Anda di halaman 1dari 39

MINI RISET

PENGANTIN ADAT ACEH BESAR TRADISIONAL

OLEH:
Amelia Syafriani Nasution (5183144018)
Aprilia Ayunda (5182144002)
Rahma Destika (5181144001)
Sri Ayu (5183144017)
Suci Rahmadina Manurung (5183344009)
Reguler B

Dosen Pengampu:
Dessy Afyanti, M.Pd
Irmiah Nurul Rangkuti, M.Pd
Vita Pujawanti Dana, M.Pd

PENDIDIKAN TATA RIAS

PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatnya sehingga penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat
menyelesaikan Mini Riset ini. Mini Riset ini penulis buat guna memenuhi
penyelesaian tugas pada mata kuliah Tata Rias Pengantin Indonesia, semoga
proposal Mini Riset ini dapat menambah wawasan dan pengatahuan bagi penulis
dan para pembaca.
Dalam penulisan proposal Mini Riset ini, penulis tentu saja tidak dapat
menyelesaikannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis yang selalu mendoakan
2. Kepada dosen pengampu.
Penulis menyadari bahwa proposal Mini Riset ini masih jauh dari kata
sempurna karena masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis dengan
segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang
membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.
Akhir kata penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga materi
yang ada dalam Mini Riset yang berbentuk proposal ini dapat bermanfaat
sebagaimana mestinya bagi para pembaca.

Medan, 26 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................4

A. Latar Belakang..............................................................................................4

B. Rumusan Masalah.........................................................................................5

C. Batasan Masalah...........................................................................................5

D. Tujuan Penelitian..........................................................................................6

E. Manfaat Penelitian........................................................................................6

BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................................7

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................18

A. Jenis Penelitian............................................................................................18

B. Subjek Penelitian.........................................................................................18

C. Tempat dan Waktu Penelitian.....................................................................18

D. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................18

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................19

BAB V PENUTUP................................................................................................36

A. Kesimpulan.................................................................................................36

B. Saran............................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................37

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan budaya tidak terlepas dari masyarakat tempat budaya itu tumbuh
dan berkembang. Budaya adalah salah satu identitas etnik yang diwariskan turun-
temurun dari generasi ke generasi. Di Indonesia misalnya,terdapat ratusan etnik
yang memiliki budaya yang hidup dan berkembang mengikuti perkembangan dan
perubahan. (Abdul Hani Usman, 2009)
Setiap daerah mempunyai budaya yang berbeda-beda, walaupun tinggal
disuatu provinsi yang sama, namun setiap kabupaten memiliki budaya tersendiri
yang menjadi ciri khas daerah tersebut. Budaya adalah kebiasaan masyarakat yang
dilakukan secara terus menerus dari tiap generasi.
Upacara adat perkawinan adalah salah satu budaya yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat Aceh yang dilakukan secara adat sejak dahulu sampai
sekarang dan mungkin juga seterusnya. Upacara tersebut dilakukan ada yang
lengkap dan ada yang hanya sebagian saja, yaitu yang menjadi bagian bagian yang
wajib saja dari suatu peristiwa perkawinan. (Dimas A. Sulaiman, 1989).
Salah satu bagian dari upacara perkawinan adalah adanya suatu kegiatan yang
disebut tata rias pengantin. Tata rias pengantin ini dilakukan tidak hanya sekedar
menarik perhatian orang pada saat dilangsungkannya upacara peresmian
perkawinan , tetapi juga dapat menciptakan suasana resmi dan khidmat. Karena di
dalam tata rias, tata busana dan perhiasan yang dipakai oleh pengantin terkandung
lambang-lambang dan makna-makna tertentu sebagai pengungkapan pesan-pesan
hidup yang hendak disampaikan terutama kepada pengantin itu sendiri. Tata rias
ini kadang kadang terlihat mewah, itu pun tidak terlepas dari tujuan
penyelenggaraan upacara perkawinan yang diharapkan sebagai pengakuan sosial
dari yang hadir, bahwa mereka sejak saat itu telah menjadi suami isteri yang sah .
Dalam masyarakat tradisional pengakuan sosial dengan cara
menyelenggarakan suatu upacara memegang peranan penting. Sebagaimana yang
telah dijelaskan , bahwa perujudan tata rias pengantin tidak terlepas dari rangkaian
pesan yang akan disampaikan lewat lambang-lambang yang dikenal di dalam

3
tradisi masyarakat. Lambang-lambang yang dipergunakan di dalam tata rias
pengantin dan perlengkapan upacara perkawinan lainnya, merupakan
pencerminan dari unsur ke budayaan dalam arti nilai-nilai yang menjadi acuan
bagi pola tingkah laku dari masyarakat yang bersangkutan.
Dewasa ini, pengetahuan tentang tata rias pengantin daerah, masih sangat
terbatas karenanya informasi hanya diketahui oleh daerah masing-masing. Oleh
karenanya tradisi tata rias pengantin daerah mendapat perhatian yang cukup besar
dari maysarakat, sehubungan dengan hasrat untuk menciptakan bentuk tata rias
pengantin nasional. Dalam hubungan ini semakin besar kebutuhan para juru rias
untuk mempelajari dan mendalami seluk beluk tata rias pengantin daerah agar
tidak jauh menyimpang dari dasar-dasarnya. Namun buku-buku atau bahan-bahan
tertulis lainnya yang berhubungan dengan hal ini sangat langka atau boleh
dikatakan tidak tersedia.
Bertitik tolak kepada hal-hal yang telah dikemukakan, maupun
permasalahannya yang akan dijelaskan, sangat terasa betapa pentingnya diadakan
lnventarisasi dan Dokumentasi tata rias pengantin yang terdapat di daerah
termasuk di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Penelitian yang bersifat dokumentasi
dan inventarisasi Arti Perlambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Pengetahuan Tentang Tata Rias
Pengantin Aceh Mengenai Arti Perlambang Dan Fungsi Tata Rias Pengantin”.

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini masalah yang akan diteliti dibatasi pada :
1. Unsur-unsur dari tata rias pengantin ini yang dideskripsikan meliputi:
bentuknya, bahan yang digunakan, arti lambang atau makna simbolis yang
terkandung di dalam tata rias dan perlengkapannya, serta fungsinya
masing-masing.
2. Unsur perlengkapan pada pengantin yang dideskripsikan adalah : tata rias,
tata busana dan perhiasan.

4
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan pembuatan mini riset ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Tata Rias Pengantin Indonesia dan untuk menambah
pengetahuan tentang tata rias, untuk mengembangkan kreativitas mahasiswa
selanjutnya.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai beriku :
1. Hasil Inventarisasi tersebut akan merupakan data-data yang bisa dijadikan
bahan untuk pengembangan tradisi tata rias pengantin daerah. Hasil
Inventarisasi dan Dokumentasi ini akan sangat berguna bagi para juru rias
maupun bagi mereka yang ingin menambah pengetahuan tentang tata rias,
untuk mengembangkan kreativitas mereka selanjutnya.
2. Inventarisasi dan Dokumentasi yang selengkap mungkin sangat
bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat, mengingat pengetahuan tentang
tata rias pengantin daerah belum ada yang dibukukan sedangkan mereka
yang memiliki pengetahuan tentang itu telah beranjak pada usia lanjut.
Dengan demikian bila tata rias pengantin telah berhasil dibukukan dapat
menjadi pengungkapan sistim nilai yang berlaku di setiap kelompok etnis.
Lebih jauh dari itu akan dapat menunjang masyarakat dalam menanamkan
sating pengertian dalam kehidupan sosial serta dapat mencegah timbulnya
prasangka yang negatif terhadap golongan lain.
3. Dapat mengungkapkan arti lambang atau makna simbolis dari unsur-unsur
tata rias pengantin dari tiap kelompok etnis. Untuk itu akan sangat berguna
bagi pengenalan sifat dan kepribadian dari masyarakat pendukungnya.
Alam pikiran dan pandangan serta nilai-nilai yang merupakan pedoman
tingkah laku akan dapat terungkapkan juga dari hasil penelaahan ini.

5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Adat, Budaya, dan Upacara Perkawinan


Secara bahasa unsur kata adat itu diambil dari bahasa Arab, yaitu „adah
yang berasal dari (masdar), yang artinya berulang-ulang. Istilah al-„adah adalah
sebuah sebutan untuk sebuah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang
dalam kurun waktu relatif lama.
Adat merupakan kebiasaan masyarakat yang sudah dilakukan
berulangulang sejak dulu. Kebiasaan tersebut tumbuh dan terbentuk dalam
masyarakat yang dianggap memiliki nilai dan harus dipatuhi. Adat yang ada
dalam kehidupan masyarakat yaitu baik berupa tradisi, upacara-upacara dan lain-
lain yang mampu mengendalikan masyarakat, adat merupakan ketentuan yang
tidak tertulis dan apabila dilanggar, terkadangakan dikenakan sanksi keras dari
lingkungan masyarakat misalnya seperti cibiran dan lain-lain.
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,
karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sanskerta budhayah
yaitu bentuk jamak kata budi dan akal. Dalam bahasa inggris, kata budaya berasal
dari kata culture, dalam bahasa belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam
bahasa latin, berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan,
menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Kemudian pengertian ini
dikembangkan dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia
untuk mengolah atau mengubah alam.
Menurut E. B. Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat.Kebudayaan atau budaya yaitu yang menyangkut
keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non-material.
Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar
sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang
mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana
menuju ketahapan yang lebih kompleks.

6
Adat istiadat merupakan bagian dari kebudayaan yang merupakan
perlambangan berbagai nilaidan konsep tentang kehidupan alam semesta sesuai
dengan pola pikir masyarakat. Setiap wilayah mempunyai adat istiadat yang sama
dan ada juga yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, Begitu pula
dengan upacara perkawinan.
Perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan
lakilaki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup keluarga,
yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah
SWT. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1/1974 ialah :
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.
Upacara perkawinan (walimah) adalah perayaan pesta yang diadakan
dalam kesempatan pernikahan. Dikarenakan menurut Islam adalah sebuah kontrak
yang serius dan juga momen yang sangat membahagiakan dalam kehidupan
seseorang maka dianjurkan untuk mengadakan sebuah pesta perayaan pernikahan
dan membagi kebahagiaan itu dengan orang lain seperti dengan para kerabat,
teman-teman ataupun bagi mereka yang kurang mampu. Pesta perayaan
pernikahanitu juga sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat
yang telah dia berikan kepada kita.
B. Adat dan Perkawainan Aceh
Cut Intan Elly Arby, dalam bukunya yang berjudul“Tata Rias & Upacara
Adat Perkawinan Aceh”buku ini menjelaskan tentang upacara adat perkawinan di
Aceh, tata rias dan jugabusana pengantin yang dipakai pada saat prosesi adat
perkawinan dulu berlangsung.Keanekaragaman dalam seni tata rias pengantin dan
upacara adat perkawinan Aceh, penulis buku ini menulis adat perkawinan
kerajaan Aceh masa silam (kota banda Aceh sekarang) yang kini telah berbaur
dan dapat diterima secara umum oleh masyarakat daerah pesisir.
Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, dalam bukunya “Romantika
Warna-Warni Adat Perkawinan Etnis-Etnis Aceh” yang menjelaskan tentang adat
perkawinan di beberapa wilayah Aceh, yaitu Etnis Kluet, Aneuk Jamee, Singkil,
Simeulu, Alas, Gayo, Tamiang, dan juga adat perkawinan di Aceh yang

7
dimaksudkan yaitu mereka yang mendiami pesisir timur dan sebagian pantai barat
dan selatan Aceh, meliputi Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Dari
sisi budaya dan adat pada dasarnya sama, terutama dalam adat perkawinan,
perbedaannya hanya berupa plus minus yang disesuaikan dengan kondisi masing-
masing daerah, namun pada dasarnya memiliki kesamaan dalam adat dan
istiadat.7
Azhar Munthasir, “Adat Perkawinan Etnis Aceh”yang menjelaskan
mengenai adat perkawinan Aceh di kota Lhokseumawe, Perkawinan merupakan
sesuatu hal yang sakral di dalam budaya masyarakat Aceh karena hal ini
berhubungan dengan keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan
sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh
merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap mulai dari
pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan hingga upacara peresmian perkawinan.
Pada masa sekarang ritual adat perkawinan di Aceh sedikit demi sedikit mulai
ditinggalkan oleh masyarakat seperti prosesi koh gigo dan cet andam, bahkan
genarasi muda sekarang tidak lagi mengenal adanya tahapan prosesi ini.
C. Adat Perkawinan di Aceh
Adapun prosesi adat perkawinan di Aceh meliputi :
1. Cah Rot (Perintis Jalan)
Langkah pertama yang dilakukan oleh orang tua pemuda yang hendak
mencarikan seorang gadis untuk putranya adalah mencari calon istrinya bagi
putranya dengan menentukan pilihan putranya, gadis yang ada dalam
gampongnya dengan prioritas pada kerabat dekat, jika tidak ditemukan gadis yang
cocok maka dicarikan dari gampong lainnyadari kerabatnya juga, bila tidak ada
yang sesuai dengan harapan, pilihan terakhir adalah diluar kerabat yang dianggap
sepadan. Kegiatan itu disebut “cah rot” atau “cah ret” atau “meusah-sah”.
2. Meulake (Meminang)
Pada tahap “meulake”(meminang) peran orang tua yang telah melakukan
cah rot digantikan oleh seseorang yaitu seulangke bersama dengan keucik dan
teungku datang kerumah sigadis untuk meminang secara resmi. Dalam acara ini
orang tua pemuda jarang ikut serta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari jika
dalam meminang tidak mendapat respon, maka yang meminang tidak kehilangan

8
muka dan mendapat malu. Lagi pula dalam acara meminang turut dibicarakan
masalah yang prinsipil seperti jumlah mahar “jeuname” danasal usul calon
pengantin laki-laki yang kurang layak apabila langsung dilakukan didepan orang
tua yang meminang. Maka untuk itu perlu dicarikan tokoh netral yang diutus
sebagai wakil untuk melakukan pekerjaan meminang.Wakil ini didalam
masyarakat Aceh disebut seulangke. Dalam melaksanakan pekerjaan ini seulangke
bertugas sebagai utusan pihak keluarga pengantin laki-laki sebaliknya juga
menjadi pembawa pesan dari keluarga pihak pengantin perempuan.Sebelum
pertunangan (narit kong haba), keluarga sigadis bermusyawarah untuk memberi
jawaban kepada seulangke. Pihak orang tua pemuda mengirim utusan yang terdiri
dari seulangke, keucik, teungku dan orang tua gampong berkunjung kerumah
keluarga sigadis.Kunjungan ini disambut oleh keluarga sigadis yang diwakili oleh
keucik dan teungku serta orang tua gampong dan tetangga dekat. Utusan dari
keluarga pemuda diterima diserambi muka “seuramo keu” dan kemudian
mengutarakan maksud kedatangannya untuk meminang salah seorang gadis yang
ada dirumah itu. Setelah itu dilangsungkan upacara tunangan dengan penyerahan
sirih “ranub” bersusun, pinang celup sebagai simbol tunangan.
Beberapa dalong yang berisi pakaian dan alat rias, telor rebus berwarna,
makanan dan perhiasan emas. Pembicaraan dilanjutkan dengan upacara dan adat
istiadat perkawinan. Lamanya masa tunangan antara satu bulan bahkan lebih lama
satu dua tahun. Hari pernikahan ditetapkan bersama antara pihak orang tua laki-
laki dan pihak wanita melalui seulangke. Beberapa hari kemudian, beberapa orang
diutus oleh keluarga sigadis untuk membawa sejumlah dalong berisi makanan
sebagai balasan balah kong haba. Makanan ini berupa gula, kopi, emping, tumpo
dan sebagainya.
3. Meugatib (Nikah)
Upacara meugatib atau gatib (nikah) pada hari baik dan jarang dilakukan
pada bulan safar karena dianggap kurang baik berdasarkan pada peristiwa
tewasnya cucu Nabi Muhammad saw di Padang Karbala. Acara ini dilakukan di
mesjid atau di meunasah dan terkadang juga dilaksanakan di rumah pengantin
wanita. Rombongan pengantin pria menuju tempat pernikahan membawa
beberapa lembar tikar yang bagus-bagus dan beberapa buah bantal untuk

9
diserahkan kepada keluarga pengantin wanita. Tikar dan bantal itu digunakan
sebagai tempat duduk pelaminan nantinya.
Selain itu turut dibawa sebuah “bate atau cerana” yang dibungkus dengan
kain sutera berwarna kuning yang berisi mahar “jeunamee” dan inong kunyit yang
berlapis beras padi “breueh pade”. Selain itujuga dibawa beberapa dalong berupa
“bungong jaro” yang berisi makanan ringan yang dibagi-bagikan kepada semua
yang hadir. Rombongan memasuki mesjid dengan mengambil tempat berhadapan
dengan teungku, didepan rombongan diletakkan sebuah bate ranup disebut juga
karah “puan”. Dibelakang teungku duduk dua orang sebagai saksi. Kemudian
pengantin pria diminta berkumur dengan air agar mulut menjadi bersih waktu ijab
kabul diucapkan. Sebelum akad nikah mulai diadakan gladi resik agar pengantin
pria lancar tidak terputus-putus menyambut ikrar nikah. Bate diserahkan olehm
keucik dari gampong pengantin pria kepada teungku kemudian dibuka dan
diperlihatkan kepada dua orang saksi sebagai pembantu teungku kemudian
diperlihatkan kepada yang lainnya. Kemudian diserahkan kepada keucik pihak
pengantin wanita. Sebelum akad nikah dilakukan teungku terlebih dahulu
menyampaikan khotbah nikah yang isinya memberi nasehat kepada kedua
mempelai seraya mengutip ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang berkenaan dengan
pernikahan. Sesudah itu teungku menyalami calon pengantin pria dan berkata
“bila selesai saya ucapkan engkau harus segera menjawab” maka teungku
mengucapkan “lon peunikah gata ngeun sipulin” aneuk sehdarasipulan nyang ka
jiwakilah uba ulon ngon jiname jih sibungkay meih. Kemudiandijawab oleh
pengantin pria, “lon trimong nikah jingon jinameeji...bungkay” kemudian teungku
menanyakan kepada yang hadir apakah pengantin pria sudah menyambut nikah
dengan benar. Apabila saksi-saksi mengatakan sudah benar maka pernikahan
disahkan, bila dinyatakan belum sempurna lafal yang diucapkan maka akan
diulang sampai benar. Kemudian teungku membaca doa selamat. Bandingkan
dengan sekarang akad nikah langsung dilakukan oleh orang tua/wali siwanita
jarang diwakilkan kepada teungku. Pada masa lalu dalam upacara pernikahan
sipengantin wanita tidak turut langsung menghadirinya masa sekarang setiap
pernikahan kedua calon pengantin menghadirinya.

10
4. Meukeureuja
Seminggu setelah pernikahan atau pada waktu yang sudah disepakati
kedua belah pihak dilakukan upacara “intat linto baro” (antar pengantin). Para
pihak orang tua mengundang keucik, teungku, tua pemuda dan orang tua
gampong untuk menyatakan hasratnya seraya menyerahkan acara untuk
diselenggarakan oleh orang gampong. Setelah diberitahukan jumlah tamu yang
diundang, maka dihitung jumlah daging atau sapi yang dipotong serta beras yang
dibutuhkan dan keperluan lainnya, maka dibentuklah sebuah panitia kecil.
5. Malam Boh Gaca (Berinai)
Tiga atau tujuh hari menjelang pesta peresmian perkawinan, dirumah
mempelai wanita “dara baro” diadakan malam jamuan mewarnai kaki dan tangan
dengan inai “boh gaca” dengan tujuan pada waktu duduk pelaminan agar tampak
anggun dan cantik. Ketiga malam tersebut dinakan “phon gaca”, “dua gaca” dan
“lhee gaca”, yaitu gaca pertama, kedua dan ketiga. Tidak seorangpun dari pihak
mempelai pria dalam jamuan dan pada malam yang sama tidak dilakukan acara
pesta dirumah.
Upacara meugaca ini biasanya dilaksanakan pada malam hari selama 3-7
malam, semua perlengkapan ditempatkan dipiring yang telah dihias dalam dalong
pada tika meusajo (tikar kerawang). Busana yang dikenakan oleh dara baro pada
upacara malam peugaca tidak terikat danterus berganti-gantian dari pertama
hingga malam ketujuh. Upacara peusijuk dipimpin oleh “nek maja” (wanita tua
sesepuh adat). Calon dara baro diduduk kan di tilam bersulam kasap, disebelah
kiri dan kanannya diletakkan dalong berisi seunijuek dan bu leukat tapong taweh,
dibagian depannya diletakkan dalong berisi daun pacar dan bate seumupeh (batu
giling), kaki dara baro dialasi dengan daun pisang muda. Daun inai diambil dari
tujuh batang yang berbeda kemudian diberi “breueh pade”. Kemudian dipeusijuk,
dalam plok berisi tepung taweh dimasukkan emas sebagai lambang kemulian.
Beras padi ditaburkan/disebarkan kesekeliling dara baro demikian pula
halnya dengan teupong taweh, dimulai dari telapak tangan mengitari badan
menuju keatas kepala. Percikan air tepung tawar selain kepada dara baro
diarahkan juga ke batu giling, daun pacar dan hadirin yang ada disekitarnya juga
diberikan percikan air tepong taweh. Setelah itucalon dara baro diberi hadiah

11
berupa uang atau benda lainnya, kemudian mencium tangan yang mempeusijuk
dan dibalas dengan ciuman kasih sayang. Selesai peusijuk, barulah daun pacar
yang telah digiling oleg ibu dara baro dan keluarga terdekat secara bergantian.
Demikian pula memberi daun pacar yang telah digiling itu pada calon dara
baro secara bergantian dan disempurnakan oleh nek maja. Pada kedua telapak
tangan dan kakinya serta ujung jarinya dibubuhi inai yang telah digiling halus.
Upacara peusijuk biasanya dilaksanakan pagi hari, dengan harapan kehidupan
terus menanjak dan murah rezeki.
Upacara itu dilangsungkan dibilik pengantin “jure” para tamu yang
datang hanya kaum wanita saja menyalami pengantin dengan memberi seuneumah
berupa uang atau beras sebagai simbol pengikat ukhwah dan saling bantu
membantu dalam segala hal.
6. Koh Gigo (Merapikan Gigi),
Pada masa lampauseorang gadis yang telah dinikahkan, giginya harus
dipotong dengan alat pengikir gigi. Gigi yang telah dipotong itu diberi obat
penguat gigi (baja bruek). Pemotongan gigi ini dilaksanakan sekurang-kurangnya
7 hari menjelang pesta wo linto. Bahan yang dibutuhkan untuk koh gigo adalah :
 Pengikir gigi
 Pinang tua yang sudah dikupas (pineung ruek)
 Baja bruek (tempurung kelapa)
 Segelas air putih hangat kuku yang diberi sedikit garam untuk
kumur-kumur
 Perca kain yang bersih
 Air hangat/panas
 Tepeh (sabut kelapa)
Pelaksanaan koh gigo dilakukan diatas kasur dengan posisi dara baro tidur
dan bagian dada ditutup kain putih atau kain panjang, rambut dibiarkan terurai
agar mulut terbuka antara gigi samping atas dan bawah disanggah oleh
pineungruek (pinang tua) yang telah dikupas dan dibersihkan. Pemotongan gigi
dimulai dengan membaca “Basmalah” di mulai dengan mengikat gigi yang tidak
diganjalkan dan dilanjutkan dengan gigi bagian lainnya, kemudian kumur dengan
air hangat yang telah dicampur garam, ambil kain perca yang telah direndam air

12
panas dan peras lalu letakkan diantara gigi atas dan gigi bawah agar kokoh dan
kuat. Berikan baja bruek ke setiap celah gigi hingga merata, biarkan beberapa saat
kemudian bersihkan dengan tapeh dan kumur-kumur dengan air bersih.
Menurut penilaian orang zaman dahulu, pemotongan gigi akan
memberikan kesan lebih cantik dan tanda bahwa wanita sudah ada yang punya.
Namun sekarang koh gigo ini tidak lazim dilakukan lagi.
7. Meuandam
Setelah malam gaca ketiga selesai dilanjutkan dengan hari andam “uroe
meuandam” yang ditandai dengan mencukur sebagian rambut depan pengantin.
Pemotongan Andam dilakukan sebelum tengah hari, karena upacara itu tidak
membawa berkah jika diselenggarakan pada saat mata hari naik “uroe ek”.
Sebelum andam dilakukan, harus dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan
pengaruh-pengaruh yang tidak baik maka dilakukan peusijuk.
8. ManoePucok
Beberapa daerah terutama di pantai barat dan selatan anak gadis yang akan
dinikahkan terlebih dahulu dilakukan upacara mandi dan peusijuk yang disebut
mano pucok. Sebelum memasuki upacara peumano, didahului dengan acara
tepung tawar (peusijuk), yang dilaksanakan oleh keudua orang tua dan orang tua
adat, sanak saudara yang terdekat dari kedua orang tuanya (bapak dan ibu) dalam
jumlah yang ganjil.
9. Khatam Qur’an
Upacara khatam Qur‟an ini dipimpin oleh guru ngaji dan dimulai
membaca doa keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian calon mempelai disuapi
ketan dan tumpo yang telah disediakan, setelah itu baru membaca Al-Qur‟an.
Selesai membaca Al-Qur‟an calon mempelai menyalami, meminta maaf dan
meminta doa restu kepada guru ngajinya. Kemudian juga melakukan hal yang
sama terhadap kedua orang tuanya. Setelah selesai upacara diberikan uang kepada
guru ngaji sebagai tanda ucapan terima kasih kepadanya.
10. Pelaminan
Rumah dara baro sudah dihias dengan gemerlapan tiap ruang dipasang
lampu bersumbu tujoh “kandil dah tujoh”. Diserambi digelar tikar bersulam

13
benang perak dan benang emas dan permadani berwarna-warni. Diujung serambi
terletak sebuah tilam berlapis aneka sulaman, bantal bersusun dan kipas.
Pada masa dulu, pelaminan dibuat dari kayu berbentuk prantaih (tempat
tidur), berukuran single bed serta dihias dengan kain tile (seperti kelambu) atau
kain lain yang diberi hiasan, warna dasarnya kuning, merah dan hijau atau violet.
Kain hiasan berkasap dibuat secara sulaman/ bordir. Masing-masing kain
terdiri dari berbagi warna yang sama simetris. Kain-kain tersebut disematkan
dibagian atas depan pelaminan. Pinggir-pinggir kain tersebut, bagian depannya
ditarik kesamping kiri dan kanan dengan menggunakan kait kelambu yang terbuat
dari emas/perak sehingga terlihat pintu berlapis 7 “pinto tujoh”. Pada bagian atas
pelaminan (kiri, kanan dan depan) dilapisi dengan ayue-ayue (kain berbentuk
riakriak yang bersulam emas). Kain-kain yang ada disamping kiri-kanan juga
dibentuk seperti bagian depan. Setelah itu, diseluruh pelaminan disematkan
hiasan- hiasan berupa kipas, ayam, kepiting atau perhiasan lainnya sesuai dengan
seni masing-masing perias.
Alas tempat duduk diberi tilam dan dilapisi dengan sarung tilam berkasap
serta dilengkapi dengan sepasang bantai “sadeu” (bantal untuk sandaran), kaso
duek (tilam duduk) sedangkan disamping kiri dan kanannya dihiasi dengan bantai
meutampok (bantal bertampuk emas/perak) dan masing-masing berjumlah ganjil.
Pada dinding sekitar pelaminan diberi “tabeng” (tabir/tirai) dan dibagian
atasnya diberi kain langit-langit. Pada lantai sekitar pelaminan dibentang
permadani. Dari mulai pintu masuk sampai ke pelaminan dibentang kain titi, pada
masa lalu, kain titi berwarna kuning hanya untuk kaum bangsawan, tapi pada saat
sekarang ini dapat dipakai oleh semua yang menghendakinya. Setelah itu,
dibagian depan bawah pelaminan diletakkan sepasang bantal sebagai alas kaki
mempelai. Kemudian, dibagian depan pelaminan diberi sepasang dalong kiri dan
kanan berisi seunijuk, yang terdiri dari:
 Buleukat dengan tumpo (ketan kuning dan tumpo)
 On seuneujuek (daun cocor bebek)
 On gaca (daun pacar)
 Naleung sambo (rumputan yang akarnya kokoh)
 On seuke pulot (daun pandan)

14
 Manek mano dan lain-lain dengan jumlah yang ganjil
 Breuh pade/kunyet (beras padi kunyit)
 Bungong rampou (bunga rampai)
 Ie lam mangkok (air dalam mangkuk)
 Barang meuh (barang emas)
11. Intat Linto(Antar Linto)
Upacara intat linto merupakan puncak acara yang dinanti-nantikan, karena
upacara ini merupakan upacara penyambutan linto baro (mempelai pria) yang
diantar kerumah orang tua dara baro (mempelai wanita). Dalam upacara ini, linto
baro dihiasi dengan pakaian adat kebesaran Aceh, Busana Pengantin Laki-laki
(Peukayan Linto Baro) terdiri atas: tutup kepala/kopiah (kupiah meukeutob), baju
(bajee), celana (siluweue), kain sarung/songket (ija krong ),senjata (rencong),
sepatu dan hiasan-hiasan (aksesoris) lainnya,
Sedangkan dara baro sudah dirias dan memakai busana pengantin Aceh
lengkap dengan sanggul cak-cengnya. Pakaian yang dipakai terbuat dari beleru
berwarna hitam atau sutera lengan panjang dengan “ija krong lamgugop” dan
selendang benang emas “ija simplah meukasab”. Pada kedua kakinya memakai
gelang emas atau suasa, tangan memakai gelang emas dan kedua jari tangan
memakai cincin permata. Lengan baju dilengkapi dengan mas berukir “pucok”
sedangkan dibagian siku hiasan berbentuk gelang “keuruncong”, dan pucuk
rebung emas “pucok reubong” pada ujung lengan baju. Pada leher bergantung
israf’l dan penghias leher mas “klahtakuet” ditambah dengan manik-manik emas
berbagai bentuk. Bagian dada dicelah payudara dihiasi kancing emas “ganceng”
dan gundu kerawang emas “euntuek” ditambah dengan selempang mas berbunga
“simplaih” dan butiranbutiran emas “keupah” dengan melus emas “meulu” untuk
penutup baju. Dipinggang dikenakan sebuah pending emas “peundeng”,
sedangkan dileher baju bagian belakang dipakai tunjung emas “tunjong”. Dahinya
berhias daun emas berkerawang “patham dhoe”, rambutnya dilengkapi bunga
tajuk emas “got-got” yang berkilauan dalam cahaya kandil karena permata-
permata yang bertabur diatasnya. Bagian rambut diatas dahi dihiasi cendera
gumbak emas “ayueuem gumbak” dan untuk keseimbangan dan keindahannya

15
dilengkapi pula dengan bunga percik emas “bungoengpreuekpreuek” dibagian
rambut yang lain. Telinga memakai sumbang dan kerabu mas.
12. Tueng Dara Baro (Mengundang Mempelai Putri
Upacara tueng dara baro adalah upacara mengundang dara baro beserta
rombongan ke rumah mertua (orang tua linto baro). Upacara ini dilaksanakan
pada hari ketujuh setelah intat linto. Pada upacara ini dara baro yang diiringi satu
atau dua orang peuganjo (orang tua yang mendampingi) dan rombongan datang
dengan membawa kue-kue yang ditempatkan dalam dalong yang telah dihias dan
ditutup dengan suhab (kain penutup sange/tudung saji yang disulam dengan
kasab/emas). Pada upacara ini, cara penyambutannya sama seperti pada upacara
intat linto, hanya pada upacara tueng dara baro tidak ada balas pantun dan cuci
kaki.

16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey. Metode penelitian
survei  adalah cara melakukan pengumpulan data berdasarkan survei. Pengertian
survei (survey) adalah sebuah teknik riset atau penelitian yang bertujuan untuk
mendapatkan data yang valid dengan memberi batas yang jelas atas data kepada
suatu obyek tertentu. Orang yang melakukan survei disebut penyurvei. Melakukan
survei berarti melakukan penyelidikan, pemeriksaan atau peninjauan terhadap
obyek tertentu untuk mendapatkan data bagi keperluan tujuan penelitian. Dalam
hal ini dilakukan survey ke Rumah Busana dan Kecantikan Diurna yang berada
pada Jl. Perjuangan No.51, Siderejo, Kec.Medan Tembung, Kota Medan,
Sumatera Utara.

B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini adalah pemilik rumah busana dan
kecantikan diurna. Survey dilakukan di Jl. Perjuangan No.51, Siderejo,
Kec.Medan Tembung, Kota Medan, Sumatera Utara.

C. Tempat dan Waktu Penelitian


Tempat penelitian ini dilakukan adalah Rumah Busana dan Kecantikan
Diurna di Jl. Perjuangan No.51, Siderejo, Kec.Medan Tembung, Kota Medan,
Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada Minggu, 08 Maret 2020

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah melakuan observasi
dan dokumentasi. Metode observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan
pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap obyek yang akan
diteliti. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara megamati Dokumentasi
digunakan untuk mendapatkan foto busana adat aceh besar tradisional.

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGANTIN ACEH BESAR TRADISIONAL

Upacara peresmian perkawinan, merupakan upacara yang sangat dinanti-


nantikan, baik oleh calon pengantin maupun segenap anggota keluarganya. Selain
itu upacara tersebut merupakan acara puncak dalam rangkaian adat dan upacara
perkawinan dan dengan sendirinya, mendapat perhatian dari segenap anggota
masyarakat. Guna lebih memeriahkan upacara ini, dilakukanlah sejenis kegiatan
Yakni memperindah calon pengantin yang bakal dipersandingkan karena mereka
akan merupakan tumpuan penglihatan segenap anggota masyarakat yang hadir.
Untuk itu pengantin diusahakan pada saat itu agar terlihat cantik dan indah,
dengan mendandani pengantin atau meriasnya, memakai busana yang indah serta
perhiasan-perhiasan tertentu lain yang jarang dipakainya.
a. Tata Rias Pengantin Aceh Besar
Wajah dalah unsur yang penting yang terlihat di dalam penampilan
seseorang. Dalam menangani tata rias pengantin sangat berbeda antara pengantin
laki-laki dengan pengantin perempuan. Biasanya tata rias wajah pengantin laki-
laki dikerjakan dengan sederhana tanpa memerlukan bahan-bahan dan alat-alat
yang banyak macamnya. Sedangkan bagi pengantin wanita, merias wajah
dikerjakan secara sungguh-sungguh dan rumit. Ada pun tahapan-tahapan dalam
merias wajah pengantin aceh sebagai berikut :

18
1. Lakukan pembersihan pada wajah dengan susu pembersih, mulai pembersihan
dari keseluruhan wajah hingga leher
2. Setelah itu angkat dengan tissue, dan berikan face tonic atau astrigent
3. Selesai dilakukannya pembersihan wajah. Tahap selanjutnya wajah diberikan
pelembab
4. Lalu aplikasikan alas bedak merata keseluruhan wajah dan leher, setelah itu
berikan bedak tabur dengan cara menekan-nekan pada wajah dan leher. Untuk
meratakan bedak gunakan face brush dengan kearah bawah dan ke samping.
5. Membentuk alis yang disesuaikan dengan bentuk wajah pengantin
6. Setelah itu merias kelopak mata yang warnanya disesuaikan dengan busana.
Pada kelopak mata diberi warna terang sedangkan sudut mata bagian luar
diberikan warna gelap.
7. Lalu memakaikan eyeliner untuk memberi kesan mata lebih indah dan
mengenakan mascara agar bulu mata terlihat lentik dan tebal
8. Memakaikan shading pada hidung
9. Memberikan pemerah pipi atau blush on
10. Terakhir mengenakan lipstick atau lipglos untuk lebih memperindah bentuk
bibir pengantin.

Sedangkan merias pengantin laki-laki dilakukan secara sederhana, jika


dibandingkan dengan merias pengantin perempuan. Pengantin laki laki pada

19
upacara koh andam yang dilakukan yaitu rambut yang dipotong adalah ujung-
ujung rambut di sekeliling kepala dan bukan rambut di bahagian depan.
Pemakaian bedak juga dilakukan dengan sangat tipis sekali, sehingga tidak seperti
yang dipakai pada pengantin wanita.

b. Merias Rambut Pengantin Aceh Besar


Menata rambut dikerjakan selesai merias wajah selesai. Sanggul dinamakan
sanggul Cak-Ceng berarti sanggul tari (ketat). Bahan yang dibutuhkan saat
membuat sanggul cak ceng ini yaitu : 1 buah cemara tanpa tulang, sisir sasak,
pingkel, harnet, hairspray dan pelepah pisang atau menggunakan gabus yang
sudah dipenuhi dengan pandan
Adapun proses pembuatan sanggul cak ceng yaitu :
1. Bagi 2 rambut menjadi 2 bagian yaitu, bagian atas dan bagian belakang, lalu di
ikat
2. Setelah itu tambahkan cemara tanpa tulang pada ikatan rambut
3. Pasang gabus pandan diantara kedua ikatan rambut
4. Satukan kedua ikatan tersebut kearah tengah, lalu jepit dengan cape lidi.
Tekukan keatas dan kebawah hingga menutupi gabus pandan
5. Setelah itu berikan hairspray dan harnet
6. Selanjutnya diberikan perhiasan rambut agar terlihat indah sanggul cak-ceng

20
c. Tata Busana Pengantin Aceh Besar
Berikut ini akan diuraikan hal-hal yang berkenaan dengan tata busana
pengantin aceh tradisional, disertai arti dan fungsinya.
Setelah pengantin aceh wanita dirias wajahnya selanjutnya pengantin wanita
mengenakan pakaian pengantin yang terdiri dari celana ( Seuleuweu Meutunjong),
baju (Bajee Meukasap), kain sarung (Ija Krong), selempang (Ija Sawak) dan
sepatu (Seulop Meukasap).

21
Tata cara pemakaian busana pengantin wanita aceh besar:
 Mula-mula mengenakan celana panjang yang disebut Seuleuweu Meutunjong,
yaitu yang pinggangnya lebar dan pada ujung kaki agak menyempit. Pada
ujung kaki celana disulam dengan kasab terdapat motif Bungoeng Keupula.
Menurut informasi, penggunaan sulam kasab dengan motif tersebut selain
berfungsi memperindah celana, juga mengandung makna kesuburan terutama
pada motif Bungoeng Keupula dan kebersamaan. Walaupun sulaman pada
ujung celana mempergunakan berbagai motif, namun motif dasar (tumpal)
tetap ditonjolkan dalam sulaman tersebut.
Penggunaan celana yang dipakai pada pengantin berwarna hitam. Tinggi
celana menutupi mata kaki dan ikat pinggang diikat sekuat-kuatnya sehingga
tidak melorot .
 Selesai memakai celana, kemudian baju atau disebut Bajee Meukasap,
mengenai baju yang dipergunakan yakni yang berlengan panjang, krah bulat
dan memakai kancing di bagian depan. Baju pengantin ini diberikan motif
Bungoeng Puetjok Reubong makna yang terkandung di dalamnya yaitu
kesuburan, kebersamaan atau kegotongroyongan dan juga keakraban. Untuk
busana pengantin wanita mempergunakan wama kuning, merah, pink, ungu,
atau hijau. Dan untuk wama baju pengantin wanita aceh kuning dan merah
merupakan lambang kebesaran sedangkan hijau menunjukkan lambang
keislaman dan putih lambang kesucian.
 Setelah selesai memakai celana dan baju , lalu di atasnya dililitkan kain
sarung Ija Krong, pemakaian kain di pinggang untuk menutup sebagian
celana dan baju. Tehnik pemakaian kain di pinggang ini dengan cara
memasukkannya ke pinggang, lalu dihubungkan dengan kedua ujung kain di
bahagian depan sehingga berbentuk lipatan atau berlipit. Tinggi kain biasa

22
agak sedikit di bawah lutut. Kain yang dipakai di pinggang pada masa yang
lampau, ditenun khusus dari bahan sutera. Kain ini disulam benang emas atau
kasab, dan pada bagian pinggang selalu diberi wama merah. Dengan kata lain
kain pinggang ini terdiri dari dua bahagian yang di atas berwama merah dan
yang di bawah terdiri dari wama yang lain, yaitu hijau, merah, kuning dan
hitam. Kain yang dipakai dipinggang ini selalu kontras wamanya dengan baju
dan celana yang dipakai. Guna menahan kain supaya tidak turun, di pinggang
sang pengantin dililitkan seutas tali pinggang yang di dalam bahasa Aceh
disebut taloe pending atau taloe keuing terbuat dari emas atau pun perak
bersepuh emas. Pada kain pinggang yang ditenun khusus ini, bagian kakinya
disulam dengan motif pucok reubong dan di atasnya dengan menggunakan
motif-motif yang lain. Pada kain ini pun terdapat motif binatang, motif bludru
dan lain lain. Ada pun motif bunga yang sering dijumpai adalah motif bunga
anjung serta motif-motif lain yang umum dipergunakan di Aceh, seperti yang
telah diuraikan di atas. Selain fungsinya untuk memberi keindahan kepada
pengantin, makna-makna lain tidak banyak yang dapat diutarakan dan hal ini
sama dengan pengungkapan pada motif yang terdapat pada celana dan baju.
 Selanjutnya memakaikan selempang atau yang disebut Ija Sawak, apabila
diperhatikan didalam berbusana, pada pengantin wanita aceh yang
mempergunakan selempang yang disilang di bahu kiri dan kanan, serta
ujungnya dimasukkan ke dalam kain pinggang, ini merupakan unsur baru di
dalam tata busana. Hal ini bisa tejadi sebagai pengganti simplah (perhiasan
badan) yang dipakai dibahu menyilang dibagian depan dan belakang. Seperti
telah dijelaskan dengan kain pinggang, demikian pula simplah sudah sangat
langka. Tukang emas yang biasa membuat simplah, tidak mampu untuk
mengerjakannya lagi sedangkan tukang-tukang yang muda tidak menguasai
tehniknya. Untuk mengganti kedudukan dari simplah ini, digunakanlah
selempang yang sudah disulam benang emas atau kasab. Bahkan tidak jarang
sekarang dipergunakan selempang yang sepasang dengan kain gongket.
 Lalu penggunaan sepatu pengantin aceh atau disebut dengan Seulop
Meukasap, warna sepatu biasanya berwarna hitam dan disulam umumnya
berbentuk sulur daun atau bunga.

23
Tata busana pada pengantin laki-laki yang terdiri dari baju (Bajee Kot
Meututop) celana (Sileuweue), kain sarung (Ija Krong), sepatu.

d. Perhiasan atau Aksesoris Pengantin Wanita Aceh


Sebagaimana diketahui bahwa pengantin perempuan lebih dominan dalam
mempergunakan perhiasan, jika dibandingkan dengan yang dipakai pengantn laki-
laki. Penggunaan perhiasan pada garis besarnya dapat dikelompokkan sesuai
dengan tempat pemakaian yaitu perhiasan kepala, badan, tangan dan kaki. Berikut
adalah perhiasan yang digunakan pada pengantin wanita aceh.
1) Perhiasan kepala dan rambut
 Patam Dhoi berbentuk seperti mahkota.
Sebagaimana hiasan pada mahkota, demikian juga pada patam dhoi
dihiasai dengan permata yang beraneka wama. Patam dhoi dipakai di dahi
melingkar ke kiri dan ke kanan. Motif pada mahkota yaitu menggunakan
bentuk stilisasi dari tumbuh-tumbuhan yang digabung dengan bentuk
tulisan kaligrafi arab.

24
 Culok Ok atau Cucok Sanggoy (tusuk rambut atau tusuk sanggul) salah
satu perhiasan yang dikenakan pada bagian rambut penganting wanita.
Tusuk sanggul yang dikenal dengan sebutan Culok Ok terbuat dari
lempengan tembaga dengan bentuk menyerupai rangkaian bunga pecah
delapan permata dibagian puncaknya. Motif yang terdapat pada Culok Ok
yaitu motif Bungoeng Meulu.

 Priek-Priek (perhiasan rambut gantung) salah satu perhiasan aceh yang


disematkan di bagian rambut pengantin wanita aceh, yang digantungkan di
sanggul bagian kiri dan kanan. Motif yang terdapat Bungoeng Mata Uroe.

25
 Subang (anting-anting) dipasangkan pada bagian telinga kanan dan kiri.
Subang terbuat dari lempengan tembaga dan motif yang terdapat pada
anting-anting pengantin wanita aceh ini yaitu Bungoeng Imawoe.

 Taloe Taku (kalung) perhiasan yang diletakan pada leher pengantin wanita
aceh. Bentuk kalung pada busana tradisional perkawinan ini ragam hias
atau bentuknya menyerupai kipas.

 Taloe Jaroe Ngoen Euncin Meukarang (kalung tangan) merupakan


gabungan antara cincin dan gelang yang disematkan di bagian tangan
kanan dan kiri pengantin wanita aceh.

26
 Gleung Jaroe (gelang tangan) dipasangkan pada bagian sistem engsel
kedua tangan kanan dan kiri. Motif yang terdapat pada gelang tangan ini
menyerupai tumbuhan yang menjalar

 Gleung Kaki (gelang kaki) perhiasan pengantin aceh yang dikenakan pada
kaki kiri dan kaki kanan. Gelang ini dihiasi dengan motif pilin tali dengan
teknik Cane Intan atau menggunakan jalur-jalur yang mengkilap dan
dilengkapi dengan bentuk bulatan kecil seperti kelereng di ujung-
ujungnya.

 Taloe Keuieng (tali pinggang) dipakaikan bagian pinggang pengantin


wanita aceh dililitkan diatas sarung adat atau Ija Krong.

27
Sedangkan penggunaan perhiasan pada pengantin pria yaitu hanya topi
(Kupiah Meukutop) yang dikenakan di kepala penganting pria dan rencong
merupakan senjata tajam tradisional daerah aceh, rencong ini dilambangkan
sebagai persahabatan dan pemakaian rencong menunjukan sikap keperkasaan.

Tenik pemakaian atau penggunaan dari benda-benda perhiasan tersebut


dapat diuraikan sebagai berikut.
 Setelah selesai mengeijakan sanggul secara baik dan rapi, barulan dipakai
perhiasan-perhiasan.
 Mula-mula dipakai patam dhoi di dahi, yang berbentuk melingkar (perhatikan
foto pengantin perempuan) dan setelah dipakakan param dhoi hingga
menurup rambut di bagian depan dan yang nampak hanya bentuk sanggul.
 Selesai memakai patam dhoi dilanjutkan dengan memasang ceukam sanggoy
atau cucok ok yang telah diuntai.

28
 Pertama dipasang bungong ok yang melingkar sanggul. Bungong ok ini ada
yang bermotif bunga rumput atau bermotif bungong jeumpa (cempaka) yang
tangkainya pendek.
 Setelah dipakai bungong ok ini seolah-olah menyatu dengan sanggul, karena
tidak menonjol ke atas. Pemasangan bungong ok ini disekeliling sanggul di
bagian depan, sehingga kalau dilihat dari depan nampak dengan jelas.
 Kemudian di belakang bungong ok dipasang pula bungong sunteng, yang
tangkainya lebih tinggi dari bungong ok. Bungong sunteng juga dipasang
melingkar sanggul.
 Pada kiri dan kanan dari sanggul dipasang atau ditusuk hiasan yang disebut
bungong tajok masing-masing satu buah.
 Selain itu masih dipakai pula priek-priek (yang berbentuk berumbai panjang)
dengan cara digantung di sanggul sebelah kiri dan kanan agak ke depan.
 Di bagian belakang sanggul di kiri dan kanan digantung ulee ceumara.
Perhiasan-perhiasan inilah yang dipergunakan di dalam menata sanggul
pengantin tradisional Aceh. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan
perkembangan zamannya dan juga keinginan para pemakainya, hiasan sanggul
terus berkembang. Ada yang menambah dengan sisir emas di atas sanggul dan
yang sering ditemukan yaitu penambahan kembang goyang. Kembang goyang
ditusuk di selingkat sanggul, sehingga sedikit saja pengantin bergerak kembang
tersebut akan bergoyang dan semakin ·memperindah sang pengantin.
Menurut informasi yang diwawancarai dan literatur yang tersedia, tidak
ditemukan makna yang tersembunyi di balik lambang dari perhiasan yang dipakai
di kepala. Dari sekian banyak perhiasan yang dipergunakan di kepala, hanya salah
satu benda yang dapat memberikan indikasi tentang arti simbolik, yaitu
pemakaian patam dhoi. Patam dhoi ini memberikan makna bahwa sejak saat itu
pengantin wanita telah dinobatkan sebagai istri yang sah bagi suaminya. Selain itu
juga mempunyai makna bahwa ia telah terlepas dari tanggung jawab orang
tuanya.
2) Perhiasan badan
 Kawet bajee atau keutab bajee (broe ), bentuknya menyerupai bunga,
yang disematkan sebagai kancing baju.

29
 Ganceng atau keutab lhee lapeh (keutab tiga lapis), benutknya
menyerupai bulan sabit yang bersusun tiga, yang antara satu dengan
lainnya dihubungkan dengan rantai. Apabila mainanya hanya terdapat
satu saja atau tidak bersusun, maka namanya hanya terdapat satu saja
atau tidak bersusun, maka namanya disebut seurapi. Pada setiap mainan
ini selain diberi berukiran sebagaimana lazimnya pada perhiasan lain,
diberikan pula permata dari mutiara atau batu jacob dari berbagai wama.
Di setiap ujung yang berbentuk bulan sabit ini, lapisan atasnya diberi
rantai yang agak panjang untuk digantungkan di leher.
 Simplah yaitu sejenis perhiasan yang berbentuk bintang yang
dirangkaikan dengan rantai dan digantung di kedua pundak dengan cara
menyilang (simplah) di bagian dada dan juga menyilang di bagian
belakang,
 Terakhir perhiasan yang dipergunakan di pinggang adalah taloe keuing
atau taloe pending (tali pinggang) berbentuk lempengan bersegi empat
yang dirangkaikan antara satu dengan yang lainnya.
 Tempat mengikat kedua ujungnya di bagian depan dipergunakan bentuk
yang lain yang lebih besar dan disebut pending.
Dalam kaitannya dengan tata rias pengantin, perhiasan yang dipakai di leher,
dada dan pinggang, tehnik pemaiaannya dapat diuraikan sebagai berikut:
 Pertama-tama dipakai terlebih dahulu simplah di atas pundak dengan
menyilang di bagian dada dan belakang.
 Pada lehemya dipakai klah taku yang melilit di seluruh leher, karena
ukurannya persis leher krah baju tidak nampak lagi sama sekali.
 Berikutnya dipasang secara berturut-turut keutab lhee lapeh, berbagai jenis
kalung seperti euntuk boh agok, euntuk boh muling, euntuk paun . boh
deureuham bing meuh dan lain lain.
Pemakaian perhiasan kalung ini walaupun jenisnya sangat banyak dan
motifnya berbeda-beda, tetapi yang dipakai berkisar antara lima sampai tujuh
macam. Dimulai kalung yang pendek sampai kepada kalung yang panjang
talinya.
3) Perhiasan yang dipergunakan di telinga

30
Terutama pada masa yang lampau ada dua jenis yaitu yang disebut dengan
subang (kerabu). dan anteng-anteng gluyung (anting-anting) nama jenis-jenis
subang bermacam~macam, disesuaikan dengan bentuk atau motifnya seperti
subang meulimpok subang mencintro dan subang bungor meulu (subang
berbentuk bunga melati). Bentuk subang pada umumnya bulat, seperti subang
meucintra merupakan subang yang besar dan berbentuk bunga matahari,
sedang subang meulimpok bentuknya sama, tetapi perbedaannya terletak.
pada permata yang melengkapi pada subang meuncintra terdapat sebuah
permata yang besar di tengah-tengahnya dan dikelilingi dengan permata yang
lain dipinggirnya, sedangkan sumbang meulimpok hanya satu mata di
tengahnya saja. Subang bungong meulu, bentuknya kecil menyerupai
kembang melati.
Dalam kaitannya dengan karangan ini terutama yang menyangkut tata rias,
jenis-jenis subang seperti yang telah disebutkan di sampung bedanya sudah
langka dan subang ini sudah sangat jarang dipakainya. Untuk menghiasi
telinga lebih sering dipergunakan anteng-anteng (anting-anting) yang
bentuknya berumbai-umbai, yang terlihat sperti daun-daunan kecil yang
dirangkaikan .
Dengan bergesernya eksistensi perhiasan-perhiasan tradisional, untuk
perhiasan telinga juga diperkenalkan kreasi baru yang berciri khas dengan
Aceh yaitu subang pinto Aceh. Bentuknya sangat khas menyerupai pintu
rumah Aceh dan di ujung sebelah bawah diberi berumbai yang agak pendek.
Jenis inilah yang sekarang sangat digemari terutama oleh gadis-gadis remaja
terutama untuk kepentingan pada tata rias pengantin.
4) Perhiasan Tangan
Bahagian anggota tubuh lainnya yang juga dihias dengan perhiasan yaitu
ke dua belah tangan pengantin. Jenis-jenis perhiasan yang dipakai
dipergelangan tangan dan lengan terdiri dari berbagai jenis seperti
 sawek meurantee
 sawek pucok reubong
 gleung kruncong
 ajeumat meuraket

31
 ikai
 boh rue bungkoih
 euncin.
Tata cara pemakaian perhiasan tangan yaitu
 Pemakaian perhiasan lebih dulu dipasang di lengan atau tepatnya di atas siku
sebelah kiri dengan ikai (gelang lengan).
 Pada lengan ini dipasang pula ajeu mat meuraket (ajimat yang telah
dirangkaikan) yang terdiri dari beberapa buah dirangkai menjadi satu untai.
Di dalam ajimat ini terdapat ayat ayat AI Qur'an dan doa-doa yang ditulis di
kertas dan dimaksukkan ke dalamnya. Ajeumat meuraket dipasang pada
lengan sebelah kanan dan kiri di bawah ikai.
 Di pergelangan tangan di sebelah kanan dan kiri dipasang secara berturut dari
atas ke bawah dimulai dengan gleung krungcong (gelang krongcong), sawek
meurante (sawek berbentuk pucuk rebung tumpal), dan yang paling bawah
dipakai lagi gelang kroncong.
 Pada jari tangan terutam~ jari manis dipakai cincin. Cincin (euncin) di dalam
masyarakat Aceh dikenal ada berbagai jenis seperti euncin awe siblah (cincin
belah rotan), euncin boh jan tong (cincin berbentuk jantung), euncin bungong
seulupok (cincin berbentuk bunga teratai), euncin gi!ee' (cincin bulat) dan
masih banyak jenis lainnya. Biasanya di dalam tata rias, cincin dipakai pada
jari manis di sebelah kiri dan kanan masing-masing sebuah cincin.
 Untuk melengkapi perhiasan pada tangan dipegang pula dengan tangan
sebelah kanan sehelai kain bungkus yang keempat ujungnya telah digantung
dengan boh rue bungkoih (sejenis perhiasan yang berbentuk buah eru).

5) Perhiasan Kaki
Kaki merupakan bagian yang terakhir yang turut diberi perhiasan. Satu-
satunya perhiasan yang dipakai di kaki yaitu gleung kaki (gelang kaki).
Pemakaian gelang kaki di sebelah kaki kanan dan kiri dan ditempatkan di
atas celana.
Karena banyaknya perhiasan yang dipakai pacta anggota tubuh (leher,
dada , tangan , pinggang dan kaki), sangat sukar sekali untuk memberikan suatu

32
gambaran yang menyeluruh tentang makna makna yang terselubung di balik
motif-motif benda tersebut. Selain yang telah dijelaskan bahwa motif pucuk
rebung mempunyai arti simbolis, pada perhiasan ini hanya terdapat satu lagi
benda yang mempunyai indikasi tentang arti simbolis yaitu ajeumat meuraket.
Ajimat (amulet) ini mempunyai makna atau simbul agar si pemakai pengantin
supaya jangan tergoda dengan pengaruh setan atau untuk menolak roh jahat, atau
dengan kata lain agar memperoleh keselamatan. Oleh karenanya benda tersebut
telah diisi dengan berbagai ayat Al-Qur'an dan berbagai doa yang bertujuan untuk
keselamatan serta penolak bala. Dengan dernikian berarti bahwa perhiasan pada
anggota tubuh seperti perhiasan pada kepala, fungsinya yang utama adalah untuk
menunjukkan kegemerlapannya atau dapat disebutkan sebagai fungsi estetis,
sedangkan makna simbolisnya adalah berfungsi magis relegius.

33
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Tata rias pengantin Aceh dilakukan tidak
hanya sekedar menarik perhatian orang pada saat dilangsungkannya upacara
peresmian perkawinan , tetapi juga dapat menciptakan suasana resmi dan
khidmat. Karena di dalam tata rias, tata busana dan perhiasan yang dipakai
oleh pengantin terkandung lambang-lambang dan makna-makna tertentu
sebagai pengungkapan pesan-pesan hidup yang hendak disampaikan terutama
kepada pengantin itu sendiri. Tata rias ini kadang kadang terlihat mewah, itu
pun tidak terlepas dari tujuan penyelenggaraan upacara perkawinan yang
diharapkan sebagai pengakuan sosial dari yang hadir, bahwa mereka sejak saat
itu telah menjadi suami istri yang sah .

B. Saran

34
Dalam penelitian ini masih kurangnya sumber informasi sehingga
penelitian ini belum sempurna. Untuk itu, penulis meminta saran dan kritik
dari pembaca agar penelitian ini sempurna dan dapat bermanfaat untuk yang
membacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hani Usman. 2009. Budaya Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh : Banda Aceh
; 5.
Dimas A. Sulaiman, Komplikasi Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Toyota
1989), 70.
T. Syamsuddin, 1993. Arti Perlambang Dan Fungsi Tata Rias Pengantin Dalam
Menanamkan Nilal-Nilai Budaya Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan : Jakarta.

Mike Featherstone, Posmodernisme dan Budaya Konsumen (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2001)

Tim Peneliti IAIN Ar-Raniry Dan Biro Keistimewaan Aceh Provinsi NAD,
Kelembagaan Adat Provinsi Nangro Aceh Darussalam, (Banda Aceh : Ar-Raniry
Press, 2006)

Elly M. Setiadi, Kama .A Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial & Budaya Dasar,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007)

35
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam (Banda Aceh:Yayasan PENA Banda
Aceh,2010)

Azhar Munthasir, Adat Perkawinan Etnis Aceh (Banda Aceh: Dinas Kebudayaaan
Dan
Pariwisata Aceh)

Paok Valentina Tutu, Komodifikasi Dalam ProgramPengembangan Seni Budaya


Di
Jogja Tv, (Yogyakarta, 2016, Di Akses Tanggal 18 November 2016)

Cut Intan Elly Arby, Tata Rias & Upacara Adat Perkawinan Aceh (Jakarta:
Yayasan
Meutaka Alam,1989)

Badruzzaman Ismail, Syamsuddin Daud, Romantika Warna Warni Adat


Perkawinan
Etnis-Etnis Aceh, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2015)

LAMPIRAN PERTANYAAN

1. Berapa macam adat Aceh?


Jawaban : ada empat yaitu adat aceh gayo, aceh besar tradisional, aceh besar,
aceh suku alas.
2. Bagaimana pakaian adat Aceh?
Jawaban : pakaian setiap adat aceh ini berbeda, aceh gayo nama pakaiannya
baju ketawang gayo/baju bunge sede. Aceh besar tradisional nama pakaian
nya baju makasap/baju balah dengan hiasan kasab. Aceh besar nama
pakaiannya baju makasab model shanghai border emas (tangan panjang
memakai manset). Aceh suku alas nama pakaiannya baju kembang.
3. Apa saja aksesoris adat Aceh?
Jawaban : untuk aksesoris adat aceh besar tradisonal yaitu tusuk cempaka,
kembang goyang, bungong tajoek, pathamdhoe, bunga melati, ayeum

36
gumbak, roncean bunga jeumpa, subang preuk-preuk, bros, kalung cekak
bahru, kalung susun, kalung simpelah, boengkoih meuh (tempat perlengkapan
sirih), gelang meupeuta, jimat marakit.
4. Bagaimana riasan adat Aceh?
Jawaban : riasannya tidak ada khususnya sih, hanya dirias gimana cantiknya
dan menurut trendingnya gimana. Sekarang kan lagi trend nya make flawless
gitu.
5. Apa makna dari semua riasan?
Jawaban : untuk makna khusus nya saya tidak tahu. Hanya saja setiap riasan
itu untuk memperindah dan mempercantik pengantin.
6. Apakah memasang sanggul aceh memakai debok pisang?
Jawaban : dahulu memang memakai debok pisang tetapi sekarang sudah
diganti busa karena debok pisang itu terlalu berat.
7. Bagaimana pemasangan aksesoris?
Jawaban : setiap aksesoris dipasang satu persatu

8. Ada berapa warna baju aceh?


Jawaban : warna baju nya ada beragam, yaitu merah, hitam, dan kuning. Tapi
yang saya punya warna merah.

37
LAMPIRAN FOT0

38

Anda mungkin juga menyukai