Anda di halaman 1dari 12

TARI PROVINSI SUMATERA SELATAN

1. Tari Ngantat Dendan

Tari ngantat dendan merupakan tari kreasi yang digarap khusus sebagai tari yang
menggambarkan iring-iringan pengantin pria dalam pernikahan adat Kota Lubuklinggau,
Sumatera Selatan. Ciri utama dari tari ngantat dendan adalah penggunaan properti
berupa jaras, yaitu rantang besar yang diikat menggunakan selendang dan diletakkan di
kepala.

Dalam budaya Lubuklinggau, jaras pada pernikahan adat digunakan sebagai wadah


untuk menampung barang-barang yang diminta oleh mempelai perempuan sebagai mahar
pernikahan. Jaras di dalam rombongan mempelai laki-laki biasanya dibawa oleh kaum
hawa, baik ibu-ibu maupun para gadis. Karenanya, ketika budaya tersebut
diimplementasikan ke dalam tari, tari tersebut hanya dipentaskan oleh kaum hawa.

Secara umum, tari ngantat dendan merupakan tari yang bertumpu pada gerakan


tangan dan pinggul. Dibutuhkan keluwesan dan tenaga yang lebih untuk bisa menari
sambil memainkan jaras. Gerakan menopang jaras di kepala terlihat eksotis dengan
balutan tata rias yang dibuat minimalis, tanpa meninggalkan kesan anggun para penari.

Tari ngantat dendan biasanya diiringi oleh musik batanghari sembilan. Musik


tersebut dihasilkan dari perpaduan beberapa instrumen musik modern dan tradisional,
seperti gitar, keromong dengan 12 kenong, gendang jimbe, biola, tamborin, dan akordian
sebagai melodi. Tak lupa, di sela-sela musik, diselipkan syair-syair pantun yang isinya
menggambarkan kegembiraan hati, seperti kegembiraan mempelai pria yang akan bertemu
pujaan hatinya
Tari ini diadakan saat mengantar mempelai pria.

2. Tari Kipas Serumpun

Tari Kipas Serumpun merupakan tari kreasi yang berasal dari Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan. Tari ini bercerita tentang jalinan persahabatan antar masyarakat.
Banyuasin sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Selatan dikenal sebagai daerah yang
ditinggali oleh banyak suku dan agama. Tari kreasi kipas serumpun inilah yang kemudian
diciptakan untuk menyatukan mereka dalam kegembiraan.

Tari kipas serumpun ditarikan oleh delapan orang penari yang semuanya perempuan.
Sebagai tari kreasi, jumlah tersebut bukanlah patokan baku dalam tarian sehingga bisa
ditambah atau dikurangi dan disesuaikan dengan besar kecil ukuran panggung.

Penari kipas serumpun mengenakan baju kurung yang didominasi oleh warna keemasan
sebagai ciri khas adat Sumatera Selatan. Ciri tersebut juga terlihat dari penggunaan siger
sebagai penutup kepala yang biasa dikenakan oleh mempelai perempuan dalam pernikahan
adat. Sesuai dengan nama tarian ini, kipas menjadi properti utama dalam pementasan.
Gerak tari kreasi kipas serumpun didominasi oleh gerakan tangan yang lincah. Gerak
berpindah posisi untuk kemudian membuat formasi juga kerap terjadi dalam tarian, hal ini
menggambarkan keriangan para perempuan Banyuasin dalam suatu pesta rakyat.

Sama halnya dengan kebanyakan tari kreasi dari Sumatera Selatan, tari kipas serumpun
juga diiringi oleh musik yang berasal dari perpaduan berbagai alat musik tradisional,
seperti kendang, perkusi, dan akordion sebagai ciri khas musik melayu Sumatera.
Penggunaan gitar dan bass elektronik menjadi pelengkap untuk menghasilkan musik
pengiring yang ciamik.
Tari kipas serumpun mengandung makna tentang pentingnya sikap gotong-royong antar
sesama manusia. Sikap gotong-royong tersebut menyatu dalam kegembiraan yang
tergambar dalam sebuah pesta rakyat. Sikap gotong-royong dalam kebersamaan ini
menjadi penting bagi wilayah Banyuasin yang kian heterogen dan memiliki banyak
perbedaan dalam latar belakang kebudayaan melayu yang satu

3. Gending Sriwijaya, Tari Kolosal Penyambut Tamu Raja

Sembilan perempuan keluar panggung dengan mengenakan pakaian adat, lengkap dengan
berbagai aksesoris berupa paksangkong, dodot, tanggai, dan seledang mantri. Seorang
penari yang berada di tengah dan paling depan membawa sebuah kotak yang biasa disebut
dengan tepak, sementara suara gending mengiringi gerak gemulai yang akan membawakan
sebuah tarian kolosal dari Sumatera Selatan yang dikenal dengan nama tari Gending
Sriwijaya.

Tari Gending Sriwijaya merupakan tarian kolosal peninggalan kerajaan Sriwijaya. Tarian
yang dahulu hanya dipentaskan oleh kalangan internal kerajaan ini dimaksudkan sebagai
tari penyambutan bagi tamu kerajaan. Kini tari Gending Sriwijaya kerap dipentaskan oleh
masyarakat Palembang dalam berbagai hajat, seperti pernikahan, pertemuan-pertemuan
instansi pemerintahan, hingga dalam berbagai perhelatan budaya.

Secara umum tari Gending Sriwijaya ditarikan oleh 9 orang penari yang semuanya adalah
perempuan. Sembilan penari tersebut merupakan representasi dari sembilan sungai yang
ada di Sumatera Selatan. Para penari Gending Sriwijaya dikawal oleh dua orang laki-laki
lengkap dengan payung dan tombak di tangannya. Seorang penari gending membawa
tepak berisi sekapur sirih yang nantinya akan diberikan kepada tamu yang dianggap
spesial sebagai bentuk penghormatan.

Musik yang mengiringi tari Gending Sriwijaya adalah musik yang keluar dari perpaduan
alat musik gamelan. Musik gending tersebut dilengkapi dengan vokal yang umumnya
menggambarkan kegembiraan dan ucapan syukur atas kesejahteraan. Meski demikian,
belakangan tari Gending Sriwijaya tidak melulu diiringi oleh musik gending secara
langsung, melainkan hanya menggunakan rekaman dari musik yang sudah ada.

Gerak tari Gending Sriwijaya didominasi oleh gerak membungkuk dan berlutut, sesekali
melempar senyum sambil melentikan jari-jari kuku. Gerak tersebut merupakan bentuk
penghormatan kepada para tamu yang datang. Gerakan inti dalam tari Gending Sriwijaya
adalah gerak penari utama yang membawakan tepak berisi sekapur sirih untuk diberikan
kepada tamu kehormatan. Dahulu pembawa tepak berisi sekapur sirih hanya
diperbolehkan bagi mereka remaja puteri dari keturunan Raja.

Tari Gending Sriwijaya merupakan representasi dari nenek moyang nusantara. Tari ini
juga sebagai bangsa yang besar, bangsa yang menghargai dan menghormati persaudaraan
antar sesamanya. Tarian kolosal ini menggambarkan kegembiraan para gadis,
menggambarkan Kerajaan Sriwijaya sebagai tuan rumah yang ramah, yang tulus dan
terbuka menyambut tamu, sebagai esensi dari sikap saling menghormati antar sesama
manusia, dan bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Esa.

4. Tarian Seluang Mudik.

Tarian selanjutnya adalah tari Seluang Mudik yang berasal dari Kabupaten Banyuasin
Kecamatan Rantau Banyur. Secara jelas tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya yang
menciptakan tarian ini. Namun masyarakat setempat terus melestarikan tarian ini secara
turun menurun sejak puluhan tahun dan kemudian dijadikan sebagai bagian dari kekayaan
budaya Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.

Keunikan gerak tari daerah Sumatera Selatan ini berada pada cerita gerakan dan tingkah
laku yang diperkuat oleh ikan seluang di musim seluang mudik di sepanjang sungai Musi.
Pada umumnya, musim ini sering terjadi pada musim kemarau tiap tahunnya.

Ikan seluang yang punya nama latin ras bora argyrotaenia merupakan jenis ikan tawar
yang banyak hidup di rawa-rawa dan berkembang biak di negara-negara yang ada di Asia
Tenggara, salah satunya Indonesia, tepatnya di provinsi Sumatera Selatan. Biasanya, tarian
ini dimainkan oleh 6 hingga 8 orang perempuan yang menggunakan kostum berwarna
keemasan.

Biasanya perempuan yang paling cantik lah yang ada di bagian depan. Warna itu
disesuaikan dari warna ikan seluang yang mempunyai warna mengkilap yang dijadikan
patokan seni tari kreasi. Para penari mempunyai kipas yang menunjukkan simbolis dari ikan
seluang yang ekornya sering kali bergerak.

5. Tari Gegerit.

Empat orang perempuan keluar panggung, mereka mengenakan baju adat Lahat berwara
merah marun. Pada bagian bahunya terdapat kain songket yang menyerupai sayap. Sementara
bagian kepala dihias dengan berbagai hiasan, seperti cempako, ayun-ayun, pilis, dan teratai.
Mereka akan menarikan sebuah tari tradisional Lahat yang bernama tari gegerit.
Tari Gegerit merupakan tari tradisional Lahat yang menceritakan tentang perjuangan kaum
perempuan dalam menghadapi penjajahan. Secara etimologi, kata Gegerit dapat diartikan
dengan lelah atau capek, atau sepadan artinya dengan kata kaku. Pengertian kaku mengacu
pada gerakan tari gegerit yang cenderung patah-patah dan kaku. Hal tersebut tergambar dalam
gerakan setengah jongkok sambil terus memainkan sayap-sayap pada bahu.

Sang koreografer tari gegerit, Indra, ketika ditemui di sela-sela perhelatan besar Festival
Sriwijaya 2014 mengungkapkan, tari tradisional gegerit merupakan tarian yang sejak dulu
selalu ditarikan secara turun temurun oleh masyarakat Lahat. Namun, sekarang keberadaannya
sudah hampir punah karena makin jarang orang yang mementaskan tarian ini.

Meski demikian, beberapa tahun belakangan masih ada orang-orang yang peduli, yang
mempelajari dan menggali tarian ini untuk dipentaskan kembali. Sebagai tarian tradisional,
pementasan tari gegerit diiringi oleh musik tradisional yang didominasi oleh alat musik pukul,
seperti, kenong, dol, dan gendang. Irama yang dihasilkan dari perpaduan alat musik tersebut
cenderung motong dan menghentak. Hal tersebut disesuaikan dengan gerak tarian yang kaku
dan patah-patah.

Indra menambahkan, tari gegerit mengandung amanat yang dalam tentang perjuangan para
perempuan Lahat dalam melawan penjajahan. Kandungan amanat tersebut tergambar dalam
gerakan para penari ketika menggenggam kudok, senjata tradisional masyarakat Sumatera
Selatan.

Amanat tersebut masih relevan dengan keadaan saat ini, dimana perempuan masih
terkungkung oleh filsafat maskulinisme, sehingga menjadikannya sebagai makhluk inferior di
masyarakat. Namun yang terpenting, tari gegerit juga mengamanatkan generasi muda tidak
bisa diam-diam saja, tetap harus berjuang walau tidak dalam keadaan berperang. Perjuangan
yang dimaksud adalah perjuangan melawan angkara murka yang ada di dalam diri.
5. Tari Madik.

Madik berasal dari Bahasa Jawa “Kawi” yang artinya pendekatan atau mendekat. Dinamakan tari
madik atau tari nindai karena dalam bahasa dan adat Palembang menilai dan melihat calon
menantu disebut dengan madik atau nindai.

Tari madik atau tari nindai juga merupakan salah satu tarian yang dianggap memiliki peranan
penting dan telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Palembang. Orangtua/wakil dari
mempelai pria terlebih dahulu datang ke rumah calon mempelai wanita. Maksud dan tujuannya
adalah mengenal lebih jauh, melihat dan menilai (madik dan nindai) calon mempelai wanita.

Hal yang ditindai atau dinilai antara lain kepribadian calon mempelai wanita, silsilah keluarga,
asal-usul keluarga, kehidupan keluarganya sehari-hari, dan memastikan apakah gadis itu sudah
dipinang atau belum.

Melalui penindaian itu diharapkan jika calon mempelai wanita dijadikan menantu dia tidak akan
mengecewakan. Dan pernikahan serta kehidupan setelah pernikahannya akan berjalan lancar dan
langgeng sesuai dengan harapan pihak keluarga mempelai pria.

Pergelaran Tari Madik atau Tari Nindai

Karena tari madik atau tari nindai adalah tarian tradisional yang digunakan untuk madik dan
nindai calon mempelai wanita, maka tarian ini dipertunjukan sebelum adanya acara pernikahan.
Tarian dipertunjukan di kediaman calon mempelai wanita.

Namun sangat disayangkan, di zaman yang sekarang ini pergelaran tari madik atau tari nindai
sudah mulai memudar. Banyak hal yang melatar belakangi kenapa ini bisa terjadi. Mislanya, para
pemuda dan pemudi yang sudah tidak bisa lagi melakukan tarian.

Mereka tidak mau mengenal terlebih berlatih. Lebih mirisnya lagi banyak generasi muda yang
lebih tertarik dengan tarian modern luar negeri. Dengan keadaan yang seperti ini harusnya kita
lekas sadar bahwa sebenarnya bangsa kita sedang dijajah secara perlahan. Hanya saja yang
dijajah bukan fisik seperti 74 tahun silam, melainkan pikiran dan psikologi.

Jika hal ini terus menerus dibiarkan bukan tidak mungkin tari madik atau tari nindai dan warisan
budaya lainnya di Indonesia sedikit demi sedikit benar-benar akan hilang. Bahkan bisa jadi
diambil alih dan di klaim oleh Negara lain.

Jadi kita sebagai generasi penerus bangsa harus selalu menjaga semua warisan adat daerah yang
ada di negeri ini. Seperti tari tradisional lainnya, tari madik atau tari nindai pun harus dijaga dan
dilestarikan.

Gerakan-gerakan yang ada pada tari madik atau tari nindai saat ini pastinya sudah mengikuti
perkembangan. Maksudnya adalah gerakan yang ada pada masa kini merupakan sebuah
modernisasi dari gerakan yang sudah ada sejak masa nenek moyang.

Tarian tradisional yang berasal dari Palembang – Sumatra Selatan memang sangat beragam.  Hal
ini menandakan begitu kayaknya budaya warisan yang ada di Kota Palembang. Sampai sekarang
Palembang terus melestarikan budaya tari tradisionalnya. Terlebih, aksi yang dilakukan
pemerintah dalam menjaga budaya tari selalu mendapat dukungan dari masyarakat.

6. Tari Sebimbing Sekundang.

Selanjutnya ada tari Sebimbing Sekundang yang merupakan tari yang asalnya dari
kebudayaan masyarakat di kabupaten Ogan Komering Ulu. Pada umumnya tari ini
ditampilkan sebagai tarian Sumatera selatan untuk menyambut tamu kehormatan yang
berkunjung ke daerah ini. Ketika melakukan pertunjukan, tari Sebimbing Sekundang bisa
dipentaskan baik itu di dalam gedung maupun di luar gedung.

Tari Sumatera Selatan ini dibawakan oleh 9 penari. Tata cara menari nya pun sedemikian
rupa sudah diatur dimana 1 orang putri membawa tepak, dua orang penari membawa
rempah-rempah, 1 orang akan membawa payung agung, dan 2 orang akan menjadi
pengawal. Isi tepak tari Sebimbing Sekundang ini adalah daun sirih yang sudah diracik
sebelumnya menggunakan gambir atau getahnya saja. Hal ini diserahkan pada tamu
kehormatan berarti sudah diterima dan juga diakui masyarakat Ogan Kometing Ulu.

7. Tari Gending Sriwijaya.

Sejarah tari Gending Sriwijaya Tari Gending Sriwijaya merupakan tarian khas Sumatera
Selatan. Secara harafiah, Gending Sriwijaya berati "Irama Kerajaan Sriwijaya". Tarian
tradisional tersebut melukiskan kegembiraan gadis-gadis Palembang saat menerima
kunjungan tamu yang diagungkan. Ungkapan bahagia ditunjukan dengan membawa Tepak
yang berisi kapur, sirih, pinang dan ramuan lainnya yang akan dipersembahkan kepada tamu
dengan diiringi Gamelan dan lagu Gending Sriwijaya.

Tari Gending Sriwijaya adalah tari yang biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu-
tamu. Namun, sekarang tari Gending Sriwijaya banyak ditampilkan di berbagai kegiatan,
seperti pernikahan, perhelatan budaya, atau pertemuan-pertemuan. Dikutip dari buku
Sumatera Selatan Memasuki Era Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (1993), tari
Gending Sriwijaya adalah salah satu tarian adat Bumi Sriwijaya yang dipersembahkan
untuk menyambut tamu agung yang berkunjung ke daerah Sumatera Selatan. Saat menari,
para penari memakai pakaian adat Aessan Gede (hiasan kebesaran) yang terdiri dari
mahkota, kain songlet dilengkapi dengan perhiasan lainnya, seperti gelang atau kalung. Di
mana pada ujung jarinya dipakai tanggal, yaitu perlengkapan menari berbentuk kuku
panjang yang terbuat dari logam kuning emas yang merupakan penjelma bidadari dari
kayangan.
Tari Gending Sriwijaya ini berasal dari peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang ada di
Provinsi Sumatera Selatan. Jika dilihat, tarian Sumatra selatan adalah tarian yang khas dan
tercipta dengan adanya keterkaitan dengan daerahnya. Tarian ini pada dulunya hanya
dipentaskan oleh kalangan internal yang ada di kerajaan. Namun kini sudah menjadi
hiburan semua rakyat dalam berbagai acara pentas budaya.

Ada 9 orang penari yang semuanya ialah seorang perempuan yang memerankan tarian
Gending Sriwijaya ini. Para penari Gending Sriwijaya lengkap menggunakan payung dan
juga tombak di tangannya. Seorang penari Gending Sriwijaya akan membawa tepak yang
isinya sekapur sirih yang nantinya akan diberikan kepada para tamu yang dianggap
istimewa atau spesial sebagai bentuk rasa hormat.

8. Tarian Sendratari Konga Raja Buaye.

Selanjutnya, ada tarian Sendratari Konga Raja Buaye. Tarian ini merupakan tarian yang
diangkat dari sebuah legenda masyarakat yang ada di Kabupaten Musi Rawas Provinsi
Sumatera Selatan. Tarian ini adalah tarian kreasi. Berdasarkan cerita ini, diceritakan adanya
seorang raja dengan nama buaya yang mengancam keberadaan masyarakat di Dusun
Kabupaten Musi Rawas.

Konon buaya ini adalah jelmaan seorang putri cantik. Dari segi kostum yang dikenakan
oleh para penarinya, tarian Sendratari Konga Raja buaya ini terbagi atas tiga kategori peran
yaitu para buaya, pasukan pemuda tampan, dan juga masyarakat.
9. Tari Kebagh

Tari Kebagh atau dienal juga Tari Kemban Bidudari merupakan tarian tradisional Sumatera
Selatan yang lahir dari Dusun Padang Langgar (kini Dusun Pelang Kenidai). Tarian ini
tercipta karena terinspirasi dari kisah  seorang bidadari ynag terbang kekayangan. Perlu
anda ketahui, bahwa tari adat ini tidak boleh sembarangan dimainkan.

Pada dasarnya dulu  tari kebagh digunakan sebagai acara penyambutan para petinggi
ataupun raja. Sebelum menarikan tari ini ada beberapa upacara adat supaya nantinya acara
dapat terlaksana dengan lancar dan penaripun tampil menyerupai seperti bidadari.

Dalam pementasan tari adat ini selalu di iringi alunan musik dan kostum pakaian adat khas
daerah Besemah. Sementara gerakan tarian ini yaitu seraya terbang dengan tangan
melambai-lambai. Keberadaan tari kebagh ini udah ada sejak zaman nenek moyang kita.
10 . Tari Suku Kubu

Sesuai dengan namanya, tarian ini berasal dari Suku Kubu yang mendiami daerah
perbatasan antara Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Sistem kehidupan Suku ini masih
semi-nomaden (belum menetap) tepatnya dikawasan hutan Taman Nasional Bukit 12 dan
rata-rata masyarakat suku Kubu ini masih memiliki pola kehidupan yang homogen.

Hal tersebut bisa kita lihat ketika kegiatan dalam mencari mata pencarian masyarakat Suku
Kubu yang masih mengandalkan hasil berladang dan berburu. Sebenarnya tarian ini
tercipta karena terispirasi dari tradisi masyarakat kubu yang sering melaksanakan upacara
pengobatan tradisional untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit.

Biasanya untuk memainkan tari kubu diperlukan lima orang penari perempuan dan para
penari memakai kostum pakaian khas dari suku kubu ini .

Tari Kubu diiringi oleh alunan musik rampak yang dihasilkan dari perpaduan alat musik
tradisional berupa kendang, perkusi, dan kecrek. Suara rampak dari garapan musik
pengiring disesuaikan dengan gerak hentakan kaki para penari. Tata cahaya juga
berpengaruh bagi terciptanya suasana, sehingga para penonton ikut larut dalam cerita
yang sedang dibangun melalui tarian.

Anda mungkin juga menyukai