Anda di halaman 1dari 12

PERJALANAN HUSNI JAMALUDDIN

Peran Husni Jamaluddin disingkat HJ, dalam proses pembentukan provinsi Sulawesi Barat tidak diragukan lagi. Bahkan HJ bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat Hasanuddin, Gubernur Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang panjang dan tak kenal menyerah. Mengapa para pejuang dan masyarakat Sulbar begitu mendambakan sebuah provinsi sendiri. Tentu saja ada berbagai motivasi dan harapan yang mendasarinya. Namun motif ekonomi, politik dan budayalah yang paling dominan dalam mengkristalkan kemauan untuk mewujudkan provinsi Sulbar. Ada satu keinginan tulus dan sungguh yang bersifat kolektif untuk menata sendiri satu pemerintah daerah provinsi dalam rangka mengejar ketertinggalan dibidang kesejahteraan, kedewasaan budaya, demokrasi serta emansipasi dibidang sosial-politik. Akan hal perjuangan kebudayaan yang melatari dan ingin dicapai oleh masyarakat Sulbar, maka dapat dikatakan bahwa HJ yang lahir di Tinambung tahun 1934 itu, adalah Iconnya. Sebagai lonely fighter, bibit kritisisme dan progresivitas telah tertanam di jiwa HJ sejak masa belianya. Pada waktu sekolah menengah atas di Jakarta, HJ telah mengasah kepekaan dan kecendekiaannya sebagai seorang penyair. Dan bakat kepenyairannya memperoleh landasan kokoh setelah memenangkan lomba penulisan puisi antar pelajar se-Jakarta Raya dengan judul puisi, 45-54. Periode HJ di Jakarta tentu saja tak akan lepas dari pengaruh arus pemikiran di jamannya. Saat itu, tahun 50-an adalah saat dimana semangat liberalisme begiti meninggi dibidang politik dan kebudayaan. Di bidang politik kabinet jatuh bangun dalam hitungan bulan. Terjadi instabilitas, nasionalisme mengalami cobaan hebat. Nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang dimasa pergerakan bersatu dalam term nasionalisme, pada masa pasca kemerdekaan mengalami keterpecahan. Mulai muncul isu-isu kedaerahan yang bersilang tukar dengan semangat fanatisme agama. Dan sebagai klimaks dari perseteruan ideology berkepanjangan tersebut, adalah langkah rekonsiliasi otoritarianisme Soekarno yang mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 45 di tahun 1959. Di bidang kebudayaan generasi tahun 50-an cenderung merayakan pribumisasi dengan mengukuhkan kepribadian dan kemandirian. Ini adalah antitesis terhadap prinsip universalisme yang diteriakkan oleh generasi 45, Khairil Anwar dkk Kami adalah pewaris kebudayaan dunia . Kecenderungan berkiblat kebarat ini mendapatkan perlawanan hebat dari generasi atau angkatan tahun 50-an yang mau lebih realistis dan membumi. Generasi ini lebih condong memposisikan diri sebagai corong ideologi tertentu. Dengan prinsip seni untuk rakyat, ideolog aliran ini, Nyoto mengatakan Tidak perduli siapapun yang menciptakan hasil kesenian, yang penting adalah bagaimana mengusahakan supaya rakyat banyak dapat menikmati hasil-hasil senimannya. Gagasan seni kerakyatan ini kemudian mewujud dalam Lembaga Kesenian Rakyat ( Lekra ). Di tengah perseteruan dua kutub, yakni kutub Individualisme vs Kolektivisme ini, muncul sebuah gagasan besar dan orisinal yang dipelopori oleh Sutarji Calzoum Bachri dkk, yaitu gerakan kembali keakar tradisi dan agama. Gerakan ini menentang kecendrungan totolitarian seni dari Lekra dan prinsip seni untuk seni dari kalangan Humanisme Universal

Di taman budaya inilah HJ menemukan habitatnya. Tentu saja setelah melalui pergulatan batin yang intens selama di perantauan. Sebagai seorang muslim yang taat dan orang Mandar yang rendah hati, HJ tentu enggan untuk larut dalam idealisme ataupun realisme yang radikal. HJ tentu tahu persis prinsip jalan tengah Islam dalam segala manifestasinya. pahamnya ini lalu mengkristal seiring dengan kepulangannya ke Makassar. Di sini HJ mulai memainkan perannya sebagai seniman dan intelektual yang peka, kritis dan patut diperhitungkan. Pada periode Makassar tahun 70-an inilah HJ menemukan bentuk pengucapan diri yang otentik, dengan wawasan ke-Islaman yang bercorak Perennial disamping corak kedaerahannya, yang dicirikan dengan persajakan mantera yang penuh pengulangan2. Realisasi diri ini sekaligus adalah oposisi langsung terhadap berhala modernisme, individualisme dan totolitarianisme seni. Paham perennial itu tampak pada ketidak gamangannya menulis sajak-sajak dengan tema-tema Mitology, Budhisme dan Kristiani. Lihat sajak-sajak Bila To Manurung balik ke langit, Budha dan Salib. Namun pada sajak-sajak tersebut akan dibaluti dengan problem kemanusiaan yang dalam, seperti dalam sajak Salib ; Yesus / kembali ke Golgota / melewati Via Dolorosa / kepada serdadu Romawi / yang dititipi mahkota duri / Yesus berbisik / salibkan aku sekali lagi. Memang credo kepenyairan HJ sebagaimana yang dituturkan oleh putri beliau Dra. Yundini Erwin pada penulis, adalah pemikiran tentang hubungan manusia manusia, manusia Tuhan. Seperti juga sastra Melayu, sastra Mandar juga besar pengaruh sastra Tasawwufnya. Dalam karyakarya sufi Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri, imaji laut dan pantai, matahari dan malam adalah asosiasi perjalanan hidup manusia menuju Tuhannya. Pada HJ, gaya sufistik itu terdapat dalam sajak Pantai ; Sebuah pantai tak berlaut / tempatku terdampar / dalam perjalanan ke matahari / sebuah laut tak berpantai / tempatku berlayar / dalam rindu malam hari. Pada periode ini, gejala etnisitas ke- mandaran HJ belum begitu kentara. Walaupun pada sajak Orang tua dapat ditafsirkan seolah sebuah nubuat perjalanan batinnya ke Mandar. Dalam sajak itu seperti ada rasa keterkungkungan yang mencari jalan pembebasan. Coba simak cuplikannya, Orang tua menyekap / anak-anak yang kurang ajar / didalam kamar / yang pengap. Sebagai seorang intelektual yang mencintai kebebasan, pikirannya tentu akan terus berproses mengikuti gerak kehidupan. Intelektualitasnya yang berkesadaran, kritis dan progressif telah mengantarkannya pada keterlibatan dalam perjuangan pembentukan provinsi Sulbar yang memperoleh momentum pada pasca reformasi. Tentu saja bagi HJ alasan keterlibatannya bersifat rasional, bukan berdasar chauvinisme, xenophobia dan emosional. Boleh jadi alasan HJ itu sama dengan apa yang sering dikatakan oleh Gubernur Anwar Adnan Saleh, masalah rentang kendali pemerintahan yang perlu diperpendek dan diefektifkan. Pada periode ini yang saya sebut periode Mandar, HJ telah menjadi inspirator sekaligus aktivis perjuangan pembentukan provinsi Sulbar. Disini watak kemandaran HJ telah menyatu dengan spirit ke Islaman dan kemanusiannya yang lalu melahirkan etos Hijrah.

Dan setelah bertahun, berwindu menapaki jalan sunyi, merenung, menulis dan bermimpi tentang Eldorado , sampai juga ia ke tanah harapannya, dimana disana segalanya berawal dan berakhir, ketika Tuhan menyapa dan memanggilnya..

Husni Jamaluddin, Panglima Puisi dari Mandar

Emha Ainun Nadjib menyempatkan membaca puisinya di Pemakaman PWI Sudiang di mana penyair ini dikebumikan. Husni Memasuki Alam Terang dan Menjadi Cahaya , begitu lantun Puisi Cak Nun saat itu. Husni Djamaluddin lahir di Mandar, Sulawesi Barat, 10 November, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978). Kampung halamannya, Sulawesi Barat tidak terlepas dari peranan besar dari penyair, kolumnis, wartawan senior dan politikus ini. Sampai-sampai Husni datang dengan menggunakan kursi roda hanya untuk mendengarkan pengesahan Sulawesi Barat menjadi provinsi, padahal beliau dalam keadaan sakit parah waktu itu. Ternyata kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari mandar ini. Malaqbiq terpancar jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat ketua dewan pembentukan provinsi Sulawesi barat ini. Penyair energik kelahiran Tinambung ini mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita Mandar dengan sangat sabar, dan menjadikan sarung mandar terkenal ke penjuru nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam benang putih kampung kelahiran almarhum Husni djamaluddin sang bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana meloq di bolong melok di lango-lango satu dari sebelas kalindaqdaq kamuanean (puisi patriotisme). Artinya aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna. Penggalan kata bannang pute yang berarti benang putih kini melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin Sang bannang pute.

Menikmati puisi-puisi Husni Jamaluddin adalah ibarat melakukan perjalanan wisata di tengah alam yang sejuk dan melintasi sejarahsejarah yang pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh penyair nasional lainnya.

BUDHA DALAM STUPA kuintip kau dalam stupa kuraba lenganmu yang luka Budha kita alangkah beda kau alangkah tenteram dalam stupa alangkah mantap dalam pengap duduk bersila duduk yang khusuk aku alangkah sangsi dalam berdiri di muka bumi alangkah khawatir dalam getir hidup sehari-hari alangkah gelisah dalam melangkah ke arah entah langit kaurebut bumi kaududuki dengan damai dalam semadi langit dan bumi lebur menyatu dalam debur jantungmu dalam utuh ruh dan tubuh langit aku rindu langit biru terbentang jauh diatas sana bumi yang kuhuni bumi yang tak kutahu peta urat nadinya langit tetap teka-teki diatas ubun-ubunku bumi tetap menggerutu di bawah telapak kakiku debar jantungku deburnya sendiri cemasnya sendiri kurasakan sendiri karena pecah

jiwa dan raga di matamu bulan memancar bila malam terkapar di wajahmu muncul matahari ketika pagi menanti mataku adalah jendela dari sukma yang compang-camping wajahku adalah cuaca siang ketika matahari hilang adalah cuaca malam ketika bulan tak datang Budha alangkah bedanya kita kau adalah batu batu yang diam batu yang hening batu yang semadi dalam stupa dalam diammu dalam heningmu dalam semadimu dalam stupa aku merasa seperti kausindir sebab kutahu dari mulutku telah mengalir beribu kata tanpa sebutir makna sedang dari kau yang batu itu yang diam itu yang hening itu yang semadi itu dalam stupa itu telah memberi beribu makna tanpa sebuah kata Budha kita alangkah beda (25 Oktober 1979)

SAAT SAAT TERAKHIR MUHAMMAD RASULULLAH demam itu demam yang pertama demam yang terakhir bagi rasul terakhir jam itu adalah jam-jam penghabisan bagi Utusan Penghabisan dalam demam yang mencengkram betapa sabar kau terbaring di selembar tikar dalam jam-jam yang mencekam betapa dalam lautan pasrahmu ada kulihat matamu berisyarat adakah gerangan yang ingin kau pesankan dalam jam-jam penghabisan wahai Nabi Pilihan maka kuhampirkan telingaku yang kanan dimulutmu yang suci maka kudengar ucapmu pelan: dibawah tikar masih tersisa sembilan dinar tolong sedekahkan sesegera mungkin kepada fakir miskin mengapa yang sembilan dinar mengapa itu benar yang membuatmu gelisah ya Rasulullah sebab kemana nanti kusembunyikan wajahku dihadirat Ilahi bila aku menghadap dan Dia tahu aku meninggalkan bumi dengan memiliki duit biar sedikit biar cuma sembilan dinar ke bumi aku diutus memberikan arah ke jalan lurus tugasku tak hanya menyampaikan pesan tugasku adalah juga sebagai teladan

bagi segala orang yang mencintai Tuhan lebih dari segala dinar lebih dari segala yang lain miskin aku datang biarlah miskin aku pulang bersih aku lahir biarlah bersih hingga detik terakhir sembilan dinar pelan-pelan kuambil dari bawah tikar bergegas aku keluar dari kamarmu yang sempit kamarmu yang amat sederhana bergegas aku melangkah ke lorong-lorong sempit diatas jalan-jalan pasir tanah Madinah mensedekahkan dinar yang sembilan kepada orang-orang yang sangat kau sayang orang-orang miskin seperti kau orang-orang yatim seperti kau dan demam itu demam yang pertama demam yang terakhir bagi Rasul terakhir dan jam itu adalah detik penghabisan bagi Utusan Penghabisan Muhammad kau tak di situ lagi di tubuh itu tinggal senyum di bibirmu tinggal teduh di wajahmu Rasulullah miskin kau datang miskin kau pulang bersih kau lahir bersih hingga detik terakhir (Makassar, 28 Oktober 1979)

SALIB Yesus turun dari tiang salibnya di bukit Golgotha tanpa luka ditubuhnya tanpa darah dijubahnya tanpa dendam dihatinya

dari bukit itu Yesus memandang Yerusalem dengan mata rindu dan sebelum melangkah turun menuju Kota Suci ia menitipkan mahkota duri pada serdadu Romawi yang dulu menyalibnya di perbatasan kota Ia dicegat tentara Israel : kamu Arab atau Yahudi dan Yesus menjawab lugu: aku orang Nazaret ibuku Maria ayahku Yosef tukang kayu kau boleh terus kata tentara Israel yang Yahudi Polandia masuklah ke Yerusalem kota yang telah kita rebut setelah ribuan tahun kita tinggalkan masuklah dengan rasa bangga didalam hati karena kamupun pemuda Yahudi Yesus langsung ke sebuah apartemen tempat tinggal Menachen anggota parlemen dari fraksi yang paling fanatik Yahudi adakah keresahan yang ingin kaukemukakan wahai anak muda sambut Menachen dengan ramah dan Yesus mengimbau dengan sopan bolehkah aku dipertemukan di Yerusalem ini dengan seseorang yang bernama Yasser Arafat? Siapa? Anwar Sadat? tanya Menachen yang kupingnya agak gawat oh dia sudah pernah kesini sekarang dia tentu sedang di Kairo kalau tidak sibuk menghitung pasir di Sinai tapi gampang kalau kau perlu sekali bertemu

beres kita bisa telepon dia setiap waktu bukan bukan Anwar sadat tapi Yasser Yasser Arafat kata Yesus dengan suara yang lebih dikeraskan mendengar itu Menachen merah matanya meledak teriaknya kau gila anak muda Yasser Arafat kau tahu siapa dia pemimpin Arab Palestina musuh Israel nomor satu musuh kita yang paling kepala batu mintalah yang lain jangan yang itu tak mungkin tak bakalan lagi kita biarkan satu sentipun tanah Israel yang sudah kita rebut untuk disentuh oleh Yasser Arafat Yesus kembali ke Golgotha melewati Via Dolorosa kepada sedadu Romawi yang dititipi mahkota duri Yesus berbisik : salibkan aku sekali lagi (Makassar, Natal 1979) Dikutip dari buku kumpulan puisi Husni Djamaluddin BULAN LUKA PARAH Penerbit : Pustaka Jaya

Dalam puisi-puisinya yang khas Husni Djamaluddin telah berhasil meluluhlantakkan kata dengan bangunan eksotisme sejarah, alam dan kenyataan zaman untuk membangunnya kembali menjadi renungan dan tindakan." Sebagaimana yang dilakukannya selama ini untuk kampung halamannya dan Indonesia. Meski ia pernah bertanya bingung dalam salah satu puisinya "Indonesia, masihkah engkau tanah airku?

Kamis, 06-12-2007 Mengenang Si Panglima Puisi, Husni Djamaluddin :: Muhammad Mubarak :: Penyair akan selalu abadi melalui karyanya. Demikian juga halnya penyair Husni Djamaluddin yang hadir di tengah sejumlah seniman, sahabat dan pengagumnya dalam acara Mengenang Husni, Si Bannang Pute yang malabbiq, yang diadakan pertengahan bulan lalu di Kabupaten Polman. Citizen reporter Muhammad Mubarakyang hadir di acara mengenang sang Panglima Puisi itu membagi catatannya berikut ini. (p!) Malam sudah beranjak dari pukul 9, suhu mulai agak dingin menembus pori. Namun, itu tak menjadi soal buat Asdar Muis menceburkan dirinya ke dalam kolam renang. Seniman Sulsel yang nyentrik ini memang sering memberi kejutan dalam setiap penampilannya. Malam itu ia mengaku kurang enak badan, tapi tetap saja ia membawa kejutan. Penampilan Asdar berawal dari teriakannya di pojok. Selang beberapa saat, muncul sosok manusia menjunjung api di kepalanya, diiringi irama perkusi. Ia berjalan menyusuri tepi kolam renang dengan lolongan suara mirip tangisan. Suasana makin hening. Ia membacakan puisi sambil memukul jimbe kesayangannya. Tiba-tiba saja kursi yang ada di panggung dilemparkan ke kolam. Kursi biru itu pun tenggelam. Setelah puas menggetarkan suasana, ia pun menyusul kursi yang tadi dilemparkan. Yang dipikirkan generasimu hanyalah kursi dan kursi, mereka tak pernah berpikir bagaimana membersihkan kursi itu, ucap Asdar dengan lirih. Dengan baju kaos yang basah, ia mengelap kursi yang tadi dilemparkannya ke kolam renang. Penampilan Asdar Muis mendapat tepuk tangan meriah dari segenap penonton, tak terkecuali Ali Baal, Bupati Polman yang hadir bersama jajaran Muspida Kabupaten Polman. Pertunjukan Asdar ini adalah bagian dari rangkaian acara mengenang Husni Djamaluddin Sang Bannang Pute acara yang digelar KNPI Polman dan Dewan Kesenian Makassar pada tanggal 16 November 2007. Acara ini merupakan apresiasi yang diberikan seniman Sulselbar kepada sang panglima puisi. Turut hadir Aslan Abidin, Moch. Hasymi Ibrahim, Ishak Ngeljaratan, Muis Mandra, Syahrir Hamdani, Asdar Muis RMS, Rahman Arge, Anis Kaba dan kelompok musik Mungkin KBH (Komunitas Baju Hitam). Husni malam itu ikut hadir di tengah para seniman yang mengenangnya, melalui karyakarya yang ditinggalkannya. Pria kelahiran Tinambung , 10 November 1934, ini mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita mandar dengan sangat sabar, dan menjadikan sarung Mandar terkenal ke seluruh penjuru Nusantara. Menurut Ishak Ngeljaratan, dosen sastra Unhas dan budayawan Sulsel, ada keikhlasan dan kesabaran di dalam filosofi benang putih. Penggalan kata bannang pute yang berarti benang putih berasal dari Kalindaqdaq pettomuaneang (puisi patriotisme) yang bunyinya: Indi tia to muane bannang pute sarana meloq di bolong melok di lango-lango (aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna). Dalam sessi talk show, Moch. Hasymi Ibrahim seniman Sulsel yang kini tinggal di Jakarta, tampil bersama Rahman Arge, Ishak Ngeljaratan, dan Syahrir Hamdani.

Di mata Hasymi, Husni adalah orang yang gemar memberi tantangan dan sangat pandai menempatkan diri. Dia selalu menjaga jarak dengan anak-anak muda. Sehingga generasi muda seperti saya tidak begitu dekat dengan Husni. Ternyata pola seperti itulah digunakan Husni untuk mendidik generasi penerusnya, tutur Hasymi. Rahman Arge yang malam itu tampak segar walupun mengaku agak sakit, menganalogikan kata malabbiq melalui seorang dokter yang merawatnya di hotel yang bernama dokter Kasma. Inilah to malabbiq, kata Rahman Arge seraya menunjuk ke arah dr. Kasma. Mengenai Husni, Rahman Arge mengatakan, Seandainya ada kejelekan-kejelekan Husni Jamaluddin, maka kejelekannya itu lebih baik dari kebaikan saya. Suara arge lirih dan serak. Sementara itu Ali Baal, Bupati Polman juga angkat suara. Husni mendidik saya hidup sederhana dan ramah kepada semua orang tegas Bupati Polman dalam sambutannya. Kesederhanaan yang Ali Baal katakan itu terbukti dalam tindakannya. Saya melihat dia makan di pinggir jalan bersama seluruh bawahannya di sebuah warung makan di pantai Polewali seusai acara. Sungguh, baru kali ini saya melihat pejabat tinggi makan di pinggir dan bercengkrama dengan orang yang sedang asyik main domino di pinggir jalan.

Para peserta "Mengenang Husni". Foto: Muhammad Mubarak.

Panglima Puisi yang tetap di hati Acara ini dibuka oleh Mungkin Komunitas Baju Hitam (mungkin KBH) dengan menampilkan musikalisasi puisi. Kelompok musik yang dimotori Maskur (biola), Arman Dewanti dan Alam (vokal), Uki dan Fattah Tuturilinoy (gitar), dan Ferry Gentar (perkusi). Tampil apik selama 5 menit membawakan musikalisasi puisi Husni Jamaluddin, membuat saya merinding mendengarkan kedalaman puisi dan romantisme alunan nada yang disuguhkannya. Pasca penampilan mungkin KBH, protokol memanggil nama Aslan Abidin penyair abad 21 mempersembahkan sajaknya. Aslan seorang penyair yang dikenal piawai mengelola

"kenakalan bahasa" dalam sajak-sajaknya. Aslan menghipnotis penonton melalui puisinya, disusul Anis Kaba yang membacakan sajak Husni Djamaluddin berjudul Kemerdekaan yang Aku Rindukan. Kemerdekaan manusia di luar dan di dalam diri kita bait terakhir yang dibacakan Anis Kaba ini menggoda penonton untuk tepuk tangan. Panglima Puisi Indonesia ini adalah sosok yang semangatnya melebihi kesehatannya. Salah seorang peserta, Syahrir Hamdani menceritakan bagaimana Husni datang dengan menggunakan kursi roda guna mendengarkan pengesahan Sulawesi Barat menjadi provinsi, padahal saat itu ia dalam keadaan sakit parah. Ishak Ngeljaratan menceritakan bagaimana semangat seorang Husni Djamaluddin. Pada konferensi penyair sedunia, Husni Jamaluddin perlahan maju ke podium dengan kursi roda membacakan sajaknya. Husni tampil sangat sempurna menunjukkan cahaya ke-malabbiq-an orang mandar. Husni adalah pribadi yang memuliakan Mandar melalui dirinya Husni dalam pikiran dan hati saya adalah sosok yang sempurna memiliki hangat silaturahmi dengan siapa saja bahkan dari belahan dunia lain, kenang Ishak. Baru-baru ini, seorang pastor Belanda datang ke rumah saya. Pastor itu menangis setelah mengetahui sang bannang pute telah tiada, tambahnya dengan penuh perasaan. Sebagai penyair, Husni telah banyak menghasilkan buku, antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978). Husni yang menghembuskan napas terakhir pada hari Minggu 24 Oktober 2004, meninggalkan kesan di hati banyak orang. Kata malabbiq yang kini menjadi ikon provinsi Sulbar, ternyata lahir dari pemikiran sang panglima puisi ini. Malabbiq terpancar jelas dalam diri putra Tinambung yang sempat menjabat Ketua Dewan Pembentukan Provinsi Sulawesi barat ini. Lagu persembahan KBH puisi-puisiku lahir dari sini menggaung di arena pertunjukan mengakhiri persembahan buat Husni, sang bannang pute yang selalu ada di hati kawan, sahabat dan pengagumnya. (p!) *Citizen reporter Muhammad Mubarak dapat dihubungi melalui email lakipadada@yahoo.co.id

Anda mungkin juga menyukai