Anda di halaman 1dari 18

VOKAL TRADISI NUSANTARA

Dosen pengampu : LAMHOT BASANI SIHOMBING, S.Pd., M.Pd

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK ETNIS KARO

1) YAHDI ASSEGAF 6. ANDREAS RENANDO PURBA

2) KEMUNING 7. HALOMOAN

3) GRACEA GABRIELA 8. MICHAEL CORNELIUS P

4) ESTER JULINAR SIMANUNGKALIT 9. ALFIQRI RAMADAN

5) CINDY SERAFIM SILITONGA

PRODI PENDIDIKAN SENI MUSIK

JURUSAN SENDRATASIK

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
LATAR BELAKANG KARO

Indonesia memiliki banyak pulau. Setiap pulau tersebut mempunyai beragam budaya dan
tradisi. Beragam budaya dan tradisi mencirikan keberadaan berbagai suku bangsa. Di
Sumatera Utara terdapat beberapa suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak
Simalungun, Batak Mandailing, Batak Pak-Pak dan Batak Angkola. Setiap suku Batak
tersebut mempunyai tradisi dan budaya yang berbeda seperti tradisi Kerja Tahun dari suku
Batak Karo. Suku Batak Karo terdapat di dataran tinggi Sumatera Utara yaitu kabupaten Karo
dengan ibu kota kabupaten ini adalah Kabanjahe. Mitos tradisi Kerja Tahun pada jaman
dahulu dilaksanakan untuk merayakan hasil panen. Masyarakat Karo kerja sebagai petani.
Dominasi tanaman produksi adalah tanaman padi yang biasa disebut dengan Siberu Dayang.
Dari awal proses tanam padi selalu disyukuri dengan harapan mempunyai hasil yang baik.
Masyarakat Karo pada jaman dulu menganut ajaran “pemena” atau roh roh yang dipercaya
membawa keberhasilan. Oleh karena itu, dari proses awal penanaman sampai panin
dibutuhkan upacara khusus. Upacara – upacara tersebut menjadi dasar untuk
diselenggarakannya Kerja Tahun pada masyarakat Karo. Pada penyebutan Kerja Tahun, kata
“Kerja” dalam bahasa Karo mempunyai arti pesta.
Di dalam acara Kerja Tahun inilah masyarakat Karo dari jaman dulu sampai sekarang
menunjukkan bakat - bakat seni, mulai dari menyanyi, menari dan bermain alat musik tradisi
Batak Karo. Lagu yang biasa dibawakan untuk membuka acara tersebut adalah Gendang
Pengalo yang artinya musik pemanggil masyarakat atau warga yang terdapat didalam desa
tersebut. Pengertian “gendang” dalam masyarakat Karo adalah musik.
Suku Batak Karo juga mempunyai alat musik tradisi yaitu gendang indung, gendang anak,
penganak, gong, sarunei, baluad, kulcapi dan surdam. Selain alat musik tradisi, masyarakat
karo juga mempunyai teknik menyanyi yang biasa disebut dengan rengget. Bukan hanya
menyanyi saja yang mempunyai teknik merengget, setiap alat musik tradisi Batak Karo yang
bermelodi menggunakan teknik rengget untuk menghasilkan bunyi merengget. Rengget
merupakan ciri khas musik dan vokal tradisi Batak Karo. Rengget mempunyai pengertian
cengkok. Masyarakat Batak Karo pada jaman dulu sering menyanyikan mantra atau doa
dengan cara merengget. Teknik ini juga muncul pada saat dimainkan repartoar repartoar
gendang pengalo saat acara kerja tahun.
Melihat kondisi sekarang ini, alat musik tradisi Batak Karo mulai jarang ditampilkan dan
beberapa alat menghilang. Penyebab dari hilangnya beberapa alat musik tradisi Batak Karo
tersebut adalah sumber daya manusia berupa pengajar yang masih tergolong minim, serta
kurangnya apresiasi masyarakat Batak Karo terhadap alat musik tradisinya. Hal ini memberi
acuan bagi penulis untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Batak Karo terhadap alat musik
tradisinya. Oleh karena itu dirancang sebuah karya atau aransemen yang mengkolaborasikan
combo band dan alat etnis Batak Karo. Selain itu, pengkolaborasian tersebut juga bertujuan
untuk meningkatkan kembali karakter atau nuansa musik Batak Karo melalui konser
pertunjukan akhir yang berjudul “Rengget”.
Pertunjukan akhir ini mengangkat beberapa repartoar instrumental dan lagu - lagu dari
Batak Karo. Instrumental dan lagu - lagu tersebut diaransemen mulai dari pengembangan
akord, harmoni, improvisasi dan sinkopasi. Pertunjukan akhir ini akan menggunakan dua
instrument yaitu gitar elektrik dan kulcapi. Selain dua instrumen penting tersebut,
pertunjukan juga diiringi combo band dan alat perkusi tradisi Batak Karo. Kulcapi
merupakan alat petik tradisi Batak Karo. Oleh karena itu, dalam rancangan karya ini, rengget
juga dimainkan pada alat musik bermelodi yaitu gitar. Meskipun dalam rancangan tersebut
bukan hanya gitar yang berbentuk melodi, tetapi juga terdapat instrumentasi melodi lainnya.
Namun demikian, instrument tersebut berfungsi sebagai harmoni dan pengiring.
Karo merupakan salah satu etnis di Sumatera Utara yang sangat kaya akan Kesenian.
Salah satu dari kesenian yang terus berkembang hingga saat ini adalah seni musik. Dalam
kesenian masyarakat Karo terdapat dua jenis ansambel musik tradisional yang dipakai dalam
upacara ritual maupun pertunjukan kesenian yaitu gendang lima sendalanen biasa juga
disebut dengan gendang sarune dan gendang telu sendalanen atau biasa juga disebut
gendang kulcapi yang di dalamnya terdapat beberapa jenis instrumen musik tradisional
Karo. Pada pembahasan selanjutnya gendang lima sendalanen akan disebutkan gendang
sarune dan gendang telu sendalanen akan disebutkan gendang kulcapi.
Di dalam ansambel gendang kulcapi terdapat beberapa buah instrumen musik salah
satunya adalah kulcapi. Instrumen ini merupakan salah satu di dalam ansambel musik
gendang kulcapi yang dalam klasifikasi alat musiknya termasuk ke dalam kordofon.1 (two-
strenged fretted-necked lute) Kulcapi sering sekali dipergunakan pada upacara ritual,
upacara adat Karo maupun pertunjukan kesenian musik Karo. Kulcapi terbuat dari kayu
tualang2. Dalam ensambel gendang kulcapi , kulcapi berfungsi sebagai pembawa melodi
utama.
Hingga sekarang alat musik tersebut masih memegang peranan di dalam masyarakat Karo.
Sejauh pengetahuan penulis, pembuat kulcapi ada beberapa orang yaitu Baji SEmbiring dari
1
2
desa Seberaya kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, Ropo Tarigan (bp.Dep) dari
Berastagi Kabupaten Karo, Pulungenta Sembiring bearasal dari Desa Sarimunte kecamatan
Munte Kabupaten Karo kini tinggal di kota Medan, Bangun Tarigan dari Kabanjahe dan
Muhammad Pauji Ginting yang awalnya tinggal di desa Lingga kecamatan Simpang Empat
kabupaten Karo, kini tinggal di Desa Hulu Jl.Dewantara, Pancur Batu.
Diantara pembuat kulcapi tersebut, penulis mengkaji kulcapi buatan bapak
Muhammad Pauji Ginting. Dalam hal membuat dan memainkan alat musik Kulcapi, bapak
Pauji Ginting dipandang mahir dan piawai oleh masyarakat pendukungnya. Selain bermain
dan membuat Kulcapi, beliau juga aktif dalam beberapa kegiatan kesenian Karo, yang salah
satunya memegang peranan Koordinator dalam sebuah grup Gallery yang bernama Gallery
Mejuah-juah3.
Dalam Proses pemilihan bahan baku serta pembuatanya bapak .Pauji Ginting masih
menggunakan alat-alat tradisional. Menurut Bapak Pauji Ginting Kulcapi hasil buatannya
sudah dipergunakan oleh pemain Kulcapi profesional seperti : Jasa Tarigan, Sorensen
Tarigan, Ramona Purba dll, juga dipergunakan dalam pertunjukan skala nasional seperti JCC
(Jakarta Convention Center) pada acara Produk Kreatif anak bangsa, Gendang Merga Silima
di kota Balam, Riau. Selain itu Kulcapi buatan bapak Pauji Ginting sudah pernah di kirim ke
berbagai daerah seperti, TMII (Taman Mini Indonesia Indah), Jakarta, Museum GBKP di
Taman Jubelium Suka Makmur, Deli Serdang, Gedung Kesenian Karo program Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karo, bahkan sampai ke luar negeri yaitu negara
Belanda dan kulcapi tersebut juga sering dipakai pada rekaman VCD lagu-lagu karo seperti ;
album tradisional karo “peratah-ratahi bulung si kerah” copyright 2010 rekaman BS record,
album gendang salih copyright 2011 rekaman Emma record, lagu-lagu karo “Karina”
copyright 2012 rekaman BS record, dll..

LETAK GEOGRAFIS KARO

3
Secara geografis daerah tingkat II Kabupaten Karo terletak diantara 2 derajat 50’
Lintang Utara sampai 3 derajat 19’ Lintang Utara dan 97 derajat 55’ Bujur Timur. Sebelah
utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang, sebelah Selatan berbatasan
dengan ujung utara Danau Toba dan Kabupaten Dairi, sebelah Timur berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Daerah
tingkat II Kabupaten Aceh Tenggara.

Kabupaten ini mempunyai luas 2,127.25 km bujursangkar atau 212,275.00 ha atau


2,97 % dari luas Provinsi Sumatera Utara. Daerah ini merupakan daerah pegunungan dengan
puncak tertinggi Sinabung (2417 m ) dan gunung Sibayak (2172 m ) mempunyai Danau yang
indah danau Lau Kawar dengan luas (50 ha ) dengan kedalaman 100 m .

TARI – TARIAN KARO


Salah satu yang menarik dari ragam pengiring musik Karo selain instrumen tradisional
adalah tari tarian. Sebuah tarian bagi orang Karo memiliki jiwa (soul) yang cukup
berpengaruh terhadap jalannya musikalisasi permainan, terutama apabila sedang
berpenampilan di khayalak umum, seperti halnya gendang guro guro dan kerja tahun. .

Dalam tarian Karo, terdapat banyak sekali makna yang terwakili dalam gerak - gerik sang
penari, terutama pada tiga bagian utama yaitu endek (penghentakan irama kaki yang selaras
dengan pukulan penganak dan gung), jole / jemole (goyangan badan) dan tan lempir
(gemulainya / lentiknya jemari tangan yang mampu menekuk ke belakang untuk
mempercantik tampilan penari). Ketiganya biasanya dapat diperoleh dengan kerja keras
dalam latihan, meski untuk tan lempir tidak semuanya dapat melakukannya, dengan kata lain
ada bakat tersendiri yang diperoleh sang penari sejak lahir untuk melentikkan jarinya.

Untuk tarian sendiri, Beberapa makna gerakan dalam Tari (Landek) Karo:

1. Gerak tangan kiri naik, Gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan makna selalu
menimbang segala sesuatu sebelum memutuskan untuk bertindak (tengah rukur).

2. Gerak tangan kiri ke bawah, Gerak tangan kanan ke atas, memiliki makna saling
tolong - menolong dan saling membantu (sisampat - sampaten)

3. Gerakan tangan kiri ke kanan kemudian ke depan, memiliki makna tiada boleh
mendekat apabila belum bertutur (ise pe la banci ndeher adi lenga si oraten).

4. Gerakan tangan memutar dan mengepal, maknanya persatuan, kesatuan dan


musyawarah mufakat (perarihen enteguh).

5. Gerakan tangan ke atas, memiliki makna siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat
secara sembarangan. (ise pe la banci ndeher)

6. Gerakan tangan sampai ke kepala dan membuka seperti burung merak, memiliki
makna pertimbangan sebelum memutuskan (beren rukur).

7. Gerak tangan ke kanan dan kiri sampai bahu, memiliki makna berbuat
sepenanggungan bersama (baban si mberat ras menahang radu ibaba)

8. Gerakan tangan di pinggang memiliki makna penuh tanggung jawab

9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke posisi tengah badan berdiri maknanya tanpa
memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima
dengan segala senang hati. (ise pe adi nggo ertutur ialo - alo alu mehuli).

Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga) unsur, yakni: endek
(gerakan menekuk lutut), odak atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau jemolah
jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga membentuk keindahan tari Karo
adalah lempir tan (gemulai tangan), dan ncemet jari (lentik jari).

Endek merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan
gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu mengakibatkan posisi
tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan endek itu harus disesuaikan
dengan buku gendang (bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang
sedang mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya denegan buku gendang
merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan keindahan dalam tari Karo, di beberapa
Landek penyesuaian itu bisa terlihat ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah
atau sedang berada di posisi atas.

Odak atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan mundur, maupun
melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus dimulai dengan gerakan kaki kanan, serta
dilakukan pada saat gung (Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak, unsur endek
seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat, Maksudnya, ketika penari melakukan
odak (melangkah), penari tersebut tetap melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan
odak dengan musik. Sementara itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan
atau ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan ole
juga mengikuti bunyi gung dan penganak.

Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak merupakan patokan
dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak, maupun ole. Sedangkan,
unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari merupakan unsur pendukung untuk memperindah
tari. Lempir tan diperlukan ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo,
misalnya ketika posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat
melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka kening
penari) terutama pada tari muda-mudi.

RUMAH ADAT KARO


Rumah Adat Karo Sumatera Utara ini dikenal juga sebagai rumah adat Siwaluh Jabu.
Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan keluarga. Masing-
masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut.

Rumah Adat Karo Sumatera Utara ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan
kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk.
Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena
itulah disebut rumah adat.

Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera Utara ditentukan oleh


adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu).
Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar
ujung kayu. Tetapi, ada kalanya Rumah Adat Karo Sumatera Utara terdiri atas delapan ruang
dan dihuni oleh delapan keluarga. Sementara dalam rumah ini hanya ada empat dapur.
Masing-masing jabu dibagi dua sehingga terbentuk jabu-jabu sedapuren bena kayu,
sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.

Rumah adat Siwaluh Jabu, Rumah Adat Karo Sumatera Utara. Rumah ini bertiang tinggi
dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga
Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap
ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat.
Masing-masing ruangan mempunyai nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut,
telah ditentukan pula oleh adat. Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai
berikut :

  Jabu bena kayu yaitu ruangan di depan sebelah kiri, didiami oleh pihak marga tanah
dan pendiri kampung. Ia merupakan pengulu atau pemimpin rumah tersebut.  Jabu
sedapur bena kayu yaitu ruangan berikutnya yang satu dengan jabu bena kayu, juga
dinamai Sinenggel-ninggel. Rumah Adat Karo Sumatera Utara, ruang ini didiami oleh
pihak Senina yakni saudara-saudaranya yang bertindak sebagai wakil pemimpin
rumah tersebut. Sedapat artinya satu dapur, karena setaip 2 ruangan maka di depannya
terdapat dapur yang dipakai untuk 2 keluarga.
 Jabu ujung kayu, dinamai Jabu Sungkun Berita, didiami oleh anak Beru Toa, yang
bertugas memecahkan setiap masalah yang timbul.
 Jabu sedapur ujung kayu yaitu ruangan sedapur dengan jabu ujung kayu, dinamai
Jabu Silengguri. Jabu ini didiami oleh anak beru dari jabu Sungkun Berita.
 Jabu lepan bena kayu, yakni ruangan yang terletak berseberangan dengan jabu bena
kayu, dinamai jabu simengaloken didiami oleh Biak Senina.
 Jabu sedapur lepan bena kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan bena
kayu, didiami oleh Senina Sepemeren atau Separiban.
 Jabu lepan ujung kayu, didiami oleh Kalimbuh yaitu pihak pemberi gadis, ruangan ini
disebut Jabu Silayari.
 Jabu sedapur lepan ujung kayu yaitu ruangan yang sedapur dengan jabu lepan ujung
kayu. Rumah Adat Karo Sumatera Utara, ruangan ini didiami oleh Jabu Simalungun
minum, didiami oleh Puang Kalimbuh yaitu Kalimbuh dari jabu silayari. Kedudukan
Kalimbuh ini cukup dihormati didalam adat.

Arsitektur tradisional adalah suatu bangunan yang bentuk, struktur, dan cara
pembuatannya diwariskan secara turun menurun dan dapat dipakai untuk melakukan aktivitas
kehidupan dengan sebaik baiknya. Bangunan tradisional Batak Karo memperlihatkan saat itu
telah menggunakan konsep membangun yang menyesuaikan diri dengan iklim tropis lembap.
Ini dapat dilihat dari sudut kemiringan atap yang cukup besar, teritisan yang lebar dan lantai
bangunan yang diangkat dari muka tanah.

Rumah adat Karo terkenal kerena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial budayanya.
Rumah Adat Karo memiliki kontruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua
kompenen bangunan seperti tiang, balok, kolam, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap
utuh seperti aslinya tanpa adanya melakukan penyurutan atau pengolahan. Pertemuan antar
komponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat
menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah,
bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalam setengah meter, dialasi
dengan beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat karo berbentuk panggung
dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 m dari timur ke barat
dengan pintu pada kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan rumah adat karo biasanya
mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka semacam teras dari
bambu yang disusun yang disebut ture.

Biasanya membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu
rumah mengenai besar, tempat dan hal hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah
ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan menggambil
kayu ke hutan mereka menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru.
Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan penjaga hutan agar jangan murka
kepada mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses
pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar
pembangunan rumah tersebut diberkati oleh Yang Maha Kuasa agar tidak terjadi hal hal yang
buruk.
Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak
keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru sebelum rumah itu ditempati.
Mereka akan mempimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni maupun tidak. Waktu
memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah baru (pesta memasuki rumah
baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas semua batu tersebut kepada saudara-saudara
dan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama pada kerabat,
kenalan dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana
(memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak berkompeten seperti :
kalimbubu anak beru dan senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk
rumah baru guru akan menepung tawari bagian-bagian tertentu dari rumah tujuannya ialah
agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat
para penghuni rumah bisa bahagia menepati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat
adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di
dalam rumah tersebut. Gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama
warga sedesa.

Keberadaan rumah adat Karo juga tak terlepas dari pembentukan kuta (kampung) di tanah
karo yang berawal dari barung, kemudian menjadi talun, dan menjadi kuta dan di dalam kuta
yang besar terdapat kesain. Pada sebuah barung biasa nya hanya terdapat sebuah sebuah
rumah sederhana, ketika sebuah barung berkembang dan sudah terdapat 3 rumah di dalamnya
disebut dengan talun dan bila telah terdapat lebih dari 5 rumah adat disebut sebagai kuta
ketika kuta sudah berkrmbang lebih pesat dan lebih besar maka kuta dibagi atas beberapa
kesain (halaman/pekarangan), disesuaikan dengan merga-merga yang pertama menteki
(mendirikan ) kuta tersebut.

Struktur bangunan rumah adat karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagian dunia
atas, badan rumah sebagai dunia tengah dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa
karo disebut dibata atas, dibata tengah, dan dibata teruh (allah atas, allah tengah dan allah
bawah). Pembagian anatomi rumah adat karo menggambarkan dunia atas tempat yang
disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga
layak untuk tempat binatang peliharaan, yang dalam kepercayaan suku Karo disukai oleh
Tuhan banua koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak menganggu
kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya
yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan,
pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai
memasuki rumah. Semuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai
korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan
kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang
penempatan jabunya di dalam rumah  diatur menurut ketentuan adat dan di dalam rumah itu
pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo
ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat
Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam
rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat.

Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat besar, terdiri
dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap unit keluarga besar (jabu) atau
untuk dua jabu. Oleh karena itu antara empat sampai dua belas keluarga dapat tinggal
dirumah tersebut dan dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami,
istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh dua puluh sampai
enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orang tua sampai menjelang usia dewasa, pada
pria dewasa (bujangan) tidur dibale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga
lain dirumah lainnya.

Rumah adat Batak Karo berukuran 17 x 12 m² dan tingginya 12 m² bangunan ini simetris
pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya kelihatan sama. Hal ini sulit
untuk membedakan yang mana pintu masuk utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun
dengan enam belas tiang yang bersandar pada batu-batu besar dari gunungan atau sungai.
Delapan dari tiang-tiang ini menyanga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya
penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang atap kedua pintu
masuk dan kedelapan jendela dipasang diatas dinding yang miring, di atas lingkaran balok.
Tinggi pintu kira-kira 1,5 m hal ini membuat orang yang masuk ke dalam harus
menundukkan kepala dan jendela ukuran nya lebih kecil. Pintu mempunyai daun jendela
tunggal.

Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang rumit dari
susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam dan diikatkan kepada sebuah
kerangka dari anyaman bambu yang menutupi bagian bawah kerangka dari pohon aren atau
bambu. Bubungan atap terbuat dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. bagian terendah
dari atap pertama dibagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua dinding
dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dinding atap yang menonjol ditutup
dengan tikar bambu yang sangat indah.

Fungsi utama dari ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar
dari tunggku dalam rumah. Pada bagian depan dan belakang rumah adalah panggung besar
yang disebut ture kontruksinya sederhana dari potongan bambu melingkar dengan diameter 6
cm. Panggung ini digunakan untuk tempat mencuci, menyiapkan makanan, sebagai tempat
pembuangan (kotoran hewan) dan sebagai ruang masuk utama. Jalan masuk menuju ture
adalah tangga bambu atau kayu.
PAKAIAN ADAT KARO

Warna merah dan hitam dengan hiasan emas harus dominan

Pakaian adat masyarakat Batak Karo ini dikenal dengan nama Uis Gara atau Uis Adat
Karo. Uis Gara diambil dari bahasa Karo. Uis berarti kain dan Gara berarti merah, yang jika
disatukan menjadi berarti kain merah.

Dahulu merupakan pakaian sehari-hari masyarakat Karo

Saat ini, sudah tidak banyak masyarakat Karo yang mengenakan Uis Gara sebagai
pakaian harian. Uis Gara hanya akan dipakai dalam acara-acara resmi dan juga upacara adat.
Namun dahulu, sebenarnya Uis Gara merupakan pakaian sehari-hari bagi masyarakat Batak
Karo.

Terdapat beberapa jenis Uis Gara yang berbeda jenis dan fungsinya

Pakaian adat Uis Gara beberapa varian dengan nama dan fungsi yang berbeda.
Beberapa jenis di antaranya yaitu Uis Beka Buluh yang merupakan lambing kebesaran putra
Karo. Biasa digunakan sebagai penutup kepala. Uis Gara lebih dikenal oleh khalayak sebagai
Ulos. Ulos tidak hanya menjadi ciri khas masyarakat Batak Karo, namun lebih luas lagi
menjadi pakaian adat ataupun kain tradisional suku Batak.

Ada juga Uis Gatip Jongkit

Bentuknya seperti sarung, atau oleh masyarakat sekitar disebut gonje. Uis Gatip
merupakan jenis Uis Gara yang dikenakan oleh para wanita karo, baik dalam keseharian
maupun dalam acara-acara adat. Jenis Uis Gatip juga beragam. Ada Uis Nipes Benang Iring
yang dipakai wanita saat dalam suasana duka cita.  Sedangkan kain yang digunakan para
wanita untuk bersuka cita disebut Uis Ragi Barat.
Uis Gara atau Uis Adat Karo

Adalah pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan adat dan budaya Suku Karo dari
Sumatra Utara. Selain digunakan sebagai pakaian resmi dalam kegiatan adat dan budaya,
pakaian ini sebelumnya digunakan pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional
Karo.

Kata Uis Gara sendiri berasal dari Bahasa Karo, yaitu Uis yang berarti kain dan Gara yang
berarti merah. Disebut sebagai "kain merah" karena pada uis gara warna yang dominan
adalah merah, hitam, dan putih, serta dihiasi pula berbagai ragam tenunan dari benang emas
dan perak.

Secara umum uis gara terbuat dari bahan kapas yang kemudian dipintal dan ditenun secara
manual dan diwarnai menggunakan zat pewarna alami. Cara pembuatannya tidak jauh
berbeda dengan pembuatan songket, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin.

Fungsi dan kegunaan

Pada awalnya kegunaan uis gara, yaitu dibuat untuk dipakai sehari-hari oleh kalangan
perempuan Karo. Namun saat ini uis gara hanya digunakan di setiap upacara adat dan budaya
Karo. Baik yang dilaksanakan di daerah Karo sendiri, maupun di luar daerah Karo,
selebihnya kerap juga ditemukan dalam bentuk sovenir berupa tas, dasi, gorden, ikat
pinggang, sarung bantal, dan lain sebagainya.

Jenis-jenis uis gara

Uis gara memiliki berbagai jenis serta fungsinya masing-masing, bahkan ada
beberapa diantaranya sudah langka karena tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa jenis dan fungsi khusus uis gara tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

Uis Beka Buluh

Uis beka buluh memiliki ciri gembira, tegas dan elegan. Kain adat ini merupakan
simbol wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra Karo.

 Sebagai Penutup Kepala. Pada saat Pesta Adat, Kain ini dipakai Pria/putra Karo
sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut
diselenggarakan. Kain ini dilipat dan dibentuk menjadi Mahkota pada saat Pesta
Perkawinan, Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara
Kematian bagi Orang Tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut)

 Sebagai Pertanda (Cengkok-cengkok /Tanda-tanda) yang diletakkan di pundak sampai


ke bahu dengan bentuk lipatan segi tiga.
 Sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo dimasa mudanya diberkati oleh Kalimbubu
(Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) sehingga berhasil dalam
hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang
diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada
pihak kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh.
Uis Gatip Jongkit

Uis Gatip Jongkit menunjukkan ciri atau lambang karakter kuat dan perkasa dan
digunakan sebagai pakaian luar bagian bawah untuk Laki-laki yang disebut gonje (sebagai
kain sarung). Kain ini dipakai oleh Putra Karo untuk semua upacara Adat yang
mengharuskan berpakaian Adat Lengkap.

Uis Gatip

Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter Teguh dan Ulet

 Sebagai Penutup Kepala wanita Karo (tudung) baik pada pesta maupun dalam
kesehariannya.
 Untuk beberapa daerah, diberikan sebagai tanda kehormatan kepada kalimbubu pada
saat wanita Karo meninggal dunia

Uis Nipes Padang Rusak

Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Uis Nipes Benang Iring

Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat dukacita.

Uis Ragi Barat

 Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat sukacita maupun
dalam keseharian.
 Lapisan luar pakaian wanita bagian bawah (sebagai kain sarung) untuk kegiatan pesta
sukacita yang diharuskan berpakaian adat lengkap.

Uis Jujung-jujungen

Kain ini dipakai hanya untuk lapisan paling luar penutup kepala wanita (tutup tudung)
dengan umbai-umbai emas pada bahagian depannya.

Uis Nipes Mangiring

Kain ini dipakai wanita Karo sebagai selendang bahu dalam upacara adat dukacita

Uis Teba

 Kain ini dipakai wanita Karo lanjut usia sebagai tutup kepala (tudung) dalam upacara
yang bersifat dukacita
 Kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Puang Kalimbubu (disebut
Morah-morah) pada saat seorang wanita yang sudah lanjut usia (cawir metua, semua
anaknya telah kawin).meninggal dunia.
Uis Pementing

Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian Adat
lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung.

Uis Julu diberu

- Untuk pakaian wanita pembalut tubuh dari dada bagian atas hingga ke pergelangan kaki
(disebut abit) untuk upacara adat yang diharuskan berpakaian adat lengkap

- Kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada Kalimbubu (disebut Maneh-maneh)
pada saat seorang pria maupun wanita yang sudah lanjut usia (cawir metua, semua anaknya
telah kawin) meninggal dunia.Kain ini dijadikan sebagai tanda rasa hormat kepada
Kalimbubu (disebut Maneh-maneh) pada saat seorang pria maupun wanita yang sudah lanjut
usia

Uis Arinteneng

 Alas pinggan pasu yang dipakai pada waktu penyerehan mas kawin
 Alas piring makan pengantin saat makan bersama dalam satu piring pada malam hari
usai pesta peradatan (man nakan persadan tendi/mukul)

Perembah

 Untuk menggendong bayi


 Untuk anak pertama, perembah diberikan oleh Kalimbubu seiring doa dan berkat agar
anak tersebut sehat-sehat, cepat besar dan menjadi orang sukses dalam hidupnya
kelak.

Uis Kelam-kelam

 Penutup kepala wanita Karo (tudung teger) waktu pesta adat dan pesta guro-guro
aron.
 Kain ini juga digunakan sebagai tanda penghormatan kepada puang kalimbubu pada
saat wanita lanjut usia meninggal dunia (morah-morah)

Bukan Ulos

Dalam pemberitaan media massa, uis gara sering pula disebut dengan istilah ulos yang
merupakan sebutan kain khas dari Tanah Batak. Pada kenyatanya, di daerah Karo, pakaian
adat yang dipakai oleh kaum pria dan wanita sejatinya disebut dengan istilah uis gara, dan
terkadang disebut juga dengan nama yang lebih spesifik seperti uis nipes atau beka buluh,
dan lain sebagainya.
KEUNIKAN PAKAIAN ADAT KARO

Pakaian adat Suku Batak Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh
dengan perhiasan emas. Dari segi bentuk serta pembuatannya, pakaian khas Karo hampir
serupa dengan baju adat batak lainnya. Jenis kainnya terbuat dari pintalan kapas bernama Uis
Gara, yang dipakai sebagai penutup tubuh dalam berbagai aktivitas keseharian. Kain Uis
Gara memiliki arti kain merah. Kain ini dibuat dari tenunan benang merah yang dipadukan
dengan warna putih atau hitam. Kemudian ada motif benang emas atau perak agar nampak
lebih terlihat menarik saat di pandang. Meski begitu, secara umum Uis Gara terbuat dari
bahan kapas yang kemudian dipintal dan ditenun secara manual, dan diwarnai menggunakan
zat pewarna alami. Cara pembuatannya tidak jauh berbeda dengan pembuatan songket, yaitu
menggunakan alat tenun bukan mesin.

Selain digunakan sebagai pakaian resmi dalam kegiatan adat dan budaya, pakaian ini
sebelumnya digunakan pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tradisional Karo. Uis
Gara memiliki berbagai jenis serta fungsinya masing-masing, bahkan ada beberapa di
antaranya sudah langka karena tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya saja, Uis Beka Buluh, Uis Gatip Jongkit, Uis Gatip, Uis Nipes Padang
Rusak, Uis Nipes Benang Iring dan bermacam lainnya. Uis Gara sering pula disebut dengan
istilah ulos yang merupakan sebutan kain khas dari Tanah Batak. Namun, pada kenyatanya di
daerah Karo, pakaian adat yang dipakai oleh kaum pria dan wanita sejatinya disebut dengan
istilah Uis Gara. Bahkan terkadang disebut lebih spesifik seperti Uis Nipes atau Beka Buluh.
VOKAL TRADISI KARO

Penggunaan musik vokal dalam masyarakat Karo dapat ditemukan di beberapa konteks
upacara. Menurut Kumalo Tarigan musik vokal dalam musik tradisional Karo dapat disajikan
berdasarkan beberapa konteks yaitu:

1. Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan

Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan berupa nyanyian yang disebut endeenden
yaitu nyanyian yang biasanya dibawakan oleh perkolong-kolong dalam seni pertunjukan
gendang guro-guro aron.

2. Musik vokal dalam konteks ritual

Musik vokal dalam konteks ritual terdiri dari tujuh jenis nyanyian yaitu (1) didong doah,
adalah nyanyian menidurkan anak, (2) ndilo wari udan, adalah nyanyian untuk mengundang
atau mendatangkan hujan, (3) mangmang, adalah nyanyian untuk memanggil roh dan
meminta kekuatan gaib untuk dapat menjalankan upacara ritual, (4) nendong, adalah
nyanyian untuk meramal suatu kejadian, (5) ngeria, adalah nyanyian untuk menyadap atau
mengambil nira dari pohon aren, (6) perumah begu, adalah nyanyian untuk berkomunikasi
dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dan (7) tabas, adalah nyanyian yang berisi
mantra.

3. Musik vokal dalam konteks adat

Musik vokal dalam konteks adat dapat dibagi menjadi dua yaitu katonengkatoneng
pemasu-masun yaitu nyanyian bercerita yang disajikan dalam upacara perkawinan dan
didong doah bibi serembah ku lau yaitu nyanyian yang disajikan dalam upacara perkawinan
yang dinyanyikan oleh bibi dari pengantin wanita. Selain dalam upacara perkawinan
katoneng-katoneng juga disajikan pada upacara kematian.

4. Musik vokal dalam konteks hiburan pribadi

Musik vokal untuk hiburan pribadi yaitu (1) doah-doah nyanyian spontan untuk diri
sendiri, (2) tangis-tangis, adalah nyanyian ungkapan kesedihan, dan (3) io-io, adalah
nyanyian kesedihan dalam percintaan.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa. yang telah memberikan

berkat dan karunia yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan makalah

ini. Adapun yang menjadi judul tugas kami adalah “Mencari informasi tentang tradisi suku

karo”. Tujuan kami menulis makalah ini ialah untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah “Vokal

Tradisi Nusantara”. Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang banyak membantu dalam proses

penyusunan dan penyelesaian makalah ini dari awal hingga akhir.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini kiranya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi pembaca dan kami sendiri tentunya.

Medan,23 Februari 2020

Kelompok Karo

Anda mungkin juga menyukai