Anda di halaman 1dari 11

CRITICAL BOOK REPORT

TEKNIK TARI SIMALUNGUN

DOSEN PENGAMPU :

SITI RAHMAH, S.Pd, M.Si.


RIKA RESTELA, S.Pd, M.Pd.

DISUSUN OLEH :

JUWITA ANGELICA ESTERIA TARIGAN


(2193141015)

PRODI PENDIDIKAN SENI TARI

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

NOVEMBER 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas
ini.

Adapun yang menjadi judul tugas saya adalah Critical Book Report. Tugas Critical; Book
Report ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita semua
khususnya dalam hal penginderaan jauh,

Jika dalam penulisan makalah saya terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam
penulisannya, maka kepada para pembaca, penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas
koreksi-koreksi yang telah dilakukan. Hal tersebut semata-mata agar menjadi suatu evaluasi
dalam pembuatan tugas ini.

Mudah-mudahan dengan adanya pembuatan tugas ini dapat memberikan manfaat berupa
ilmu pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca.

Medan, November 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………………….… 3

BAB I PEMBAHASAN

A. Rasionalisasi Pentingnya CBR …………………………………………………………………………… 4


B. Tujuan ……………………………………………………………………………………………………………… 4
C. Manfaat ……………………………………………………………………………………………………………. 4
1. Identitas Buku
1.1 Buku Utama …………………………………………………………………………………………………. 5
1.2 Buku Pembanding ………………………………………………………………………………………… 6

2. Ringkasan Isi Buku

Buku Pertama ……………………………………………………………………………………………………. 7


Buku Kedua ……………………………………………………………………………………………………….. 8

BAB II KELEBIHAN DAN KEKURANGAN


1. Kelebihan Buku ……………………………………………………………………………….. 10
2. Kelemahan Buku ........................................................................................................................ 10

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ………………………………………………………………………………………. 11

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………. 11

3
BAB I

PEMBAHASAN

A. Rasionalisasi pentingnya CBR 

  Critical Book Review merupakan sebuah tugas yang diberikan oleh dosen kepada mahasiswa
untuk menilai isi buku. Pentingnya Critical Book Report adalah untuk mengetahui serta
mendalami isi buku dan mengetahui kelebihan serta kekurangan dari buku yang dibaca.

B. Tujuan Penulisan CBR 

 a. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah teknik tari simalungun.


 b. Untuk menambah wawasan serta pengetahuan tentang Simalungun.
c. Mendeskripsikan hasil dan mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan.

C. Manfaat Penulisan CBR 

 a. Memberikan pemahaman tugas CBR dalam pembuatan karya ilmiah.


b. Sebagai bahan informasi tertulis kepada masyarakat atau lembaga dan juga sebagai
referensi dalam pemilihan buku tentang pendidikan.
c. Untuk menanamkan rasa tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas.
d. Untuk mengetahui dan menambah wawasan dalam materi yang di bahas.

4
1. Identitas Buku
1.1 Buku Utama

Judul : Gonrang Simalungun

Penulis : Arlin Dietrich Jansen

Tahun Pembuatan : 2003

Penerbit : Bina Media

ISBN : 979 – 3367 – 48 – 2

Sampul Buku :

5
1.2 Buku Pembanding

Judul : Busana Simalungun

Penulis : Erond L. Damanik

Tahun Pembuatan : 2017

Penerbit : Simetri Institute

ISBN : 978 – 602 – 14104 – 9 - 3

Sampul Buku :

6
2. RINGKASAN
Buku Pertama
“Marga dan adat :Hukum Adat dan kekerabatan Simalungun “
Sistem adat
Seseorang yang datang berkunjung ke Sumatera Utara yang tidak mengenal struktur
sosial di wilayah tersebut akan segera menyadar dua buah konsep yang sangat penting
dalam komunitas masyarakat Batak : Adat dan marga. Adat merupakan suatu istilah yang
sulit di cerna bagi orang-orang Barat ,karena definisi nya yang abstrak dan cakupannya
yang luas dan jawaban yang di  berikan oleh para ahl bahwa ada biasanya di terjemah
sebagai customary law (Hukum tata cara). Dapat kita caat bahwa adat merupakan
seperangkat pola budaya adat istadat tata cara dan  perilaku yang di teruskan oleh para
leluhur yang mengatur hubungan antarindividu ,hak waris,hak milik serta hak dan
kewajiban.Masalah yang di hadapi oleh definisi adat sebagai customary law adalah orang-
orang Barat akan membayangkan suatu bentuk perangkat peraturan tertulis yang di catat
dalam buku.Sebalkya adaat ini bersifat tidak tertulis namun pahami dan praktikkan oleh
segenap anggota komunitas .
Sistem Marga
Marga merupakan suatu kelompok orang-orang yang berasal dari keturunaan
segaris  berdasarkan garis keturunan pria /patrilineal .Ada empat marga besar di
kalangan simalungun : 1) Purba 2) Saragih 3) Damanik dan 4) Sinaga. Secara praktiks
ikatan-iktan kekerabatan ini lebih  berfungsi pada tingkatan Submarga daripada
tingkatan Marga .Kebanyakan submarga ini dapat di telusuri genologinya hingga tingkat
generasi seorang nenek moyang milik bersama. Istilah marga ini selalu digunakan untuk
mengidentifikasikan seorang pria dan marganya.Bila
seorang Batak berkata “Dia dari marga purba” kata marga yang digunakan di sini l
menunjukkan wanita yang bersangkutan adalah seorang pria.Istilah analog bagi kaum ia
bermarga damanik.
Tolu Saodoran
 
 Ikatan kekerabatan sedarah di klarifikasikan dalam suatu ssistem yang dalam
Bahasa Simalungun dikenal sebagai Tolu Saodoran. Dalam Bahasa Toba dia namanya
adalah Dalihan  Natolu .Ketiga buah batu tungku yang di perlukan untuk menyanga panic
ketikamemasak . Seseoran simalugun yang baik akan berusaha untuk membina hubungan
yang baik dengan kekerabatan dari pihak pasangan/menantu/ mertuanya,karena dari
merekaah ia menerima berkat yang di butuhkan untuk mencapai keberhasilan
finansial,anak banyak dan fikiran yang tnang dan kesehatan yang baik,Jika seseorang pria
menikahi sepupu kebersian pernikahannya. Anak Boru menfac pada kelompok pihak
penerima istri yaitu mereka menerima istri dari kelompok tondong.Bila yang
bersangkutan memperistri seorang wanita dari apa yang menjadi marga tondongnya ia
secara istri dari kelompok anak boru.Pengelompokkan sanina yaitu kelompok berkaitan
dengan para individu yang bermarga sama namun dengan submarga yang  berbeda
beda.Hubungan antara seorang purba tabak dan purba dasuha menggambarkan kategori
sub marga ini.seorang anak boru yang baik merupakan asset yang sangat berharga bagi
sang tondong.

7
  Buku Kedua
 
(Kota Praja) tidak dapat dilepaskan dari modernisasi wilayah ini sebagai ‘kota perkebunan’
(plantation city) sebagai dampak liberalisme perkebunan tahun 1872 disaat penandatanganan
‘perjanjian Sumatera’ diikuti kemudian hukum agraria (agrarische wet) tahun 1
872, yang membuka peluang pada pengusaha non-Belanda berinvestasi diperkebunan Sumatera.
Dengan  perjanjian itu, maka sejumlah pengusaha mancanegara menanamkan modalnya
dihampir seluruh tanah dipesisir pantai timur sumatera bagian utara termasuk di
Simalungun.Wilayah yang disebut
dengan ‘Kabupaten Simalungun’ dewasa ini perlu dibedakan dalam dua hal yaitu: i) wilayah
administratif pemerintahan, dan ii) wilayah kultural etnik. Pada saat dibentuk menjadi afdeeling,
wilayah administrasi Simalungun dikepalai seorang Controleur yang membawahi tujuh kerajaan
yang terbagi kedalam enam belas tingkat (distrik) dan setiap distrik dibagi kedalam beberapa
partuanon yang membawahi beberapa kampung (Nagori) atau Kepenghuluan. Adapun wilayah
administratif Kabupaten Simalungun ini memiliki batas  batas sebagai berikut: i) disebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagei, ii) disebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir, iii) disebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Karo dan iv) disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten
Batubara. Batasan wilayah yang disebut dengan kabupaten simalungun dewasa ini berasal dari
penetapan  pemerintah colonial Belanda pada saat menata daerah jajahan di Nusantara.
i)Siantar, ii)Tanah Djau, iii)Panei, iv)Raya, v)Purba, vi)Silimahuta dan vii)Dolog Silau.
Tichelman , Karolanden, Serdang, padang en Bedagei. Penetapan wilayah simalungun ini jauh
lebih sempit dari wilayah sebelum pendudukan Belanda pada akhir abad 19, yaitu: pertama,
melepaskan daerah Padang (TebingTinggi) dan Bedagei yang penduduknya adalah orang
Simalungun (Batak Timur) menjadi rantau jajahan kesultanan Deli yang berpusat di Labuhan
Deli (Luckman Sinar, 1977). Pada saat ini, wilayah ini menjadi kota TebingTinggi yang
sebenarnya menjadi wilayah Damanik dari kerajaan siantar dan  partuanon Bandar. Pendiri
tebingtinggi adalah Bandar Kajum Damanik yang kini namanya diabadikan sebagai nama
terminal di Tebingtinggi. Sedangkan bedagei saat ini menjadi kabupaten tersendiri yang
dimekarkan dari Deli Serdang.Diwilayah ini, terdapat 6-8 kecamatan yang didominasi oleh orang
simalungun. Melepaskan padang dan bedagei dari simalungun, dan
 
memasukkannya menjadi rantau jajahan deli adalah untuk mendapatkan tanah tanah yang
berada diwilayah ini sejalan dengan rencana ekspansi perkebunan di Deli. Kedua, pada tahun
1901 pemerintah colonial belanda melepaskan daerah Badjalinggei dan Dolog Marawan menjadi
rantau jajahan kesultanan Deli.Ketiga, melepaskan daerah Dolok Masihol dan Hutarih (kotarih)
dari wilayah kerajaan Dolog Silau menjadi wilayah jajahan Kesultanan Serdang.Keempat,
pelepasan daerah Sipituhuta, Garingging dan Tongging menjadi wilayah Karolanden.Kelima,
pelepasan wilayah seperti Tanjung Kasau, Pagurawan maupun Bandarpulo dari Simalungun ke
Asahan dan Batubara.Karena itu, wilayah administratif yang disebut dengan kabupaten
simalungun dewasa ini jauh menyempit jika dibanding dengan periode sebelum kedatangan
pengusaha Eropa dan pemerintah colonial Belanda.

Kelompok etnik Simalungun

8
Patut dicatat bahwa, walaupun Anderson telah menyebutkan suku-suku di Sumatera bagian
utara, tetapi ia masih saja menggunakan nama I”Batta’I. Hal ini karena Anderson sesungguhnya
masih terpengaruh oleh literatur-literatur terdahulu yang membagi masyarakat secara
geografis,maka suku-suku yang disebutkan oleh Anderson tersebut cenderung berada di
pegunungan (hinterland) atau tidak berbatas langsung dengan perairan Selat Malaka di pantai
timur maupun Lautan Indonesia di pantai Barat. Sebagaimana kami sebutkan diawal bahwa bila
merujuk pada literatur, maka nama Simalungun adalah konsep yang relatif baru. Secara tertulis,
nama tersebut baru disebutkan pada awal abad ke-19 masegi melalui tulisa John Anderson yang
mengunjungi pantai timur Sumatera (eastcoast Sumatra) pada tahun 1823. Demikian pula
bahwa principal state di ‘Semilongan’  dipimpin oleh seorang raja yang sangat berkuasa. Pada
catatan Anderson, nama ‘Semilongan’ ditemukan sebanyak dua kali. Hal ini berbeda dengan
nama ‘kataran’ (hataran), Siantar, Tanah Jawa, Panei, Purba, Silou yang disebutkan berkali-kali.
Dalam bahasa Simalungun, nama  Kataran atau  Hataran mengandung arti yakni ‘timur’ yang
boleh jadi menunjuk pada letak geografisnya yang berada di sebelah timur Danau Toba. Jika
merujuk pada catatan kolonial Belanda, konsep Simalungun ditulis dengan ‘Sibaloengen’
ataupun ‘Simeloengen’ . Sesungguhnya, nama tersebut tetap engacu pada nama yang sama yakni
‘Semilongan’ atau ‘Semalongan’. Perujukan nama tersebut dilakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda yang menjadikan buku Abderson sebagai pedoman awal dalam penaklukan  pesisir
timur Sumatra bagian utara, terutama saat memulai era tabaks cultuurgebied di Deli.

Konsep ‘Simalungun’ tidak memiliki arti atau makna. Konsep tersebut hanyalah menunjuk
sebatas nama yang tidak memiliki pengertian atau makna. Nama itu sama dengan ‘Pakpak’,
‘Karo’, ‘Angkola’, Mandailing, atau bahkan ‘Toba’ yang tidak memiliki arti khusus. Secara khusus,
orang Simalungun mengenal sistem pemerintahan bercorak monarhis-feodal pada tujuh
kerajaan di Simalungun. Sebelumnya, kerajaan pertama yang berdiri di Simalungun adalah
kerajaan Nagur (abad-11 hingga 16) dan menjadi kerajaan marga (clan kingdom ) dari
 pricipal state Simalungun.

9
BAB II KELEMAHAN DAN KEKURANGAN

A. KELEBIHAN
 
1. Cover yang dibuat cukup menarik untuk dibaca.
2. Isi buku cukup menarik dan bagus untuk dibaca.
3. Kalimat yang digunakan tidak baku dan mudah untuk dimengerti.
4. Bahan kertas yang doigunakan sangat bagus dan menarik perhatian para pembaca.

 B.KELEMAHAN

1. Masih terdapat huruf yang berlebihan pada setiap kata dan kalimat.
2. Sumber yang didapat masih sedikit.

10
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Simalungun memiliki banyak keanekaragaman, mulai dari musik, busana, dll, Intinya yang
utama mendasari dan memungkinkan proses-proses ini. Tanpa adanya inti ini,  pembentukan
nada detail tidak dapat dilakukan sehingga keduanya selalu dijumpai bersama-sama dalam
berbagai kondisi pada kebudayaan dan kehidupan masyarakat Simalungun. Inti ini  bisa
disamakan dengan aspek-aspek pragmatis suatu kondisi atau suatu obyek, sehingga dengan
demikian pembentukan nada hias merupakan bentuk sifat tambahan yang labil atau sulit
diperkirakan dan cenderung memberikan makna atau daya tarik terhadap suatu kondisi. Pada
kehidupan budaya masyarakat Simalungun kita dapat menemukan penerapan  prinsip
penghiasan atau pembentukan detail terhadap inti dalam berbagai macam hal. Contoh  pertama,
dijumpai pada pidato yang merupakan bagian vital dari upacara-upacara adat. Kebutuhan
praktis untuk mengkomunikasikan informasi tertentu kepada para pendengar dapat terpenuhi
cukup baik dengan penggunaan untaian frase-trase populer seperti penerapan  berbagai motif
pada kesenian musik. Namun si pembicara mengembangkan detil terhadap frase-frase ini dan
menyisipkan berbagai bentuk pepatah secara terampil yang dapat menghadirkan rasa hormat
dan menyentuh hati para pendengarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Jansen,Arlin Dietrich. 2003. GONRANG SIMALUNGUN: Struktur Dan Fungsinya Dalam


Masyakarat Simalungun. Medan: Bina Media.

Damanik, Erond L. 2017. BUSANA SIMALUNGUN: Politik Busana, Peminjaman Selektif dan
Modernitas. Medan: Simetri Institute.

Trianto.2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progress. Jakarta:Prenada Media. Abdul


Majid.2005. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

11

Anda mungkin juga menyukai