Trunyan berasal dari kata Taru Menyan, Taru yang berarti pohon dan menyan berarti wangi atau harum. yang sekarang ini menjadi pohon besar yang menjadi perkuburan adat masyarakat Trunyan. Pohon ini dipercaya mempunyai wangi yang semerbab yang membuat jenazah-jenazah yang diletakkan di sekitar pohon tersebut tidak mengeluarkan bau menyengat. ( Kuntjaraningrat,1967:213) B. Adat Kebudayaan dan Ritual Berikut Mitos yang dipercayai terdapat di suku Trunyan. 1. Adat Kebudayaan di suku Trunyan Berikut adalah, beberapa adat kebudayaan yang terdapat di suku Trunyan. Sebagai berikut: a. Bentuk Pemakaman Desa Trunyan memiliki pemakaman yang unik, yang berbeda dengan Bali pada umumnya, yang dikenal dengan Ngaben. Berikut fakta tentang bentuk pemakaman di Desa Trunyan : - Orang yang meninggal bukan dibakar atau dimakamkan, melainkan dibiarkan membusuk ditanah membentuk cekungan panjang. - Biasanya pemakaman selalu identic dengan peti atau kain kafan, tapi tidak begitu di trunyan. Mayat hanya di letakan begitu saja di atas tanah - Bukan sembarang tanah, warga trunyan meletakkan mayat di bawah sebuah pohon yang sudah bertahun-tahun tumbuh disana - Kerabat dari orang-orang mati cukup menyiapkan bamboo sebagai pagar disamping makamnya. Nampak sederhana tidak seperti pemakaman di tempat lian. - Selain dipagari dengan bamboo ukuran satu meteran, juga ada sesaji yang di letakkan persis di dekat area makam - Kendati dibiarkan terbuka tanpa tertimbun tanah, mayat yang ada di makam Trunyan ini tidak menimbulkan bau busuk. Malah bau harum yang tercium. - Usut punya usut, bau harum tersebut dari pohon besar bernama Taru Menyan yang berada di tengah makan. Warga sekitar pun percaya jika akar dari pohon ini yang menyerap bau busuk dari mayat. - Beberapa mayat yang sudah menjadi tulang belulang dikumpulkan menjadi satu. Hal ini agar mayat yang baru dapat diletakkan di sebelah pohon Taru Menyan. - Tidak semua orang yang mati bisa diletakkan dimakam ini. Tentu saja ada persyratannya, mulai dari status hingga kematian yang wajar atau tidak.
Bentuk Pemakaman Di Trunyan Bali
b. Pementasan Barung Brutuk Selain keunikan dari penguburan mayat, Trunyan juga memiliki tarian langka bernama Barong Brutuk sangat jarang dipentaskan terkecuali saat odala di Pura Pancering Jagat desa Trunyan. Tari Barong
2. Ritual dalam Desa Trunyan
Dalam ritual desa Trunyan yang membedakan dengan ritual suku-suku yang ada di Bali hanya dilihat dari bentuk pemakamannya. Umumnya dikubur atau dengan Ngaben tapi di Trunyan hanya diletakkan di bawah pohon saja. C. Religi, Tempat dan Upacara Keagamaan Religi di Desa Trunyan berbentuk variant, atau salah satu versi yang berbeda dari agama Hindu Bali, yang dapat disebut sebagai agama Hindu Bali Trunyan, yang selanjutnya merupakan sebagian dari agama Hindu Dharma, yang juga telah diakui sebagai salah satu agama resmi Indonesia. Agama Hindu Trunya dianggap sebagai agama varian dari agama Hindu Bali, karena agama tersebut pada dasarnya lebih berpegang kepada kepercayaan Trunyan asli. Sedangkan maksut dari kepercayaan Trunyan asli adalah kepercayaan berlandaskan kepada pemujaan roh leluhur (ancerstor worship), yakni tentang adanya roh lainnya di alam sekeliling tempat tinggal, sehingga perlu untuk dipuja (animisme). Walaupun dari luar religi Trunyan tersebut kelihatannya sudah termasuk agama Hindu, karena sudah mempergunakan liturgy Hindu, lebih tepatnya dengan Hindu Bali. Namun semua itu digunakan untuk memuja dewa-dewa asli Trunyan. (Kuntjaraningrat,1967:218) D. Upacara Kematian dan Pemakaman Trunyan Meski masyarkat Trunyan menganut agama Hindhu, namun mereka memiliki kebudayaan yang berbeda dengan masyarakat Hindhu Bali umumnya.. Meskipun sama-sama menganut Hindu, warga Trunyan tidak melakukan upacara pembakaran jenasah. Jenasah kerabat yang meninggal hanya dibaringkan di bawah pohon Taru Menyan tanpa menguburnya. Jenasah hanya ditutup kain putih dan dilindungi dengan pagar dari belahan bambu.Pohon taru menyan itulah cikal bakal nama desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu: 1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. 2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya.. Selain itu Desa ini juga memiliki tiga cara unik penggolongan dalam mengupacarai mayat, yang maknanya dikatakan setara dengan upacara pengabenan. Adapun cara tersebut adalah sebagai berikut. 1. Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan umumnya. 2. Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar seperti kecelakaan, pembunuhan, dan lainnya maka mayat dikatakan memiliki suatu kesalahan. Tempat penguburannya adalah di “Sema Bantas” yang terletak diperbatasan desa Trunyan dan desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum. E. Interaksi Kepercayaan Orang Trunyan Dengan Agama-agama Lain Interaksi antara etnis Bali dengan etnis Sasak (Islam). Kerjasama antara etnis Bali dan etnis Sasak sudah terjadi jauh sebelumnya, pada saat kedatangan Islam (Sasak) dengan pihak kerajaan Karangasem. Masyarakat Islam Sasak ditempatkan berdampingan dengan masyarakat hindu dan bekerjasama dalam menjaga keamanan wilayah kerajaan Karangasem dari serbuan kerajaan lainnya di Bali. Kerjasama tersebut berlanjut sampai sekarang, namun dalam konteks menjaga keamanan wilayan Desa Pakraman yakni sebagai pencalang dan jagabaya. Sebagai pencalang umat Hindu dan umat Islam ikut bergabung menjaga keamanan, berkeliling di wilayah desa dan banjar.( Trisila,2002:43) Selain itu antara etnis Bali dan Etnis Sasak (Islam) juga terjadi interaksi jual beli di pasar tradisional antara pedagang etnis Sasak misalnya (pedagang sate, cendol, buah, kain, tukang jarit dan sebagainya) dengan pembeli masyarakat etnis Bali dan begitu pula sebaliknya. Tidak hanya sebatas pedagang dan pembeli, interaksi juga terjadi pada sesama pedagang etnis Bali dan Etnis Sasak. Mereka saling memberikan rekomendasi dagangan teman atau kerabat mereka kepada pembeli yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari. Dinamika budaya serta perubahan sosial di Trunyan juga menjadi salah satu bukti interaksi Trunyan terhadap agama-agama lain. Letak Trunyan yang terpencil dari kehidupan orang bali pada umumnya, dan bangsa Indonesia pada lainnya. Biarpun seperti itu desa ini telah lama menjadi perhatian orang luar, terutama dalam penyebaran agama Hindu disana, yang mayoritas di anaut oleh masyarakat Bali. Persentuhan desa Trunyan dengan budaya luar, sebenarnya sudah mulai sejak lama. Namun persentuhan tersebut sebatas pada Hindu Bali saja. Setelah itu, persentuhan yang dibawa dari masa kolonialisasi baik budaya Asia, seperti Jawa, India dan Cina, ternyata tidak berdampak begitu berarti pada perkembangan kepercayaan. Mereka dengan teguh tetap berusaha melestarikan kebudayaan yang dimiliki. Apalagi dewasa ini, Bali secara keseluruhan telah dikenal di mata Internasional menjadi salah satu tujuan wisata. . DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja James, 1998, Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali, (Jakarta:
UI-Press, Https://odeammooa.wordpress.com/2015/06/10/pengaruh-budaya-terhadap- arsitektur-desa-adat-trunyan-dalam-bingkai-wujud-dan-unsur-kebudayaan/,14 Maret 2016 Kuntjaraningrat, Ilmu Antropologi, (Jakarta: UI Press, 1967)
Trisila, 2002 Akulturasi Budaya Islam Hindu di Bali, (Depasar : Universitas