Anda di halaman 1dari 27

CRITICAL BOOK REPORT

SEMIOTIKA
Dosen Pengampu : Dr. Wahyu Triatmojo, M.Hum

NAMA : SORAYA MARDIAH SIREGAR


NIM :2191151001
KELAS : B 2019

FAKULTAS BAHASA DAN SENI


JURUSAN SENI RUPA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,karena dengan Rahmat-Nya
dan karenanya saya bisa menyusun tugas Critical Book Review ini dengan baik,serta tepat
waktunya.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam Critical Book Review ini.Oeh
karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang dapat
membangun saya.Kritik dari pembaca sangat saya harapkan untuk menyempurnakan tugas
selanjutnya.

Akhir kata semoga tugas yang saya buat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan
dapat memberikan nilai lebih pada proses pembelajaran mata kuliah Semiotika.

Medan, 8 Maret 2021

Soraya Mardiah Siregar

2191151001
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................II

I PENGANTAR...................................................................................................................................1

II RINGKASAN BUKU......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................1

BAB II KONSEP-KONSEP DASAR ................................................................................................4

BAB III BEBERAPA ISU.................................................................................................................... 6

BAB IV PENDAHULUAN..................................................................................................................8

BAV TIPOLOGI TANDA .................................................................................................................10

BAB VI METAFORA..........................................................................................................................12

ii
BAB VII IKONITAS DALAM SASTRA...........................................................................................14

BAB VIII IKONITAS DALAM SENI RUPA....................................................................................15

III. KEUNGGULAN BUKU ............................................................................................................16

a. Kegayutan antar elemen.............................................................................................................16


b. Origanilitas temuan.....................................................................................................................16
c. Kemutakhiran masalah...............................................................................................................16
d. Kohesi dan koherasi penelitian...................................................................................................16

IV. KELEMAHAN BUKU................................................................................................................17

a. Kegayutan antar elemen.............................................................................................................17


b. Origanilitas temuan.....................................................................................................................17
c. Kemutakhiran masalah...............................................................................................................17
d. Kohesi dan koherasi penelitian...................................................................................................17

BAB V. IMPLIKASI TERHADAP....................................................................................................17

a. Teori...........................................................................................................................................17
b. Program pembangunan Indonesia.............................................................................................17
c. Pembahasan dan anlisis..............................................................................................................17

BAB VI. KESIMPILAN DAN SARAN..............................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................

iii
iv
BAB I . IDENTITAS BUKU

Judul Buku I : SEMIOTIKA VISUAL


Penulis : Kris Budiman
Kota Penerbit : Yogyakarta
Tahun Terbit : 2011
Penerbit : JALASUTRA Anggota IKAPI
ISBN : 978-602-8252-65-2

Judul Buku II : SEMIOTIKA KOMUNIKASI


Penulis : Indiwan Seto Wahyu Wibowo
Kota Penerbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2013
Penerbit : Mitra Wacana Media
ISBN : 978-602-1521-41-0

5
II. RINGKASAN BUKU

BAB 1
PENDAHULUAN
1. Posisi Semiotika
Semiotika dan semiology
Semiotika,yang biasanya didefenisikan sebagai pengkajian tanda-tanda,pada
dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa yang memungkinkan
kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebgai sesuatu yang
bermakna.
Dengan demikian, bagi Peirce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat;
sedangkan bagi Saussure semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial. Di
dalam perkembangan selanjutnya semiotika juga telah banyak dipengaruhi oleh
strukturalisme dan pasca-strukturalisme seperti, misalnya, antropologi structural Claude
Lévi-Strauss, neo-Marxisme Louis Althusser, "arkeologi" Michael Foucault, Neo-
Freudianisme Jacques Lacan, serta gramatologi Jacques Derrida.
Dimensi Semantik dan Pragmatik
Masalah-masalah yang menyangkut dimensi semantik jugamerupakan salah satu
isu sentral dalam pendekatan semiotikavisual (lihat Nöth, 1990: 423-424). Hal-hal yang
menjadi pokok
2. Dimensi-dimensi Semiotika Visual
Semiotika Visual
Semiotika visual (visual semiotics) pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang
studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala
jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Apabila kita
konsisten mengikuti pengertian ini, maka semiotika visual tidak lagi terbatas pada
pengkajian seni rupa (seni lukis, patung, dan seterusnya) dan arsitektur semata-mata,
melainkan juga segala macam tanda visual yang kerap kali atau biasanya dianggap bukan
karya seni.Adapun isu-isu pokok di dalam semiotika visual, berdasarkan ataspembedaan
tiga cabang penyelidikan semiotika menurut Charles Morris sebagaimana disampaikan

6
pada bab sebelum ini, dapat di- klasifikasikan setidak-tidaknya ke dalam tiga dimensi,
yakni dimensi sintaktik, semantik, dan pragmatik.
BAB 2
KONSEP-KONSEP DASAR
1. Charles S. Peirce
Agar tidak telanjur terjatuh ke dalam kerancuan konseptual,semiotika sebagai
sebuah pendekatan perlu lebih dahulu ditempatkan di dalam tradisi pemikiran Charles
Sanders Peirce. Dengan berbekal gagasan-gagasan Peircian ini sedikit-banyak kita dapat
mulai memasuki beragam teori semiotika yang lain. Semiosis dan Struktur Traidik
Sebuah tanda atau representamen (representamen), menurut Charles S. Peirce (1986: 5 &
6), adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal
atau kapasitas. Sesuatu yanglain itu-dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari
tanda yang pertama--pada gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian,
sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan
objeknya. Apa yang disebut runakan suatu proses yang memadukan.
Tipologi Ganda
Upaya klasifikasi yang dikerjakan oleh Peirce terhadap tanda-tanda sungguh tidak
bisa dibilang sederhana, melainkan sangatlah rumit. Meskipun demikian, pembedaan
tipe-tipe tanda yang agaknya paling simpel dan fundamental adalah di antara ikon (icon),
indeks (index), dan simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi di antararepresentamen
dan objeknya (Peirce, 1086: 8, Nöth, 1990: 44-45)
2. Ferdinand de Saussure
Kecuali pada pemikiran-pemikiran Charles S. Peirce, pendekatan semiotik di
sepanjang perkembangannya sampai saat ini pun banyak berhutang budi pada Ferdinand
de Saussure. Oleh karena itu, bidang studi semiotika visual perlu pula merunut jejak-jejak
konseptualnya di dalam tradisi linguistik Saussurean yang selama ini dikenal dengan
seperangkat konsep dikotomisnya yang khas.
Sintagmatik dan Paradigmatik
Segala sesuatu yang ada di dalam bahasa didasarkan atas relasi-relasi. Relasi-
relasi ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu relasi sintagmatik dan paradigmatik.
Sebuah sintagma merujuk kepada hubungan in praesentia di antara satu kata dengan kata-

7
kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan gramatikal
yang lain, di dalam ujaran atau tindak-tutur (speechact) tertentu.

BAB 3
BEBERAPA ISU
1. Leksia dan Kode-kode Pembacaan
Satuan Pembacaan: Leksia
Untuk memberi ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan
pluralitas teks, Roland Barthes (1990: 13) mencoba memilah-milah penanda-penanda
pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya
seba- gai leksia-leksia (lexias), yaitu satuan-satuan pembacaan (units of reading) dengan
panjang-pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks, yang apabila diisolasikan akan
berdampak atau memiliki fungsi yang khas bila dibandingkan dengan potongan-potongan
teks lain di sekitarnya, adalah sebuah leksia. Akan tetapi, sebuah leksia sesungguhnya
bisa berupa apa saja: kadang hanya berupa satu-dua patah kata, kadang kelompok kata,
kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf, tergantung kepada ke-"gampang"-
annya menjadi sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna. Sebab yang kita
butuhkan hanyalah bahwa masing-masing leksia itu memiliki beberapa kemungkinan
makna (Barthes, 19990: 13-14).
Dimensinya tergantung kepada kepekatan (density) dari konotasi-konotasinya
yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks,
leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama di antara
pembaca dan teks ataupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa
sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tingg.
Kode-kode Pembacaan
Pada umumnya pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotic
menyangkut sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas
tertentu sebagai tanda-tanda, sebagai esuatu yang bermakna (Scholes, 1982: 1x). Dengan
kata lain, segala sesuatu yang bermakna tergsntung kode. Penafsiran sub-linguistik
(ekspresi wajah, dan sebagainya) atau supralinguistik Berbeda dengan pemahaman umum
di atas, bagi Roland Barthes (1990: 17-18, 19; Hawkes, 1978: 116-118) di dalam teks

8
setidak-tidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes yang di dalamnya semua
penanda tekstual (baca: leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia
dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini
menciptakan sejenis jaringan (network), atau topos yang melaluinya teks dapat menjadi"
(Barthes, 1990: 20).
Adapun kode-kode pokok tersebut-yang dengannya seluruh aspek tekstual yang
signifikan dapat dipahami-meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekali- gus, yaitu
menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubungkan
dengan dunia di luar teks. Kelima jenis kode tersebut meliputi kode hermeneutik, kode
semik, kode simbolik, kode proairetik, dan kode kultural.
2. Denotasi dan Konotasi
Tataran Signifikasi
Pendekatan semiotik Roland Barthes (1983: 109-131; lihat Noth, 1990: 310-313;
Hawkes, 1997: 39-41) secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan (speech) yang
disebutnya sebagai mitos. Menurut Barthes (1983: 109). bahasa membutuhkan kondisi
tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadimya
sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai sistem semiologis tingkat kedua (the
second order semiological system). pe- nanda-penanda berhubungan dengan petanda-
petanda sedemikian sehingga menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda-tanda pada tataran
pertama ini pada gilirannya hanya akan menjadi penanda-nanda.
BAB 4
PENDAHULUAN
1. Semiotika: Saussure versus Peirce
Semiotika, apalagi semiotika mutakhir, memang dipenuhi dengan beragam jargon
dan isu, beragam teori dan pendekatan, yang kompleks dan satu sama lain barangkali
tidak lagi jelas batas-batasnya, atau bahkan tidak seiring-sejalan. Kendatipun demikian,
pada garis-besarnya kita dapat menelusuri dua buah tradisi besar yang berasal dari dua
induk yang berbeda di dalam sejarah perkembangan semiotika. Pertama, tradisi yang
berinduk pada Charles Sanders Peirce, seorang filsuf Amerika yang hidup di peralihan
abad yang lalu (1839-1914). Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Peirce berkehendak
untuk menyelidiki apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Peirce tentang

9
tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengherankan apabila dia
menyimpulkan bahwa semiotika tidak lain dan tidak bukan adalah sinonim bagi logika.
2. Karakteristik Tanda: Arbitrer?
Bahasa, dalam perspektif semiotika, hanyalah salah satu sistem pertama-tama,
bahasa adalah sebuah institusi sosial yang otonom, tanda-tanda (system of signs). Dalam
wujudnya sebagai suatu sistem, Bahasa merupakan seperangkat konvensi sistematis,
produk dari yang keberadaannya terlepas dari individu-individu pemakainya, kontrak
kolektif, yang bersifat memaksa.
3. Ikon dan Ikonisitas
Di dalam linguistik modern, peran dan kontribusi Ferdinand de Saussure
demikian besar. Teorinya tentang bahasa hampir selalu menjadi titik-tolak dalam analisis
linguistik secara struktural. Di dalam kajian-kajian semiotika, sebagaimana telah
disinggung secara tidak langsung sebelumnya, linguistik Saussurean telah menjadi
orientasi yang utama pula. Bahasa menjadi model analitis yang dominan di dalamnya
dan, dengan demikian, konsepsi Saussure tentang tanda yang arbitrer dan konvensional
hampir selalu menjadi titik-pijak pula. Pengambilalihan bahasa sebagai model analitis
dan konseptual, terutama dengan orientasi linguistik Saussurean, serta penekanan yang
berlebihan terhadap hakikat tanda yang arbitrer, relasi di antara penanda dan petanda
yang tak bermotivasi alias didasari oleh konvensi semata-mata, pada gilirannya
berimplikasi pada peminggiran atas hakikat sebaliknya dari tanda.
BAB 5

TIPOLOGI TANDA, KHUSUSNYA TANDA IKONIS


1. Tanda dan Proses Semiosis
Suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu
bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang. artinya di
dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda
yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda
yang pertama. Tanda menggantikan sesuatu, yaitu objek-nya, tidak dalam segala hal,
melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai
latar dari representamen.

10
2. Tipologi Tanda
Kategori-kategori dan pembedaan-pembedaan trikotomis yang dibuat oleh Peirce
(1986: 7-9, 10-19; Nöth, 1990: 44-45; bdk. Hawkes, 1978: 127-128) mengenai tanda
mau tidak mau merupa- kan pintu masuk yang tak terelakkan bagi hampir setiap teori
tanda yang muncul lebih kemudian dan menjadi surnber bagi salah satu tradisi utama di
dalam semiotika. Peirce (dalam Nöth, 1990) 41; bdk, Masinambow, 2002: vii)
mengembangkan seluruh klasifikasinya itu berdasarkan tiga kategori universal.
Trikotomi Pertarma: Qualisign, Sinsign, dan Legisign
Dilihat dari sudut-pandang representamen, yang semata-mata posibilitas logis
(logical possibilities), Peirce membedakan tanda- tanda menjadi qualisign, sinsign, dan
legisign. Pembedaan ini menurut hakikat tanda itu sendiri, entah sebagai sekadar kualitas,
sebagai suatu eksistensi aktual, atau sebagai kaidah umuin. Pertama, qualisign adalah
suatu kualitas yang merupakan tanda, walaupun pada dasarnya ia belum dapat menjadi
tanda sebelum mewujud (embodied). Hawa panas yang kita rasakan pada tubuh di siang
hari bolong di dalam sebuah ruangain, misalnya, adalah qualisign sejauh ia hanya
"terasa", tidak/belum direpresentasikan dengan apa pun.
Trikotomi Kedua: Ikon, Indeks, dan Simbol
Dipandang dari sisi hubungan representamen dengan objeknya, yakni hubungan
"menggantikan" atau the "standing for" relation, tanda-tanda diklasifikasikan oleh Peirce
menjadi ikon (icon), indeka (index), dan simbol (symbol). Peirce menganggap trikotomi
ini se bagai pembagian tanda yang paling fundamental.
Trikotomi Kedua: Ikon, Indeks, dan Simbol
Dipandang dari sisi hubungan representamen dengan objeknya, yakni hubungan
"menggantikan" atau the "standing for" relation, tanda-tanda diklasifikasikan oleh Peirce
menjadi ikon (icon), indeke (index), dan simbol (symbol). Peirce menganggap trikotomi
ini se bagai pembagian tanda yang paling fundamental.
Trikotomi Ketiga: Rema, Disen, dan Argumen
Terakhir, kali ini menurut hakikat interpretannya, tanda-tande dibedakan oleh
Peirce menjadi rema (rheme), tanda disen (dicent sg" atau dicisign), dan argumen
(argument).

11
3. Tanda Ikonis: Citra, Diagram, dan Metafora
Pada umumnya ikon biasa dipahami sebagai potret, sesuai dengan asal-katanya
dari bahasa Yunani, ikon, yang berarti 'citra.
BAB 6
METAFORA,
DARI PEIRCE HINGGA JAKOBSON
Di dalamWebster's Thint New International Dictionary metafora didefinisikan
secara tipikal sebagai "sebuah kiasan yang menggunakan sepatah kata atau frase yang
mengacu kepada objek atau tindakan tertentu untuk menggantikan kata atau frase yang
lain sehingga tersarankan suatu kemiripan atau analogi di antara kedua nya (a figure of
speech in which a word or a phrase denoting one kind of object or action is used in place
of another to suggest a likeness or ana logy between them)." Dikatakan tipikal karena
pada umumnya teoriteori tentang metafora sejak dari Aristoteles sampai dengan teori
semiotika yang lebih mutakhir masih berkutat pada konsep yang menjadi kata kunci di
dalam definisi ini, yaitu kemiripan (likeness) atau analogi yang diperoleh dari sebuah
perbandingan (comparison) atas dua hal yang berbeda.
1. Charles S. Peirce
Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, menurut tipologi Peirce
(1986:10), tanda yang berjenis ikon masih dapat dipilah-pilah lagi menjadi tiga sub-jenis,
yakni citra atau imagi (ikon imagis), diagram (ikon diagramatis), serta metafora (ikon
metaforis) Metafora adalah ikon yang didasarkan atas similaritas di antara objek-objek
dari dua tanda simbolis. Menurut Aart van Zoest (1992a: 12, 18), suatu cara yang cukup
mudah untuk mengenali similaritas di dalam metafora adalah dengan membandingkan
deskripsi kedua objek yang diacu oleh tanda-tanda yang bersangkutan, yang secara
skermatis dapat digambarkan demikian.
2. Le Groupey dan I.A. Richards
Menurut teori retorika Le Groupe u atau Mazhab Liege, terdapat dua tipe relasi
yang biasa dimanfaatikan untuk mengkonstruk figur figur retoris, yaitu (1) suatu
keseluruhan dipilah menjadi bagianbagian atau (2) suatu kelas dipilah menjadi anggota-
anggotanya. Figur retoris yang paling mendasar, yaitu sinekdoke, memanfaatkan kedua
macam relasi ini sehingga kita

12
dapat membacanya dengan bergerak dari bagian kepada keseluruhan, dari
keseluruhan kepada bagian, dari anggota kepada kelas, atau dari kelas kepada anggota
(Culler, 1982: 180).
Dalam pemahaman Le Groupe y dan yang kemudian diadopsi oleh Jonathan
Culler, metafora merupakan kombinasi dari dua buah sinekdoke, yang bergerak dari
suatu keseluruhan kepada salah satu bagiannya kepada suatu keseluruhan yang lain; atau
dari anggota kepada sebuah kelas general dan …
3. Roman Jakobson
Teori metafora Jakobson dilandasi oleh sebuah prinsip dasar yang menyatakan
bahwa fungsi puitis memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi ke poros
kombinasi (the poetic functiow prjet the principle of equlvalence from the axis of
selection into the axis of combination) (Jakobson, 1975:358).
4. Menuju Metaforologi
Metafora telah menjadi salah sebuah topik diskusi yang paling menarik di
sepanjang sejarah semiotika sehingga pada akhirnya membentuk sebuah bidang studi
semiotika khusus yang bisa disebut sebagai metaforologi (metaphorology). Apabila kita
telusuri lebih jauh, masih bisa ditemukan sejumlah variasi teori lain mengenai metafora.
Sebagian besar dari teori-teori ini, agaknya, mengambil titik-pijak dari, entah dengan cara
mengikuti atau menyimpangi. teori Aristoteles (lihat Levin, 1977: 79, 85-95).
BAB 7
IKONISITAS DALAM SASTRA
Dipandang dari perspektif semiotika Peircean, karya sastra pada dasarnya
tersusun dari tanda-tanda simbolis karena lisan yang menjadi media karya sastra selalu
sudah merupakan sistem tanda- tanda konvensional. Akan tetapi, di balik simbolisitasnya
yang sudah pasti itu, karya sastra pun sesungguhnya mampu memanfaatkan dimensi-
dimensi ketandaan yang lain, khususnya dimensi ikonis (dan juga indeksikal).
1. Rendra: Kupanggili Namamu
Puisi KN hanyalah sebuah puisi cinta dan kesepian. Aku-lirik, yangputus asa dan
merasa sia-sia, memanggil-manggil engkau-lirik, wanita kekasihnya yang berada entah di
mana, namun tidak pernah menerima jawaban. Aku-lirik, yang dihantui oleh masa

13
silamnya, marah dan memberontak terhadap segala hal, bahkan terhadap Tuhan
sekalipun.
Bab 8
IKONISITAS DALAM SENI RUPA
Berbeda dengan karya sastra yang pada dasarnya merupak.an ani bahasa yang
simbolis, karya seni rupa atau seni visual pada umumnya lebih memanfaatkan potensi
ikonisitas. Torehan warna, goresan garis, serta segenap unsur visual lain di dalam sebuah
Jukisan bekerja sama membentuk gugusan ikon yang bisa dikenali sebagai sesuatu, entah
benda-benda, manusia, peristiwa bentuk- bentuk geometris, dan sebagainya. Hal ini
terutama memang berlaku secara wantah bagi karya-karya seni rupa yeng "realistis",
namun sebetulnya gejala ikonistas pun sedikit-banyak tampak. pada karya-karya yang
dikategorikan abstrak sekalipun. Seabstrak apapun sebuah karya seni rupa mau tidak mau
mesti berangkat dari realitas tertentu, entah kasat-mata atau tidak, yang secara visual
"disalin"-nya. Yang membedakan hanyalah kadar ikonisitas (degree of iconicity) pada
kedua kategori karya tersebut.

14
RANGKUMAN BUKU II

Bab 1 Pendahuluan
Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh
perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat
dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik
dan pragmatik.
(1) Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) : suatu cabang penyelidikan semiotika yang
mengkaji “hubungan formal di antara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan begitu
hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan
interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam ‘gramatika’.
(2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di
antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Yang dimaksud designata
adalah tandatanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu
(3) Pragmatik (pragmatics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan
di antara tanda-tanda dengan interpreterinterpreter atau para pemakainya”- pemakaian tanda-
tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-
fungsi situasional yang melatari tuturan
Bab 2 Sekilas Tentang Semiotika
2.1. Pengertian
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda
itu sendiri didefi nisikan sebagai suatu –yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun
sebelumnya—dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai
suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene
mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.
Pada dasarnya, analisis semiotika memang merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu
yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau
narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan
makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks . Maka orang sering
mengatakan semiotika adalah upaya menemukan makna ‘berita di balik berita’.
22. Bahasa, Tanda Dan Makna

15
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial, memahami dunia sebagai
suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar dengan ‘tanda’. Maka dari itu, semiotika
mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Ahli semiotika, Umberto Eco menyebut
tanda sebagai suatu ‘kebohongan’ dan dalam Tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya
dan bukan merupakan Tanda itu sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingankepentingan tertentu dan
juga kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks. Semua media pada dasarnya
membawa bias-bias tertentu dan setiap wartawan yang memasuki sebuah lingkungan, media
akan menyerap bias-bias media itu sebagai bagian dari kerjanya bahkan mengambilnya sebagai
bagian dari ‘corporate culture’nya dia.
2.3 Semiotika Dan Politik Media Massa
Media massa sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama dan seni serta kebudayaan
merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna membangun
kepatutan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa. Akan tetapi pandangan Althusser tentang
media ini dianggap oleh Antonio Gramsci ( 1971) justru mengabaikan resistensi ideologis dari
kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media massa merupakan arena
pergulatan antar ideologi yang saling berkompetensi.
Bab 3 Tokoh-Tokoh Semiotika
3.1. Charles Sander Peirce
Teori dari Peirce seringkali disebut sebagai ‘grand theory” dalam semiotika. Mengapa begitu?
Ini lebih disebabkan karena gagasan Peirce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua
sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifi kasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan
kembali semua komponen dalam struktur tunggal.
Tipologi Tanda versi Charles S Peirce Upaya klasifi kasi yang dilakukan oleh Peirce terhadap
tanda memiliki kekhasan meski tidak bisa dibilang sederhana. Peirce membedakan tipetipe tanda
menjadi : Ikon (icon), Indeks (index) dan Simbol (symbol) yang didasarkan atas relasi di antara
representamen dan objeknya.
(1) Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali
oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud
sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas. Contohnya sebagian besar rambu lalu lintas

16
merupakan tanda yang ikonik karena ‘menggambarkan’ bentuk yang memiliki kesamaan dengan
objek yang sebenarnya.
(2) Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara
representamen dan objeknya. Di dalam indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya bersifat
kongkret, aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Contoh jejak
telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang atau binatang
yang telah lewat di sana, ketukan pintu merupakan indeks dari kehadiran seorang ‘tamu’ di
rumah kita.
(3) Simbol, merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional sesuai kesepatan atau
konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah
simbol-simbol. Tak sedikit dari rambu lalu lintas yang bersifat simbolik. Salah satu contohnya
adalah rambu lalu lintas yang sangat sederhana ini .
3.2. Ferdinad De Saussure
Selain Charles S Peirce, pendekatan semiotika yang terus berkembang hingga saat ini amat
berhutang budi pada peletak dasar Semiotika lainnya yakni Ferdinand de Saussure yang lebih
terfokus pada semiotika linguistic
3.3. Roland Barthes
Kancah penelitian Semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes
(1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental
strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi
sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat
membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari
bentuk dan substansi, Barthes mendefi nisikan sebuah tanda (Sign) sebagai sebuah sistem yang
terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifi er dalam hubungannya (R ) dengan content (atau
signifi ed) (C): ERC.
3.4. Umberto Eco
Dia - sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang dalam buku “Hipersemiotika’ Tafsir
Cultural Studies Atas matinya Makna, (2003)—menegaskan bahwa semiotika adalah teori dusta.
Eco mengatakan bahwa pada prinsipnya (semiotika) adalah sebuah disiplin yang mempelajari
segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Defi nisi ini meskipun agak aneh secara

17
eksplisist menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga
dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika.
Bab 4 Kerangka Berpikir Semiotika
4.1. Analisis Isi Kualitatif
Semiotika adalah salah satu bagian dari bentuk analisis isi kualitatif yang amat berbeda
dengan penelitian analisis isi kuantitatif. Apabila Analisis kuantitatif lebih memokuskan risetnya
pada isi komunikasi yang tersurat (tampak atau manifest), penelitian kualitatif justru sebaliknya.
Penelitian kualitatif justru dipakai untuk mengetahui dan menganalisis apa yang justru tidak
terlihat, atau dengan kata lain penelitian kualitatif justru ingin melihat isi komunikasi yang
tersirat.
4.2. Perbedaan Mendasar Dengan Analisis Isi Kuantitatif
Analisis isi dan analisis semiotika memiliki perbedaan sebagai berikut:pertama, analisisi
isi menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis isi manifest dari teks media,
sementara itu semiotika justru melihat teks media sebagai suatu struktur keseluruhan dan
mencari makna yang laten atau tersembunyi dari sebuah teks berita. Dalam semiotika, tidak ada
alasan bahwa item yang paling sering muncul adalah yang paling penting atau paling signifi kan,
tetapi harus dilihat secara keseluruhan. Analisis isi kuantitatif terlalu banyak memberikan
penekanan pada pengulangan dari tanda (yakni frekuensi kemunculan) dan hanya sedikit
memberi perhatian pada signifi kasinya bagi khalayak.
Bab 5 Sistematika Penulisan Penelitian Semiotika
5.1 Struktur Tidak Baku.
Di sejumlah Universitas, tidak ada keseragaman dalam sistematika penulisan skripsi dan
thesis yang menggunakan metode kualitatif khususnya penelitian menggunakan analisis
semiotika. Ini bisa dimaklumi bahwa di banyak tempat bahkan di universitas terkenal pun,
penggunaan semiotika dalam penelitian mahasiswa dan dosen masih jarang –bila tidak mau
dikatakan tidak pernah--. Ini terkait dengan begitu kuatnya paradigma atau pendekatan
positivistik yang amat menekankan unsur objektivitas dan menggunakan teknikteknik statistik
yang canggih. Meski pendekatan kuantitatif tidak sinonim dengan paradigma positivistik, tetapi
secara umum bisa dikatakan bahwa metodologi kuantitatif didasarkan pada fi lsafat positivistik
yang terlihat jelas dari struktur, proses dan latar belakang teoritisnya. Pendekatan kuantitatif
positivistik telah sangat lama mendominasi penelitian-penelitian ilmu sosial dan banyak pihak

18
sampai saat ini ( masih) menganggap bahwa pendekatan kuantitatif sebagai satu-satunya acuan
ilmiah
5.2. Paradigma Penelitian
R.Bailey berpendapat bahwa paradigma merupakan jendela mental (mental window) seseorang
untuk melihat dunia . Perbedaan antar paradigma penelitian bisa dilihat melalui empat dimensi,
yaitu :
1. Epitemologis: yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan antara peneliti dan
yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti.
2. Ontologis : yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti .
3. Metodologis: yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan
mengenai suatu objek pengetahuan. 4. Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value
judgements, etika dan pilihan moral peneliti da lam suatu penelitian.
5.3. Validitas Penelitian Kualitatif
Barthes atau menggunakan pisau analisis Charles Sander Peirce memiliki validitas dan
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah? Penilaian kesahihan riset kualitatif sebagaimana juga
penelitian yang menggunakan semiotika biasanya terjadi sewaktu proses pengumpulan data dana
analisis intrepretasi data
5.4. Tahapan Riset Semiotik
Secara umum, ada sejumlah tahapan riset semiotika sebagaimana dijelaskan Kriyantono
yang mengutip Christomy56. Tahapan itu adalah sebagai berikut:
1) Pertama-tama anda mencari topik yang menarik perhatian
2) Kemudian buatlah pertanyaan riset yang menarik (mengapa, bagaimana, dimana dan apa)
3) Kemudian anda tentukan alasan-alasan argumentatif mengapa penelitian ini perlu dilakukan
4) Tentukan juga metode pengolahan data sesuai model semiotika yang Anda pilih
5) Kemudian klasifi kasilah data yang bisa dilakukan seperti (a) indentifi kasi teks (tanda-tanda)
(b) berikan alasan mengapa tanda tersebut dipilih dan perlu diidentifi kasi, (c) tentukan pola
semiosis yang umum dengan mempertimbangkan hierarki maupun sekuennya atau menggunakan
pola sintagmatis dan paradigmatic,(d) tentukan kekhasan wacananya dengan mempertimbangkan
elemen semiotika yang ada
6) Analisis data berdasarkan: (a) ideology, interpretan kelompok, framework budaya, (b)
pragmatic, aspek sosial, komunikatif, (c) lapis makna ,intertektualitas, kaitan makna dengan

19
tanda-tanda yang lain, hukum yang mengaturnya, (d) analisis apakah makna yang muncul sesuai
kamus ataukah sesuai ensiklopedia 7) Buatlah kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian

20
III. KEUNGGULAN BUKU

a. Kegayutan antar elemen


Berdasarkan buku yang saya baca buku ini memiliki kegayutan antar elemen
dimana bab di dalam buku ini menjelaskan tentang pembelajaran semiotika yang dmulai
dari bab pendahuluan sampai pembahasan yang terakhir. Penjelasan dalam buku ini
sangat baik dan penjejasan-penjelasannya saling bersangkutan di dalam babnya.
Persamaan kelebihan dari buku tersebut adalah sama sama mengarahkan kepada hal yang
baik.
b. Origanilitas temuan
Teori pada buku merupakan tori yang berdasarkan dari suatu hal yang benar
terjadi. Buku ini juga berdasarkan penjelasan-penjelasan yang berdasarkan pembahasan
semiotika. Dengan adanya temuan ini sangat bermanfaat terhadap pembahasan yang
sedang di pelajari dalam pembahasan mata kuliah.
c. Kemutakhiran masalah
Yang di bahas dalam buku ini memang memiliki up to date,atau juga memiliki
relevan dengan perkembangan IPTEK,karena teori yang di ambil dalam buku ini sangat
berpengaruh terhadap perkembangan IPTEK. Pembahasan dalam buku ini juga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan di dunia pembelajaran salah satunya adalah
pembahasan yang di bahas dalam buku ini. Dengan mempelajarinya kita dapat
mengetahui tentang semiotika dengan baik lagi serta bisa mengarahkan terhap hal-hal
yang baik. Jika seorang pendidik dan yang di didik menerapkan pembahasan ini maka
kemungkinan pembelajaran tersebut akan menuju kearah yang baik. Baik itu dalam hal
yang berpengaruh dalam IPTEK
d. Kohesi dan koheresi penelitian
Teori pada buku ini memiliki teori yang tidak bertentangan dengan teori yang ada
teori pada buku ini berkaitan dengan mata kuliah khususnya mata kuliah Semiotika. Buku
ini membawa kearah yang baik dalam dunia pendidikan sangat cocok untuk dipelajari.

21
IV. KELEMAHAN BUKU

a. Kegayutan antar elemen


Buku ini sangatlah bagus karena sangat cocok untuk dipelajari ,buku ini sudah
disusun dengan sedemikian rupa,tapi dilalamnya masih ada sedikit kekurangan. Pada
buku pertama pembahsannya sangat cocok dalam jurusan seni rupa pada mata kuliah
semiotika, sedangkan buku ke kedua lebih mengarah kepada pembahasan desain
komunikasi visual.
b. Origanilitas temuan
Pembahasannya kurang sedikit dimengerti ada baiknya jika disertai dengan
penjelasan yang mudah untuk dimengerti
c. Kemutakhiran masalah
Buku ini tidak membawa dampak negatif bagi pembaca ,karna kebanyakan isi
dari buku ini membawa ke arah yang positif karena buku ini buku ini sudah dirancang
dengan sedemikian rupa, tapi jika berbicara tentang kekurangan pada buku ini masih ada
kekurangan seperti penulisan teorinya. Gambar pada buku tersebut sedikit kurang
menarik.
d. Kohesi dan koheresi penelitian
Buku ini sudah memiliki kohesi dan koherasi isi penelitian yang baik . Tetapi
masih ada susunan yang membingungkan bagi pembaca yang terdapat dalam bab .

22
V. IMPLIKASI TERHADAP
a. Teori
Teori-teori yang di bahas dalam buku ini memiliki makna yang sangat baik bagi dunia
pendidikan. Bersararkan buku buku yang di bahas teori-teorinya salma sama saling
melengkapi satu sama lain..
b. Program pembangunan indonesia
Buku ini sangat berdampak positif bagi pembaca karena dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran dalam upaya pembangunan di Indonesia kearah yang lebih baik , yang
memberikan pembangunan di Indonesia secara luas
c. Pembahasan dan Analistis
Pembahasan adan analitis pada buku ini sudah lebih baik dan juga teori-teori
pembahsannya hannya sedikit memiliki kekurangan.

23
VI. KESSIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
Buku ini sangat berdampak positif bagi pembaca karena dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran dalam upaya pembangunan di Indonesia kearah yang lebih baik yaitu
seperti mata kuliah semiotika sehingga nantinya teori-teori dari buku ini berkembang
hingga nantinya melahirkan penemuan penemuan baru dalam teori ini.

b. Saran
Buku ini memang sudah memiliki pembahasan yang baik tapi ada baiknya jika di dalam
pembahasan di dalam buku ini disertai dengan contoh-contoh dari yang di bahas . Ada
baiknya kita bisa mempelajari materi materi yang di bahas menuju ke hal kebaikan.
Gambarnya di buat dengan menarik, supaya menarik perhatian dari pembaca.

24
Daftar Pustaka

Ahimsa, Heddy S,Putra, (2001) Strukturalisme Levi strauss mitos dan karya sastra,galang
press,Yogyakarta
Al-Maududi,Arsyid A’La, (2000), Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur
Arens ,Wiliam, (1999),Contemporary advertising, mcgraw-hill,USA Barthes, Roland (1991)
Mythologies. New York: The Noonday Press. 1991
. ________ (2007),Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Yogyakarta: Jalasutra
. _________ (2007), Petualangan Semiotika. Yogyakarta: Pustaka pelajar Berger, Arthur Asa,
(2000). Tanda-Tanda dalam kebudayaan Kontemporer, Yogyakarta, Tiara Wacana.
_________ (2000), “Media Analysis Techniques” 2nd Edition ,alih bahasa Setio Budi H,
Yogyakarta.
Berger, Peter &Thomas Luckmann (1990), Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan, Jakarta,LP3ES
Bogdan, Robert dan Steven,J.Taylor (1992) Introduction to Qualitative research methods: a
phenomenological Approach inthe social sciences, alih bahasa Arif Furchan, Jhon Willey and
son, usaha nasional, Surabaya
Budiman, Kris,(2003), Semiotika Visual, Yogyakarta: Buku Baik, Yayasan Seni Cemeti
------------- (2002),Analisis wacana dari linguistik sampai dekonstruksi. Kanal, Yogyakarta
Bungin.,Burhan (2009),Penelitian Kualitatif. Jakarta: kencana
________ Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana, 2008
Chandler, Daniel (2002), Semiotics: The Basic. New York: Routledge
Charles,Nickie,(1993), Gender Divisions and Social Change, Barnes & Noble books, Boston,
1993
Cook, Guy, Fillmore (1997), Topics in Lexical Semantics

25
26

Anda mungkin juga menyukai