam Tarombo Si Raja Batak,- Si Raja Batak merupakan nenek moyang orang
Batak, ibunya yang bernama Deak Boru Parujar berasal dari etnis Mandailing. Jadi sebelum ada
etnis Batak, etnis Mandailing sudah ada. Etnis Mandailing sendiri, menurut silsilahnya berasal
dari etnis Minangkabau.
Asal Muasal Nama
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari 2 kata dari bahasa Sansekerta
(Melayu/Jawa Kuno), yaitu kata Mandala dan Holing. Mandala berarti pusat dari federasi
beberapa kerajaan, sedangkan Holing/Hiling/Kalingga berasal dari nama Kerajaan Kalinga.
Kerajaan Kalingga diperkirakan berdiri sebelum digantikan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7
dengan raja terakhirnya Sri Paduka Maharaja Indrawarman putra dari Ratu Shima. Sri Maharaja
Indrawarman juga merupakan saudara kandung dari Raja Sanjaya yang membentuk Mataram
Hindu di Pulau Jawa, setelah menikahi Ratu Galuh, yang di kemudian hari disebut juga sebagai
Kerajaan Medang (yang raja-rajanya bergantian antara keturunan Syailendra dan Sanjaya yang
diikat dalam tali perkawinan antar keturunan keduanya, untuk mengakhiri peperangan antar dua
wangsa keturunan Wijaya itu, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra).
Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing juga bisa diartikan sebagai mande hilang yang
bermaksud "ibu yang hilang". Oleh karenanya ada pula anggapan berdasarkan silsilah, yang
mengatakan bahwa masyarakat Mandailing berasal dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Itu sebabnya bahasa Melayu dialek Minangkabau masih dikenal luas sebagai bahasa asli di
wilayah-wilayah penyebaran etnis Mandailing di Sumatera.
Adat Istiadat
Suku Mandailing mempunyai aturan adat istiadat yang diatur dalam suatu tuntunan yang
bernama Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga). Surat Tumbaga Holing biasanya
selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Selain itu, orang Mandailing pun mengenal tulisan
yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak atau Urup Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara
Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa. Bentuknya tidak berbeda dengan Aksara
Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya.
Meskipun Etnis Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan
dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha / pustaka, tetapi hampir tidak
ada sejarah yang dituliskan dalam huruf itu, umumnya huruf itu hanya digunakan untuk menulis
aturan adat dan pengobatan. Sejarah Mandailing sendiri berkaitan erat dengan Sejarah
Minangkabau, namun perbedaannya sejarah Mandailing diceritakan berdasarkan garis silsilah
laki-laki, sementara sejarah Minangkabau berdasarkan garis silsilah perempuan. Oleh sebab itu,
sejarah Mandailing umumnya tertulis dalam bahasa Minangkabau.
8

Suku Nias
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang
Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau
Nias sebagai "Tan Niha" (Tan = tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrak yang mengatur segala segi kehidupan
mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik
dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan
di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12
tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai
tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang
dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Asal Usul
Mitologi

Tari Perang
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon
kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehli
Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias
dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehli
Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-
orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Penelitian Arkeologi
Penelitian Arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999. Penelitian ini menemukan
bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000 tahun silam yang bermigrasi dari daratan
Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau kata
Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada
masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias,
sehingga diduga kalau asal usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini
menjadi negara yang disebut Vietnam.
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal dari rumpun
bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur
Filipina 4.000-5.000 tahun lalu
[3]
,
[4]
.
9

Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus
MC-University Medical Center Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi
Molekuler Eijkman, Jakarta, Senin (15/4/2013). Dalam penelitian yang telah berlangsung sekitar
10 tahun ini Oven dan anggota timnya meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias.
Dari semua populasi yang kami teliti, kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat
mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina, katanya.
Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY,
sedangkan perempuan XX. Mitokondria-DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.
Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak dari
masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias Tengah.
Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia yang
menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu.
Keragaman genetika masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat
lain, khususnya dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck
(kemacetan) populasi dalam sejarah masa lalu Nias, katanya.
Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan masyarakat di
Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis bertetangga.
Jejak terputus
Menanggapi temuan itu, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sony Wibisono
mengatakan, teori tentang asal usul masyarakat Nusantara dari Taiwan sebenarnya sudah lama
disampaikan, misalnya oleh Peter Bellwood (2000). Teori Bellwood didasarkan pada kesamaan
bentuk gerabah.
Masalahnya, apakah migrasi itu bersifat searah dari Taiwan ke Nusantara, termasuk ke Nias,
atau sebaliknya juga terjadi? katanya. Sony mempertanyakan bagaimana migrasi Austronesia
dari Taiwan ke Nias itu terjadi.
Herawati Sudoyo, Deputi Direktur Lembaga Eijkman yang juga menjadi pembicara,
mengatakan, migrasi Austronesia ke Nusantara masih menjadi teka-teki. Logikanya, dari
Filipina mereka ke Kalimantan dan Sulawesi. Tetapi, sampai saat ini data genetika dari
Kalimantan dan Sulawesi masih minim. Masih ada missing link, katanya.
Di Kalimantan, menurut Hera, yang diteliti genetikanya baru etnis Banjar. Hasilnya
menunjukkan, mereka masyarakat Melayu. Di Sulawesi yang diteliti baru Sulawesi Selatan.
Masih banyak studi yang harus dilakukan, katanya.
Marga Nias
Lihat pula: Daftar marga Nias
Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya
berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada.

10

Suku Simalungun
Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera
Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber
menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini
terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3
marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga)
tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si
Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan
orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.
Asal-usul
Terdapat berbagai sumber mengenai asal usul Suku Simalungun, tetapi sebagian besar
menceritakan bahwa nenek moyang Suku Simalungun berasal dari luar Indonesia.
Kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang
[1]
:
1. Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India
Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri
Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan
mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.
2. Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun
yang bertetangga dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa
rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak
dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah
sampai Batubara. Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah
pinggiran danau Toba dan Samosir.Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno)
mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun) merupakan
kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka)
hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas
di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau. Kini, di Kabupaten Simalungun sendiri, Akibat
derasnya imigrasi, suku Simalungun hanya menjadi mayoritas di daerah Simalungun Atas.
Kehidupan masyarakat Simalungun


Peta pembagian kecamatan Kabupaten Simalungun ke dalam Simalungun Atas dan Simalungun
Bawah.
11

Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung,
karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil
padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa
dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan
dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.
Sistem Politik
Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang
terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.
[4]

Kerajaan tersebut adalah:
1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
2. Panei (Januari 1904, SK No.6)
3. Dolok Silou
4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)
Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:
1. Raya (Januari 1904, SK No.6)
2. Purba
3. Silimakuta
Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda datang maka ketiga
Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan
dalam Onderafdeeling Simalungun.

Anda mungkin juga menyukai