Anda di halaman 1dari 6

NAMA : NINA HELIANA

NIM : 1154010101
KELAS : BKI-VII-C

KEUNIKAN KAMPUNG ADAT TRUNYAN, BALI

A. Asal Usul Suku Trunyan


Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan
berarti wangi atau harum. yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi
perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang
semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut
tidak mengeluarkan bau menyengat. ( Kuntjaraningrat,1967:213)
B. Adat Kebudayaan dan Ritual
Berikut Mitos yang dipercayai terdapat di suku Trunyan.
1. Adat Kebudayaan di suku Trunyan
Berikut adalah, beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai
berikut:
a. Bentuk Pemakaman
Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada
umumnya, yang dikenal dengan Ngaben.
Berikut fakta tentang bentuk pemakaman di Desa Trunyan :
- Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan
membusuk ditanah membentuk cekungan panjang.
- Biasanya pemakaman selalu identic dengan peti atau kain kafan, tapi tidak
begitu di trunyan. Mayat hanya di letakan begitu saja di atas tanah
- Bukan sembarang tanah, warga trunyan meletakkan mayat di bawah sebuah
pohon yang sudah bertahun-tahun tumbuh disana
- Kerabat dari orang-orang mati cukup menyiapkan bamboo sebagai pagar
disamping makamnya. Nampak sederhana tidak seperti pemakaman di tempat
lian.
- Selain dipagari dengan bamboo ukuran satu meteran, juga ada sesaji yang di
letakkan persis di dekat area makam
- Kendati dibiarkan terbuka tanpa tertimbun tanah, mayat yang ada di makam
Trunyan ini tidak menimbulkan bau busuk. Malah bau harum yang tercium.
- Usut punya usut, bau harum tersebut dari pohon besar bernama Taru Menyan
yang berada di tengah makan. Warga sekitar pun percaya jika akar dari pohon
ini yang menyerap bau busuk dari mayat.
- Beberapa mayat yang sudah menjadi tulang belulang dikumpulkan menjadi
satu. Hal ini agar mayat yang baru dapat diletakkan di sebelah pohon Taru
Menyan.
- Tidak semua orang yang mati bisa diletakkan dimakam ini. Tentu saja ada
persyratannya, mulai dari status hingga kematian yang wajar atau tidak.

Bentuk Pemakaman Di Trunyan Bali


b. Pementasan Barung Brutuk
Selain keunikan dari penguburan mayat, Trunyan juga memiliki tarian langka
bernama Barong Brutuk sangat jarang dipentaskan terkecuali saat odala di Pura
Pancering Jagat desa Trunyan.
Tari Barong

2. Ritual dalam Desa Trunyan


Dalam ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada
di Bali hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan
Ngaben tapi di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja.
C. Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan
Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, atau salah satu versi yang berbeda dari
agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan, yang
selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yang juga telah diakui
sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Agama Hindu Trunya dianggap sebagai
agama varian dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya lebih
berpegang kepada kepercayaan Trunyan asli. Sedangkan maksut dari kepercayaan
Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor
worship), yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga
perlu untuk dipuja (animisme). Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut
kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy
Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja
dewa-dewa asli Trunyan. (Kuntjaraningrat,1967:218)
D. Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan
Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki
kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya.. Meskipun
sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran
jenasah. Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru
Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan
pagar dari belahan bambu.Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa
Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai
penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan
istilah mepasah.
2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah
mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh
seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya..
Selain itu Desa ini juga memiliki tiga cara unik penggolongan dalam
mengupacarai mayat, yang maknanya dikatakan setara dengan upacara pengabenan.
Adapun cara tersebut adalah sebagai berikut.
1. Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan
umumnya.
2. Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan,
pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat
penguburannya adalah di “Sema Bantas” yang terletak diperbatasan desa Trunyan dan
desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
E. Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain
Interaksi antara etnis Bali dengan etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara etnis Bali
dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak)
dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan
berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan
wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Kerjasama
tersebut berlanjut sampai sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan wilayan
Desa Pakraman yakni sebagai pencalang dan jagabaya. Sebagai pencalang umat Hindu
dan umat Islam ikut bergabung menjaga keamanan, berkeliling di wilayah desa dan
banjar.( Trisila,2002:43)
Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di
pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah,
kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu
pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi pada
sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi
dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan
sehari-hari.
Dinamika budaya serta perubahan sosial di Trunyan juga menjadi salah satu bukti
interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari
kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun
seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran
agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa
Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan
tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa
kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak
begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha
melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan
telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. .
DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja James, 1998, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta:


UI-Press,
Https://odeammooa.wordpress.com/2015/06/10/pengaruh-budaya-terhadap-
arsitektur-desa-adat-trunyan-dalam-bingkai-wujud-dan-unsur-kebudayaan/,14 Maret
2016
Kuntjaraningrat, Ilmu Antropologi, (Jakarta: UI Press, 1967)

Trisila, 2002 Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali, (Depasar : Universitas


Udayana)

Anda mungkin juga menyukai