Anda di halaman 1dari 116

STRUKTUR GENDANG MAYAN DALAM MENGIRINGI NDIKKAR SEBAGAI

SENI PERTUNJUKKAN DALAM MASYARAKAT KARO

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O
L
E
H

NAMA : TIMOTIUS AGI


NIM : 120707046

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


ii

Universitas Sumatera Utara


PENGESAHAN

DITERIMA

OLEH :

Panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara


untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Hari :
Tanggal :

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. ( )

2. ( )

3. ( )

4. ( )

iii

Universitas Sumatera Utara


DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI


KETUA,

Arifninetrirosa, SST, M.A


NIP. 196502191994032002

iv

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis

atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan

disebutkan dalam Daftar Pustaka

Medan, Agustus 2019

TIMOTIUS AGI
NIM 120707046

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Struktur Gendang Mayan dalam Mengiringi Ndikkar Sebagai
Seni Pertunjukkan dalam masyarakat Karo. Ndikkar adalah seni beladiri
tradisional yang telah membudaya di masyarakat Karo. Sebutan kepada orang
yang melakukan Ndikkar adalah Pandikkar. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan pertunjukkan Ndikkar pada masyarakat Karo sekaligus
mengetahui struktur Gendang mayan. Gendang mayan adalah jenis reportoar
musik dalam mengiringi Ndikkar. Untuk menjawab permasalahan di atas penulis
menggunakan teori komposisi musikal (Bruno Nettl) dan analisis seni
pertunjukkan budaya (Milton Singer). Metode yang digunakan adalah metode
Kualitatif dengan melakukan observasi, wawancara, dan perekaman. Adapun
hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kesenian Ndikkar
pada masa sekarang mulai hilang dan sulitnya regenerasi.
Kata Kunci: Ndikkar, Gendang Mayan, Seni Pertunjukkan

vi

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan hormat penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dan kira

kita semua selalu diberkati

Skripsi ini berjudul :”STRUKTUR GENDANG MAYAN DALAM MENGIRINGI

NDIKKAR SEBAGAI SENI PERTUNJUKKAN DALAM MASYRAKAT KARO”,

skripsi ini merupakan suatu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) di Program

Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam tulisan

ini. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis minta maaf kepada pembaca dan pembaca pun

dapat memaklumi setiap kesalahan yang terdapat di dalam tulisan ini.

Dalam proses penyelesaian studi dan skripsi ini, tentunya banyak orang-orang yang

secara bersama membantu dan memberi dukungan kepada penulis. Untuk itu pada

kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar -

besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara yang telah mengesahkan secara resmi judul

penelitian sebagai bahan penulisan skripsi sehingga pengerjaan skripsi

berjalan dengan lancar.

2. Ketua Program studi Etnomusikologi ibu Arifninetrirosa, SST, M.A, bapak

Drs. Bebas Sembiring, M.Si selaku sekretaris Etnomusikologi, ibu wahyuni

selaku Pegawai di Program studi Etnomusikologi yang telah memberikan

dukungan dan bantuan dalam administrasi serta registrasi perkuliahaan selama

masa kuliah dan penyelesaian tugas akhir penulis.

vii

Universitas Sumatera Utara


3. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Ph. D dan Bapak Drs. Prikuten Tarigan,

M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bantuan,

arahan, semangat dan telah membimbing penulis dengan baik dalam

penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Staff Pengajar di Program studi Etnomusikologi yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu, atas segala bantuan, arahan, pengalaman, saran bahkan

kritikkan selama proses perkuliahaan serta dukungannya hingga akhirnya saya

dapat menyelesaikan tulisan berupa skripsi ini.

5. Orang Tua tercinta penulis, ayah Jonrit Wantoni Surbakti, ibu Christina

Bochem Asamtaras br.Pandia, Abang Dony Christofel Elieser Surbakti,

Paulus Kaka Surbakti, atas segala bantuan, dukungan dan pengorbanan kalian,

dalam membimbing saya sebagai seorang anak/adik yang bertanggung jawab

atas segala yang saya jalani, seperti dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Teman-teman seperjuangan stambuk 2012 Etnomusikologi, Teman-teman dan

seluruh mahasiswa/mahasiswi etnomusikologi serta seluruh keluarga besar

Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi atas pengalaman, pembelajaran, bantuan,

semangat dan kerja sama kalian selama ini baik suka maupun duka. Saya

sangat-sangat berterima kasih atas semua pengalaman yang luar biasa ini.

7. Penulis juga mengucapkan terima kasih kapada teman-teman PERMATA

runggun Berastagi Kota yang telah memberikan doa dan semangat kepada

penulis. Penulis pun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-

teman PELLERAY yaitu Michael Sembiring, Ekin Perangin-angin, Jimmy

Saragih, Nikro Tarigan, Elo Ginting, Ray Ginting, Arjun Barus, Haganta

Sembiring, Deny Setiowiguna, Cokyo Tarigan, Adrian Sinulingga, Reza

Perangin-angin, Yahya Tarigan, Andis dan Andi Ginting.

viii
viii
viii Universitas Sumatera Utara
8. Seluruh informan yang telah bersedia membantu dan menerima penulis

selama melakukan penelitian, bapak Iyahmin Sinulingga, salah satu Pesilat di

desa Lingga Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, bapak Deking

Sinulaki, salah satu seniman Karo, bapak Malem Ukur Ginting, salah satu

pemerhati budaya/adat dan instruktur tari, serta bapak Jonson Sinulingga,

selaku tokoh adat desa Lingga, serta Saudara-saudara tercinta yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu untuk dukungan moril maupun materi yang

telah diberikan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak memiliki kekurangan dan masih jauh

dari kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis

menerima kritik dan saran dari pembaca hingga pada akhirnya penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan Etnomusikologi,

Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Budaya.

Akhir kata, kira tulisan ini bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pendidikan

kebudayaan dan sebagai bahan penelitian selanjutnya.

Medan, Agustus 2019

TIMOTIUS AGI
NIM 120707046

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................i


LEMBAR PENGESAHAAN ....................................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................................................iii
ABSTRAK ........................................................................................................... ......................iv
KATA PENGANTAR......................................................................................... ......................v
DAFTAR ISI........................................................................................................ ......................vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... ......................vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ......................vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang......................................................................................................1
1.2 Pokok-pokok permasalahan .................................................................................5
1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian ............................................................................5
1.3.1 Tujuan Penelitian ........................................................................................5
1.3.2 Manfaat Penelitian .....................................................................................6
1.4 Konsep dan Teori .................................................................................................6
1.4.1 Konsep ........................................................................................................6
1.4.2 Teori ............................................................................................................7
1.5 Metode Penelitian ................................................................................................9
1.5.1 Studi Kepustakaan ......................................................................................9
1.5.2 Penelitian lapangan .....................................................................................9
1.5.2.1 Observasi.........................................................................................10
1.5.2.2 Perekaman.......................................................................................10
1.5.2.3 Wawancara......................................................................................10
1.5.3 Kerja Labolatorium .....................................................................................11
1.6 Lokasi Penelitian .................................................................................................11
BAB II ETNOGARIS KARO DI DESA LINGGA
2.1 Letak dan Demogaris desa Lingga .......................................................................12
2.1.1 Letak Desa Lingga ......................................................................................12
2.1.2 Kondisi Alam Desa Lingga.........................................................................13
2.1.3 Keadaan Penduduk .....................................................................................13
2.1.3.1 Pendidikan......................................................................................14
2.1.3.2 Mata pencaharian ...........................................................................15
2.2 Sejarah Desa Lingga ............................................................................................16
2.3 Sistem Kekerabatan ............................................................................................17
2.4 Kesenian...............................................................................................................21
2.5 Sistem Religi Masyarakat Desa Lingga ...............................................................37
BAB III PENYAJIAN PADA MASYARAKAT KARO
3.1 Sejarah awal ndikkar di desa lingga karo ..........................................................39
3.2 Belajar ndikkar karo...........................................................................................40
3.3 Fungsi dan guna ndikkar pada masyarakat karo ................................................43
3.4 Tempat dan waktu pertunjukkan ndikkar .........................................................44
3.5 Perlengkapan pertunjukkan ...............................................................................31
3.6 Sejarah perkembangan pertunjukkan ndikkar....................................................32
BAB IV ANALISIS MUSIK PENGIRING NDIKKAR
4.1 Transkripsi.……………………………………………………… ....................55
4.1.1 Simbol Dalam Notasi .................................................................................58
4.1.2 Tangga Nada ...............................................................................................60
4.1.3 Nada Dasar .................................................................................................61

Universitas Sumatera Utara


4.1.4 Wilayah Nada .............................................................................................62
4.1.5 Jumlah Nada ...............................................................................................62
4.1.6 Jumlah Interval (prevalent intervals) .........................................................64
4.1.7 Pola cadensa (Cadence Patterns) ..............................................................65
4.1.8 Formula melodik (Melodic Formulas) ......................................................65
4.1.9 Kontur (Contour) .......................................................................................66
4.1.10 Analisis Ritem (Rhytm Analysis) .............................................................68
4.1.11 Bentuk (Form) .........................................................................................68
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .......................................................................................................100
5.2 Saran ..................................................................................................................100
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................101
INFORMAN ..............................................................................................................................103

xi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Peta desa Lingga ...........................................................................12


GAMBAR 2.2 Tembut-tembut Seberaya ..............................................................28
GAMBAR 2.3 Tupak Salah Silima-lima ..............................................................29
GAMBAR 2.4 Bendi-bendi ..................................................................................30
GAMBAR 2.5 Desa Siwaluh ................................................................................30
GAMBAR 2.6 Bindu Metagah .............................................................................31
GAMBAR 2.7 Bindu Matugoh .............................................................................31
GAMBAR 2.8 Tapak Raja Sulaiman ...................................................................31
GAMBAR 2.9 Tutup Dadu/Cimba Lau ................................................................31
GAMBAR 3.1 Sanggar Bapak Iyahmin Sinulingga .............................................44
GAMBAR 3.2 Gerakan Persembahen..................................................................46
GAMBAR 3.3 Gerakan Tari Bintang ...................................................................46
GAMBAR 3.4 Gerakan Kepit-kepit......................................................................47
GAMBAR 3.5 Langkah Sitelu-telu.......................................................................47
GAMBAR 3.6 Sambut Sirih .................................................................................48
GAMBAR 3.7 Harimau Ngajari Anakna .............................................................48
GAMBAR 3.8 Perang Alas .................................................................................49
GAMBAR 3.9 Gerakan penutup...........................................................................49

xii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

TABEL 1 Tingkat Pendidikan………………………………………… 14


TABEL 2 Mata Pencaharian………………………………………....... 16
TABEL 3 Presentasi Agama…………………………………………... 37
TABEL 4 Jumlah Nada………………………………………………...63
TABEL 5 Jumlah Interval………………………………………….......64

xiii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki begitu banyak ragam etnis budaya dari Sabang hingga

Merauke, salah satunya berada di provinsi Sumatra Utara. Provinsi Sumatra Utara

memiliki banyak etnis diantaranya Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak,

Melayu, Nias hingga Aceh. Karo terletak di wilayah kabupaten Karo secara

wilayah administratif. Masyarakat Karo juga menempati sebagian daerah langkat,

Dairi, Aceh Tenggara dan sekitar. Masyarakat Karo memiliki beragam budaya

yang diturunkan secara turun-temurun dan juga memiliki berbagai kegiatan

upacara dan adat yang sudah adat sejak dulu. Upacara adat terdiri dari upacara

adat erdemu bayu (upacara adat perkawinan) dan upacara adat simate-mate

(upacara adat kematian), sedangkan upacara ritual terdiri dari Ndilo Wari Udan

(upacara memanggil hujan), Erpangir Ku Lau (upacara membersihkan diri),

Njunjungi Beras Piher (upacara ucapan syukur), Ngeluncang (upacara mengusir

roh halus), Ralengi Tendi (upacara menyembuhkan diri) dan lain sebagainya.

Masyarakat Karo juga memiliki kesenian yang beragam diantaranya seni

ukir seperti contoh adalah Tapak Raja Sulaiman, Tupak Salah Silima-lima, Bendi-

Bendi, Desa Siwaluh, Bindu Metagah, Cimba lau, Bindu Matagoh, dan lain-lain.

Seni tenun seperti contoh adalah Uis Nipes, Uis Gara, Uis julu dan lain-lain.

Seni tari seperti contoh adalah Tari Lima Serangkai, tari Baka, tari Begu Deleng,

tari Muncang dan lain-lain. Seni bela diri contohnya adalah Ndikkar. Seni bela

Universitas Sumatera Utara


diri Ndikkar termasuk seni yang ada di Karo yang sudah jarang dilaksanakan. Hal

ini disebabkan oleh minat generasi muda yang sudah berkurang, regenerasi pelaku

Ndikkar yang tidak berjalan dan kurang nya perhatian dari pemerintah.1

Perkembangan Ndikkar tidak terlepas dari sejarah Gendang Guro-guro

Aron. Gendang Guro-guro Aron adalah Pertunjukkan yang didalamnya terdapat

musik dan tari-tarian yang dimainkan oleh muda-mudi Karo. Pertunjukkan ini

dilaksanakan pada saat musim panen telah tiba, yang dimana awal pelaksanaan

Gendang Guro-guro Aron bertujuan sebagai upacara ucapan syukur karena telah

diberikan hasil panen yang berlimpah.

Sekitar tahun 1930-an awal mula nya Gendang Guro-guro Aron, Hal ini di

tandai dengan adanya Permangga-mangga (sekarang di sebut perkolong-kolong)

yang bernama Malem pagi ginting, Malem Jenda Ginting. Permangga-mangga

atau perkolong-kolong adalah kesenian yang diperankan oleh sepasang pria dan

wanita sebagai penyanyi dan sekaligus sebagai penari pada Gendang Guro-guro

Aron. Kehadiran mereka sekaligus mampu bernyanyi dan membuat nyanyian

tersebut seperti pantun yang berisikan nasehat dan canda untuk menghibur

penonton. Pada era ini ndikkar masih belum ditampilkan atau dengan kata lain

masih rahasia atau pribadi.

Pada tahun 1958-1964, perkembangan Gendang Guro-guro Aron di Tanah

Karo sangat pesat dan menjadi awal mula kebangkitan budaya Karo. hal ini di

tandai dengan terciptanya berbagai tari-tarian seperti Tari Lima Serangkai, Tari

1
Wawancara dengan Bapak Jonson Sinulingga tanggal 4 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara


Tiga Serangkai dan Tari Aron, Hal ini menjadikan Gendang Guro-guro Aron

sangat penting dalam hal seni pertunjukan.

Pada tahun 1965, gendang guro-guro aron mengalami penurunan aktivitas

atau mati suri. Hal ini disebabkan pecahnya G 30 S/PKI pada tahun tersebut, yang

menyebakan kegiatan ekonomi di desa semakin sepi bahkan hampir mati,

kelaparan dimana-mana dan wabah penyakit melanda.

Pada tahun 1967-1975, Gendang Guro-guro Aron mulai berkembang lagi.

Hal ini ditandai dengan adanya rekaman kaset, disetiap desa di Tanah Karo sudah

memiliki Jambur (balai desa). Pada era ini perubahan Permangga-Mangga

menjadi perkolong-kolong terjadi. Ini di prakarsai oleh Tipan sembiring. Pada

tahun ini lah Ndikkar mulai masuk kedalam Gendang Guro-guro Aron. Hal ini

bermula dari para muda-mudi yang lelah bermain atau menari dalam acara

tersebut sehingga untuk mengisi acara di panggil lah pandikar untuk

mempertunjukkan kesenian Ndikkar. Dalam era ini terdapat perkolong-kolong

yang terkenal seperti Kolam, Salam dan Bengkel.

Pada tahun 1980-an sampai sekarang, Gendang Mayan sudah bisa lepas

dari Gendang Guro-guro Aron. Hal ini tidak lepas dari perkembangan musik

indonesia. Gendang Mayan dalam hal ini adalah Ndikkar sudah bisa

dipertunjukkan dalam suatu acara seperti pesta bunga dan buah, penyambutan

kepala negara, perayaan kemerdekaan dan lain sebagainya.

Pada tahun 1991 sampai sekarang mulai di perkenalkan Gendang

Keyboard, gendang kulcapi oleh Djasa Tarigan. Keyboard yang digabungkan

demgam ensambel kesenian Karo dalam mengiringi seni pertunjukkan Gendang

Universitas Sumatera Utara


Guro-guro Aron. Hal ini dapat menjadikan keyboard sebagai satu-satunya

pengiring musik dalam suatu acara. Guru-guru Ndikkar yang masih bertahan

hingga sekarang adalah Pa Mayan Surbakti, Mayan Surbakti, Iyahmin Sinulingga,

yakinsah Brahmana.

Menurut Iyahmin Sinulingga, asal gerakan Ndikkar di adaptasi dari

binatang, seperti ular (mematuk), kuda (menerjang), harimau (menerkam) dan lain

sebagainya. 2 Sebutan untuk pelaku Ndikkar adalah Pandikkar. Pandikkar berarti

pendekar dalam Bahasa Indonesia. Selain Pandikkar, menurut Iyahmin

Sinulingga, pelaku Ndikkar bisa juga disebut Mayan, perbedaannya adalah Mayan

merupakan pelaku yang menampilkan gerakan Ndikkar hanya untuk hiburan.

mayan juga belum tentu disebut sebagai Pandikkar. Fungsi Ndikkar sendiri adalah

untuk mendapatkan ilmu membela diri, pengeras tubuh dan merileksasikan badan.

Di dalam penyanjiannya, ensambel musik yang digunakan adalah Gendang

Lima Sendalanen. Gendang Lima Sendalanen merupakan unsur yang penting

dalam Ndikkar, sebab Gendang Lima Sendalanen merupakan musik pengiring.

Gendang Lima Sendalanen adalah lima ensambel musik yang dimainkan secara

sejalan atau bersama-sama yaitu Sarune, Gendang Singanaki, Gendang

Singindungi, Penganak, dan Gung. Sebutan untuk yang memainkan Gendang

Lima Sendalanen ini adalah Penarune (Sarune), Penggual Singanaki (Gendang

Singanaki), Penggual Singindungi (Gendang Singindungi), Simalu Penganak

(Penganak), Simalu Gung (Gong).

2
Wawancara dengan Bapak Iyahmin Sinulingga tanggal 5 Januari 2017

Universitas Sumatera Utara


Gendang lima sendalanen berfungsi membawakan reportoar musik yaitu

gendang mayan. Di dalam Gendang Mayan terdapat jenis lagu yaitu Gendang

Mayan3 dan Perang Alas4. Jenis reportoar ini hanya digunakan untuk mengiringi

ndikkar. Musik sangat berkaitan dengan gerakan Ndikkar, sebab musik lah yang

menentukan perpindahan gerakan dan mengakhiri gerakan tari. Di dalam Ndikkar

terdapat gerakan tari, seperti contoh di gendang Mayan terdapat gerakan Tare-

Tare Bintang. Tare-Tare Bintang terdapat pula di dalam nya beberapa gerakan

diantaranya Sambut Sirih, Bunga-Bunga, Langkah Sitelu-Telu, Harimau Ngajari

Anakna, Kepit-Kepit. Sementara di dalam Perang Alas terdapat jenis gerakan

Silengguri. Di dalam tari ini lah pertarungan atau aksi di mulai.

Berdasarkan penjelasan diatas, Penulis tertarik untuk membahas peranan

Gendang Mayan dalam mengiringi Ndikkar di desa Lingga kecamatan Simpang

empat kabupaten Karo. Penulis menjadikannya sebuah skripsi berjudul

”STRUKTUR GENDANG MAYAN DALAM MENGIRINGI NDIKKAR SEBAGAI

SENI PERTUNJUKKAN DALAM MASYARAKAT KARO”.

1.2 . Pokok-pokok Permasalahan

Ada beberapa pokok permasalahan yang menjadi perhatian utama penulis

dalam skripsi ini antara lain :

1. Bagaimana pelaksanaan pertunjukkan Ndikkar pada masyarakat Karo.

2. Bagaimana strukur Gendang Mayan dalam mengiringi ndikkar

3
Gendang Mayan adalah jenis repertoar
4
Perang alas adalah jenis repertoar

Universitas Sumatera Utara


1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai penulis antara lain:

1. Untuk mendeskripsikan pertunjukkan Ndikkar pada masyarakat Karo.

2. Untuk mendeskripsikan struktur Gendang Mayan dalam mengiringi

Ndikkar pada masyarakat Karo.

3. Untuk menyelesaikan salah satu syarat agar memperoleh gelar sarjana seni

di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan penulis antara lain :

1. Sebagai bahan pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai musik

Gendang Mayan pada seni ndikkar pada masyarakat Karo.

2. Pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Etnomusikologi.

3. Sebagai bahan skripsi sarjana yang diwajibkan bagi mahasiswa

Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara.

1.4. Konsep dan Teori

1.4.1. Konsep

Menurut Mely G. Tan dalam Koentjaraningrat (1985:21) konsep adalah

unsur pokok didalam suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka teorinya sudah

jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai hal yang menjadi pokok

Universitas Sumatera Utara


perhatian dan suatu konsep yang sebenarnya adalah definisi secara singkat dari

sekelompok fakta atau gejala itu.

Musik merupakan bagian dari kesenian. Kesenian merupakan salah satu

unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986:203-204), dan merupakan salah satu

kebutuhan manusia secara universal (Boedhisantoso, 1982:23) yang tidak pernah

lepas dari masyarakat. Struktur musik merupakan bagaimana musik dibentuk dari

berbagai unsur musik, sedangkan fungsi musik menyangkut tujuan pemakaian

musik dalam pandangan luas.

Gendang Lima Sendalanen merupakan istilah musik dalam Karo, Gendang

Lima Sendalanen dalam hal ini berarti “lima alat musik”, lima berarti “lima”, dan

sendalanen berarti “sejalan”, jadi dengan kata lain pengertian Gendang Lima

Sendalanen adalah lima buah alat musik yang dimainkan secara bersama-sama.

Gendang Lima Sendalanen terdiri dari 5 instrumen musik Karo, terdiri dari Sarune

(Aerophone), Gung (Idiophone), Penganak (Idiophone), Gendang Singanaki

(Idiophone) dan Gendang Singindungi (Idiophone). Sebagai melodi dimainkan

oleh Sarune, sedangkan untuk tempo dan ritem dibawakan oleh Gung, Penganak,

Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi.

1.4.2. Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam

membahas permasalahan (nasution, 1982:126). Malinowski (1986:215)

mengatakan fungsionalisme adalah berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam

masyarakat berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan

kebutuhan hidup manusia.

Universitas Sumatera Utara


Adapun teori yang penulis gunakan adalah teori komposisi musikal yang

ditawar kan oleh Bruno nettl. Menurut Bruno nettl,hal yang di perlukan dalam

mendeskripsikan komposisi musik adalah

1. Material Nada

2. Ritem

3. Tempo, dan

4. Elemen-elemen lainnya

Untuk menganalisis unsur-unsur pertunjukan penulis menggunakan metode

deskripsi pertunjukkan budaya.Milton Singer pernah mengeluarkan pendapatnya

yang bisa dipergunakan untuk menganalisis seni pertunjukan, bahwa seni

pertunjukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Waktu pertunjukan yang terbatas

2. Mempunyai awal dan akhir

3. Acara kegiatan yang terorganisir

4. Sekelompok pemain

5. Sekelompok penonton

6. Tempat pertunjukan,dan

7. Kesempatan untuk mempertujukkan (dalam Sal Murgiyanto 1996: 164-

165)

Dari beberepa teori diatas selanjutnya akan penulis gunakan sebagai

landasan didalam pembahasan mengenai “Struktur Gendang Mayan dalam

mengiringi Ndikkar sebagai Seni Pertunjukan dalam Masyarakat Karo”.

Universitas Sumatera Utara


1.5. Metode Penelitian

Menurut Nettl (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan

aktifitas penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu: kerja lapangan (field work)

dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan informan,

pendekatan dan pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data. Sedangkan

kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat

kesimpulan dari keseluruhan data-data yang diperoleh. Namun demikian, sebelum

melakukan hal ini terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan yakni mendapatkan

literatur atau sumber-sumber bacaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan.

1.5.1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan awal bagi penulis dalam melakukan

penelitian. Landasan awal dari studi kepustakaan yang berhubungan dan

mendukung dalam penelitian yaitu sumber bacaan atau literatur yang berupa jurnal,

buku-buku, makalah, artikel, skripsi-skripsi, ensiklopedia, file internet dan lain

sebagainya. Penulis dalam hal ini telah membaca berbagai skripsi sarjana

Etnomusikologi yang berhubungan dengan tulisan penulis diantaranya Elieser

Barus, Novalinda Ginting, Jakup Pranata Sinulingga, Jayanta Surbakti, dan lain-

lain. Penulis juga membaca buku-buku yang berhubungan dengan tulisan penulisan

di antaranya Pengantar Ilmu Antropologi, The Antropologi Of Music dan buku

lainnya

1.5.2. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan agar mendapat informasi lebih yang tidak

didapatkan dari wawancara. Penelitian lapangan merupakan metode pengambilan

Universitas Sumatera Utara


data yang paling akurat karena langsung berhubungan dengan objek yang diteliti.

Untuk melakukan hal ini, beberapa tahapan yang dilakukan penulis yaitu

1.5.2.1. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengamati langsung kegiatan yang dilakukan

serta mengambil data yang diperlukan. Selain mengamati, penulis juga dapat

menentukan orang-orang yang dianggap mampu menjadi narasumber untuk tujuan

pengambilan data.

1.5.2.2. Perekaman

Proses perekaman dilakukan di tempat dimana dilaksanakannya kesenian

Ndikkar, tepatnya di desa Lingga kecamatan Simpang Empat kabupaten Karo.

Perekaman dilakukan dengan cara perekaman visual atau gambar selama kesenian

berlangsung. Proses perekaman ini menggunakan telepon genggam. Untuk

perekaman audio atau suara dalam hal ini adalah musik pengiring Ndikkar yaitu

Gendang Mayan. Rekaman ini juga nantinya akan dijadikan materi musik untuk

pendeskripsian musik. Sedangkan untuk pengambilan gambar selama kegiatan

berlangsung menggunakan kamera digital CANON. Gambar yang diambil dalam

hal ini adalah Gerakan Ndikkar dan di jadikan sebagai pendukung tulisan penulis.

1.5.2.3. Wawancara

Dalam wawancara terdapat teknik wawancara yang penulis lakukan seperti

wawancara berfokus (focus interview) agar fokus terhadap pokok permasalahan.

Wawancara bebas (free interview) yaitu tidak hanya terfokus pada pokok

permasalahan tetapi berkembang terhadap pokok permasalah lainnya. Ini bertujuan

agar penulis mendapatkan beragam data, namun tidak menyimpang dari pokok

10

Universitas Sumatera Utara


permasalahan utama (Koentjaraningrat 1985:138-139). Sebelum melakukan

wawancara, penulis menetapkan informan yang dapat mendukung pokok

permasalahan. Informan tersebut adalah Iyahmin Sinulingga, Deking Sinulaki dan

Malem Ukur Ginting.

Penulis tidak hanya terfokus terhadap satu informan saja, tetapi mencari

informan lainnya sebagai pendukung sepert tokoh-tokoh adat Karo.

1.5.3. Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium adalah tahap untuk menganalisa data-data yang telah diperoleh.

Data-data yang diperoleh selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan

tulisan agar mendapatkan hasil yang dibutuhkan. Dalam mendeskrpisikan materi

musik, penulis menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Bruno Nettel

(1964:98). Nettel mengungkapkan dua pendekatan yaitu (1) kita dapat

menganalisis dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan (2) kita dapat dengan

cara menuliskannya apa yang kita dengar tersebut diatas kertas lalu

mendeskripsikan apa yang kita lihat. Penulis menggunakan pendekatan yang

kedua. Untuk mendeskripsikan bunyi musikal dari Gendang Mayan harus

dilengkapi dengan analisis yang didasarkan atas materi yang terlihat dalam bentuk

notasi. Oleh karena itu dalam kerja laboratorium penulis akan melakukan

transkripsi. Transkirpsi adalah proses memindahkan bunyi (menotasikan),

mengalihkan bunyi yang didengar menjadi simbol visual.

11

Universitas Sumatera Utara


1.6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis ambil adalah di desa Lingga kecamatan

Simpang Empat Kabupaten Karo. Alasan pemilihan lokasi penelitian dikarenakan

di desa Lingga masih dilakukan kesenian Ndikkar. Selain itu, salah satu

narasumber utama penulis yaitu bapak Iyahmin Sinulingga juga bertempat tinggal

di desa Lingga.

12

Universitas Sumatera Utara


BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak dan Demografis Desa Lingga

2.1.1 Letak Desa Lingga

Jarak desa Lingga dari ibukota kecamatan Simpang Empat lebik kurang

5km,dari ibukota kabupaten Karo Kabanjahe yaitu lebih kurang 4,5 km. Desa

Lingga terletak di dataran rendah dengan dikelilingi oleh desa lain yang merupakan

daerah pertanian. Adapun batas-batas wilayah desa Lingga sebagai berikut :

Gambar 2.1 Peta desa Lingga

13

Universitas Sumatera Utara


• Sebelah utara berbatasan dengan desa Surbakti.

• Sebelah selatan berbatasan dengan desa Kacaribu.

• Sebelah timur berbatasan dengan desa Kaban.

• Sebelah barat berbatasan dengan desa Nang Belawan.

Luas keseluruhan desa Lingga adalah 16,24 km² yang terdiri dari areal

pemukiman, ladang, hutan, jalan, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan desa-

desa yang ada pada Kecamatan Simpang Empat yang terdiri dari 40 desa, desa

Lingga merupakan desa yang paling luas.

2.1.2 Kondisi Alam Desa Lingga

Desa Lingga terletak pada ketinggian 1300 m diatas permukaan laut jadi

secara umum desa Lingga mempunyai permukaan yang datar, dimana temperatur

udara didesa tersebut 18° C sampai dengan 23° C. Namun demikian desa Lingga

juga memiliki daerah perbukitan, daerah dataran rendah yang dijadikan sebagai

temapat pemukiman dan bercocok tanam. Keadaan tahan di desa ini bisa dikatakan

sangat subur sehingga cocok dijadikan sebagai lahan pertanian , hal ini terlihat

dengan adanya tanaman yang terdapat disana seperti jeruk, cabe, jagung, kentang,

kol, dan lain-lain. Luas tanah kering yang ditamanami tanaman seperti jeruk, cabe,

jagung, kentang, kol, dan lain-lain sekitar 1.608 Ha.

2.1.3 Keadaan Penduduk

Keadaan penduduk adalah kondisi wilayah yang dimana berdomisilinya

rakyat yang dimana terdapat suatu komunitas yang menunjukkan kondisi dari suatu

14

Universitas Sumatera Utara


masyarakat. Gambaran Keadaan penduduk di desa Lingga Kecamatan Simpang

Empat Kabupaten Karo adalah sebagai berikut

2.1.3.1 Pendidikan

Pendidikan adalah unsur penting dalam kehidupan setiap orang. Tujuan

pendidikan agar menciptakan seseorang yang berkwalitas dan berkarakter

sehingga memiliki pandangan yang luas kedepan untuk mencapai suatu cita- cita

yang di harapkan dan mampu beradaptasi secara cepat dan tepat di dalam berbagai

lingkungan. Orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya

memiliki pola berpikir yang lebih maju dibandingkan dengan orang yang memiliki

pendidikan yang lebih rendah. Bila dilihat keadaan penduduk di desa Lingga

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo berdasarkan tingkat pendidikan dapat

dilihat dalam tabel berikut :

NO TINGKAT PENDIDIKAN FREKUENSI PRESENTASI

1 Perguruan Tinggi 80 2.87 %

2 SMA 512 19.74 %

3 SMP 535 20.21 %

4 SD 864 37.00 %

5 Tidak Sekolah 412 20.18 %

Jumlah 2403 100 %

Tabel-1 Tingkat pendidikan (sumber: Kantor kecamatan Simpang Empat)

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa keadaan penduduk di desa Lingga

dilihat dari tingkat pendidikan tergolong cukup baik bahkan terdapat 80 orang yang

15

Universitas Sumatera Utara


sampai kepada perguruan tinggi. Tingkat SMA sederajat juga tergolong baik

berjumlah 521 orang. Banyak nya yang tidak mengenyam pendidikan disebabkan

oleh lokasi dan perkerjaan di desa Lingga lebih ke Agraris atau pertanian .

Disamping itu juga,kurangnya fasilitas pendidikan di desa Lingga.

2.1.3.2 Mata Pencaharian

Hasil pertanian merupakan sumber penghidupan yang utama bagi

kebanyakan penduduk di Desa Lingga. Hampir setiap orang ikut terlibat dalam

usaha pertanian, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang bertani sambil

berdagang. Hasil dari pertanian seperti kentang, jagung, cabe, kol, jeruk dan lain-

lain biasanya dibawa kepasar dan didagangkan di sana, tetapi ada sebagian dari

mereka tidak membawanya kepasar tetapi dijual kepada agen dan harganya

tentunya lebih murah. Biasanya hasil tanaman yang dijual kepada agen hanya yang

sedikit tidak mencapai puluhan kilo karena menurut masyarakat desa Lingga jika

dijual kepasar ongkosnya saja tidak kembali.

Masyarakat desa Lingga juga banyak yang bekerja di institusi-institusi baik

itu negeri maupun swasta. Sebagian pegawai negeri yang ada di desa Lingga

bekerja di kantor Kecamatan, kantor Bupati, guru baik itu guru negeri maupun

swasta, puskesmas, dan lain-lain, dan yang bekerja di institusi-institusi swasta

misalnya seperti pegawai rumah sakit, penjaga toko, penjual konter pulsa, dan lain-

lain. Biasanya pegawai-pegawai ini bekerja di ibu kota Kabupaten, berangkat pagi

hari dan pulang pada sore hari, karena jarak dari kota Kabanjahe ke desa Lingga

tidak jauh maka kebenyakan dari pegawai- pegawai ini pulang balik dari desa

16

Universitas Sumatera Utara


Lingga ke kota Kabanjahe. Bila dilihat keadaan penduduk di desa Lingga

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo berdasarkan Mata Pencaharian dapat

dilihat dalam tabel berikut :

NO MATA PENCAHARIAN FREKUENSI PRESENTASI

1 Pegawai Negeri 259 10.29 %

2 Bertani 1259 50.01 %

3 Berdagang 659 26.20 %

4 DLL 340 13.50 %

JUMLAH 2517 100 %

Tabel-2 Mata Pencaharian (sumber: kantor kecamatan simpang empat)

2.2 Sejarah Desa Lingga

Desa Lingga merupakan salah satu desa budaya yang terdapat di

Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera Utara. Sejarah

desa Lingga tidak dapat terlepas dari adanya kerajaan Lingga yang asalnya dari

keturunan Pak-Pak (Dairi) yang pertama ditempati di kuta Suah di lembah uruk

Gungmbelin. Raja Sibayak Lingga yang diangkat menjadi raja berasal dari Pak-pak

Dairi yaitu Desa Lingga Raja. Sebelum datang ke desa Lingga Sibayak ini pernah

singgah atau sempat tinggal di desa Nodi. Setelah dari desa Nodi baru Raja Lingga

(Sibayak) pindah ke desa Lingga yang awalnya bertempat di kuta Suah di lembah

uruk Gungmbelin, namun desa Lingga pindah ke desa yang sekarang, di desa ini

sangat sulit mendapatkan air minum. Perkampungan Suah yang berada di lembah

uruk Gungmbelin dulu sekarang dijadikan ladang atau tempat bercocok tanaman.

17

Universitas Sumatera Utara


Sejak Indonesia merdeka sistem pemerintahan yang dari Raja Sibayak Lingga

berubah menjadi sistem pemerintahan yang seperti sekarang ini di mana pemilihan

Kepala Desa tidak lagi berdasarkan keturunan Raja melainkan dengan cara

pemilihan, sesuai dengan suara yang terbanyak. Raja Lingga (Sibayak), yang

diangkat dulu adalah marga Sinulingga, dan penduduk desa Lingga sekarang masih

kebanyakan marga Sinulingga, namun keturunan raja dulu sudah banyak yang

pergi keluar kota seperi Medan, Jakarta, dan Bandung.

2.3 Sistem Kekerabatan

Munculnya sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo disebabkan

terjadinya perkawinan antara marga yang satu dengan marga yang lain yang

menghasilkan keturunan. Dimana setiap terbentuknya keluarga yang baru maka

terjadilah sistem kekerabatan yang baru pula. Maka pihak keluarga laki-laki dalam

suatu perkawinan dinamakan “anak beru" pihak perempuan. Sementara keluarga

pihak perempuan disebut “kalimbubu” oleh pihak keluarga laki-laki. Dalam hal ini

terjadi proses keluarga baru disamping adanya keluarga lamanya. Maka akhirnya

timbullah sistem kekerabatan yang dikenal dengan istilah “sangkep nggeluh” atau

“rakut sitelu". Sangkep ngeluh berarti kelengkapan hidup. Sangkep ngeluh sering

juga disebut ikatan rakut sitelu/daliken sitelu, artinya kelengkapan dari tiga unsur

dalam keluarga. Sangkep nggeluh berfungsi menjadi wadah musyawarah sekaligus

menjadi perangkatnya dalam kelompok keluarga tertentu yang bertindak sebagai

sukut atau tuan rumah. Sangkep nggeluh tersebutlah membahas suatu rencana

kerja menyangkut kegiatan dalam suatu kelompok keluarga. Apa yang dihasilkan

18

Universitas Sumatera Utara


sebagai putusan musyawarah, itulah yang dilaksanakan sebaik-baiknya, penuh

tanggung jawab oleh pihak anak beru.

Pada masyarakat Karo, segala hubungan kekerabatan, baik berdasarkan

pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan dapat kita kelompokkan ke

dalam tiga jenis kekerabatan yaitu kalimbubu, senina, anak beru. Ketiga janis

kekerabatan itu biasa disebut dengan istilah daliken si telu “tungku yang berkaki

tiga” atau telu sendalanen “tiga sejalan”, “tiga seiring”, “tri tunggal” ataupun

sangkep si telu “tiga yang lengkap atau tri tunggal”. Setiap anggota masyarakat

Karo berada diantara senina, anak beru, dan kalimbubu, selalu berada di atas

daliken si telu.Unsur-unsur sangkep nggeluh antara lain, senina, kalimbubu, anak

beru. Senina artinya saudara, karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah.

Dalam keluarga masyarakat etnis Karo senina terbagi lagi dalam beberap

kelompok yaitu:

1.Senina Bapa, saudara karena ayah bersaudara kandung berarti satu nenek.

x satu empung.

3.Senina Sembuyak Empung, saudara karena empung bersaudara kandung

atau ayah empung satu.

Kalimbubu ialah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Dalam hal ini bila

pihak kita kawin dengan seorang perempuan, maka keluarga pihak perempuan itu

adalah kalimbubu kita. Di sebabkan adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah

dan anak-anaknya semua telah masuk jadi golongan kalimbubu. Dalam adat Karo

kedudukan kalimbubu sangat dihormati, malah disebutkan dengan istilah “Dibata

niIdah” artinya Tuhan yang dapat dilihat. Kalimbubu punya perbedaan dengan

19

Universitas Sumatera Utara


senina, karena kalimbubu dibedakan secara berjenjang mulai dari atas sampai

kebawah. Oleh karena itu kalimbubu untuk setiap jenjang atau tingkat diberi

namanya untuk membedakannya. Kalimbuu menurut jenjangnya sebagai berikut :

1.Kalimbubu Taneh disebut juga kalibubu simajek lulang, ialah kalimbubu

yang termasuk pendiri kampung. Jadi dalam hal ini dikaitkan dengan

sejarah dan seterusnya golongannya tetap dihargai dan dikenal dengan

nama itu.

2.Kalimbubu Bena-bena, ialah kalimbubu setingkat empung, dalam hal ini

termasuk saudara, anak dan keturunannya.

3.Kalimbubu Tua, ialah kalimbubu setingkat nenek, dalam hal ini termasuk

saudara, anak dan cucunya.

4.Kalimbubu Simada Daerah, ialah kalimbubu setingkat ayah, termasuk

bapak, saudaranya, anaknya.

5. Kalimbubu Iperdemui, ialah kalimbubu langsung karena anak

perempuannya dikawini, dalam hal ini termasuk bapak bapaknya,

saudara dan anaknya.

6.Puang Kalimbubu, ialah semua kalimbubu itu sendiri dengan berbagai

tingkatannya.

Anak beru ialah pihak keluarga laki-laki yang menikah dengan anak

perempuan suatu keluarga. Golongan anak beru sama dengan golongan kalimbubu

dalam hal jenjang atau tingkatan derajat berdasarkan keturunan, oleh karena itu

untuk anak beru juga diberi nama sesuai dengan jenjang/ tingkatnya untuk dapat

20

Universitas Sumatera Utara


membedakan satu dengan yang lain. Anak beru menurut jenjang dan tingkatannya

sebagai berikut :

1. Anak Beru Taneh, ialah golongan anak beru yang ikut mendirikan suatu

kampung.

2. Anak Beru Tua, ialah anak beru langsung dari empung.

3. Anak Beru Sincekuh Baka Tutup, ialah anak beru langsung dari ayah,

dalam arti anak laki-laki dari saudara perempuan kandung ayah.

4. Anak Beru Menteri (menteri asal katanya minteri) yaitu anak beru dari

anak beri itu sendiri.

5. Anak Beru Singikuri asal katanya singkuri yaitu anak beru dari anak beru

menteri.

Adapun fungsi dan tugas dari ketiga unsur sangkep nggeluh pada

masyarakat Karo tentunya berbeda satu sama lainnya tergantung pada siapa yang

mengadakan pesta. Fungsi senina dalam kesatuan sangkep nggeluh tugasnya di

sesuaikan dengan tugas sangkep nggeluh yaitu ikut bertanggung jawab atas

pelaksanaan kegiatan sebagai unsur sangkep baik dalam musyawarah maupun

dalam kegiatan atau pelaksanaan suatu pekerjaan, baik berat amaupun ringan.

Fungsi kalimbubu dalam kesatuan sangkep nggeluh tugasnya disesuaikan dengan

tugas-tugas sangkep nggeluh, dalam hal ini terutama sebagai penasehat, memberi

arahan, menjaga keserasian, menunjukkan ras cinta kasih, menggugah semangat

dan kepeloporan. Fungsi anak beru dalam kesatuan sangkep nggeluh tugasnya

disesuaikan dengan tugas sangkep, yaitu memberi saran, memberi usul, memberi

pendapat, dan menjalankan atau melaksanakan seluruh tugas berdasarkan hasil

21

Universitas Sumatera Utara


musyawarah sangkep nggeluh di dalam berbagai kegiatan adat, misalnya seperti

membentangkan tikar untuk para undangan, menyediakan makanan, menyediakan

rokok para kalimbubu, dan menyelesaikan semua tugas sampai acara adat selesai.

Dilihat sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat Karo, bahwa

kedudukan anak beru lebih rendah dari pada kedudukan senina dan kalimbubu.

Biasanya anak beru, diambil dari perempuan dimana anak perempuan harus

menghormati dan menghargai saudara laki-lakinya, karena saudara laki-laki ini

merupakan kalimbubu yang harus dihargai dan dihormati, karena jika hati mereka

tersinggung maka rejeki akan berkurang, mala petaka akan data seperti tidak

mendapat keturunan.

2.4 Kesenian

Kesenian adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk memenuhi

keindahan. Sebagai wujud budaya, kesenian berkaitan dengan kebudayaan

tentunya. Kesenian disebut sebagai media dalam mengekspresikan rasa keindahan

yang berasal dari jiwa manusia. Tidak hanya itu saja, kesenian dapat digunakan

untuk melanggengkan norma dan adat istiadat suatu masyarakat agar tidak lekang

dimakan jaman. Maka tidak heran selain merujuk pada sisi estetika, kesenian

menjadi simbol terhadap budaya suatu tempat. Kesenian memiliki fungsi yaitu :

22

Universitas Sumatera Utara


1. Fungsi Individu : karena bermanfaat dengan individu itu sendiri

2. Pemenuhan kebutuhan fisik : manusia butuh pemuasan kebutuhan fisik

sehingga kenyamanan dipandang penting. Manusia melakukan apresiasi pada

keindahan sebagai sarana ini.

3. Pemenuhan kebutuhan emosional : dalam memenuhi kebutuhan emosionalnya,

manusia butuh dorongan dari luar berupa hal-hal yang mengandung estetika.

Semakin banyak estetika maka semakin puas dirinya. Kesenian pastinya

mengandung estetika, sehingga kebutuhan emsional manusia terpuaskan.

4. Fungsi Sosial : digunakan dalam memenuhi kebutuhan sosial

5. Religi : kesenian dijadikan sarana bagi syiar keagamaan

6. Pendidikan : kesenian mengajarkan nilai sosial, kerjasama, dan disiplin bagi

manusia yang ingin menguasainya

7. Komunikasi : kesenian dipakai untuk menyampaikan pesan

8. Rekreasi : kesenian bisa membantu kita melepas kejenuhan karena menghibur

9. Guna

10. Kesehatan : kesenian dipakai untuk terapi medis

Masyarakat Karo sebagai suatu peradaban kebudayaan juga memiliki

sistem kesenian yang fungsinya dirasakan oleh mereka sendiri maupun orang

diluar mereka. Adapun sejumlah kesenian yang telah diusung masyarakat Karo

dari dulu adalah :

23

Universitas Sumatera Utara


1. Seni suara : seni suara masyarakat Karo muncul secara bertahap. Dimulai dari

suara-suara panjang yang digunakan untuk memanggil binatang oleh

seseorang. Memanggil binatang tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja,

sehingga banyak orang saling bersahutan suaranya dalam memanggil binatang.

Karena bersahutan maka ditemukanlah nada tertentu. Kemudian

berkembanglah kemampuan mengolah suara itu menjadi nyanyian dan

lahirlah seni suara yang disebut Erkata Gendang. Orang yang menyanyikannya

disebut sebagai Perende-rende, sedangkan lagunya disebut ende / enden.

2. Seni musik : di dalam budaya masyarakat Karo, sebutan untuk para pemusik

adalah Sierjabaten, yang secara denotatif artinya adalah yang memiliki tugas.

Sierjabaten terdiri dari pemain sarune, gendang singanaki, gendang

singindungi, penganak, dan gung. Setiap pemain alat musik dalam etnosains

tradisional Karo mereka memiliki nama masing-masing, yaitu: pemain sarune

disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut

penggual, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung

disebut simalu gung.

 Seni tari : Dalam bahasa Karo, tari disebut Landek. Pola dasar dari tari Karo

ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek) disesuaikan

dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah

variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah. Di antara makna-

makna perlambangan dalam tari Karo adalah sebagai berikut :

24

Universitas Sumatera Utara


A. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan

tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.

B. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah

melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-

menolong dan saling membantu.

C. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan “ise pe la banci

ndeher adi langa sioraten”, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika

belum tahu hubungan kekerabatan, ataupun tak kenal maka tak sayang.

D. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan “perarihen

enteguh”, yaitu. mengutarnakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah

untuk mencapai mufakat.

E. Gerakan tangan ke atas, melarnbangkan “isepe la banci ndeher”, siapa pun

tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan.

F. gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung

merak, melambangkan “beren rukur”, yang maknanya adalah menimbang

sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapat, sesal kemudian tidak

berguna.

G. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan “beban

simberat ras simenahang ras ibaba”, artinya mampu berbuat harus

mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa

sepenanggungan.

25

Universitas Sumatera Utara


H. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab.

I. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri

melambangkan “ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli”,

maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah

berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.

Tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat

dibedakan atas 3 jenis yakni:

1. Tari yang berkaitan dengan adat

Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya

kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan

gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat

biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh.

Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan

kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal tersebut dikarenakan tari

dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari

menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari

yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata

dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.

26

Universitas Sumatera Utara


 Tari yang berkaitan dengan religi

Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang

pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari

yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus

bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau,

tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya. Semua gerakan

tarian religi gerakannya disesuaikan dengan pengiring dan guru yang

melakonkannya seperti kebiasaan di samping tekanan ilmu dan roh pengikutnya.

Jadi jelas bahwa gerakan itu tidak merupakan gerakan yang teratur berdasarkan

tata cara secara umum.

 Tari yang berkaitan dengan hiburan

Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum.

Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan,

keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang

atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron). Tari yang

bersifatnya hiburan mencakup bermacam jenis tari. Tari Topeng (gundala-

gundala) salah satu tari yang dibawakan penari khusus yang berpengalaman. Tari

Gundala-gundala tidak hanya menunjukkan gerak tetapi juga mengandung unsur

ceria.

 Seni teater : Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara adalah Tembut-

tembut dari budaya Karo. Tembut-tembut di daerah Karo yang terkenal sampai

27

Universitas Sumatera Utara


sekarang adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering disebut Tembut-

tembut Seberaya. Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati

anaknya. Terciptanya Tembut-tembut Seberaya tidak dapat dipastikan secara

tepat. Namun menurut penjelasan para informan, dapat diperkirakan

berdasarkan tahun serta penyajiannya di Batavia Fair yaitu tahun 1920.

Berdasarkan tahun di atas, para informan memperkirakan terciptanya Tembut-

tembut adalah sekitar tahun 1915. Awalnya berfungsi hiburan untuk

menyenangkan hati masyarakat yang menontonnya. Namun dalam

perkembangan selanjutnya penyajiannya digunakan dalam konteks upacara

ndilo wari udan (upacara memanggil hujan). Kapan mulai pemakaian tembut-

tembut dalarn konteks ndilo wari udan pun tidak diketahui secara pasti. Tembut-

tembut Seberaya terdiri dari dua jerris karakter (perwajahan) yaitu karakter

manusia dan karakter hewan. Karakter manusia terdiri dari empat tokoh (peran)

yaitu: satu bapa (ayah), satu nande (ibu), satu anak dilaki (putra), dan satu. anak

diberu (putri). Karakter binatang hanya mempunyai satu tokoh (peran) yaitu si

gurda-gurdi (burung enggang).

28

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2 Tembut-tembut Seberaya Sumber:
(https://karosiadi.blogspot.com/2011/08/teater-tembut-tembut.html)

Jalannya pertunjukan Tembut-tembut adalah dimulai dengan membawa

Tembut-tembut serta kelengkapannya ke tempat penyajian. Di tempat penyajian,

masing-masing pemain memakai Tembut-tembut dan pakainnya sesuai dengan

perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain

musik supaya memainkan gendang dengan ucapan: “palu gendang ena” artinya

“Mainkan musiknya.” Pemain musik memainkan gendang dan pernain tembut-

tembut mulai menari. Posisi pernain tembut-ternbut menari pada mulanya sejajar

membela-kangi pernain musik. Posisi ini dipertahankan hingga pemusik

memainkan dua buah lagu yaitu lagu Perang Empal Kali dan lagu Simalungen

Rayat. Pada lagu ketiga yaitu lagu Kuda-kuda posisi penari mulai berubah, pola

tarinya tidak mempunyai struktur yang baku dilakukan secara improvisasi. Penari

yang memainkan karakter burung enggang selalu seolah-olah ingin mematuk tokoh

(peran) anak diberu (anak perempuan). Penari yang berkarakter ayah berusaha

menghalangi gangguan burung enggang tersebut. Bila pemain yang berkarakter

ayah gagal menghalanginya maka pemain yang berkarakter anak laki-laki datang

29

Universitas Sumatera Utara


membantu. Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan

diiringi dengan lagu Kuda-kuda dan Lagu Tembutta, tetapi gerakan tari yang

diiringi lagu Tembutta lebih cepat karena meter lagu Tembutta lebih cepat

dibandingkan meter lagu Kuda-kuda.

 Seni ukir :

Pada awalnya masyarakat Karo memakai ukiran untuk jimat tolak bala, namun

dalam perkembangannya dipakai untuk estetika. Motif ukiran Karo

melambangkan manusia, binatang, dan alam. Beberapa motif ukiran khas Karo

seperti.

1. Tupak Salah Silima-Lima: Ornamen ini berbentuk garis-garis yang

menyilang yang membentuk gambar bintang. Gambar ini menunjukkan

kekuatan dari alam sendiri untuk menerangi jagad raya pada malam hari.

Hal tersebutlah yang melatarbelakangi pembuatan ornamen ini pada pintu

masuk rumah adat Karo yang menunjukkan kesatuan dari Merga Silima

dalam masyarakat Karo

Gambar 2.3 Tupak salah silima-lima.


Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)

30

Universitas Sumatera Utara


2. Bendi-Bendi: Ornamen ini garis panjang dengan tiga lubang berbentuk

setengah lingkaran yang merupakan pegangan apabila memasuki rumah

adat. Dipahat dari kayu Kempawa yang memiliki arti kayu yang sudah tua.

Gambar 2.4 Bendi-Bendi.


Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)
3. Desa Siwaluh : Ornamen ini menunjukkan Tutur Siwaluh dalam masyrakat

Karo. Terdapat pada dinding bagian bawah rumah adat sebagai petunjuk

arah mata angin.

Gambar 2.5 Desa Siwaluh.


Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)

4. Bindu Metagah: Ornamen ini berupa garis yang menyilang diagonal dan

membentuk persegi yang melambangkan Pesilah Simehuli (menyingkirkan

yang tidak baik

31

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.6 Bindu Metagah
Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)

5. Bindu Matoguh: ornamen ini melambangkan encikep simehuli (memegang

yang baik). Berbentuk garis menyilang diagonal.

Gambar 2.7 Bindu Matugoh


Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)

6. Tapak Raja Sulaiman : Ornamen ini memiliki makna kekuatan dan

kekeluargaan. Tapak Raja Sulaiman dipercaya oleh masyarakat Karo agar

terhindar dari ancaman jahat

Gambar 2.8 Tapak Raja Sulaiman


Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)

32

Universitas Sumatera Utara


7. Tutup Dadu/Cimba Lau: Ornamen ini berbentuk awan yang berarak

menunjukkan doa masyarakat Karo kepada sang pencipt

Gambar 2.9 Tutup Dadu/Cimba Lau


Sumber(https://www.silimamerga.web.id/2018/11/ornamen-rumah-adat-
karo.html)

1. Seni tenun :

Masyarakat Karo menyebut seni tenun sebagai Mbayu. Tenunan ini salah

satunyan menjadi pakaian, ataupun kain hias. Pakaian ini di tenun oleh para

wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan

benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu

dapur, kunyit, dan telep (semacam tumbuhan). Secara umum pakaian

tradisional Karo dapat dibagi tiga bagian, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian

untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian sehari terdiri dari pakaian untuk

pria yaitu batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut bulang

serta sarung. Sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat,

sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang

diselempangkan. Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari.

Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan.

33

Universitas Sumatera Utara


Dan, pakaian kebesaran terdiri dari pakaian-pakaian yang lengkap serta

digunakan pada saat pesta seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru,

upacara kematian, dan pesta kesenian. Ragam atau jenis pakaian tradisional

Karo ialah sebagai berikut :

a Uis Arinteneng

Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya

hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini

digunakan untuk alas pinggan pasu-pasu tempat Emas Kawin, alas pinggan

pasu tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan

bersama) pada malam setelah selesai pesta adat, sebagai pembalut tiang

pada peresmian atau acara memasuki adat rumah, dan membayar hutang

adat kepada Kalimbubu dalam acara kematian.

b Uis Julu

Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan

corak garis-garis putih berbentuk liris. Keteng-keteng nya berwarna merah

dan hitam disebut Keteng-ketang Bujur. Ada yang disebut Keteng-keteng

sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pinggir ujungnnya memilii rambut

(jumbai). Pakaian ini digunakan sebagai gonje (sarung laki-laki), membayar

hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-

laki, dan untuk selimut (cabin).

34

Universitas Sumatera Utara


c Uis Teba

Hampir sama dengan sama dengan Uis Julu. Perbedaannya ialah garis-garis

Uis Teba agak jarang sedangkan Uis Julu agak rapat. Warnanya hitam,

pinggiran ujungnya memiliki rambu/jumbai. Pakaian ini juga diketeng-

keteng, warnanya merah putih ada juga yang berukir dan tebal. Pakaian ini

digunakan untuk maneh-maneh; bagi perempuan yang meninggal, tudung

bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan

tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak

mempelai perempuan.

d Uis Batu Jala, dan pakaian-pakaian yang lain seperti Uis Kelam-kelam,

Uis Beka Buluh, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, Gatib Gewang, Uis

Kapal Jongkit, Gatip Cukcak, Uis Gara-Gara, Uis Perembah, Uis Jujung-

Jujungen, Uis Nipes Ragi Mbacang, uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes

Mangiring, dan Uis Nipes Benang Iring.

5 Seni bangunan ( Mbangun ) : Dalam masyarakat Karo, begitu banyak seni

bangunan yang dihasilkan. Bukan semata rumah adat tetapi juga banyak lain.

Pada dasarnya fungsi dari bangunan lain itu, tidak jauh beda dengan fungsi

rumah adat si waluh jabu tersebut. Berikut adalah Beberapa jenis karya seni

bangunan lain dalam masyarakat Karo.

a Geriten : rumah kecil yang beratap ijuk berbentuk segi empat dengan

empat tiang setinggi l.k. 6 m. Bagian bawah dapat digunakan sebagai

35

Universitas Sumatera Utara


tempat duduk dan di sebelah atas khusus untuk tengkorak para leluhur yang

disimpan dalam kotak-kotak khusus.

b Jambur : Bangunan agak luas beratap ijuk, yang digunakan sebagai tempat

musyawarah keluarga atau ke kerabat atas dasar Dalinken Si Telu. Dan

dewasa ini sudah digunakan untuk pesta karo, baik suka cita/ perkawinan

dan sebagainya atau duka cita.

c Batang : Batang merupakan tempat padi atau yang sama fungsinya

dengan lumbung padi.

c Lige-lige : Lige-lige merupakan suatu bangunan yang dibuat dari kayu

dan bambu, bersegi empat, dengan tinggi k.l. 15 meter dan di sekelilingnya

dipasang daun muda enau (janur). Ini merupakan tempat yang digunakan

untuk kuburan bagi para leluhur yang telah mati dan dikuburkan kembali.

Acara di tempat ini digunakan dengan menggunakan gendang serune untuk

acara tari-tarian atau acara adatnya.

a Kalimbaban : Kalimbaban memiliki bentuk yang hampir sama dengan

lige-lige tepi kalimbaban lebih besar. Dan upacara adat penguburan

leluhur pun lebih besar dari pada upacara narik lige-lige.

b Sapo gunung L Adalah bangunan kecil seperti rumah yang dibangun

beratap ijuk digunakan sebagai tempat mayat yang diusung dari rumah

duka ke kuburan.

36

Universitas Sumatera Utara


c Lipo : Adalah bangunan berbentuk rumah kecil beratap ijuk sebagai

kandang ayam dan burung peliharaan.

Dalam berbagai hasil pekerjaan yang telah dilakukan oleh mereka tidaklah

terlepas dari unsur seni sekalipun mereka belum memberikan penggolongan atau

macam cabang seni. Kenyataan dapat ditemui bahwa mereka telah mampu

berkreasi sejak dulu dan hasilnya diwariskannya sampai sekarang antar lain

pakaian, perhiasan, alat-alat rumah tangga sehari-hari, alat bekerja maupun alat

pertanian, dan alat-alat kesenian. Adanya alat tersebut menunjukkan pada waktu

dahulu mereka mapu memberikan perhatian dan mampu berkreasi dibidang

kesenian. Selain dari pada itu mereka juga menunjukkan karya dibidang kegunaan

bahasa Karo dalam berbagai bentuk seni bahasa, misalnya seperti mengenai

vokalisasi dan seni suara.

Di dalam masyarakat Karo di desa Lingga kesenian merupakan sesuatu yang

sangat berarti bagi setiap masyarakat. Bahkan masyarakat Lingga masih

melestarikan hasil seni nenek moyang mereka sampai sekarang seperti masih

terawatnya rumah adat Karo yang dapat ditemuai di desa ini. Selain dari pada itu

Tari (landek) yang merupakan salah satu sarana dalam mengikuti suatu acara

tertentu misalnya dalam acara kerja tahun (pesta tahunan), acara pesta bunga dan

buah, atau acara perlombaan pada hari Kemerdekaan, hari Natal, selain untuk

mengikuti

acara-acara perlombaan tari (landek) sering juga dilaksanakan misalnya pada acara

memasuki rumah baru, pesta perkawinan. Tari dalam bahasa Karo disebut

“landek”. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan

37

Universitas Sumatera Utara


naik turun lutut (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola

dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik

dan indah.

2.5 Sistem religi masyarakat desa Lingga

Agama merupakan suatu sistem ataupun kepercayaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Di desa Lingga terdapat berbagai aliran kepercayaan yang sudah umum

pada saat ini.

No Agama Frekuensi Persentase

1 Kristen 651 KK 74.75 %

2 Islam 196 KK 22.50 %

3 DLL 24 KK 2.75 %

Jumlah 871 KK 100 %

Tabel-3 presentase agama (sumber: kantor kecamatan simpang empat)

Berdasarkan tabel diatas, agama mayoritas di desa lingga adalah Kristen sebanyak

651 KK dengan protestan dan katolik didalam nya. Agama kedua adalah agama

islam dengan 196 KK. Terdapat juga banguan ibadah seperti gereja GBKP (Gereja

Batak Karo Protestan), gereja Katolik, GPDI (Gereja Pentakosta di Indonesia) dan

Mesjid. Selain Dua agama tersebut, terdapat sebuah kepercayaan yang disebut

sebagai agama si pamena. Kepercayaan tersebut merupakan kepercayaan kepada

leluhur. Namun seiring berjalan nya waktu dan masuk nya agama, kepercayaan ini

lama-kelamaan menghilang. Keharmonisan sesama pemeluk agama di desa lingga

38

Universitas Sumatera Utara


sangat tinggi, hal ini didasari dengan kuat nya saling tolong-menolong dalam

melakukan pekerjaan, disaat terkena musibah dan bencana alam.

39

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENYAJIAN NDIKKAR PADA MASYARAKAT KARO

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang penyajian dan sejarah

Ndikkar sebagai seni bela diri asli masyarakat karo.

3.1 Sejarah Ndikkar di Karo

Ndikkar sudah ada dalam kebudayaan masyarakat Karo sejak ratusan tahun

lalu, sebagai seni bela diri yang memadukan gerak tari dengan teknik bertarung,

Ndikkar dulunya dipakai sebagai perlawanan terhadap penjajah pada masa itu

sebagai api penyemangat untuk menaikkan dan menimbulkan rasa percaya diri

terhadap penjajah. Dalam penuturan antropolog dari Universitas Sumatera Utara,

Juara R. Ginting, Silat Karo pernah menjadi alat perjuangan melawan penjajah.

Beliau sendiri mengutip Anthony Reid dalam bukunya Revolusi Berdarah di

Sumatera Timur, dimana para pemuda pergerakan Karo di daerah sekitar

Pancurbatu (Deliserdang) mendirikan beberapa perguruan silat melalui sebuah

upacara yang disebut mantek gelanggang (mendirikan gelanggang). Saat upacara,

sang guru silat mendemonstrasikan kemampuan silatnya kepada masyarakat dan

lalu mengangkat orang-orang yang berminat menjadi murid-muridnya.

Pengangkatan murid-murid dilakukan dengan bersumpah tidak mempermalukan

perguruan.

Kelompok-kelompok pergerakan ini sasaran utamanya adalah merebut

tanah-tanah yang disewakan Sultan Deli ke perusahaan-perusahaan perkebunan

asing di bawah naungan asosiasi perkebunan Deli Maschapij untuk menjadi lahan

40

Universitas Sumatera Utara


pertanian rakyat. Mereka menyebut diri Gerakan Aron yang dikoordinir

organisasi-organisasi berhaluan kiri seperti halnya Barisan Tani Indonesia (BTI)

yang merupakan onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Juara mengimbuhkan, gerakan itu berlanjut hingga Jepang mengambil alih

kekuasaan. Bentrokan fisik yang memakan banyak korban sering terjadi antara

tentara Jepang yang mengawal perkebunan dengan aron (pemuda) yang berusaha

merebut tanah-tanah perkebunan. Masih dari buku yang sama dan para orangtua

Karo masih banyak yang mengingatnya, Revolusi sosial di Sumatera Timur

(1945-1950) yang digerakkan oleh organisasi-organiasi pemuda berhaluan kiri,

banyak digerakkan jago-jago Silat Karo. Salah satu di antaranya yang terkenal

adalah Pantuk Ginting yang di kalangan bangsawan Deli dan Serdang sebagai

pemimpin preman.

3.2 Belajar Ndikkar Karo

Ndikkar Dalam prakteknya juga dinamai sebagai tari-tarian yang

memadukan gerak seni dan bela diri dalam setiap penampilannya, dalam acara-

acara tertentu pertunjukkan Ndikkar kerap diiringi dengan musik tradisional karo.

Ndikkar selalu dipertunjukkan dengan iringan musik sebagai pemadu antara tari

dan musik, dan Ndikkar ini juga merupakan salah satu dari tari tradisional suku

Karo yang dikenal dengan nama tari-tari Bintang. Namun tarian ini bukanlah tari-

tarian biasa yang gerakannya bisa dihafal dari awal sampai akhir dan tinggal

dipraktekkan saja mengikuti alunan musik, tarian ini adalah suatu wadah dimana

para pandikar menunjukkan apa yang dimilikinya atau apa yang dipelajarinya

selama mengikuti sang guru atau dengan kata lain di dalam tarian ini sang

41

Universitas Sumatera Utara


pandikar berusaha menunjukkan seberapa dalam ilmu yang telah dimilikinya yang

dalam hal ini ditunjukkan dalam sebuah gerakan tari-tarian, tentu saja hal ini

membutuhkan suatu kemampuan yang cukup mumpuni dari sang pandikar.

Untuk memperdalam dan mempelajari seni Ndikkar, seorang murid akan

diberi sumpah agar kelak jika sudah ahli, dipergunakan untuk hal hal kebaikan.

Sebelum bersumpah, seekor Manuk megara akan dipotong dan dimasak dan

sumpah pun dilaksanakan. Sumpah tersebut berisi “Sentabi guru, enda kami si

penahang-nahang daging dingen erlajar ermayan ntah pe ndikkar emaka

ersumpah aku, bapa ras nande ku la ku tokohi, la ku penangkoi, adi ajarina aku si

la payo, ku uai ken, tapi labo ku ikutken. Ras teman sada perguruen la ku tokohi la

ku penangkoi, kune pagi lit kami sada guru ngelawan bapa ras nande, penangkoi

na bapa ras nande, maka kami nagajarken ia. Enda kami penahang-nahang

daging, maka adi beluh kami pagi, labo man sirubat-rubat, tapi man kesehaten

daging, guru la ku persauken, ntah lit mberat bas bapa nande ras guru, maka ku

sampati asa ngasupku. Adi la pagi bage aku, bagi pepatei manuk megara enda

pagi aku”. “(permisi guru, ini kami merileksasikan badan dengan belajar mayan

ataupun ndikkar maka dari itu bersumpah aku, ayah dan ibu tidak ku dustai, tidak

ku bohongi. Jika diajari ayah dan ibu aku yang tidak baik, ku iyakan tapi tidak ku

laksanakan. Kemudian teman satu perguruan, tidak ku dustai tidak ku khianati.

Jika salah satu dari kami melawan ayah dan ibu, maka kami yang akan mengajari

dia. Ini kami merileksasikan tubuh, jika nanti kelak kami mahir, bukan untuk

berkelahi, tapi untuk kesehatan tubuh. Guru tidak ku khianati, jika ada kesulitan

ayah dan ibu, ku bantu sebisaku. Jika nanti aku tidak seperti itu, seperti mati nya

42

Universitas Sumatera Utara


ayam ini kelak aku.)” Setelah itu manuk megara tadi dimakan. Begitu juga seorang

guru juga memiliki sumpah. Sumpah tersebut berisi “Asa pemeteh ku lit si man

pelajari muridku ntah pe anak anak ku, la ku kurangi la ku lebihi, ku turunken man

bana. Adi ku kurangi ntah pe ku lebihi, kena sumpah aku bagi pematei manuk

megara enda pagi aku”.(“Sejauh pengetahuanku yang ada untuk dipelajari murid

dan anakku, tidak ku kurangi, tidak ku lebihi, kuwariskan untuknya. Jika ku

kurangi atau ku lebihi, maka aku terkena sumpah. Seperti matinya ayam ini kelak

aku)”.

Dalam seni bela dirinya, Ndikkar digunakan untuk menyambut serangan

lawan. Dijelaskan oleh Yakinsyah (pandikar Ndikkar), teknik yang dijunjung

Pandikar, atau mereka yang menguasai Ndikkar, ialah menjatuhkan lawan dengan

menggandakan daya tolak lawan dengan tenaga dari Pandikar itu sendiri. Pandikar

tidak menyerang lawan, tetapi memanfaatkan setiap celah untuk menjatuhkannya.

Keluwesan gerak tangan dalam Ndikkar sepintas mirip dengan tari piring dari

Padang, Sumatera Barat. Karenanya, dalam latihan perdana ini Yakinsyah meminta

kami menggunakan piring kecil. Menjaga keseimbangan piring saat digerakkan

memutar dari pinggang hingga ke atas kepala adalah agar terbiasa bila menerapkan

Ndikkar secara tangan kosong, katanya.

Seorang penari profesional pun sepertinya akan sulit untuk

mempertunjukkan tarian ini tanpa belajar bela diri Ndikkar, karena dalam tarian ini

sama sekali tidak ada suatu gerakan baku yang bisa dihafal atau diikuti, tetapi para

penari atau para pandikar secara spontan harus membuat gerakan sendiri sesuai

43

Universitas Sumatera Utara


dengan gerakan atau jurus-jurus ndikar yang telah dikuasainya dengan mengikuti

alunan musik. Walaupun merupakan suatu tari-tarian, tari-tari Bintang juga

memberi kesempatan kepada para pandikar untuk saling meyerang dan bertahan

dimana dalam pertunjukan Ndikkar dua orang akan ditampilkan untuk

menunjukkan kemampuan masing-masing. Dengan alunan musik yang bertempo

pelan diawali gerakan sembah para pandikkar mulai menari dengan gerakan yang

pelan atau normal mengikuti alunan musik, tahap ini bisa diibaratkan sebagai tahap

pemanasan. Pada tahap ini para pandikar selain menari juga mulai berusaha untuk

mencari celah atau mengintip kelemahan sang lawan. Tahap selanjutnya pemusik

mulai menaikkan tempo musiknya sehingga pergerakan para pandikar juga

semakin cepat sesuai dengan iringan musik, pada tahap inilah para pandikar mulai

saling menyerang dan mengeluarkan kemampuam masing-masing dalam beberapa

saat, biasanya pada tahap ini para penonton akan menyemangati para pandikkar

dengan teriakan dan juga memberikan aplaus bagi pandikar yang berhasil mencuri

atau menyarangkan pukulan ketubuh lawan atau juga kepada pandikkar yang

pertahanannya sulit ditembus sang lawan. Selanjutnya musik berangsur mulai

melambat dan kembali ke tempo awal, pergerakan sang pandikkar juga ikut

melambat dan akhirnya ditutup dengan gerakan sembah dari para pandikkar.

3.3 Fungsi dan Guna Ndikkar Pada Masyarakat Karo

Ndikkar sebagai suatu kesenian pada masyarakat Karo memiliki fungsi

sebagai hiburan yang sering ditampilkan, baik itu dalam agenda penyambutan,

peresmian, panen besar, pertunjukan, dan dulunya di masa perjuangan melawan

penjajah, para Pandikkar biasa mengirim sandi-sandi khusus melalui gerakan yang

44

Universitas Sumatera Utara


sudah saling dimahfumi sesama mereka. Jika dibandingkan, mungkin mirip dengan

sandi bendera Pramuka saat ini.

3.4 Tempat dan Waktu Pertunjukkan Ndikkar

Tempat dan waktu pertunjukkan ndikkar biasa dilaksanakan disaat

penyambutan kepala daerah atau pemerintah, pesta tahunan atau yang biasa nya

disebut Pesta bunga dan buah, guro-guro aron, kerja tahun dan lain sebagainya.

Penulis dalam hal ini meneliti dan mengamati Ndikkar dari sanggar bapak Iyahmin

Sinulingga.

Gambar 3.1 Sanggar bapak Iyahmin Sinulingga

Biasanya pertunjukkan ndikkar dilaksanakan pada awal dan penutupan acara

3.5 Perlengkapan Pertunjukan

Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan wawancara dengan bapak Iyahmin

Sinulingga, perlengkapan yang dibutuhkan adalah

1. Kampuh (sarung)

2. Bulang-bulang

45

Universitas Sumatera Utara


3. Parang

4. Gendang Lima Sendalanen

Kampuh dan bulang bulang wajib ada setiap pertunjukkan karena dalam

jurus pertahanan, kampuh dan bulang-bulang juga dapat digunakan sebagai akat

pertahanan di saat diserang menggunakan parang atau senjata tajam lainnya.

Di dalam penyanjian nya musik yang digunakan adalah Gendang Lima

Sendalanen. Gendang lima sendalanen merupakan unsur yang penting dalam

Ndikkar, sebab Gendang Lima Sendalanen merupakan musik pengiring. Gendang

lima sendalanen adalah lima ensambel musik yang dimainkan secara sejalan atau

bersama-sama yaitu Sarune, Gendang Singanaki, Gendang Singindungi,

Penganak, dan Gung. Sebutan untuk yang memainkan Gendang Lima Sendalanen

ini adalah Penarune (Sarune), Penggual singanaki (Gendang Singanaki),

Penggual Singindungi (Gendang Singindungi), Simalu Penganak (Penganak),

Simalu Gung (Gong).

Gendang Lima Sendalanen berfungsi membawakan reportoar musik yaitu

Gendang Mayan. Di dalam Gendang Mayan terdapat jenis lagu yaitu Gendang

Mayan5 dan Perang Alas6. Jenis reportoar ini hanya digunakan untuk mengiringi

Ndikkar. Musik sangat berkaitan dengan gerakan Ndikkar, sebab musik lah yang

menentukan perpindahan gerakan dan mengakhiri gerakan tari. Di dalam Ndikkar

terdapat gerakan tari, seperti contoh di Gendang Mayan terdapat gerakan Tari-

Tari Bintang. Tari-Tari Bintang terdapat pula di

5
Gendang Mayan adalah jenis repertoar
6
Perang alas adalah jenis repertoar

46

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.2 Gerakan Persembahen (awal)

Gambar 3.3 Gerakan Tari Bintang

47

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.4 Gerakan Kepit-kepit

Gambar 3.5 Langkah Sitelu-telu

48

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.6 Sambut sirih

Gambar 3.7 Harimau Ngajari Anakna

49

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.8 Perang Alas (pertarungan)

Gambar 3.9 Gerakan Penutup

dalamnya beberapa gerakan diantaranya Sambut Sirih, Bunga-Bunga, Langkah

Sitelu-Telu, Harimau Ngajari Anakna, Kepit-Kepit. Sementara di dalam Perang

Alas terdapat jenis gerakan Silengguri. Di dalam tari ini lah pertarungan atau aksi

di mulai.

3.6 Sejarah Perkembangan Pertunjukkan Ndikkar

50

Universitas Sumatera Utara


Perkembangan ndikkar tidak terlepas dari sejarah gendang guro guro aron.

Gendang guro guro aron adalah Pesta yang didalamnya terdapat tari-tarian yang

dimainkan oleh muda-mudi Karo. Pesta ini dilaksanakan pada saat musim panen

telah tiba, yang dimana awal pelaksanaan gendang guro guro aron bertujuan

sebagai upacara ucapan syukur karena telah diberikan hasil panen yang

berlimpah.

Sekitar tahun 1930-an awal mula nya gendang guro-guro aron, Hal ini di

tandai dengan adanya Permangga-mangga (sekarang di sebut perkolong-kolong)

yang bernama Malem pagi ginting, Malem jenda ginting. Permangga -mangga atau

perkolong-kolong adalah kesenian yang dipernakan oleh sepasang pria dan wanita

sebagai penyanyi dan sekaligus sebagai penari pada gendang guro-guro aron.

Kehadiran mereka sekaligus mampu berbalas pantun yang berisikan nasehat dan

canda untuk menghibur penonton. Pada era ini ndikkar masih belum ditampilkan

atau dengan kata lain masih rahasia atau pribadi.

Pada tahun 1958-1964, perkembangan gendang guro-guro aron di tanah

karo sangat pesat dan menjadi awal mula kebangkitan budaya Karo. hal ini di

tandai dengan terciptanya berbagai tari-tarian seperti tari lima serangkai, tari tiga

serangkai dan tari aron, Hal ini menjadkan gendang guro-guro aron sangat

penting dalam hal seni pertunjukan.

Pada tahun 1965, gendang guro-guro aron mengalami penurunan aktivitas

atau mati suri. Hal ini disebabkan pecahnya PKI pada tahun tersebut, yang

menyebakan kegiatan ekonomi di desa semakin sepi bahkan hampir mati,

kelaparan dimana-mana dan wabah penyakit melanda.

51

Universitas Sumatera Utara


Pada tahun 1967-1975, gendang guro-guro aron mulai berkembang lagi.

Hal ini ditandai dengan adanya rekaman kaset, disetiap desa di tanah Karo sudah

memiliki Jambur (balai desa). Pada era ini perubahan permangga-mangga menjadi

perkolong-kolong terjadi. Ini di prakarsai oleh Tipan sembiring. Pada tahun ini lah

ndikkar mulai masuk kedalam gendang guro-guro aron. Hal ini bermula dari para

muda-mudi yang lelah bermain atau menari dalam acara tersebut sehingga untuk

mengisi acara di panggil lah Pandikkar untuk mempertunjukkan kesenian ndikkar.

Dalam era ini terdapat perkolong-kolong yang terkenal seperti Kolam, Salam dan

Bengkel.

Pada tahun 1980-an sampai sekarang, Gendang mayan sudah bisa lepas dari

Gendang guro-guro aron. Hal ini tidak lepas dari perkembangan musik indonesia.

Gendang mayan dalam hal ini adalah Ndikkar sudah bisa dipertunjukkan dalam

suatu acara seperti pesta bunga dan buah, penyambutan kepala negara, perayaan

kemerdekaan dan lain sebagainya.

Pada tahun 1991 sampai sekarang mulai di perkenalkan Gendang keyboard,

gendang kulcapi oleh Djasa Tarigan. Keyboard yang digabungkan demgam

ensambel kesenian Karo dalam mengiringi seni pertunjukkan Gendang guro guro

aron. Hal ini dapat menjadikan keyboard sebagai satu-satunya pengiring musik

dalam suatu acara. Hingga sekarang Ndikkar dilaksanakan sebagai pertunjukkan

dengan iringan Gendang Lima sendalanen dalam acara.

Pencak silat atau silat sendiri adalah seni bela diri yang berasal dari Asia

Tenggara. Seni bela diri ini secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan

Singapura, Filipina selatan, dan Thailand selatan sesuai dengan penyebaran suku

52

Universitas Sumatera Utara


bangsa Melayu nusantara. Berkat peranan para pelatih asal Indonesia, saat ini

Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh. Kini silat sudah

mendunia. Dalam perkembangannya Silat Karo yang disebut Ndikkar atau Mayan

merupakan suatu tradisi yang sudah berusia ratusan tahun, dimana seni bela diri ini

digunakan dalam banyak kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk menghibur

dan mempertontonkan gerak tari yang di padukan dengan bela diri. Saat ini

Ndikkar masih dapat dijumpai, namun eksistensinya sudah sangat berkurang

dimasyarakat bahkan mirisnya lagi, sebagian masyarakat Karo sudah tidak lagi

mengetahui bahkan tidak percaya bahwa jejak pendekar pernah ada dalam tubuh

seni bela diri Silat Karo. Sebenarnya kata Ndikkar adalah terjemahan silat atau

pencak silat, tetapi sekarang ini orang Karo sendiri lebih sering memakai kata silat

daripada kata Ndikkar, bahkan cenderung kata Ndikkar semakin jarang didengar

atau diucapkan sehingga bagi sebagian kaum muda Karo kata Ndikkar merupakan

kata yang asing diucapkan.

Ndikkar seperti juga pencak, tujuannya untuk tarian menghibur di saat silat

tidak sedang diperagakan. Pendekar membutuhkan penyaluran energi karenanya

lahirlah pencak yang kesemua gerakannya adalah silat. Maka disebut pencak silat.

Seperti kebanyakan pertunjukan silat. Iriangan musik tradisional untuk menambah

kesan mendalam terhadap ilmu dalam mempelajari silat. Pencak dalam Silat Karo

(Ndikkar) termasuk ke dalam “Tari-tari Bintang.” Anthony Reid menyebut Silat

Karo pernah digunakan dalam Revolusi Berdarah di Sumatera Timur. Berdasarkan

sumber dari media Karo Sora Sirulo terdapat sejumlah nama guru besar Silat Karo

53

Universitas Sumatera Utara


seperti Seter Sembiring (Lau Baleng), Pa Kuling-Kuling atau Menet Ginting (Lau

Cimba), Pa Johan Barus (Pendekar Buntu), Belat Tarigan (Kaban), Tagok

Peranginangin (Lau Buluh), Ginting Capah (Sibolangit) dan Tukang Ginting

(Berastagi).

Silat Karo terdapat 7 jurus Ndikkar. Satu di antara orang yang menguasai

jurus silat adalah Yakinsyah tinggal di Belanda. Jurus-jurus dasar Silat Karo antara

lain ialah: jurus pertahanen (pertahanan), langkah 2, langkah 7, tare-tare bintang,

jile-jile sarudung, pertahanen harimau, pertahanen pedi, dan teknik dapat buang

lepas. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, Ndikkar juga merupakan

olahraga bela diri tradisional khas dari daerah Karo yang memiliki ciri khas

tersendiri yang berbeda dari daerah lain, sedangkan Pandikar adalah kata sebutan

bagi orang-orang yang mendalami ilmu bela diri ini ataupun orang-orang yang

memiliki ilmu bela diri Ndikkar. Saat ini Ndikkar sangat jarang dipelajari atau

diajarkan baik di Tanah Karo ataupun di luar Tanah Karo, sehingga kemungkinan

suatu saat Ndikkar ini akan punah atau lenyap dari peradaban Suku Karo, sungguh

suatu hal yang sangat disayangkan mengingat Ndikkar ini juga merupakan aset

budaya Karo yang seharusnya dilestarikan untuk diwariskan kepada generasi yang

akan datang. Saat ini hanya segelintir orang-orang tertentu dan juga di desa-desa

tertentu saja yang masih mengerti atau memiliki kemampuan untuk

mempraktikkan gerakan atau jurus dalam Ndikkar, rata-rata orang-orang ini adalah

para orang tua. Meskipun mereka mempunyai beberapa murid namun terkesan

ilmunya berhenti hanya sampai disitu saja tanpa ada generasi penerusny

54

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

TRANSKRIPSI DAN ANALISIS MELODI SARUNE

4.1 Transkripsi

Transkripsi didalam ilmu Etnomusikologi merupakan proses penulisan

bunyi-bunyian sebagai hasil dari pengamatan dan pendengaran suatu musik ke

dalam bentuk simbol-simbol yang disebut dengan notasi. Dalam hal ini penulis

ingin memvisualisasikan melodi Sarune. Untuk melakukan transkripsi dari melodi

Sarune, penulis akan memakai sistem notasi deskriptif yang dikemukakan oleh

Charles Seeger. Notasi deskriptif ini ditujukan untuk menyampaikan kepada

pembaca tentang ciri-ciri musik atau detail-detail komposisi musik yang belum

diketahui oleh pembaca.

Dalam bab ini, penulis memilih untuk melakukan transkripsi dan analisis

melodi melodi Sarune dengan menggunakan notasi Barat. Penulis memilih notasi

Barat agar dapat menggambarkan pergerakan melodi melodi Sarune secara grafis

atau tertulis (dapat dilihat).

55

Universitas Sumatera Utara


Gendang Mayan

56

Universitas Sumatera Utara


57

Universitas Sumatera Utara


4.1.1 Simbol Dalam Notasi

Notasi-notasi yang digunakan dalam mentranskripsi melodi Sarune

merupakan simbol-simbol notasi Barat. Berikut ini merupakan beberapa simbol

yang digunakan dalam hasil transkripsi dari melodi Sarune.

1. Pada gambar dibawah ini terlihat garis paranada yang memiliki lima garis

paranada dan 4 spasi, dan memiliki tiga tanda flat yang menunjukkan nada

dasar Es= do, dan memiliki birama 4/4 dalam tanda kunci G

2. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/8 dan memiliki nilai 1/2

ketuk.

3. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/4 dan memiliki nilai 1

ketuk.

4. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/2 dan memiliki nilai 2

ketuk.

58

Universitas Sumatera Utara


5. Pada gambar dibawah ini merupakan 2 simbol dari not 1/8 yang telah

digabungkan dan memiliki nilai 1 ketuk.

6. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/4 yang bagian depan nya

diberikan tanda titik yang di artikan bahwa tanda titik itu memiliki nilai

setengah dari not yang ada dibelakangnya. Artinya jika not dibelangkanya

bernilai 1/4 maka tanda titik itu bernilai 1/8, dan memiliki nilai 1 + 1/2 ketuk.

7. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/2 yang bagian depan nya

diberikan tanda titik yang di artikan bahwa tanda titik itu memiliki nilai

setengah dari not yang ada dibelakangnya. Artinya jika not dibelangkanya

bernilai 1/2 maka tanda titik itu bernilai 1/4, dan memiliki nilai 2 + 1 ketuk.

8. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari not 1/8 dan not 1/16 yang

bagian depan not 1/8 diberikan tanda titik yang di artikan bahwa tanda titik itu

memiliki nilai setengah dari not yang ada dibelakangnya. Artinya jika not

59

Universitas Sumatera Utara


dibelangkanya bernilai 1/8 maka tanda titik itu bernilai 1/16, dan memiliki nilai

1/8 + 1/16 + 1/16 ketuk, jika digabungkan menjadi 1 ketuk.

9. Pada gambar dibawah ini merupakan simbol dari legato. Yang memiliki arti

dapat menyambungkan antara not yang satu dengan yang lainnya, contohnya

seperti dibawah ini jika not 1/4 dengan not 1/2 di berikan tanda legato maka not

itu bernilai 3 ketuk tanpa henti.

10. Pada gambar dibawah ini merupakan tanda berhenti yang bernilai 2 ketuk

11. Pada gambar dibawah ini merupakan tanda berhenti yang bernilai 1 ketuk

12. Pada gambar dibawah ini merupakan tanda berhenti yang bernilai 1/2 ketuk

4.1.2 Tangga Nada (Scale)

Tangga nada dalam musik barat dapat diartikan sebagai satu kumpulan not

yang diatur sedemikian rupa dengan aturan yang telah ada (baku) sehingga

60

Universitas Sumatera Utara


memberikan karakter tertentu. Dalam melodi Sarune, penulis memberikan uratan-

urutan nada yang terendah sampai nada yang tertinggi berdasarkan pemakaian

nada.

Berdasarkan tangga nada yang dipakai dalam melodi Sarune di atas, penulis

melihat bahwa nada yang dipakai dalam melodi Sarune adalah nada Es-F-G-As-

Bes-C-D-Es’.

4.1.3 Nada Dasar (Pitch Center)

Bruno Nettl mengemukakan ada tujuh cara untuk menentukan nada dasar

(pitch center/tonalitas) yaitu :

1. Patokan umum adalah melihat nada mana yang paling sering dipakai dan nada

mana yang jarang dipakai dalam komposisi tersebut.

2. Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dapat dianggap sebagai nada

dasar, walaupun nada tersebut jarang dipakai.

3. Nada yang dipakai pada akhir (awal) komposisi atau pada akhir (awal) bagian-

bagian komposisi, dapat dianggap sebagai tonalitas dalam komposisi tersebut.

4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada atau posisi persis

ditengah-tengah dapat juga dianggap penting.

5. Interval-interval yang terdapat diantara nada-nada kadang dipakai sebagai

patokan.

6. Ada tekanan ritmis pada sebuah nada, juga dipakai sebagai tonalitas.

61

Universitas Sumatera Utara


7. Harus diingat bahwa barang kali ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem

tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan diatas. Untuk

mendeskripsikan sistem tonalitas seperti ini, cara terbaik tampaknya adalah

berdasarkan pengalaman, pengenalan yang akrab dengan gaya musik tersebut

akan dapat ditentukan tonalitas dari musik yang diteliti.

Dari kutipan diatas penulis melihat pernyataan pertama, ketiga dan ketujuh

disepakati penulis untuk menjadi patokan nada dasar pada melodi Sarune. Maka

nada dasar melodi Sarune dalam tulisan ini adalah nada Es.

4.1.4 Wilayah Nada (Range)

Wilayah nada dalam sebuah komposisi musik adalah jarak antara nada

terendah dengan nada tertinggi yang ada pada melodi tersebut.Untuk

mempermudah penulis dalam mendapatkan wilayah nada melodi Sarune, maka

melodi Sarune tersebut akan dimasukkan ke dalam garis paranada untuk dapat

melihat dengan jelas susunan nada-nada yang ada pada lagu tersebut, dengan

tujuan untuk mempermudah penulis dalam melihat nada terendah dan tertinggi

dalam lagu tersebut. Wilayah nada melodi Sarune dapat kita lihat pada gambar

dibawah, berikut adalah wilayah nada dari yang terendah hingga tertinggi.

4.1.5 Jumlah Nada (Frequency of Notes)

Jumlah nada dapat dilihat dari banyaknya pemakaian nada dalam sebuah

koposisi musik yang telah ditranskripsikan kedalam bentuk notasi.Jumlah nada

62

Universitas Sumatera Utara


yang dipakai dalam melodi Sarune sesuai dengan tangga nada yang telah dibuat

sebelumnya.

Berikut adalah jumlah nada yang digunakan dalam melodi Sarune adalah nada.

Nama Nada Jumlah Nada Total Nada

Es _ _

Es’ 90 _

F 48 _

G 60 _

As 32 _

Bes 70. _

C 32 _

D 178 _

D, 22 _

532

Tabel -4 Jumlah Nada

63

Universitas Sumatera Utara


4.1.6 Jumlah Interval (prevalent intervals)

Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lainnya (Manoff

1991:50).Jarak antara nada satu dengan nada lainnya yang terdiri dari interval naik

maupun interval turun menurut jumlah larasnya yang dapat mempengaruhi jumlah

interval tersebut.Sedangkan jumlah interval merupakan banyaknya interval yang

dipakai dalam suatu komposisi musik atau nyanyian.

Nama Interval Posisi Interval Jumlah Interval

1P _ 32

2M  106

2M  92

3M  32

3M  64

4P ↑ 2

4P ↓ 44

8P ↑ 18

8P ↓ 20

Tabel -5 Jumlah Interval

64

Universitas Sumatera Utara


4.1.7 Pola Kadensa (Cadence Patterns)

Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi penutup pada akhir

lagu atau di tengah kalimat, sehingga dapat dengan sempurna menutup lagu

tersebut. Dalam melodi Sarune penulis memilih melodi akhir sebagai pola kadensa.

Pola Kadens

4.1.8 Formula Melodik (Melodic Formulas)

Formula melodi dalam hal ini terdiri atas bentuk, frasa, dan motif.Bentuk

adalah gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi. Frasa

adalah bagian-bagian kecil dari melodi.Sedangkan motif adalah ide melodi sebagai

dasar pembentukan melodi. Berikut beberapa istilah untuk menganalisis bentuk,

yang dikemukakan oleh William P. Malm :

1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang diulang-ulang.

2. Ireratif yaitu bentuk nyanyian/melodi yang memakai formula melodi yang kecil

dengan kecenderungan pengulang-pengulang di dalam keseluruhan nyanyian.

3. Strofic yaitu bentuk nyanyian yang diulang tetapi menggunakan teks

nyanyian/melodi yang baru atau berbeda.

4. Reverting yaitu bentuk yang apabila dalam nyanyian/melodi terjadi

pengulangan pada frasa pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan

melodi.

5. Progressive yaitu bentuk nyanyian/melodi yang terus berubah dengan

menggunakan materi melodi yang selalu baru.

65

Universitas Sumatera Utara


Pada melodi Sarune, penulis menyimpulkan dari kutipan diatas bahwa

bentuk melodi Sarune adalah bentuk strophic dan Reverting dimana dalam melodi

Sarune tersebut dinyanyikan dengan melodi yang sama namun teksnya bervariasi

dan cenderung ada penyimpangan-penyimpangan sebelum kembali lagi ke melodi

awal.

4.1.9 Kontur (Contour)

Kontur adalah sebuah alur melodi yang biasanya ditandai dengan menarik

garis. Menurut Malm ada beberapa jenis kontur (Malm dalam Jonson 2000:76).

Jenis-jenis tersebut antara lain:

1. Ascending, yaitu garis melodi yang sifatnya naik dari nada rendah ke nada yang

lebih tinggi. seperti tampak pada gambar dibawah:


2. Descending, yaitu garis melodi yang sifatnya turun dari nada yang tinggi ke

nada yang rendah. seperti tampak pada gambar dibawah:


3. Pendulous, yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari (a) nada yang

rendah ke nada yang tinggi, kemudian kembali ke nada yang rendah atau dari (b)

nada yang tinggi ke nada yang rendah, kemudian kembali ke nada yang tinggi.

Seperti tampak pada gambar dibawah:

(a) (b)

66

Universitas Sumatera Utara


4. Teracced, yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga dari

nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi kemudian sejajar, seperti tampak pada

5. Statis, yaitu garis melodi yang sifatnya tetap atau apabila gerakan-gerakn

intervalnya terbatas. Seperti tampak pada gambar dibawah:


Dari jenis-jenis kontur yang tertera diatas, dalam lagu Kapri terdapat alur,

yaitu:

1. Pendulous

67

Universitas Sumatera Utara


4.1.10 Analisis ritem

1. Tempo : 75

2. Durasi nyanyian : 2 menit 23 detik

3. Meter : Free Meter

4.1.11 Bentuk (form)

Bentuk dapat diartikan sebagai hubungan antara bagian-bagian dari sebuah

komposisi musik dan hal ini merupakan struktur dari keseluruhan sebuah

komposisi termasuk hubungan diantara unsur-unsur melodis dan ritmis.

Dalam melodi Sarune dapat kita lihat bahwa:

a. Terdapat 2 frasa dalam melodi Sarune

Frasa 1

Frasa 2

68

Universitas Sumatera Utara


Musik pengiring Sarune

69

Universitas Sumatera Utara


70

Universitas Sumatera Utara


71

Universitas Sumatera Utara


72

Universitas Sumatera Utara


73

Universitas Sumatera Utara


74

Universitas Sumatera Utara


75

Universitas Sumatera Utara


76

Universitas Sumatera Utara


77

Universitas Sumatera Utara


78

Universitas Sumatera Utara


79

Universitas Sumatera Utara


80

Universitas Sumatera Utara


81

Universitas Sumatera Utara


82

Universitas Sumatera Utara


83

Universitas Sumatera Utara


84

Universitas Sumatera Utara


85

Universitas Sumatera Utara


86

Universitas Sumatera Utara


87

Universitas Sumatera Utara


88

Universitas Sumatera Utara


89

Universitas Sumatera Utara


90

Universitas Sumatera Utara


91

Universitas Sumatera Utara


92

Universitas Sumatera Utara


93

Universitas Sumatera Utara


94

Universitas Sumatera Utara


95

Universitas Sumatera Utara


96

Universitas Sumatera Utara


97

Universitas Sumatera Utara


98

Universitas Sumatera Utara


99

Universitas Sumatera Utara


BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari seluruh bab yang telah penulis uraikan, penulis dapat menyimpulkan

bahwasanya partunjukan Silat Ndikkar ini sangat berdampak baik bagi

masyarakat terkhususnya masyarakat Karo karena dengan dipelajarinya

kembali pertunjukan Ndikkar ini dapat membangkitkan dan melestarikan

budaya yang secara perlahan mulai menghilang dan membangkitkan kecintaan

para kaum muda pada kebudayaannya.

5.2 Saran

Ndikkar merupakan salah satu kesenian di Karo yang kondisinya mulai

memprihatikan mulai dari jarangnya dilaksanakan dan regenerasi menjadi

pekerjaan rumah bagi semua pihak agar kedepannya dapat terlestarikan. Hal

ini harus disadari oleh pemerintah dan masyarakat saat ini. Kepada pemerintah

khususnya, agar memperhatikan dan menjaga keberadaan kesenian ini.

kesenian ini dapat dimanfaatkan sebagai produk pariwisata budaya dalam

kemasan seni pertunjukan. Dengan itu kelestarian kesenian ini dapat terjaga.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belumlah mampu dikatakan sebagai

tulisan yang baik. Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap yang

kecil namun penulis berharap dapat bermanfaat bagi masyarakat, rekan-rekan

pecinta budaya, khususnya budaya karo. Kritik dan saran dari kawan-kawan

sekalian sangatlah penulis harapkan.

100

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Bangun, Roberto. 2006. Mengenal Suku Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima
Bangun, Tridah. 1986. Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Idayu Press
Bangun, Tridah. 1990. Adat Istiadat Karo. Bandung: Yayasan Merga Silima
Barus, Elieser. 2013. Fungsi dan Penggunaan Gendang Lima Sendalanen pada
Upacara Muncang di Dusun III Namo Rindang Desa Mbaruai kecamatan
Biru-biru Kabupaten Deli Serdang. Medan: Departemen Etnomusikologi
FIB Usu (Skripsi Sarjana)
Boedhisantoso. 1982. Kesenian dan Nilai-nilai Budaya. Jakarta: Depdikbud
Ginting, E.P. 1999. Religi Karo, Kabanjahe: Abdi Karya
Koendtjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineke Cipta
Koendtjaraningrat. 1985. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia
Malinowski, Bronislaw. 1986. A Scientify Theory of Culture. Newyork: The
University of North Carolina Press
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Northwestern
University Press
Malm,William P. 1977. Music Culture of the Pacific, Near East, and Asia
(Diterjemahkan oleh Muhammad Takari). Medan: USU Press.
Nasution, S. 1982. Method Research. Bandung: Jemmars

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. New York. The free
Press
Prins, Darwan. 2002. Kamus Karo Indonesia. Medan: Bina Media
Prins, Darwan. 2008. Adat Karo. Medan: Bina Media
Tan, Melly G. 1985. Metode Penelitian Masyarakat oleh Koentjaraningrat. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

101

Universitas Sumatera Utara


Data Website :
http://id.wikipedia.org
http://silimamerga.blogspot.com
http://www.karoweb.or.id

http://sopopanisioan.blogspot.com/2012/03/ndikkar-mayan-memapah-jati-diri-
karo.html

102

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Iyahmin Sinulingga

Tempat/Tgl Lahir : Lingga, 11-8-1952

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan : Pesilat

Alamat : Desa Lingga

2. Nama : Deking Sinulaki

Tempat/Tgl Lahir : Desa Sugihen, 23-3-1966

Umur : 51 tahiun

Pekerjaan : Seniman

Alamat : Jln.Veteran Kabanjahe

3. Nama : Malem Ukur Ginting

Tempat/Tgl Lahir : Pernantin, 26-1-1959

Umur : 57 Tahun

Pekerjaan : Pemerhati adat dan budaya/ Insturktur Tari

Alamat : Jln. Siki no.6 Kabanjahe

4. Nama : Jonson Sinulingga

Tempat/Tgl Lahir : Kabanjahe, 12-2-1964

Umur : 53 Tahun

Pekerjaan : Tokoh Adat

Alamat : Desa Lingga

103

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai