Anda di halaman 1dari 97

STUDI DESKRIPTIF TEKNIK PEMBUATAN DAN MEMAINKAN

BELOBAT PINGKO-PINGKO OLEH BAPAK SIMPEI SINULINGGA DI


DESA LINGGA, KECAMATAN SIMPANG EMPAT, KABUPATEN KARO

PROPOSAL PENELITIAN

DISUSUN

ERIDIANTO BARUS
NIM: 130707017

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas kasih dan kemurahanNya yang begitu besar untuk semua umat manusia.
Penulis berterimakasih atas segala berkat, kekuatan, penghiburan, pertolongan dan
perlindungan Tuhan yang tidak pernah berhenti dalam penyelesaian skripsi ini.
Terimakasih karena Engkau selalu ada ketika saya membutuhkan sahabat untuk
berbagi suka dan duka.

Skripsi ini berjudul “Studi Deskriptif Teknik Pembuatan dan


Memainkan Belobat Pingko-Pingko Oleh Bapak Simpei Sinulingga Di Desa
Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo”. Skripsi ini diajukan
sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, banyak


hambatan yang penulis rasakan. Begitu juga dengan kejenuhan yang membuat
penulis bosan dalam menyelesaikan skripsi ini. Namun, berkat orang-orang yang
ada disekitar penulis, membuat penulis kembali semangat untuk menyelesaikan
skripsi ini. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada keluarga saya
terkhususnya ibu saya yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada
saya.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Bapak


Dr. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Ibu Arifininetriosa
SST., M.A, sebagai Ketua Jurusan Etnomusikologi dan kepada yang terhormat
Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Etnomusikologi.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si dosen


pembimbing I saya yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk nasehat-nasehat, ilmu serta
pengalaman yang telah bapak berikan selama saya kuliah. Kiranya Tuhan selalu
membalas semua kebaikan yang bapak berikan

i
Kepada yang terhormat Ibu Arifninetriosa SST, M.A, dosen pembimbing
II yang telah membimbing dan memberi masukan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk perhatian, ilmu serta pengalaman
yang telah ibu berikan selama saya kuliah. Kiranya Tuhan selalu membalas semua
kebaikan yang ibu berikan.

Kepada seluruh dosen di Departemen Etnomusikologi, terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan
pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sunguh ucapan terimakasih yang sebesar-
besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-
ibu sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang saya dapatkan dari bapak-ibu sekalian
bisa saya aplikasikan dalam kehidupan dan pendidikan selanjutnya. Biarlah Tuhan
membalaskan semua jasa-jasa bapak-ibu sekalian.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Simpei Sinulingga dan


Bapak Ngadi Manik dan keluarga yang banyak memberikan informasi dalam
tulisan skripsi ini serta bersedia menjadi informan, sehingga data yang diperoleh
mendukung penulisan skripsi ini.

Kepada adik-adik di tempat perkuliahan, Mutia br. Kaban dan Erik Karo
Sekali yang sudah meluangkan waktunya untuk membantu saya dalam dukungan
dan menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dan juga kepada teman-teman
seangkatan penulis yakni Etno ‘013 terimakasih telah menjadi bagian hidup
penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak
terlupakan bagi penulis. Terima kasih teman-teman.

ii
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi.

Medan, Oktober 2019


Penulis,

Eridianto Barus
NIM : 130707017

iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 17 Oktober 2019

Nama : Eridianto Barus


NIM : 130707017

iv
ABSTRAK

Belobat adalah alat musik karo yang terdiri dari dua jenis yakni, Belobat
Pingko-Pingko dan Belobat Gendek. Belobat Pingko-Pingko dapat juga disebut
dengan Alat musik non-Ensamble (yang dimainkan secara solo tanpa digabungkan
dengan alat musik yang lain). Didalam bermain Belobat Pingko-Pingko, ada
beberapa teknik yang dilakukan seorang pemain ketika memainkan Belobat
Pingko-Pingko. Tujuan dari penelitian ilmiah ini adalah untuk mendeskripsikan
teknik pembuatan dan memainkan Belobat Pingko-Pingko. Teori yang digunakan
adalah studi struktural dan studi fungsional dan untuk teori yang digunakan adalah
study organologi yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel serta
menggunaan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif.

Dalam proses pembuatan alat musik belobat pingko-pingko ada beberapa


bagian penting untuk diperhatikan, yaitu pada proses pemilihan dan pengukuran
bambu harus memenuhi kriteria bambu yang sudah tua, tidak memiliki cacat pada
ruas bambu dan berbentuk bulat penuh dan pada proses pembuatan lubang sora
dan sompel, membutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam proses ini. Karena juga
tidak akan menimbulkan alat musik tersebut tidak bisa menghasilkan bunyi atau
bunyi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Pada proses
pembuatan lubang nada, membutuhkan ketelitian dalam mengukur jarak antara
lubang nada dan sejajar dengan lubang sora.

Teknik memainkan belobat pingko-pingko ada beberapa hal yang harus


diketahui yaitu pertama sekali harus mengenal setiap fungsi lubang nada. Jika
ingin belajar memainkan belobat pingko-pingko harus menguasai teknik rengget,
karena teknik rengget adalah teknik permainan yang menghasilkan ciri khas
melodi Karo. Dan juga teknik pulnama atau circular breathing. Teknik ini tidak
hanya ada pada sarune dan surdam, pada belobat pingko-pingko juga terkadang
memakai teknik pulnama pada bagian-bagian tertentu. Juga dalam teknik
permainan belobat pingko-pingko, ada nada yang menghasilkan nada A dan Bes,
yaitu lubang ke lima ditutup

Kata kunci : Belobat, Belobat Pingko-Pingko dan teknik permainan belobat


pingko-pingko.

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i


PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................... vi
DAFTAR TABEL................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan .............................................................. 3
1.3 Tujuan dan Manfaat ............................................................... 3
1.3.1 Tujuan .................................................................. 3
1.3.2 Manfaat ................................................................ 3
1.4 Konsep dan Teori ................................................................... 4
1.4.1 Konsep........................................................................... 4
1.4.2 Teori .............................................................................. 5
1.5 Metode Penelitian................................................................... 6
1.5.1 Studi Kepustakaan......................................................... 8
1.5.2 Pengumpulan Data di Lapangan ................................... 8
1.5.2.1 Observasi ........................................................... 8
1.5.2.2 Wawancara ........................................................ 9
1.5.2.3 Rekaman........................................................... 10
1.5.3 Kerja Laboratorium ...................................................... 10
1.6 Lokasi Penelitian ................................................................... 11
BAB II KEBUDAYAAN MUSIK KARO ........................................... 12
2.1 Gambaran Umum Wilayah Karo ......................................... 12
2.2 Kesenian Karo ..................................................................... 14
2.2.1 Seni Sastra .................................................................. 15
2.2.2.1 Sastra Lisan..................................................... 15
2.2.2.2 Sastra Tulisan ................................................. 17
2.2.2 Seni Musik Karo ......................................................... 18
2.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen ............................. 19
2.2.2.2 Gendang Telu Sendalanen .............................. 23
2.2.2.3 Sierjabaten ...................................................... 28
2.2.2.4 Instrument Tunggal......................................... 29
2.2.3 Seni Suara (Vokal)...................................................... 33
2.2.4 Sistem Kekerabatan .................................................... 35
BAB III PROSES PEMBUATAN BELOBAT PINGKO-PINGKO 39
3.1 Klasifikasi Belobat Pingko-Pingko .................................... 39
3.2 Konstruksi Belobat Pingko-Pingko .................................... 40
3.3 Teknik Pembuatan Belobat Pingko-Pingko ....................... 41
3.4 Bahan Baku yang Digunakan ............................................. 41
3.4.1 Buluh Kerapat (Bambu) ............................................ 41

vi
3.4.2 Kayu Ngalkal / Kayu Pohon Cabe ............................ 42
3.5 Peralatan yang Digunakan.................................................. 43
3.5.1 Pisau .......................................................................... 43
3.5.2 Gergaji ....................................................................... 43
3.5.3 Pisau Ukir .................................................................. 44
3.5.4 Temper ...................................................................... 44
3.5.5 Kikir .......................................................................... 45
3.5.6 Lem (Getah Pohon) ................................................... 45
3.5.7 Kertas Pasir Halus ..................................................... 46
3.6 Proses Pembuatan............................................................... 46
3.6.1 Pemilihan Bambu ...................................................... 47
3.6.2 Proses Pembuatan Lubang Pinusu ............................ 48
3.6.3 Proses Pembuatan Lubang Sora ................................ 49
3.6.4 Proses Pembuatan Lubang Nada ............................... 50
3.6.5 Proses Pembuatan Penutup (Sompel)........................ 54
3.6.6 Pemotongan Penutup (Sompel) ................................. 56
3.6.7 Tahap Akhir (Finishing) ............................................ 56

BAB IV DESKRIPSI TEKNIK PERMAINAN BELOBAT


PINGKO-PINGKO ............................................................. 58
4.1 Struktur Belobat Pingko-Pingko ........................................ 58
4.2 Proses Belajar Memainkan Belobat Pingko-Pingko .......... 59
4.3 Posisi Jari Dalam Memainkan Belobat Pingko-Pingko ..... 60
4.3.1 Penjarian Dalam Memainkan
Belobat Pingko-Pingko ............................................. 61
4.4 Tenik Memainkan Belobat Pingko-Pingko ........................ 64
4.4.1 Pulnama ..................................................................... 65
4.4.2 Rengget ..................................................................... 65
4.4.3 Teknik Dilah-Dilah ................................................... 66
4.5 Proses Transkripsi Lagu Tangis-Tangis ............................. 66
4.6 Transkripsi Lagu Tangis-Tangis pada
Belobat Pingko-Pingko ...................................................... 67
4.7 Tangga Nada ...................................................................... 67
4.8 Jumlah Nada (Frequency of Note) ..................................... 68
4.9 Nada Dasar ......................................................................... 69
4.10 Wilayah Nada ................................................................... 71
4.11 Interval Nada .................................................................... 71
4.12 Pola Kadensa (Cadence Pattern) ...................................... 73
4.13 Formula Melodi ................................................................ 74
4.14 Kantur (Contour) .............................................................. 77
BAB V PENUTUP ................................................................................. 79
5.1 Kesimpulan .......................................................................... 79
5.2 Saran .................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 82
DAFTAR INFORMAN ......................................................................... 83

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Proses Pembuatan ...................................................................... 46


Tabel 2 : Jumlah Nada............................................................................... 69
Tabel 3 : Interval Nada .............................................................................. 72

viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Kabupaten Karo ..................................................... 13
Gambar 2 : Aksara Karo ................................................................... 17
Gambar 3 : Sarune Karo ................................................................... 20
Gambar 4 : Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi ............. 21
Gambar 5 : Gung dan Penganak ....................................................... 22
Gambar 6 : Kulcapi........................................................................... 24
Gambar 7 : Belobat ........................................................................... 25
Gambar 8 : Ketteng-Ketteng............................................................. 26
Gambar 9 : Mangkuk Meciho ........................................................... 27
Gambar 10 : Penggual dan Penarune .................................................. 28
Gambar 11 : Surdan rumanis, Surdam Puntung, dan Surdan Tangko
Kuda ............................................................................... 30
Gambar 12 : Murbab ........................................................................... 32
Gambar 13 : Belobat Pingko-Pingko .................................................. 33
Gambar 14 : Seruas Buluh Kerapat .................................................... 42
Gambar 15 : Sebilah Kayu Ngalkal .................................................... 42
Gambar 16 : Pisau ............................................................................... 43
Gambar 17 :Gergaji ............................................................................ 43
Gambar 18 : Pisau Ukir ...................................................................... 44
Gambar 19 : Temper ........................................................................... 44
Gambar 20 : Kikir ............................................................................... 45
Gambar 21 : Lem ............................................................................... 45
Gambar 22 : Kertas Pasir Halus.......................................................... 46
Gambar 23 : Seruas Bambu ................................................................ 47
Gambar 24 : Proses Pengukuran Panjang Badan ................................ 48
Gambar 25 : Proses Pelubangan Lubang Pinusu ................................ 49
Gambar 26 : Proses Pengukuran Jarak Lubang Sora .......................... 49
Gambar 27 : Proses Pembuatan Lubang Sora..................................... 50
Gambar 28 : Proses Akhir Pembuatan Lubang Sora .......................... 50
Gambar 29 : Proses Pengukuran Lubang Pertama ............................. 51
Gambar 30 : Proses Pengukuran Lubang Ke empat dan kelima ........ 51
Gambar 31 : Proses Pengukuran Lubang Ke dua dan Ke tiga ............ 52
Gambar 32 : Proses Pengukuran Lubang Ke enam (Tuldak) ............. 52
Gambar 33 : Proses Pelubangan Lubang Tuldak................................ 53
Gambar 34 : Proses Pelubangan Lubang Kelima dan Keempat ......... 54
Gambar 35 : Proses Pelubangan Lubang Ketiga dan Kedua .............. 54
Gambar 36 : Proses Pelubangan Lubang Pertama .............................. 54
Gambar 37 : Proses Pembuatan Sompel (Penutup) ............................ 55
Gambar 38 : Proses Pengeleman Sompel (Penutup) .......................... 56
Gambar 39 : Proses Pemotongan Sompel (Penutup) .......................... 56
Gambar 40 : Proses Finishing ............................................................. 57
Gambar 41 : Tampilan Belobat Pingko-Pingko.................................. 60
Gambar 42 : Posisi Jari pada nada C .................................................. 61
Gambar 43 : Posisi Jari pada nada D .................................................. 62
Gambar 44 : Posisi Jari pada nada F................................................... 62

ix
Gambar 45 : Posisi Jari pada nada G .................................................. 63
Gambar 46 : Posisi Jari pada nada A .................................................. 63
Gambar 47 : Posisi Jari pada nada Bes ............................................... 64

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karo merupakan salah satu etnis di provinsi Sumatera Utara yang

memiliki kebudayaan tersendiri. Salah satu unsur kebudayaan itu adalah musik.

musik di dalam masyarakat karo memiliki peranan penting didalam berbagai

konteks upacara, baik bersifat adat, ritual keagamaan dan hiburan. Di dalam

kegiatan upacara adat, ritual keagamaan dan hiburan, alat musik yang digunakan

tidaklah selalu sama, semua alat m usik yang digunakan sesuai dengan konteks

upacara tersebut.

Masyarakat Karo memiliki dua jenis ensambel musik, yaitu gendang lima

sendalanen dan gendang telu sendalanen. Gendang lima sendalanen terdiri dari

lima alat musik karo. Kelima alat musik Karo tersebut adalah : sarune, sarune

merupakan alat musik tiup lidah ganda yang diklasifikasikan sebagai aerofon

double reed. Gendang singindungi dan gendang singanaki, kedua alat musik ini

berbentuk double konis dan cara memainkannya dengan memukul bagian kulit

atas dari gendang menggunakan stik gendang tersebut. Perbedaan antara gendang

singindungi dan gendang singanaki terletak pada stik gendang, dimana sebuah

pemukul gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih besar dari pemukul

gendang singanaki, serta gendang singanaki memiliki anak gendang yang sering

disebut dengan garantung. Gung, merupakan alat musik klasifikasi idiophone

yang berfungsi sebagai pengatur tempo. Penganak, merupakan gong berpencu

1
yang berklasifikasi idiophone. Sedangkan gendang telu sendalanen terdiri dari

tiga alat musik Karo yaitu : Kulcapi merupakan alat musik petik bersenar dua

yang memiliki leher dan belobat merupakan alat musik tiup yang diklasifikasikan

sebagai aerofon, Keteng-keteng merupakan alat musik berbentuk tube yang

memiliki dua senar yang berasal dari badan alat itu sendiri yang diklasifikasikan

sebagai idiochordophone, dan mangkuk meciho (mangkuk putih) merupakan alat

musik pengatur tempo didalam ensambel gendang telu sendalanen.

Belobat, biasanya digabungkan dengan gendang telu sendalanen dalam

mengiringi upacara tradisional Karo yang berkaitan dengan religi, seperti : ralang

tendi, erpangir kulau dan lain-lain. Belobat adalah alat musik Karo yang terdiri

atas dua jenis yakni, Belobat Pingko-Pingko dan Belobat Gendek. Kedua Belobat

tersebut memiliki beberapa perbedaan dari teknik pembuatan dan memainkannya,

dan dapat juga disebut dengan alat musik non-ensambel (yang dimainkan secara

solo tanpa digabungkan dengan alat musik yang lain).

Belobat pingko-pingko ini hampir sudah tidak pernah digunakan sebagai

musik hiburan di lingkungan Tanah Karo ( Kabupaten Karo, Sumatera Utara) dan

yang mengetahui tentang proses pembuatan dan teknik memainkannya pun sangat

minim. Dikarenakan perkembangan zaman dan agama.

Seperti bapak Simpei Sinulingga, dilingkungan desanya hanya dialah

yang mengetahui bagaimana proses pembuatan alat musik belobat pingko-pingko

yang ia pelajari dari bapak Ngadi Manik sekaligus juga sebagai pemain alat musik

tersebut yang sekarang telah berumur 82 tahun.

2
Mempelajari musik Karo biasanya dilakukan secara lisan/oral yang berarti

pembelajaran secara oral tradition. Setiap orang yang ingin belajar musik harus

berhubungan langsung kepada yang mahir memainkan alat musik tersebut. Serta

seorang yang ingin belajar alat musik harus mendatangi, melihat dan berdialog

dengan seseorang yang dapat memainkan alat musik tersebut.

Oleh karena itu, maka saya ingin meneliti tentang teknik memainkan dan

pembuatan belobat pingko-pingko. Maka saya ingin mengangkat judul : Deskripsi

Pembuatan dan Teknik Permainan Belobat Pingko-Pingko oleh bapak Simpei

Sinulingga di desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.

1.2 Pokok Permasalahan

1. Bagaimana proses pembuatan belobat pingko-pingko Karo?

2. Bagaimana teknik permainan belobat pingko-pingko karo?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan pembuatan belobat pingko-pingko Karo.

2. Untuk mendeskripsikan teknik permainan belobat pingko-pingko Karo.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Terdapat beberapa manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

3
1. Untuk menambah wawasan tentang teknik permainan belobat pingko-

pingko Karo

2. Untuk menambah pengetahuan dan dokumentasi tentang teknik pembuatan

belobat pingko-pingko Karo

3. Sebagai salah satu bahan referensi dan acuan bagi penelitian berikutnya

yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian

4. Sebagai pengaplikasian disiplin ilmu yang sudah didapat selama mengikuti

perkuliahan.

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang di abstrakkan dari

peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Puskata, 1991 : 431),

untuk memberikan pemahaman tentang tulisan ini. Maka, penulis menguraikan

kerangka kosep sebagai landasan berfikir dalam penulisan. Tulisan ini berisi suatu

kajian tentang studi deskriptif tentang teknik pembuatan dan memainkan belobat

pingko-pingko Karo. Kata deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya

(KBBI 2005 : 258).

Kata deskriptif merupakan kata sifat dari deskripsi. Pengertian studi

deskriptif adalah tindakan atau kegiatan menguraikan gambaran situasi atau

kejadian-kejadian yang terdapat dalam studi objek ilmiah. Menurut Echols Shadly

(1990:179), deskripsi mempunyai pengertian gambaran atau lukisan. Dalam hal

4
ini penulis akan mencoba menguraikan atau menggambarkan tentang teknik

pembuatan dan memainkan belobat pingko-pingko sebagai bahan informasi untuk

para pembaca yang membutuhkan.

Teknik adalah cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu, sedangkan

permainan adalah sesuatu yang digunakan untuk bermain atau; barang atau

sesuatu yang dimainkan (KBBI hal 614). Dan pembuatan adalah suatu proses

menciptakan (menjadikan,menghasilkan) sesuatu (KBBI hal 222-223). Pengertian

tersebut dapat diartikan bahwa teknik permainan merupakan suatu proses atau

cara untuk memainkan untuk menghasilkan bunyi belobat pingko-pingko Karo

dan teknik pembuatan merupakan suatu proses atau cara menciptakan

(menjadikan,menghasilkan) alat musik belobat pingko-pingko Karo.

1.4.2 Teori

Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum yang menjadi dasar suatu

kesenian atau ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori

yang dikemukakan oleh Susuma Kashima (1978;174) terjemahan Rizaldi Siagian

dalam laporan APTA (Asia Performing Traditional Art), bahwa studi musik dapat

dibagi dalam dua sudut pandang yakni studi struktural dan studi fungsional. Studi

structural adalah studi yang berkaitan dengan pengamatan, pengukuran,

perekaman, atau pencatatan bentuk, ukuran besar dan kecil, konstruksi, serta

bahan-bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik terebut. Sedangkan studi

fungsional adalah memperhatikan fungsi dari alat musik dan komponen yang

menghasilkan suara, antara lain membuat pengukuran dan catatan terhadap

5
metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya

suara bunyi, nada, warna nada, dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik

tersebut. Dalam hal ini penulis menggunakan teori studi fungsional dalam

membahas teknik memainkan Belobat Pingko-Pingko dan teori studi structural

dalam membahas teknik pembuatan Belobat Pingko-Pingko.

Selain teori studi fungsional dan structural dari Susumu Kashima, penulis

juga menggunakan teori yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1973:3) untuk

melihat proses pewarisan tradisi lisan (oral tradition) didalam belajar dan teknik

permainan. Belobat pingko-pingko merupakan alat musik yang berperan sebagai

pembawa melodi, maka untuk menganalisa suaranya penulis berpatokan pada

pendapat William P. Malm (1977:8) yang menyatakan beberapa karakter yang

harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi, yaitu : (1) tangga nada, (2)

nada dasar, (3) wilayah nada, (4) jumlah masing-masing nada, (5) interval, (6)

pola kadens (7) formula melodi dan (8) kontur, teori ini disebut juga dengan teori

Weighted scale. Dan penulis juga menggunakan teori yang dikemukakan oleh

Curt Sachs dan Hornbostel untuk melihat klasifikasi belobat pingko-pingko.

1.5 Metode Penelitian.

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan informasi dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah

didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Kata

metode secara harafiah dapat diartikan sebagai cara kerja yang tersistem

untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang

6
ditentukan. Ada juga yang mengatakan metode dalam penelitian sebagai alat

dalam melakukan penelitian, yaitu dari pengumpulan data, penganalisisan

data sampai dengan menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan

penelitian (Triswanto, 2010:15). Penelitian metode biasanya ditentukan oleh

beberapa hal, yaitu: objek penelitian, sumber data, waktu, dana, dan teknik

yang digunakan untuk mengolah data.

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode

penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif, dimana penelitian kualitatif

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang kita amati

(Bogdan dan Taylor 1975:5). Penelitian deskriptif yang dimaksud berupa

pengumpulan data yang berupa kata-kata dan gambar-gambar, yang diperoleh

ketika mengadakan penelitian di lapangan seperti hasil wawancara dengan

narasumber, foto, video, dan dokumentasi lainnya.

Supaya proses penelitian deskriptif memperoleh hasil yang maksimal

maka penulis akan menggunakan dua hal metode penelitian dalam

etnomusikologi seperti yang diungkapkan oleh Netl (1964:62-64), yaitu kerja

lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan

berupa pemilihan lokasi penelitian, pemilihan informan, pengambilan dan

pengumpulan data yang berupa rekaman video, foto, dan hasil wawancara.

Kerja laboratorium berupa pengolahan dari data-data yang telah didapatkan di

lapangan untuk selanjutnya dianalisis hingga membuatnya menjadi sebuah

kesimpulan.

7
1.5.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan

mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-litelatur,

catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan

masalah yang dipecahkan (Nazir, 1988:111). Penulis mencari dan

mengumpulkan informasi dan referensi dari skripsi yang terdapat di

website skripsi Etnomusikologi. Selain itu penulis juga mencari dari

sumber lain seperti buku, artikel juga sumber dari internet yaitu dengan

kata kunci World Wide Web (www).

1.5.2 Pengumpulan Data di Lapangan

1.5.2.1 Observasi

Berdasarkan pendapat dari Burhan Bungin dalam bukunya yang berjudul

Penelitian Kualitatif, (2007 : 115), observasi atau pengamatan adalah kegiatan

keseharian manusia dengan menggunakan panca indra mata sebagai alat bantu

utamanya selain panca indra lainnya seperti, telinga, hidung, kulit, dan mulut.

Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan

pengamatannya melalui hasil kerja dari panca indra mata serta dibantu dengan

panca indra lainnya. Metode observasi adalah pengumpulan data yang digunakan

untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode ini untuk mengamati

proses cara belajar membuat belobat pingko-pingko Karo dan teknik memainkan

8
belobat pingko-pingko didalam kebudayaan musik Karo. Yang menjadi objek

pengamatan adalah bagaimana proses pembuatan belobat pingko-pingko begitu

juga teknik memainkannya.

1.5.2.2. Wawancara

Selain melakukan pengamatan, penulis juga melakukan wawancara

terhadap informan untuk menanyakan secara langsung apa yang menjadi

permasalahan topik atau data yang dibutuhkan. Wawancara adalah proses untuk

memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil

bertatap muka antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai (informan)

atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. (Burhan.Bungin,2007:1)

Teknik yang dilakukan penulis adalah seperti yang telah dikemukakan

oleh Koentjaraningrat (1985:138-140) yaitu wawancara dapat dilakukan dengan

tiga cara:

1. Wawancara terfokus : pertanyaan yang terpusat pada satu pokok

permasalahan yang sebelumnya telah ditentukan penulis terlebih dahulu.

2. Wawancara bebas : pertanyaan yang lebih beragam tidak pada satu pokok

masalah namun tetap berkaitan dengan informasi objek penelitian si

penulis,

3. Wawancara sambil lalu: pertanyaan yang diajukan pada suasana yang

tidak terkonsep. Biasanya informan dijumpai secara tidak sengaja atau

kebetulan.

9
Dalam wawancara, penulis menyiapkan terlebih dahulu segala sesuatu

yang dibutuhkan yaitu menyusun pertanyaan, menyiapkan alat-alat tulis, hingga

menyediakan alat rekam untuk merekam wawancara penulis dengan informan

ataupun kejadian-kejadian lain yang dianggap penting dan berhubungan dengan

tulisan ini.

1.5.2.3. Rekaman

Pada pelaksanaan kegiatan ini, penulis menggunakan kamera digital dan

alat rekam berupa handphone untuk membantu kerja di laboratorium dalam

menyaksikan kembali hasil wawancara dengan informan dan untuk melihat dan

merekam hal-hal apa sajakah yang dilakukan ketika proses pembuatan belobat

pingko-pingko Karo dan teknik didalam bermain belobat pingko-pingko. Alat

perekam dipergunakan untuk merekam bunyi dan gambar yang nantinya akan

ditranskripsi untuk hasil akhir penulisan dan untuk melihat percakapan dengan

informan yang dihasilkan didalam rekaman bergambar maupun hanya rekaman

suara saja.

1.5.3. Kerja laboratorium

Kerja laboratorium adalah menganalisa data yang didapatkan dari

lapangan sesuai dengan kebutuhan tulisan. Dan tuntuk mendeskripsikan tentang

hal-hal yang berhubungan dengan musical dan juga musisinya. Pentranskripsian

musik juga dilakukan dalam laboratorium utuk menganalisa hasil rekaman yang

bersifat audio (suara yang bisa didengar) maupun rekaman audio visual (rekaman

yang bisa dilihat dan didengar).

10
Dalam mendeskripsikan proses pembuatan dan teknik memainkan pada

kerja laboratorium, menggunakan teori Susuma Kashima (1978;174) yaitu studi

structural dan studi fungsional.

1.6. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian di Sanggar Nggara Si Mbelin Desa Lingga, Kec.

Simpang Empat, Kab. Karo, Sumatera Utara. Medan yang ditempuh melalui jalan

darat sekitar kurang lebih tiga setengah jam dari Universitas Sumatera Utara.

Medan yang ditempuh pun tidak terlalu sulit karena jalan untuk mencapai lokasi

sudah beraspal.

11
BAB II

KEBUDAYAAN MUSIK KARO

2.1 Gambaran umum wilayah Karo

Suku Karo merupakan salah satu dari beberapa suku yang mendiami

provinsi Sumatera Utara. Karo juga merupakan sebutan untuk satu wilayah

administratif kabupaten yaitu Kabupaten Karo yang wilayahnya meliputi seluruh

dataran tinggi Karo.

Gambar tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti

apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku Dinamika Orang Karo,

Budaya dan Modernisasi (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:

“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh

pinggiran jalan yang memisahkan dataran tinggi dari serdang. Di sebelah

selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai

Wampu, apabila memasuki Langkat), disebelah Barat dibatasi oleh gunung

Sinabung dan di sebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran

rendah Deli dan Serdang.”

Dengan demikian, orang-orang Karo yang tersebar di beberapa kabupaten

di Sumatera Utara membuat perbedaan sebutan atau julukan sesuai dengan dasar

wilayah komunitas masyarakatnya seperti: Karo Kenjulu, Karo teruh Deleng,

Karo singalor lau, Karo Baluren, Karo Langkat, Karo Timur dan Karo.

12
Terhampar di antara Bukit Barisan serta terletak pada koordinat 2º50º LU,

3º19º LS, 97º55º - 98º38º BT (Tarigan, 2008:3). Kaban Jahe merupakan ibu kota

Kabupaten Karo yang terdiri dari 17 Kecamatan yakni Kecamatan Barus Jahe,

Kecamatan Tiga Panah, Kecamatan Tiga Binanga, Kecamatan Lau Baleng,

Kecamatan Kuta Buluh, Kecamatan Payung, Kecamatan Munte, Kecamatan

Juhar, Kecamatan Berastagi, Kecamatan Merak, Kecamatan Merdeka, Kecamatan

Simpang Empat, Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Tiga Nderket, Kecamatan

Dolat Rayat, Kecamatan Mardinding, dan Kecamatan Kaban Jahe.

Sebutan khas untuk Kabupaten Karo adalah Tanah Karo Simalem, yang

menandakan bahwa wilayah Kabupaten Karo tanahnya subur, memiliki hawa

pengunungan yang sejuk, sehingga memungkinkan untuk menjadi lahan

pertanian, yang akhirnya menjadi mata pencaharian utama masyarakat Karo.

Selain daerah yang sejuk, masyarakat Karo memiliki kesenian yang turun

menurun masih dilestarikan hingga sekarang. Kesenian yang dilestarikan menjadi

ciri khas yang identik dengan masyarakat Karo.

Gambar 1 : Peta Kabupaten Karo (Sumber Pariwisata Kabupaten Karo)

13
Suku asli Karo tidak hanya menempati wilayah kependudukan Kabupaten

Karo tetapi meluas hingga ke wilayah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli

Serdang memiliki sejarah. Menurut Tarigan (2011:5) pada masa pemerintahan

Belanda yang menjalankan kekuasaan di daerah tanah Karo mulai pada tahun

1911, suku Karo terbagi menjadi dua wilayah yaitu Karo Gugung (gunung) dan

Karo Jahe (hilir). Pemerintahan Belanda menjalankan penetapan batas-batas

administrasi pemerintahannya sejalan dengan siasat politik Devide Et Impera

yang ingin memecahkan suku Karo. Politik tersebut memisahkan orang-orang

Karo dalam sistem administrasi pemerintahan yang berbeda. Batas administrasi

wilayah terbagi menjadi wilayah Karo Langkat, Karo Deli dan Serdang (saat ini

Deliserdang) dan Tanah Tinggi Karo (Kabanjahe). Batasan-batasan wilayah

tersebut menyebabkan penyebaran masyarakat Karo di setiap wilayahnya. Hingga

saat ini wilayah tersebut hampir didominasi oleh suku Karo, seperti yang menetap

di daerah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Hal ini dapat

diperjelas bahwa Karo Gugung menunjukkan suatu kelompok atau masyarakat

karo yang mendiami daratan tinggi atau daerah pegunungan, sedangkan Karo

Jahe menunjukkan suatu kelompok atau masyarakat Karo yang mendiami wilayah

hilir atau dataran rendah.

2.2 Kesenian Karo

Kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya serta sarana yang dapat

digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa

manusia. Menurut Koentjaraningrat Kesenian ialah kompleks dari berbagai ide-

ide, norma-norma, gagasan, nilai-nilai, serta peraturan dimana kompleks aktivitas

14
dan tindakan tersebut berpola dari manusia itu sendiri dan pada umumnya

berwujud berbagai benda-benda hasil ciptaan manusia.

Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki

Nusantara tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo

inilah yang menjadikan kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur

budayanya. Kesenian Karo ada beberapa jenis, mulai dari seni sastra, seni tari,

seni rupa dan seni musik. Disini penulis hanya akan membahas pada seni musik

saja.

2.2.1 Seni Sastra

Kesasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni tulisan dan lisan. Namun,

sastra lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dari pada sastra tulisan.

2.2.1.1 Sastra Lisan

Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo

menggunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau berbicara sehari-hari,

penggunakan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan

aturan yang baku, yang penting apa yang dikehendaki atau yang perlu

disampaikan bisa dimengerti oleh lawan bicara atau pendengar.

Namun untuk keperluan tertentu, seperti ungkapan keluh kesah,

pembicaraan adat, bernyanyi dilakukan pemilihan kosa kata yang dianggap paling

sesuai. Kosa kata yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh orang Karo

sebagai cakap lumat (bahasa halus). Cakap lumat adalah dialog yang diselang-

15
selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun dan gurindam. Pemakaian cakap

lumat ini sering dipergunakan dalam upacara adat seperti upacara perkawinan,

memasuki rumah baru dan pergaulan dalam muda-mudi (ungkapan cinta).

Berdasarkan dari beberapa sumber, penulis menyimpulkan bahwa seni

sastra lisan Karo dibedakan atas beberapa kategori, diantaranya :

1. Tabas-tabas (mantra), yaitu sejenis mantra yang diucapkan atau

dilantunkan untuk mengobati orang yang sakit. Mantra ini biasanya

diucapkan atau dilantunkan oleh seorang Guru Sibaso (dukun).

2. Kuning-kuningan, yaitu sejenis teka-teki yang biasa digunakan oleh

anak-anak, muda-mudi maupun orang tua di waktu senggang sebagai

permainan untuk mengasah otak.

3. Ndung-dungen, yaitu sejenis pantun Karo yang terdiri dari empat

baris. Dua baris terdiri dari sampiran, dan dua baris berikutnya

merupakan isi

4. Bilang-bilang, yaitu dendang duka yang merupakan ratapan seseorang

yang sedang berduka. Misalnya karena teringat ibunya yang telah lama

meninggal dunia, ataupun meratapi kekasih yang telah meninggalkan

dirinya karena sesuatu hal. Dahulu bilang-bilang ini ditulis dengan

aksara Karo di sepotong bambu atau kulit kayu, isinya adalah jeritan

hati sipenulis. Oleh karena itu ada juga yang mengatakan bilang-bilang

sebagai “Dendang duka”.

5. Turin-turin, adalah cerita berbentuk prosa yang isinya tentang asal-

usul marga, asal-usul kampong, cerita tentang orang sakti, cerita lucu,

16
dan lain sebagainya. Turin-turin biasanya diceritakan oleh orang-orang

tua kepada anak atau cucunya pada malam hari sebagai pengantar

tidur. Beberapa judul ceritanya antara lain: Beru Patimar, Panglima

Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar.

2.2.1.2 Sastra Tulisan

Aksara karo merupakan salah satu bentuk kekayaan sastra Karo. Menurut

sejarahnya aksara Karo bersumber dari aksara Sumatera kuno yaitu campuran

aksara Rejang, Rebong, Komering,dan Pasaman. Kemungkinan aksara ini dibawa

dari India Selatan, kemudian ke Myanmar/Siam dan akhirnya sampai ke Tanah

Karo. Aksarra ini hampir mirip dengan aksara Simalungun dan Pakpak Dairi,

yaitu berupa huruf silabis (semua huruf atau silabel dasarnya berbunyi “a”) yang

bisa disebut seperti gambar dibawah.

Gambar 2 : Aksara Karo (www.wikipedia.com/karo)

Pada umumnya tulisan atau aksara Karo tempo dulu digunakan untuk

menuliskan ramuan-ramuan obat, mantra atau cerita. Tulisan ini diukir di kulit

kayu atau bambu yang dibentuk sedemikian rupa agar dapat dilipat, dan biasanya

17
huruf-huruf ini diukir dengan menggunakan ujung pisau dan setelah itu tulisan

tersebut diwarnai (dihitamkan) denga bahan baku tertentu.

2.2.2 Seni Musik Karo

Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang

sangat umum dalam kehidupan bermasyarakat, dengan demikian kesenian

merupaka suatu kebutuhan yang peting dalam sebuah masyarakat untuk

mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang,

gembira maupun sedih. Salah satu media pengekspresian kesenian tersebut adalah

melalui musik. Musik tersebut dapat berupa musik instrumentalia, musik vocal,

atau gabungan antara keduanya.

Orang Karo menyebut musik dengan istilah Gendang, dan dalam

masyarakat karo gendang itu sendiri mempunyai beberapa pengertian,

diantaranya:

1. Gendang, sebagai pengertian untuk menunjukkan jenis musik tertentu

(gendang Karo, gendang Melayu).

2. Gendang, sebagai nama sebuah instrument musik (gendang singindungi,

gendang singanaki).

3. Gendang, untuk menunjukkan jenis lagu atau komposisi tertentu (gendang

simelungen rayat, gendang peselukken).

4. Gendang, untuk menunjukkan ensambel musik tertentu (gendang lima

sendalanen, gendang telu sendalanen).

18
5. Gendang, untuk mengartikan sebuah upacara tertentu ( gendang cawir

metua, gendang guro-guro aron).

Untuk penjelasan lebuh lanjut, penulis akan menguraikan tentang jenis-

jenis musik instrumentalia didalam musik Karo.

2.2.2.1 Gendang Lima Sendalanen

Gendang Lima Sendalanen merupakan suatu istilah yang digunakan untuk

menyatakan suatu ensambel musik tradisional Karo yang terdiri dari lima buah

alat musik, yaitu: (1) sarune, (2) gendang singanaki, (3) gendang singindungi, (4)

Penganak, (5) gung.

Istilah gendang pada gendang lima sendalanen ini berarti ada lima buah

alat musik dalam satu ensambel. Dengan demikian gendang lima sendalanen

mengandung pengertian lima buah alat musik yang dimainkan sejalan atau secara

bersama-sama. Kadang gendang lima sendalanen disebut juga dengan istilah

gendang sarune. Adanya dua istilah atau penyebutan satu ensambel musik

tradisional Karo yang sama dikarenakan perbedaan latar belakang dari orang-

orang yang menggunakannya.

Dikalangan musisi tradisional Karo istilah gendang sarune lebih sering

digunakan sementara itu diberbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih

banyak menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Untuk konsistensi

penulisan, dalam tulisan ini digunakan dengan istilah Gendang Lima Sendalanen.

19
Ini tidak berarti istilah tersebut mewakili dari pada gendang sarune karena

memang kedua istilah tersebut selalu digunakan dalam masyarakat karo.

Perlu diketahui juga bahwa, masing-masing alat musik dalam ensambel

gendang lima sendalanen tersebut dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat

musik penganak dan gung, dimana kedua alat musik tersebut dimainkan oleh

seorang pemain musik secara bersamaan.

Dibawah ini dijabarkan penjelasan tentang masing-masing instrument

yang terdapat dalam gendang lima sendalanen, yaitu:

a. Sarune

Sarune merupaka alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double

reed). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta

terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak-anak sarune, (b) tongkeh, (c)

ampang-ampang, (d) batang sarune, dan (e) gundal.

Gambar 3 : Sarune Karo ( sumber dok : Eridianto Barus)

b. Gendang singanaki dan gendang singindungi.

Gendang singanaki dan Gendang singindungi (double sided conical

drums) merupaka dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka.

20
Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk double konis tersebut, terdapat

membrane yang terbuat dari kulit binatang, sisi depan/atas atau bagian yang

dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut

pantil gendang. Kedua alat musik ini memiliki ukuran yang kecil, panjangnya

sekitar 44 cm, dengan diameter babah gendangnya sekitar 5 cm, sedangkan

diameter pantil gendang sekitar 4 cm.

Gambar 4 : Gendang Singanaki (kiri) dan Gendang Singindungi (kanan).

sumber dok : karosiadi.com

Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk,

ukuran, dan cara pembuatannya. Perbedaannya hanya pada “gendang mini” yang

disebut gerantung (pangjang 11,5 cm) yang diikatkan disisi badan gendang

singanaki, sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi

dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu,

sedangkan gendang singanaki tidak memiliki teknik tersebut sehingga bunyi yang

dihasilkannya tidak bisa naik turun. Masing-masing gendang memiliki dua palu-

palu gendang atau alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.

21
c. Gung dan Penganak

Penganak dan gung tergolong dalam jenis suspended idiophone/gong

berpencu yang memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama

seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara.

Perbedaan keduanya (penganak dan gung) adalah dari segi ukuran atau lebar

diameternya.

Gambar 5 : Gung Karo (kiri) dan Penganak (kanan). Sumber dok : karosiadi.com

Gung memiliki ukuran yang besar (diameternya 68,5 cm), dan penganak

memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan penganak ini terbuat dari

kuningan, sedangkan palu-palu (pemukulnya) terbuat dari kayu dengan benda

lunak yang sengaja dibuat di ujungnya untuk menghasilkan suara gung yang lebih

enak didengar (palu-palu gung).

22
d. Peran masing-masing Instrument dalam Gendang Lima Sendalanen

Gendang lima sendalanen sebagai suatu ensambel musik yang terdiri dari

lima alat musik yang memiliki karakter bunyi dan cara memainkan yang berbeda-

beda sesuai dengan bentuk instrument tersebut.

Sarune dimainkan dengan cara ditiup (aerophone double reeds), dan alat

musik sarune ini memiliki peran sebagai pembawa melodi lagu.

Sementara itu, gendang singanaki dan gendang singindungi dimainkan

dengan cara memukul babah gendang (kulit atas) masing-masing dengan dua

palu-palu (alat pemukul atau stick). Gendang singanaki menghasilkan pola rithem

berulang-ulang (repetitive), sedangkan Gendang singindungi membawa pola

rithem yang variable, berbeda dengan pola rithem yang dimainkan oleh Gendang

singanaki.

Penganak dan Gung, dimainkan dengan cara memukul pencu yang

terdapat pada bagian tengah penganak dan gung masing-masing dengan

menggunakan satu palu-palu. Kedua alat musik tersebut menghasilkan pola

pukulan yang berulang-ulang.

2.2.2.2 Ensambel Gendang Telu Sendalanen

Secara harafiah gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat

musik yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian

gendang lima sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/Balobat,

(2) ketteng-ketteng dan (3) mangkuk peciho (mangkuk putih). Dalam ensambel ini

23
instrument yang biasa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi atau

belobat. Pemakaian kulcapi atau belobat sebagai pembawa melodi dilakukan

secara terpisah dalam upacara yang berbeda. Sedangan ketteng-ketteng dan

mangkuk meciho merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola-pola

ritme yang bersifat konstan dan repetitif.

a. Kulcapi

Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dari dua buah

senar (two-strenged fretted-necked lute). Dahulu kala senarnya terbuat dari akar

pohon aren (enau) namun sekarang telah digantikan dengan senar metal. Langkup

kulcapi (bagian depan resonator) tidak terdapat lobang resonator, justru lobang

resonator (yang disebut dengan babah) terdapat pada bagian belakang kulcapi.

Dalam memainkan Kulcapi, lobang resonator (babah) tersebut juga

berfungsi untuk mengubah warna bunyi (efek bunyi) dengan cara tonggum, yakni

suatu teknik permainan kulcapi dengan cara mendekapkan seluruh/sebagian

babah kulcapi ke badan si pemain secara berulang dalam waktu tertentu. Efek

bunyi yang dihasilkan melalui teknik tonggum ini hampir menyerupai efek bunyi

echo pada alat musik elektronik pada umumnya.

Gambar 6 : Kulcapi Karo ( Sumber dok : Eridianto Barus)

24
b. Belobat

Belobat merupakan alat musik tiup yang terbuat dari bamboo (block flute).

Instrumen ini mirip dengan alat musik recorder pada alat musik barat. Belobat

memiliki enam buah lobang nada. Dilihat dari perannya dalam gendang telu

sendalanen, belobat memiliki peran yang sedikit atau kurang berperan penting,

karena pada sebagian besar penampilan gendang telu sendalanen biasanya

menggunakan kulcapi sebagai pembawa melodi.

Gambar 7 : Belobat. Sumber dok : Eridianto Barus

c. Ketteng-ketteng

Ketteng-ketteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi

ketteng-ketteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu

sendiri (bamboo idiochord). Pada ruas bamboo tersebut dibuat satu lobang

resonator dan tepat di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara

melekatkan bilahan itu kesalah satu senar ketteng-ketteng. Bilahan bambu itu

disebut gung dalam gendang lima sendalanen. Bunyi musik yang dihasilkan

25
ketteng-ketteng merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring gendang lima

sendalanen (kecuali sarune) karena pola permainannya yang menghasilan pola

ritme: gendang singanaki, gendang singindungi, penganak dan gung yang di

mainkan oleh seorang pemain ketteng-ketteng.

Gambar 8 : Ketteng-ketteng. Sumber dok : Eridianto Barus

Menurut Sempa Sitepu (1982 : 192) kemungkinan terciptanya alat musik

ini (ketteng-ketteng) ialah untuk menanggulangi kesulitan memanggil gendang

(gendang lima sendalanen) dan untuk acara yang tidak begitu besar seperti ndilo

tendi ( memanggil roh) atau erpangir kulau, alat musik tersebut dapat

menggantikannya. Belobat digunakan sebagai pembawa melodi menggantikan

sarune dalam gendang lima sendalanen.

d. Mangkuk Meciho

Mangkuk meciho ( mangkuk putih) yang di maksud dalam hal ini adalah

semacam cawan (Chinese glassibowl) yang pada dasarnya bukan merupakan alat

musik, namun dalam gendang telu sendalanen, mangkuk meciho tersebut

26
digunakan sebagai instrument pembawa ritmis. Selain sebagai alat musik,

mangkuk meciho juga merupakan perlengkapan penting dari guru sibaso (dukun)

dalam sistem kepercayaan tradisional Karo. Mangkuk meciho tersebut digunakan

sebagai tempat air suci atau air bunga atau juga beras dalam ritual tertentu. Ketika

mangkuk digunakan atau dipakai sebagai alat musik dalam gendang telu

sendalanen biasanya diisi air putih biasa, tujuannya agar bunyi yang dihasilkan

mangkuk tersebut menjadi lebih nyaring.

Gambar 9 : Mangkuk Mechiho (Sumber dok : Eridianto Barus)

e. Peran Masing-Masing Instrumen Gendang Telu Sendalanen

Secara struktur musikal, Gendang Telu Sendalanen mengacu kepada

struktur musikal Gendang Lima Sendalanen, dimana peran musikalnya dibagi

menjadi dua bagian penting, yakni satu alat musik menjadi pembawa melodi dan

yang lainnya menjadi instrument pengiring. Dalam Gendang Telu Sendalanen,

Kulcapi (dalam Gendang Kulcapi) atau Belobat (dalam Gendang Belobat)

berperan sebagai alat musik pembawa melodi. Ketteng-ketteng dan mangkuk

meciho memiliki peranan sebagai musik pengiring. Namun, ketteng-ketteng

27
sebagai alat musik pengiring memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi

imitasi (tiruan) dari empat alat musik pengiring yang terdapat pada Gendang Lima

Sendalanen.

2.2.2.3 Sierjabaten

Sierjabaten adalah orang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam

mendukung berjalannya suatu acara upacara khususnya dalam memainkan musik

tradisional Karo. Seseorang disebut sebagai sierjabaten adalah pada saat dia

melakukan peran penting dalam mengiringi suatu upacara. Didalam berjalannya

upacara, penggual, penarune, perkulapi dan guru sibaso disebut sebagai

sierjabaten. Peran sierjabaten dalam mengiringi suatu upacara sangatlah penting,

apabila sierjabaten tidak ada maka ritual dai upacara tersebut belum bisa dimulai

dan kesuksesan upacara ritual tersebut sangatlah bergantung pada sierjabaten.

Gambar 10 : Penggual dan penarune sedang mengiringi upacara disebut sebagai sierjabaten.

(Sumber dok nisura.blogspot.com)

28
2.2.2.4 Instrument Tunggal

Yang dimaksud dengan instrument tunggal dalam hal ini adalah suatu

musik yang ddigunakan secara tunggal ataupun tidak ada pengiring ritmisnya.

Instrument tunggal didalam kebudayaan musik Karo terdiri dari surdam,murbab

dan belobat pingko-pingko.

a. Surdam

Surdam adalah suatu alat musik tiup dari kebudayaan musik karo yang

terbuat dari seruas bambu, bambu yang digunakan untuk membuat surdam adalah

bambu kerapat. Surdam karo ada tiga jenis yakni; surdam puntung, surdam

rumanis dan surdam tangko kuda.

a. Surdam puntung adalah surdam yang memiliki enam buah lubang nada

dan ukuran surdam ini lebih besar dari ukuran belobat. Surdam ini

biasanya dipakai oleh permakan (pengembala) dipadang rumput waktu

mengembalakan ternaknya.

b. Surdam rumanis juga sama dengan surdam puntung yaitu terbuat dari

bambu, hanya memiliki perbedaan pada pisisi/letak lobang nadanya.

Lobang nada surdam rumanis terdiri dari enam buah yaitu empat buah di

tengah dan dua buah disebelah bawah dengan ukuran satu besar dan satu

kecil. Surdam ini biasa dipergunakan untuk lagu-lagu sedih (lagu tangis-

tangis)

29
c. surdam tangko kuda (surdam mbelin), surdam mbelin ini juga bahannya

dari bambu hanya saja panjangnya jauh lebih panjang dibandingkan

dengan surdam puntung dan surdam rumanis. Lobang nada surdam ini ada

enam buah, yaitu dua buah disebelah atas, tiga buah dibagian tengah dan

satu dibagian bawah. Cara memainkan surdam ini memiliki sedikit

perbedaan dari surdam-surdam sebelumnya. Surdam ini cara

memainkannya dengan meniup lobang tiupan dibagian atas dan menutup

lima lobang nada dengan jari tangan dan lobang satu lagi ditutup dengan

induk jari kaki.

Gambar 11 : Surdam rumanis(kiri), Surdam Puntung (tengah) dan surdam tangko kuda/belin

(kanan) Sumber dok : Museum Lingga.

30
b. Murbab, Genggong dan Tambur

Murbab adalah alat musik tradisional suku karo dari Sumatera Utara yang

termasuk alat musik dalam kategori instrument berdawai dan satu-satunya alat

musik Karo yang dimainkan dengan cara digesek. Alat musik murbab dapat

dimainkan secara solo dan juga ensambel sebagai melodi dan keberadaannya

sampai saat ini sudah jarang ditemukan pada masyarakat Karo. Murbab terbuat

dari kayu, tempurung kelapa, serat daun nanas dan bow penggeseknya terbuat dari

rambut ekor kuda.

Genggong adalah alat musik Karo yang terbuat dari besi dan dibunyikan

dengan menggunakan mulut sebagai resonator. Selain sebagai resonator, mulut

juga berfungsi untuk mengatur tinggi rendahnya nada yang dihasilkan genggong.

Genggong digunakan oleh anak-anak perana (perjaka) untuk memanggil singuda-

nguda (gadis) pujaan hatinya agar keluar dari dalam rumah, sehingga mereka bisa

memadu kisah asmara. Biasanya sang pemuda tersebut memainkan genggong

dengan lagu tertentu yang telah dimengerti kekasihnya, sehingga dia akan keluar

dari dalam rumah. Keberadaan genggong saat ini diperkirakan sudah punah dari

kebudayaan musik Karo.

Tambur adalah alat musik pukul yang memiliki membrane yang terbuat

dari kulit binatang. Membrannya terdiri dari dua sisi (double headed drum) dan

kedua sisinya dipukul menggunakan tangan kanan dan kiri. Tangan kanan

menggunakan stick (pemukul_ sedangkan tangan kiri memukul menggunakan

jari-jari tangan si pemain. Tambur dahulunya sering di pergunakan dalam upacara

31
erpangir ku lau digabungkan dengan gendang lima sendalanen. Tetapi sekarang

keberadaan tambur sudah sangat sulit ditemukan.

Gambar 12 : Murbab Karo (Sumber Dok : Karosiadi.com)

c. Belobat Pingko-Pingko, Embal-embal dam Empi-empi

Belobat pingko-pingko terbuat dari bambu berukuran kecil, lubang nada

belobat ini sebanyak enam buah, lima buah ditengah dan satu buah dibawah.

Belobat pingko-pingko ini adalah biasanya dipakai oleh pengembala sapi dipadang

rumput.

Embal-embal dan empi-empi merupakan alat musik yang digunakan

sewaktu padi sudah menguning. Keduanya digunakan untuk hiburan pribadi

32
ketika menjaga padi dari gangguan burung di sawah. Embal-embal tergolong alat

musik aerophone single reed, dan pada ruas-ruas bambu dibuat lubang penghasil

nada. Lidah (reed) pada embal-embal terbuat dari badan bambu tersebut. Empi-

empi adalah sebuah alat musik yang tergolong aerophone multi reeds, empi-empi

terbuat dari sebuah batang padi yang sudah tua. Lidah (reeds) empi-empi terbuat

dari batang padi itu sendiri, dengan memecahkan sebagian kecil dari salah satu

ujung batang padi tersebut. Akibat terpecahnya bagian batang padi tersebut, maka

jika ditiup akan menghasilkan suatu bunyi dan empi-empi biasanya memiliki

empat lubang nada. Keberadaan embal-embal dam empi-empi saat ini sudah

sangat sulit untuk ditemukan baik daerah kota maupun desa di tanah Karo.

Gambar 13 : Belobat Pingko-pingko (Sumber dok : Eridianto Barus)

2.2.3 Seni suara (Vocal)

Dalam berkesenian, orang Karo tidak mengenal istilah seni suara (vocal),

namun biasanya orang yang bernyanyi sering disebut rende, dan penyanyi berarti

perende-ende. Jika seorang perende-ende juga pandai menari (landek) dan sudah

biasa bernyanyi sekaligus menari dalam suatu pesta gendang guro-guro aron,

maka sebutan untuknya telah berubah menjadi perkolong-kolong.

33
Kemampuan ini tidak terbatas hanya pada kemampuan menyanyikan lagu-

lagu Karo yang bertemakan percintaan atau muda-mudi, namun juga mampu

menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan pemasun-masun (nasihat-nasihat) yang

secara teks atau liriknya sangat bergantung kepada konteks suatu upacara. Artinya

melodi lagu pemasun-masun memang telah diketahui atau dihapal, namun lirik

dari melodi tersebut harus dibuat (dinyanyikan) sendiri oleh perkolong-kolong

tersebut pada saat bernyanyi sesuai dengan konteks yang sedang berlangsung pada

saat itu.

Diperkirakan pada zaman dahulu masyarakat Karo belum mengenal istilah

seni suara secara nyata. Kemudian dalam perkembangannya muncullah lagu-lagu

yang dibawakan seseorang sebagai ‘perende-ende’ (penyanyi). Lagu-lagunya

masih cenderung bertema kesedihan, dan lagu ini biasanya dibawakan untuk

pengantar sebuah cerita atau memuja seseorang, juga dibawakan untuk

menyampaikan doa seperti lagu didong-didong.

Sementara dalam perkembangan selanjutnya budaya Karo mengenal

beberapa jenis seni vocal diantara:

a. Katoneng-katoneng (nyanyian yang berisikan pengharapan)

b. Didong dong (nyanyian yang berisikan nasehat-nasehat)

c. Mangmang (nyanyian yang berisikan doa-doa)

d. Tangis-tangis (nyanyian ungkapan keluh kesah)

e. Turi-turin (nyanyian untuk menceritakan sebuah cerita)

f. Ende-enden (nyanyian muda-mudi)

34
Penyajian seni vocal katoneng-katoneng dan ende-enden dilakukan oleh

seorang penyanyi dan penari tradisional Karo (perkolong-kolong) didalam acara

adat dan hiburan. Sementara nyanyian mangmang dilakukan oleh seorang guru

sibaso (dukun) didalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan tradisional

(ritual). Sedangkan, nyanyian tangis-tangis dilakukan pada upacara kematian, dan

didong-dong biasanya dinyanyikan dalam upacara perkawinan.

2.4 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan sehari-hari yang terwujud pada sikap dan perilaku, fungsi dan tanggung

jawab suatu keluarga dengan keluarga lainnya secara menyeluruh sehingga

seluruh keluarga terintegrasi didalam sistem kekerabatan masyarakat tersebut.

1. Merga Silima

Sistem kekerabatan pada masyarakat Karo dikenal dengan istilah Merga

silima. Merga silima artinya terdapat lima kelompok marga pada masyarakat suku

Karo, yaitu : (Sarjani Tarigan 2012 : 42-47)

A. Karo-karo

B. Ginting

C. Tarigan

D. Sembiring

E. Perangin-angin

35
2. Tutur Siwaluh

Pengertian dari tutur siwaluh yaitu dibagi menjadi dua kata; tutur dan

waluh. Tutur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kedudukan dalam adat, dan

siwaluh adalah delapan. Jadi yang dimaksud dengan tutur siwaluh dalam

penelitian ini adalah delapan kedudukan dalam adat bagi masyarakat suku Karo

(Sarjani Tarigan 2012:50). Pembagian tutur siwaluh pada masyarakat Karo adalah

sebagai berikut :

1. Sembuyak, adalah orang-orang yang bersaudara (satu ayah dan satu

ibu), atau satu kakek. Misalnya, Rio Ginting, mempunyai adik laki-laki

yang berasal dari ayah dan ibu yang sama. Maka Rio dan adik laki-

lakinya adalah sembuyak.

2. Senina, adalah setiap orang yang memiliki merga yang sama, terkecuali

bila ada seorang laki-laki dan seorang perempuan memiliki merga yang

sama maka mereka adalah erturang. Misalnya, Rudi Tarigan dan Indra

Tarigan maka mereka adalah senina. Contoh lain Aldi Tarigan dan Susi

br. Tarigan maka mereka adalah erturang berdasarkan merga yang

sama walaupin tidak berasal dari satu kakek.

3. Senina sipemeren, adalah orang yang bersaudara (ersenina, erturang)

karena ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama. Misalnya,

Robert Barus mempunyai ibu br Ginting, dan Juan Tarigan memiliki

ibu br Ginting, maka mereka adalah senina sipemeren.

4. Senina siparibanen, adalah orang-orang yang bersaudara karena beru

istri mereka sama. Misalnya, Roni Ginting mempunyai istri beru

36
Tarigan, dan Bedu Barus mempunyai istru beru Tarigan. Maka mereka

dikatakan sebagai senina siparibanen.

5. Kalimbubu, yaitu kelompok pemberi istri bagi keluarga (merga)

tertentu. Misalnya, Henry Tarigan mempunyai istri beru Bangun. Maka

kalimbubu dari Henry adalah klan merga Bangun.

6. Puang kalimbubu, adalah kalimbubu dari kalimbubu atau dapat juga

disebut kalimbubu dari paman. Misalnya, Rudi Tarigan mempunyai ibu

beru Bangun bere-bere Sembiring, maka puang kalimbubu Rudi adalah

merga Sembiring.

7. Anak beru, adalah sekelompo yang mengambil istri dari keluarga

(merga) tertentu. Misalnya, Joni Tarigan menikah dengan seorang

perempuan beru Ginting. Maka Joni akan menjadi anak beru di

keluarga merga Ginting (istri).

8. Anak beru menteri, adalah anak beru dari anak beru. Misalnya, Riko

Ginting mempunyai saudara perempuan, kemudian saudara perempuan

Riko menikah dengan Aldo Tarigan. Dari hasil pernikahan itu lahirlah

seorang anak perempuan, yaitu Mbelgah br Tarigan. Kemudian

Mbelgah br Tarigan menikah dengan Tangke Bangun, maka Tangke

Bangun tersebut beserta keturunannya menjadi anak beru menteri di

keluarga Riko Ginting.

3. Rakut Sitelu

Rakut sitelu adalah gabungan dari dua kata yaitu Rakut yang mempunyai

arti ikatan, dan sitelu berarti tiga. Jadi pengertian rakut sitelu adalah tiga ikatan

37
yang berhubungan. Didalam masyarakat Karo rakut sitelu juga mempunyai

pengertian lain yaitu sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Yang dimaksud

dengan rakut sitelu adalah sebagai berikut:

1. Kalimbubu,adalah marga pihak pemberi istri, dan saudara laki-laki dari

pihak istri.

2. Anak beru, adalah anak perempuan yang dalam kehidupan masyarakat

Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga

tertentu.

3. Senina, adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan

adat. Pengertian lain dari senina yaitu orang yang mempunyai marga

yang sama dan masih satu keturunan atau masih terdapat satu marga.

Ketiga inilah yang disebut dengan rakut sitelu. Rakut sitelu sangat

berperan penting dalam upacara adat salah satu dari rakut sitelu belum hadir maka

upacara adat tersebut tidak dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.

38
BAB III

PROSES PEMBUATAN BELOBAT PINGKO – PINGKO

3.1 Klasifikasi Belobat Pingko-Pingko

Curt Sachs dan Erich Von Hornbostel adalah dua ahli organologi alat

musik (instrimentenkende) berkebangsaan Jerman, yang telah mengembangkan

satu sistem pengklasifikasian atau penggolongan alat-alat musik. Sistem

penggolongan alat musik Sahcs dan Hornbostel berdasarkan pada sumber

penggetar utama dari bunyi yang dihasilkan oleh sebuah alat musik. Selanjutnya

Sahcs-Hornbostel menggolongkan berbagai alat musik atas empat golongan besar,

yaitu:

A. Kordofon, dimana penggetar utama penghasil bunyi adalah dawai yang

direnggangkan. Contoh adalah gitar dan biola.

B. Aerofon, dimana penggetar utama penghasil bunyi adalah udara. Sebagai

contoh adalah sarune, terompet.

C. Membranofon, dimana penggetar utama penghasil bunyi adalah membrane

atau kulit. Contoh gendang dan drum.

D. Idiofon, dimana penggetar utama bunyi adalah badan atau tubuh dari alat

musik itu sendiri. Contoh adalah gong, symbal.

Maka belobat pingko-pingko dapat digolongkan menjadi alat musik

aerofon.

39
3.2 Konstruksi Belobat Pingko-Pingko

Untuk membahas bagian konstruksi ini, penulis mengacu pada belobat

pingko-pingko buatan bapak Simpei Sinulingga.instrument ini memiliki bagian-

bagian yang mempunyai fungsi masing-masing, antara lain sebagai berikut.

Keterangan :

1. Penutup (sompel) adalah bagian penutup untuk membuat tempat peniupan

(udara masuk)

2. Lubang suara (lobang sora), bagian pemecah udara.

3. Lubang nada, lubang penghasil nada-nada

4. Lubang tuldak, sebagai penentu nada dasar pingko-pingko

5. Lubang pinusu, lubang pembuangan udara

1
4

40
3.3 Teknik Pembuatan Belobat Pingko-pingko

Pembuatan belobat pingko-pingko seluruhnya dilakukan dengan cara

buatan tangan (hand made), meskipun seiring perkembangan waktu dan tentunya

perkembangan teknologi yang semakin maju saat ini sudah menggunakan

beberapa peralatan modern untuk membantu meringankan dalam proses

pembuatannya agar lebih cepat dan efisien dalam waktu pengerjaannya. Berikut

ini akan dijelaskan mengenai bahan-bahan, peralatan, dan teknik pembuatan

belobat pingko-pingko tersebut.

3.4 Bahan Baku yang Digunakan

3.4.1 Buluh Krapat (Bambu)

Didalam masyarakat Karo, memiliki banyak julukan terhadap bambu,

yakni seperti buluh mbelin, buluh krapat, buluh kuning. Buluh krapat adalah jenis

bambu yang menjadi bahan pembuatan belobat pingko-pingko. Pemilihan bambu

yang tepat adalah sebuah kunci untuk mendapatkan hasil alat musik yang baik.

Seperti kepercayaan masyarakat Karo, pengambilan bambu krapat biasanya

dilakukan pada sore hari dan pada hari bulan purnama raya (hari ke – 14 dalam

kalender Karo) karena dipercaya dalam kepercayaan masyarakat Karo lubang

bambu dalam keadaan bulat penuh seperti bulan. Bambu yang diambil adalah

bambu yang utuh sempurna (tidak ada yang patah / cacat dari pangkal ke ujung)

dan yang sudah sangat tua pangguhen (tingkat kekerasan pada bambu dalam

bahasa Karo). Di yakini akan menghasilkan suara yang baik (mersik).

41
Gambar 14 : Seruas buluh kerapat (bambu)

3.4.2 Kayu Ngalkal / Kayu Pohon Cabe

Kayu ngalkal atau kayu pohon cabe sebagai bahan baku pembuatan

penutup (sompel) lubang hembus pada belobat pingko-pingko. Pada proses

pembuatan sompel, sipembuat menggunakan kayu ngalkal dikarenakan bahan

tersebut lebih mudah di dapat pada lingkungan sipembuat dan kayu ini memiliki

tekstur kayu yang tidak terlalu keras sehingga kayu ngalkal sangat cocok untuk

pembuatan sompel pada belobat pingko-pingko.

Gambar 15 : sebilah kayu Ngalkal

42
3.5 Peralatan yang digunakan

3.5.1 Pisau

Pisau parang digunakan untuk memotong pohon bambu yang akan

digunakan sebagai bahan pembuatan belobat pingko-pingko.

Gambar 16 : Pisau

3.5.2 Gergaji

Gergaji digunakan untuk memotong bagian bambu yang telah dipilih

untuk dijadikan menjadi belobat pingko-pingko.

Gambar 17 : Gergaji

43
3.5.3 Pisau Ukir

Digunakan untuk pembuatan lubang sora dan sompel (penutup)

Gambar 18 : Pisau ukir

3.5.4 Temper

Temper didalam masyarakat karo adalah alat untuk memanggang. Tetapi,

dalam teknik pembuatan ini alat tersebut berfungsi untuk membuat lubang karena

temper tersebut terbuat dari sebilah besi bulat yang ukurannya tidak terlalu besar.

Temper yang digunakan memiliki 2 diameter yang berbeda yakni besar dan kecil,

yang digunakan untuk pembuatan lubang nada, lubang tuldak dan lubang pinusu.

Gambar 19 : temper berukuran kecil (diatas) dan besar (dibawah)

44
3.5.5 Kikir

Digunakan untuk memperbesar lubang sora, pinusu, dan nada.

Gambar 20 : Kikir

3.5.6 Lem (Getah Pohon)

Lem digunakan untuk merekatkan pada bagian penutup (sompel).

Dikarenakan untuk membantu meringankan proses pembuatan, getah pohon

digantikan dengan Lem modern.

Gambar 21 : Lem

45
3.5.7 Kertas Pasir Halus

Digunakan untuk memperhalus dan membersihkan bambu supaya

kelihatan indah.

Gambar 22 : Kertas pasir Halus

3.6 Proses Pembuatan

Dalam proses pembuatan belobat pingko-pingko dilakukan secara manual,

dari proses pengambilan bambu hingga finishing. Penulis mencantumkan tahap-

tahap pengerjaan dalam pembuatan belobat pingko-pingko.

Tabel 1:

Tahap Pengerjaan Dalam Pembuatan Belobat Pingko-Pingko

NO TAHAPAN BAGIAN PENGERJAAN

PENGERJAAN

1 Tahap I a. Pemilihan Bambu

b. Proses Pengukuran Panjang Belobat

Pingko-Pingko

46
2 Tahap II c. Proses Pembuatan Lubang Pinusu

d. Proses Pembuatan Lubang Sora

e. Proses Pembuatan Lubang Nada

f. Proses Pembuatan Penutup (Sompel)

3 Tahap III g. Pemotongan Penutup (Sompel)

h. Tahap Akhir (Finishing)

3.6.1 Pemilihan Bambu

Pemilihan bambu untuk pembuatan belobat pingko-pingko oleh Bapak

Simpei Sinulingga adalah bambu krapat. Biasanya beliau mengambil bambu

krapat yang ada di ladangnya. Menurut beliau, kriteria bambu untuk membuat alat

musik tersebut ialah bambu yang sudah tua (bambu yang telah menguning) dan

tidak memiliki cacat pada ruas bambu, dan berbentuk bulat penuh seperti bulan.

Gambar 23 : Seruas Buluh Kerapat (bambu)

47
Dalam pengukuran panjang belobat pingko-pingko menurut beliau tidak

ada ketetapan ukuran yang pasti. Teknik pengukuran pada zaman dahulu memakai

ukuran satu setengah atau dua jengkal jari sipemain dengan mengkondisikan

kondisi bambu dan beliau masih memakai teknik ukuran seperti ini.

Gambar 24 : gambar proses pengukuran panjang badan Belobat Pingko-Pingko

Pada proses pengukuran panjang batang belobat pingko-pingko, panjang

batang 36 cm.

3.6.2 Proses Pembuatan Lubang Pinusu

Untuk melubangi lubang pinusu, beliau menggunakan temper besar yang

telah dipanaskan terlebih dahulu diatas bara api dan melubanginya pada dinding

ruas bambu.

48
Gambar 25 : proses pelubangan lubang pinusu

3.6.3 Proses Pembuatan Lubang Sora

Untuk pembuatan lubang sora, alat yang digunakan adalah pisau ukir

dengan ukuran jarak antara lubang hembus dengan lubang sora adalah besar

diameter bambu sama dengan jarak antara lubang hembus dengan lubang sora.

Pada pembuatan lubang sora, jarak antara lubang hembus dengan lubang sora 1.5

cm, dan besar lubang sora 1.5 cm.

Gambar 26 : gambar proses pengukuran jarak lubang sora ke lubang tiup

Setelah mengukur jarak antara lubang hembus dengan lubang sora, dengan

memakai pisau ukir bapak simpei sinulingga membuat lubang sora.

49
Gambar 27 : gambar proses pembuatan lubang sora

Setelah diukir, lubang sora dikikir untuk mendapatkan bualatan yang baik

untuk memecah udara.

Gambar 28 : proses akhir pembuatan lubang sora

3.6.4 Proses Pembuatan Lubang Nada

Pembuatan lubang nada menurut Bapak Simpei Sinulingga untuk

mengukur jarak lubang nada belobat pingko-pingko dapat menggunakan teknik

sebagai berikut.

50
1. Panjang bambu belobat pingko-pingko dibagi dua, dan titik itulah yang

menjadi lubang pertama.

18cm

36cm

Gambar 29 : proses pengukuran lubang pertama

2. Panjang bambu dari lubang pertama sampai ujung bambu dibagi menjadi

tiga bagian, dan kedua titik itulah yang menjadi lubang ke empat dan kelima

6 cm

18cm 6 cm

6 cm

Gambar 30 : proses pengukuran lubang ke empat dan kelima

51
3. Panjang bambu dari lubang pertama sampai lubang ke empat dibagi

menjadi tiga bagian, dan kedua titik itulah yang menjadi lubang ke dua dan

ke tiga.

2cm
6 cm
2cm
2cm

Gambar 31 : proses pengukuran lubang ke dua dan ketiga

4. Panjang bambu dari lubang ke lima sampai ujung bambu di bagi menjadi

tiga bagian, dan titik pertama dari lubang ke lima adalah yang akan

menjadi lubang ke enam.

2 cm

6 cm

Gambar 32 : proses pengukuran lubang ke enam (lubang tuldak)

52
Setelah melakukan proses pembuatan ukuran lubang pada batang belobat pingko-pingko

maka, kita dapat melihat hasil akhir seperti gambar berikut.

1.5 cm
1.5 cm

15 cm

2 cm
6 cm 2 cm
2 cm
36cm
6 cm

2 cm

4cm

Setelah menentukan titik lubang nada, beliau mempersiapkan temper

(kecil) yang telah dipanaskan di atas bara api untuk membuat lubang nada dari

lubang pinusu.

Gambar 33 : proses pelubangan lubang pinusu

53
Setelah lubang pinusu terbentuk, beliau mempersiapkan temper (besar) yang telah

dipanaskan untuk membuat lubang nada.

Gambar 34 : proses pelubangan lubang ke lima (kiri) dan pelubangan lubang ke empat (kanan)

Gambar 35 : proses pelubangan lubang ke tiga (kiri) dan pelubangan lubang ke dua (kanan)

Gambar 36 : proses pelubangan lubang pertama

3.6.5 Proses Pembuatan Penutup (Sompel)

Bahan yang digunakan untuk pembuatan penutup (sompel) adalah batang

kayu ngalkal dengan ukuran panjang sama dengan diameter bambu. Beliau

mengikis salah satu sisi kayu yang akan dimasukkan pada lubang hembus dan

sejajar dengan lubang sora.

54
Pembuatan penutup (sompel) ini sangat penting dalam pemuatan belobat

pingko-pingko karena jika sompel tidak pas dengan lubang sora maka alat musik

tersebut tidak akan bisa mengeluarkan bunyi dengan baik (mersik).

Gambar 37 : proses pembuatan sompel (penutup)

Setelah dicoba dan memiliki hasil bunyi yang diinginkan, beliau

memberikan perekat (lem) pada sisi-sisi sompel agar pada proses pemotongan

sompel tidak lepas

55
Gambar 38 : proses pengeleman sompel (penutup)

3.6.6 Pemotongan Penutup (Sompel)

Pemotongan Sompel dilakukan jika kayu sompel terlalu panjang. Ini

dilakukan untuk mempermudah sipemain untuk memainkan alat musik tersebut.

Gambar 39 :Proses pemotongan Sompel ( penutup )

3.6.7 Tahap Akhir (Finishing)

Proses ini merupakan bagian akhir dari proses pembuatannya. Untuk

memperindah belobat pingko-pingko beliau mengukir bambu pada bagian ujung

bambu (dekat lubang pinusu) dan mengamplas bambu memakai kertas pasir halus

untuk mengeluarkan warna bambu.

56
Gambar 40 : proses finishing (pengukiran pada ruas bagian bawah bambu dan proses penghalusan

bambu

57
BAB IV

DESKRIPSI TEKNIK PERMAINAN BELOBAT PINGKO-PINGKO

4.1 Struktur Belobat Pingko-Pingko

Belobat pingko-pingko adalah jenis alat musik tiup yang terbuat dari

bambu (block flute). Alat musik ini termasuk keluarga aerophone, yang sumber

bunyinya berasal dari udara yang ditiupkan ke dalam alat musik itu sendiri.

1. Lubang Hembus, tempat dimana udara masuk kedalam alat musik tersebut

2. Lubang Sora, adalah lubang pemecah udara untuk menghasilkan bunyi

3. Lubang Nada, adalah lubang untuk menghasilkan atau member berubahan

nada

4. Lubang Tuldak, untuk memberikan nada yang lebih tinggi (nyaring)

5. Lubang Pinusu, adalah lubang tempat pembuangan udara.

1
5
4

58
4.2 Proses Belajar Memainkan Belobat Pingko-Pingko

Untuk teknik memainkan belobat pingko-pingko memiliki kesamaan

dalam teknik memainkan sarune, surdam, dan belobat yaitu adalah teknik meniup

pulunama. Teknik pulunama yang berarti nafas yang berulang. Pulunama adalah

teknik peniupan dengan cara menghirup udara melalui rongga hidung dan

memasukkan udara ke rongga perut (diafragma), lalu mengeluarkan udara

tersebut dengan tekanan tiupan dari mulut. Pada saat meniup, kedua pipi

cenderung selalu dipertahankan menggelembung terutama pada porsi udara

terakhit yang dihirup sedang dikeluarkan dari paru-paru menuju rongga mulut.

Kemudian pada saat udara dihirup masuk melalui hidung, cadangan udara yang

tersimpan pada kedua rongga pipi ditiupkan kedalam alat musik tersebut sampai

dapat mengisinya kembali denggan pasokan udara yang baru dihirup.

Seperti penuturan Bapak Ngadi Manik, teknik tersebut tidak hanya

dilakukan pada permainan sarune dan surdam saja, teknik tersebut bisa juga

dipakai untuk memainkan belobat pingko-pingko. Biasanya untuk melatih teknik

tersebut, dapat melakukan latihan di gelas yang berisi air dan menggunakan pipet

sebagai alat untuk meniup air tersebut. Air yang ditiup menggunakan pipet

menghasilkan gelembung-gelembung kecil dan gelembung yang dihasilkan harus

stabil dan tidak boleh berhenti. Cara lain juga dapat dilakukan dengan cara

menggunakan alat musik tersebut secara langsung dan menghasilkan bunyi atau

volume suara yang tetap stabil.

59
4.3 Posisi Jari dalam Memainkan Belobat Pingko-Pingko

Belobat pingko-pingko memiliki 6 buah lubang terdiri dari 5 lubang nada

dan 1 lubang tuldak yang dimana lubang tuldak tidak pernah ditutup. Posisi

memainkan belobat pingko-pingko dengan memakai kedua tangan dan jari-jari

berfungsi untuk menutup dan membuka lobang-lobang nada pada batang belobat

pingko-pingko. Lubang 1 ditutup oleh jari telunjuk tangan kiri, lubang 2 ditutup

oleh jari tengah tangan kiri, dan lubang 3 ditutup oleh jari manis tangan kiri.

Lobang ke 4 ditutup oleh jari telunjuk tangan kanan dan lobang ke 5 ditutup

dengan jari manis tangan kanan. Pada lobang ke 6 dibiarkan terbuka.

Lubang 1
Lubang 2
Lubang 3
Lubang 4

Lubang 5
Lubang 6

Gambar 41 : tampilan belobat pingko-pingko

60
4.3.1 Penjarian dalam Memainkan Belobat Pingko-Pingko

Belobat pingko-pingko memiliki penjarian untuk menghasilkan nada-nada

dan sebelum kita membahas tentang teknik permainan belobat pingko-pingko, kita

juga harus mengetahui bahwa belobat pingko-pingko memiliki nada dasar yang

berbeda-beda. Dan nada yang dihasilkan pada belobat pingko-pingko ini selalu

pada nada yang tinggi. Berikutlah penjelasan tentang penjarian pada belobat

pingko-pingko tersebut :

a. Apa bila kelima lubang nada ditutup dan lubang tuldak dibiarkan terbuka

akan menghasilkan nada C

Gambar 42 : posisi jari pada nada C

b. Apa bila lubang pertama hingga lubang ke empat ditutup dan membiarkan

lubang ke lima dan lubang tuldak terbuka akan menghasilkan nada D

61
Gambar 43 : posisi jari pada nada D

c. Apa bila lubang pertama hingga lubang ke tiga di tutup dan lubang ke

empat, lubang ke lima dan lubang tuldak terbuka akan menghasilkan nada F

Gambar 44 : posisi jari pada nada F

62
d. Apa bila lubang pertama dan kedua ditutup dan lubang ketiga hingga

kelima demikian juga lubang tuldak terbuka akan menghasilkan nada G

Gambar 45 : posisi jari pada nada G

e. Apa bila lubang pertama dan lubang kelima ditutup dan lubang kedua,

ketiga, keempat demikian juga lubang tuldak terbuka akan menghasilkan

nada A

Gambar 46 : posisi jari pada nada A

63
f. Apa bila lubang kelima ditutup dan lubang pertama hingga lubang keempat,

demikian juga lubang tuldak terbuka akan menghasilkan nada Bes.

Gambar 47 s: posisi jari pada nada Bes

Dalam penelitian saya, untuk menganalisis nada disetiap lubang nada pada

belobat pingko-pingko dengan memakai tunner dan piano. Untuk penjarian pada

nada A dan Bes apa bila pada lubang kelima tetap dibuka tidak mempengaruhi

pada frekuensi nada, hanya saja pada teknik penjarian belobat pingko-pingko

menutup lubang kelima pada nada A dan Bes adalah teknik penjarian secara

tradisional.

4.4 Teknik Memainkan Belobat Pingko-Pingko

Dari wawancara yang penulis dapatkan dari informan ada beberapa teknik

permainan belobat pingko-pingko.

64
4.4.1 Pulunama

Pulunama ataupun didalam bahasa etnomusikologinya disebut circular

breathing adalah sebuah teknik dalam bermain belobat pingko-pingko, yaitu

teknik meniup yang berarti teknik pernafasan yang berulang. Teknik ini

mengharuskan meniup dilakukan sambil menarik nafas secara bolak-balik tanpa

menghentikan bunyi belobat pingko-pingko. Prinsip dasarnya ialah menghirup

udara melalui rongga hidung dan memasukkan udara tersebut ke dalam rongga

perut (diafragma), lalu mengeluarkan udara tersebut dengan tiupan dari mulut.

4.4.2 Rengget

Rengget merupakan suatu ciri khas kebudayaan Karo. Rengget biasanyya

digunakan pada akhir pemenggalan kalimat didalam suatu lagu yang merupakan

sejenis nada melismatis yang sering digunakan dalam lagu karo. Didalam musik

Karo rengget tidak hanya digunakan pada musik vocal saja tetapi juga digunakan

dalam alat musik Karo yang berfungsi sebagai pembawa melodi baik itu sarune,

kulcapi, belobat, dan surdam. Berikut adalah contoh rengget pada belobat pingko-

pingko.

65
4.4.3 Teknik Dilah-dilah

Dilah-dilah yaitu teknik memainkan belobat pingko-pingko dengan cara

menyentuhkan lidah ke lubang hembus untuk menghasilkan egek bunyi yang

pendek-pendek. Dilah dalam bahasa Karo berarti lidah.

4.5 Proses Transkripsi Lagu Tangis-Tangis

Sebelum mentranskripsi, penulis terlebih dahulu merekam lagu tangis-

tangis denggan menggunakan handphone vivo sebagai alat perekam audio dan

video. Setelah merekam lagu tangis-tangis yang dimainkan oleh Bapak Ngadi

Manik, penulis mendengar secara berulang-ulang dan menggunakan keyboard

untuk mencari nada dengan pilihan voice, serta menggunakan software Sibelius 7

untuk menuliskannya kedalam tulisan.

66
4.6 Transkripsi Lagu Tangis-Tangis pada Belobat Pingko-Pingko

4.7 Tangga Nada

Untuk mendeskripsikan tangga nada menurut Malm adalah menyusun

semua nada yang dipakai dalam melodi lagu tangis-tangis. Maka, dengan ini

67
penulis akan menyusun nada-nada yang terdapat dalam melodi lagu tersebut mulai

dari nada terendah hingga nada tertinggi.

C D F G A

Dari hasil analisis pada tangga nada lagu tangis-tangis, maka diperoleh

kesimpulan lagu tangis-tangis menggunakan 5 nada, yang terdiri atas C-D-F-G-A

4.8 Jumlah Nada (Frequency of Note)

Netll (1964:146) menyatakan dalam mentranskripsikan modus lagu paling

tidak menyebut nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar, nada-nada yang

dianggap penting dalam lagu tersebut, serta nada-nada pendamping lainnya. Lebih

lanjut Netll mengatakan bahwa gambaran tangga nada dan modus biasanya

disampaikan lewat notasi (tangga nada) yang ditulis diatas garis paranada dengan

harga-harga yang menandai nada mana yang sering digunakan dan yang tidak

sering digunakan.

Berikut adalah nada-nada yang dipakai pada lagu tangis-tangis:

68
Tabel 2 : jumlah nada

Dari table diatas dapat kita lihat bahwa jumlah nada C 10 buah nada,

jumlah nada D 27 buah, jumlah nada F 70 buah, jumlah nada G 54 buah, dan

jumlah nada A 7 buah. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa nada yang

sering dipakai adalah nada F dengan jumlah 70 buah nada dan nada yang paling

sedikit digunakan adalah nada A dengan jumlah 7 buah nada.

4.9 Nada Dasar

Nada dasar pada sebuah lagu atau musik sangatlah berperan penting. Nettl

(1964:147) mengemukakan tentang metode atau pendekatan dalam menemukan

nada dasar pada sebuah lagu atau musik. Ada enam yang diusulkan menjadi

perhatian penting, yaitu :

a. Melihat nada mana yang sering dipakai

b. Melihat nada mana yang memiliki ritmis (harga ritmis) yang besar

69
c. Melihat nada awal atau akhir suatu komposisi yang dianggap mempunyai

fungsi penting dalam penentuan tonalitas (nada dasar)

d. Nada paling rendah atau posisi tepat ditengah-tengah dianggap penting

e. Adanya tekanan ritmis sebagai patokan

f. Pengenalan yang akrab dengan gaya musik

Dari hasil analisis transkripsi lagu tangis-tangis diatas, khususnya tangga

nada dan jumlah nada yang digunakan penulis sebagai acuan untuk menjawab

keenam pendekatan untuk menemukan nada dasar pada sebuah reportoar atau lagu

sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Nada yang sering digunakan untuk lagu tangis-tangis adalah nada F

b. Nada yang memiliki ritmis pada lagu tangis-tangis adalah nada G

c. Nada awal komposisi lagu tangis-tangis adalah nada D dan nada akhirnya

adalah nada D

d. Nada yang paling rendah pada lagu tangis-tangis adalah nada C dan nada

tengah adalah nada F

e. Nada yang memiliki tekanan ritmis pada lagu tangis-tangis D

f. Pengenalan yang akrab dengan gaya musik pada lagu tangis-tangis adalah

nada F

Dari keenam analisis diatas, maka dapat disimpulkan nada dasar

transkripsi melodi belobat pingko-pingko dari lagu tangis-tangis adalah nada F

70
4.10 Wilayah Nada

Metode untuk menentukan wilayah nada berdasarkan ambitus suara yang

terdengar secara alami, ditentukan oleh suara penghasil bunyi itu sendiri, yaitu

dengan memperhatikan nada yang paling rendah dan nada paling tinggi.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ellis dalam Malm (1977:35)

tentang perhitungan frekuensi nada dengan menggunakan cent, yaitu nada-nada

yang berjarak 1 laras sama dengan 200 cent, dan nada-nada berjarak ½ laras sama

dengan 100 cent.

Dengan melihat nada-nada yang telah di transkripsikan, maka lagu –angis-

tangis memiliki wilayah nada dari nada C (terendah) hingga nada A (tertinggi)

yang semuanya berjarak 4½ laras atau sama dengan 900 Cent. Untuk lebih

jelasnya wilayah nada lagu tangis-tangis dapat dilihat dari garis para nada

dibawah ini :

4.11 Interval nada

Interval nada adalah jarak antara suatu nada dengan nada berikutnya, naik

maupun turun (Manoff 1991:50). Pada suatu komposisi lagu interval adalah

penggarapan melodi yang dicapai melalui bangunan nada secara melangkah atau

71
melompat, turun, maupun mendatar. Manoff (1991:84) membuat pengukuran

yang lebih akurat terhadap interval dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Interval berkualitas mayor (M) bila dinaikkan setengah langkah, maka

interval tersebut akan berkualitas auqmented (Aug) dan jika diturunkan

setengah langkah akan berkualitas minor (m)

b. Interval berkualitas minor bila dinaikkan setengah langkah akan

menjadi mayor dan sebaliknya jika diturunkan setengah langkah akan

menjadi diminished (dim).

c. Interval berkualitas perfect (P) bila dinaikkan setengah langkah akan

menjadi interval auqmented dan sebaliknya jika diturunkan setengah

langkah akan menjadi interval diminished.

Berikut ini, penulis akan mengambil contoh interval yang ada pada lagu

tangis-tangis yang dimainkan dengan alat musik belobat pingko-pingko.

Tabel 3 : Interval Nada

72
Dari tabel interval diatas, maka dapat disimpulkan interval yang sering

muncul dalam lagu tangis-tangis yang dimainkan dengan instrumental belobat

pingko-pingko adalah interval sekunda mayor sebanyak 34 kali.

4.12 Pola Kadensa (Cadence Patterns)

Kandens adalah nada akhir dari suatu bagian melodi lagu yang biasanya

ditandai dengan nada istirahat. Pola kadensa dapat dibagi menjadi dua bagian,

yaitu : semi kadensa (half cadence) dan kadensa penuh (full cadence). Semi

kadens (half cadense) adalah suatu bentuk istirahat yang tidak lengkap atau tidak

selesai (complete) dan memberi kesan adanya gerakan ritem yang lebih lanjut.

Sedangkan kadens penuh (full cadense) adalah suatu bentuk istirahat diakhir frasa

yang terasa selesai (complete) sehingga pola kadensa seperti ini tidak memberikan

keinginan atau kesan untuk menambah gerakan ritem.

a.

b.

Pada pola 1, bentuk birama ini muncul pada birama ke delapan (8) sebagai

bagian akhir untuk mewakili awal dari permainan instrument belobat pingko-

pingko dalam lagu tangis-tangis. Kemudian pada bagian ke-2, bentuk birama ini

73
muncul pada birama ke – 25 sebagai penutup dari lagu tangis-tangis. Dari kedua

contoh pola kadensa diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat motif melodi

yang sama namun terdapat perbedaan dari harga ketukan (ritme).

4.13 Formula Melodi (Melodie Formula)

Dalam mendeskripsikan formula melodi, ada tiga hal penting untuk

dibahas, yaitu bentuk, frasa, dan motif. Netll (1964:149-150) mengatakan bahwa

bentuk adalah hubungan antara bagian-bagian dari sebuah komposisi, termasuk

hubungan diantara unsur-unsur melodis dan ritmis, atau dengan pemahaman

sederhananya adalah bentuk merupakan suatu aspek yang menguraikan tentang

organisasi musikal. Frasa adalah suatu unit dari melodi di dalam komposisi.

Sedangkan motif adalah ide melodi sebagai dasar pembentukan melodi.

A. Bentuk (form) Melodi

Ada beberapa jenis bentuk (form) menurut Malm (1976:8) antara lain :

a. Repetitive, yaitu bentuk nyanyian yang mengalami pengulangan.

b. Ireratif, yaitu suatu bentuk nyanyian yang menggunakan formula melodi

yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam

keseluruhan nyanyian.

c. Reverting, yaitu suatu bentuk nyanyian apabila didalam nyanyian terjadi

pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan melodis.

d. Strofic, yaitu bentuk nyanyian diulang dengan formalitas yang sama

namun menggunakan teks yang baru.

e. Progressive, yaitu bentuk nyanyian selalu berubah dengan menggunakan

materi melodi yang selalu baru.

74
Bentuk (form) Melodi dari Transkripsi Lagu Tangis-Tangis

Secara garis besar, bentuk melodi lagu tangis-tangis memiliki bentuk

pengulangan yang ireratif dan stropic. Jika dirumuskan dalam format huruf

kapital, maka dapat disusun sebagai berikut : AA1, BB1, C, D, E dan F. bentuk A

75
terjadi pengulangan sebanyak dua kali dengan frasa melodi yang sedikit berbeda.

Begitu juga dengan bentuk B terjadi pengulangan sebanyak dua kali dengan frasa

melodi yang cenderung sedikit berbeda. Pada birama ke -13 terjadi bentuk yang

stropic dengan munculnya awal birama melodi yang berbeda seperti bagian C, D,

E dan F.

B. Frasa Melodi

2.

3.

Pada bagian frasa, melodi tangis-tangis memiliki tiga frasa sebagai ciri

khas melodi. Pada bagian 1, frasa melodi tersebut muncul pada bagian awal lagu.

Pada bagian 2, frasa melodi tersebut muncul pada birama ke-9 sebagai karakter

melodi di bagian pertengahan lagu. Kemudian pada bagian ke 3, frasa melodi

76
tersebut muncul pada birama ke-13 sebagai ciri khas melodi pada bagian akhir

lagu.

4.14 Kantur (Contour)

Kontur adalah garis atau melodi pada sebuah lagu (Malm 1964:8). Definisi

yang sama kontur adalah alur melodi yang biasanya ditandai dengan menarik

garis. Ada beberapa jenis kontur yang dikemukakan oleh Malm (Malm dalam

Jonson 2000:76), antara lain :

a. Ascending, yaitu garis melodi yang bersifat naik dari nada rendah ke nada

yang lebih tinggi.

b. Descending, yaitu garis melodi yang sifatnya turun dari nada yang tinggi

ke nada yang rendah.

c. Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari nada yang

rendah ke nada yang tinggi, kemudian kembali ke nada yang rendah.

Begitu juga sebaliknya.

d. Terraced, yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga

dari nada yang rendah ke nada yang paling tinggi kemudian sejajar.

e. Static, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap atau apabila gerakan-gerakan

intervalnya terbatas.

Dalam lagu tangis-tangis memiliki dua jenis kantur yaitu :

77
Pendulous.

Static

78
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan pengkajian tentang pembuatan dan

teknik permainan belobat pingko-pingko, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan :

1. Dalam proses pembuatan alat musik belobat pingko-pingko ada beberapa

bagian penting untuk diperhatikan, yaitu:

a. Pada proses pemilihan dan pengukuran bambu harus memenuhi

kriteria bambu yang sudah tua, tidak memiliki cacat pada ruas bambu

dan berbentuk bulat penuh.

b. Pada proses pembuatan lubang sora dan sompel, membutuhkan

ketelitian dan kesabaran dalam proses ini. Karena juga tidak akan

menimbulkan alat musik tersebut tidak bisa menghasilkan bunyi atau

bunyi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.

c. Pada proses pembuatan lubang nada, membutuhkan ketelitian dalam

mengukur jarak antara lubang nada dan sejajar dengan lubang sora.

2. Untuk memainkan belobat pingko-pingko ada beberapa hal yang harus

diketahui :

a. Seseorang yang ingin belajar memainkan belobat pingko-pingko

terlebih dahulu harus mengenal setiap fungsi lubang nada.

b. Seseorang yang ingin belajar memainkan belobat pingko-pingko harus

menguasai teknik rengget, karena teknik rengget adalah teknik

79
permainan yang menghasilkan ciri khas melodi Karo. Dan juga teknik

pulnama atau circular breathing. Teknik ini tidak hanya ada pada

sarune dan surdam, pada belobat pingko-pingko juga terkadang

memakai teknik pulnama pada bagian-bagian tertentu.

c. Dalam penelitian teknik permainan belobat pingko-pingko, ada satu hal

yang menurut saya unik karena untuk menghasilkan nada A dan Bes,

lubang ke lima ditutup. Berbeda dengan alat musik tiup Karo lainnya

yang untuk menghasilkan bunyi nada selanjutnya tidak metutup lubang

nada dibawahnya.

5.2 Saran

Berhubungan dengan kajian dalam tulisan ini, penulis berharap supaya

nantinya ada penelitian lajutan yang kiranya dapat menyempurnakan tulisan ini,

karena penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam membuat tulisan

tentang proses pembuatan dan teknik memainkan alat musik belobat pingko-

pingko sehingga dapat menjadi refrensi baru. Untuk itu penulis menyarankan agar

kiranya nanti untuk penelitian lanjutan supaya meneliti lagi aspek-aspek yang

berkaitan dengan belobat pingko-pingko seperti ;

1. Mengkaji tentang penggunaan dan fungsi (use and fungsion) belobat

pingko-pingko dalam masyarakat Karo.

2. Teknik pembuatan ornament karo pada alat musik Karo khususnya belobat

pingko-pingko.

80
3. Mengkaji struktur melodi belobat pingko-pingko dalam sebuah lagu

khusus pada alat musik belobat pingko-pingko, yang lebih jelas dan

mendalam

Selain hal diatas penulis juga menyatankan agar kiranya masyarakat, pihak

pemerintah dan pihak swasta yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat

Karo, agar kiranya dapat bersama-sama untuk menjaga, melestarikan dan

merevitalisasi budaya Karo yang telah lama hilang atau telah lama tidak

digunakan, sehingga terciptanya suatu kebudayaan yang memang sesuai dengan

nilai-nilai maupun norma yang berlaku dalam masyarakat Karo, untuk memenuhi

kebutuhan demi keberlangsungan hidup masyarakat Karo.

Semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap

apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan

bidang etnomusikologi secara khusus.

81
DAFTAR PUSTAKA

Bongdan dan Taylor. 1975. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja


Karya.
Bugin, Burhan, 2007, Penelitian Kualitatif, Jakarta : Kencana Prenada Media
Grup.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta : Balai Pustaka.
Hood, Mantle, 1982, The Etnomusikologist, New Edition Kent, The Kent State:
University Press.
Hornbostel, Erich M. Von And Curt Sach, 1961, Clasifikation of Musical
Instrument, Translate from original German by Antonie Banes and Klaus
P. Wachsman.
https://www.karosiadi.com
https://www.wikipedia.com
https://www.nisura.blogspot.com
Khasima, Susumu, 1978, Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik, Terjemahan
Rizaldi Siagian.
Khasima, Susumu. Asia Performing Art.
Koentjaraningrat, 1985, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru
Koentjaraningrat, 1986, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Koentjaraningrat (ed), 1997, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta :
Gramedia.
Koentjaraningrat, 1982, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Djamban
Koentjaraningrat, 1980, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta : Gramedia.
Merriam, Alan P, 1964, The Antropology of Music, Illionis : North-Western
University Press.
Moleong,L.J, 1990 Penelitian Metodologi Kualitatif, Jakarta, Rosda Karya.
Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia
(terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara (terjemahan Takari).
Nazir, 1988, Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Nettl, Bruno, 1964, Theory and Method in Etnomusicology, New York : The Free
Press of Glencoe.
Supanggah, Rahayu, 1995, Etnomusikologi, Yayasan Bentang Budaya :
Yogyakarta
Tarigan, Sarjani, 2008, Dinamika Orang Karo, Budaya, dan Modernisme, Medan
: Abdi Karya.
Tarigan, Sarjani, 2009, Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya.
Medan.
Tarigan, Sarjani, 2011. Kepercayaan Orang Karo. Medan : Press

82
DATA INFORMAN
1. Nama : Simpei Sinulingga
Umur : 55 Tahun
Pekerjaan : Seniman, Pengelola Sanggar Seni nggara si mbelin di
Desa Lingga, Kec. Simpang Empat
Alamat : Desa Lingga, Kec. Simpang Empat
2. Nama : Venos Sinulingga
Umur : 20 Tahun
Pekerjaan : Seniman Pemusik Karo dan Petani
Alamat : Desa Lingga, Kec. Simpang Empat
3. Nama : Ngadi Manik
Umur : 82 Tahun
Pekerjaan : Bertani, Seniman Pemusik Karo
Alamat : Desa Lingga, Kec. Simpang Empat
4. Nama : Selamet Ginting
Umur : 74 Tahun
Pekerjaan : Bertani, Seniman Pemusik Karo
Alamat : Desa Lingga, Kec. Simpang Empat
5. Nama : Yahmin Sinulingga
Umur : 70 Tahun
Pekerjaan : Bertani, Seniman Pemusik Karo
Alamat : Desa Lingga, Kec. Simpang Empat

83

Anda mungkin juga menyukai