Anda di halaman 1dari 10

Laut Bercerita, Sebuah Alih Wahana: Ketika Kisah Kelam Indonesia yang

Dibungkam Rezim, Mengapung Perlahan ke Permukaan


Oleh
Riri Aisyah Andini
(180110180057)

Ada begitu banyak sejarah kelam di Indonesia yang belum terungkap kebenarannya.
Dengan stigma membicarakan sejarah tersebut secara masyarakat awam adalah tabu, pelajaran
sejarah yang ditulis oleh pemenang, cuci otak melalui rasa takut dan trauma sehingga ketika
kebenaran disodorkan malah membuang wajah―bagaimana mau mengungkap kebenarannya?

Sejarah kelam yang begitu terkenal dan kontroversial di antaranya peristiwa genosida
orang-orang yang “katanya” ada hubungannya dengan para PKI di tahun 1965, peristiwa
militerisme dan represif terhadap separatisme Timor Timur (yang sekarang Timor Leste),
peristiwa penghilangan aktivis anti Orde Baru pada tahun 1990-an, peristiwa penjarahan dan
pemerkosaan masyarakat non-pribumi alias Tionghoa pada Mei 1998. Sejarah-sejarah ini begitu
nyata adanya dan nyata dampaknya. Menimbulkan trauma yang berkepanjangan, rasa takut yang
lekang sehingga menimbulkan pemanfaatan keadaan bagi oknum-oknum.

Sejarah-sejarah kelam nan berdarah tersebut sudah banyak kajian ilmiahnya, dengan
penelitian yang valid, korban dan saksi yang terverifikasi, namun tetap banyak pula yang
mengelak. Kekuatan rezim terdahulu yang begitu berpengaruh pada pola pikir masyarakat
Indonesia hingga sekarang patut dikhawatirkan. Sejarah kelam yang sudah terungkap tapi masih
terus dianggap hal yang tabu dan rahasia umum, hal ini dapat dilihat dari kurikulum pelajaran
sejarah di Indonesia yang masih sarat akan kebohongan dan subjektif. Penanaman sejarah yang
tidak valid sejak masih usia SD ini memang cara ampuh untuk mencuci otak dan membuat pola
pikir secara turun-temurun yang menolak kebenaran yang disodorkan ketika sudah dewasa,
sudah melihat dunia nyata. Apalagi dengan tingkat minat literasi di Indonesia yang masih
rendah. Tidak banyak masyarakat awam Indonesia yang rela membaca tentang tragedi-tragedi di
negaranya sendiri dengan pelakunya adalah orang dari negaranya sendiri padahal literaturnya
sudah banyak tersebar di mana-mana. Kecuali para korban dan saksi yang tentu lukanya masih
membekas hingga kini. Dari mereka, ada yang rela memberi kesaksian dan berterus terang,
mengatakan kebenaran dan menyerukan keadilan. Namun, ada pula yang memilih bungkam
karena takut ikut hilang atau tersakiti keluarganya.

Alih Wahana

Membicarakan tentang hilang, saya akan membahas sebuah film hasil adaptasi atau alih
wahana dari sebuah buku novel yang bertema tragedi penghilangan aktivis pada tahun 1998:
Laut Bercerita, karya Leila Salikha Chudori. Filmnya disutradarai oleh Pritagita Arianegara dan
diproduseri Wisnu Darmawan. Novel yang ditulis oleh Ibu Leila ini tidak main-main, beliau
yang juga seorang jurnalis menulisnya berdasarkan kisah nyata, kesaksian seorang mantan
aktivis yang sempat menjadi korban penculikan di rezim Orba, Nezar Patria. Kisah Biru Laut
Wibisana ini dibuat berdasarkan sosok Nezar Patria, hanya nama dan beberapa hal detail saja
yang diubah. Novel yang cukup fenomenal mengingat ditulis oleh salah satu jurnalis dan
sastrawan modern Indonesia yang hasil karyanya tidak perlu diragukan.

Pembuatan film ini memakan waktu yang tidak lama, hanya tiga hari saja. Ibu Leila turun
langsung dalam penulisan naskahnya. Film ini bukan film yang berdurasi panjang, melainkan
short-movie atau film pendek yang hanya berdurasi sekitar 30 menit. Maka dari itu, dari buku
yang berjumlah sekitar 370 halaman harus dipadatkan menjadi film berdurasi 30 menit bukanlah
pekerjaan yang mudah. Setiap adegan yang penting harus dipilah agar pas untuk masuk ke dalam
timeline cerita di film.

Proses perencanaan pembuatan film ini sebenarnya sudah dilakukan sebelum novelnya
terbit pada tahun 2017. Dengan pembicaraan-pembicaraan di awal pra-penerbitan antara sang
penulis, Leila S. Chudori, sang sutradara Pritagita Arianegara, dan sang produser Wisnu
Darmawan. Pritagita mengatakan kepada Leila bahwa ia akan mencari aktor-aktor yang bersedia
ikut dalam pembuatan film ini. Menurut Wisnu Darmawan melalui infoscreening.co, ia
mengatakan bahwa pemain dalam film ini bekerja dengan sukarela tanpa dibayar alias prabono.
Pemain-pemain tersebut memang tertarik dengan kisah yang diangkat, mereka kritis terhadap
sejarah Indonesia sehingga rela bermain tanpa dibayar. Padahal, film ini juga tidak meraup
keuntungan yang besar sebab hanya diputar di acara-acara screening film atau bedah buku Laut
Bercerita alias tidak diputar secara komersil dan untuk umum.
Mereka yang Bercerita

Meskipun film pendek, film ini tidak boleh diremehkan. Sebab, para aktor dan staff yang
bekerja di produksinya adalah mereka yang memiliki nama besar di kancah perfilman Indonesia.
Sudah diketahui bahwa sang sutradara, Pritagita juga sutradara dalam film Salawaku (2016).
Wisnu sang produser juga adalah produser untuk film-film besar di Indonesia. Leila adalah
jurnalis dan penulis besar. Film ini juga bekerja sama dengan Yayasan Dian Sastrowardoyo yang
juga berperan sebagai donatur.

Aktor-aktor yang bermain di dalam film ini adalah aktor-aktor senior yang rela bermain
tanpa dibayar. Pemeran Biru Laut Wibisana adalah Reza Rahadian. Bagi saya yang sudah
membaca bukunya, sosok Reza Rahadian kurang pas secara fisik untuk memerankan Laut, sebab
Laut sang mahasiswa aktivis dari Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada ini digambarkan
kurus, jangkung, dan tidak terlalu tampan. Sedangkan Reza bertubuh tegap dan bidang, juga
berparas tampan. Namun, penggambaran kurang sesuainya fisik ini dipatahkan oleh akting dan
dalamnya karakter Laut yang Reza bawakan. Sorot mata, mimik wajah, gestur dari Reza cukup
membuat saya teringat hampir sepenuhnya pada sosok Laut. Apalagi ketika suaranya yang
membacakan narasi dari sudut pandang orang ketiga yang mengisahkan hidupnya,

“Matilah engkau mati.

Kau akan lahir berkali-kali.”

Kemudian, pemeran Asmara Djati Wibisana, alias adik Laut adalah Ayushita Nugraha.
Asmara digambarkan sebagai perempuan calon dokter dari Universitas Indonesia yang kuat dan
realistis. Ketika keluarganya terpuruk pada ruang imajinasi; Laut masih ada dan masih hidup
serta akan segera pulang bersama mereka, hanya Asmara yang sadar bahwa Laut sudah tiada. Ia
berusaha menyadarkan keluarganya yang terus menerus ditampik, tentu saja. Ayushita dapat
memerankan Asmara dengan begitu baik dan intens, namun saya masih berpikir bagaimana jika
Dian Sastrowardoyo―yang memerankan Ratih Anjani―justru memerankan Asmara? Dian
mempunyai aura perempuan kuat dan mandiri, mungkin akan lebih powerfull jika memerankan
Asmara. Tetapi, Ayushita juga sudah cukup baik.

Ratih Anjani, kekasih Laut. Seorang mahasiswi ISI jurusan Seni ini diperankan oleh Dian
Sastrowardoyo. Sosok yang digambarkan perempuan kecil nan lincah, kuat tetapi juga rapuh,
putih seperti susu, memiliki senyum yang manis. Dari penggambaran fisik, ciri-ciri ini memang
pas diperankan oleh Dian. Namun, kerapuhannya adalah hal yang bertolak belakang dengan
image Dian. Hal ini tidak masalah, sebab Dian memerakan Anjani yang begitu mencintai Laut
dengan baik sekali. Perubahan Anjani dari yang masih ceria dan manis ketika masih bersama-
sama dengan Laut hingga menjadi Anjani yang muruk, tidak terawat, hidup di dalam pikirannya
sendiri, juga terperangkap pada imajinasi yang sama seperti Bapak dan Ibu Laut, dibawakan
dengan begitu baik dan intens oleh Dian.

Pak Arya Wibisana, seorang kepala keluarga dalam keluarga Wibisana diperankan oleh
Tio Pakusadewo. Pak Wibisana adalah seorang wartawan negeri yang secara ironis justru
memiliki anak yang menentang rezim negerinya saat itu, namun beliau mendukung pergerakan
anaknya. Ketika Laut diberitakan menghilang, ia dan istrinya mulai kalut dan terus menerus
terjebak di dalam harapan semu: bahwa Laut akan pulang. Ia tetap meletakkan 4 piring makan
untuk istrinya, dirinya, Asmara, dan Laut meskipun putra sulungnya tidak ada di rumah, 5 piring
jika Anjani ikut dalam acara makan malam. Ia terus membersihkan kamar Laut agar jika Laut
pulang, kamar tersebut terjaga kebersihannya dan siap huni kembali. Kegiatan-kegiatan dalam
harapan dan imajinasi yang semu ini dibawakan begitu menyayat oleh Tio Pakusadewo, mampu
membawa saya dan penonton yang lain terjun ke dalam dunianya yang penuh penolakan akan
kebenaran; bahwa putra satu-satunya, Biru Laut Wibisana tidak akan kembali.

Ibu Wibisana, istri Pak Arya Wibisana, ibu dari Laut dan Asmara. Seorang perempuan
paruh baya yang gemar memasak dan membuka katering makanan ini diperankan oleh Aryani
Willems. Seorang ibu yang penyayang juga tegas, gemar memasakkan makanan kesukaan ketika
anak-anaknya pulang. Ketika Laut diberitakan hilang, ia tetap melakukan kegiatan rutin
memasak tengkleng kesukaan Laut, menyiapkan piring bersama suaminya, membersihkan kamar
Laut bersama suaminya, dan menolak disadarkan oleh Asmara, putrinya.
Teman-teman seperaktivisan Laut yaitu Sunu diperankan oleh Haydar Saliszh, Alex
Perazon oleh Tanta Ginting, dan Naratama oleh Ade
Firman Hakim. Sunu yang pendiam namun sahabat
terdekat Laut ini juga dieksekusi alias dihilangkan
selama-lamanya dan tidak diketahui bagaimana cara
eksekusinya. Alex dan Naratama dibebaskan alias
dikembalikan ke masyarakat. Naratama sempat
dicurigai sebagai agen ganda alias pengkhianat di
antara kelompok Winatra sebab ketika ada Sunu yang hendak dieksekusi
penangkapan ia selalu lolos. Namun, kecurigaan
tersebut tidak terbukti karena ternyata ia juga ditangkap. Alasan dibalik mengapa ada aktivis
yang dibebaskan kembali ke masyarakat dan ada yang dihilangkan, tidak pernah diketahui.
Seakan para oknum “penculik” itu memilih secara acak siapa yang dihilangkan, siapa yang tidak.
Haydar memerankan Sunu yang pendiam namun menyimpan banyak cerita di balik diamnya itu
dengan menghanyutkan. Tanta Ginting memerankan Alex Perazon si pria tampan dengan suara
merdu namun lantang dengan cukup pas meskipun bagiannya tidak begitu banyak, begitu pun
Ade Firman Hakim sebagai Naratama yang terlalu kritis dan cenderung nyinyir dan amat
realistis, ia begitu lantang dan terasa sekali perubahan sifatnya ketika Tama yang menggebu-
gebu dengan Tama yang sudah di penjara, sedikit lebih diam dan tak banyak berkomentar seperti
dulu.

Kemudian ada para “penculik” alias intel


yang diperankan oleh Lukman Sardi dan Adjie
N.A. Kedua aktor senior ini memerankan yang
disebut “Manusia Pohon” oleh Laut, alias orang-
orang kejam bertubuh kekar yang menyuliknya,
menyeretnya, dan menyiksanya. Lukman Sardi
yang biasanya mendapat tokoh protagonis, di
film ini
Pakmendapat tokoh antagonis
Arya yang diiterogasi oleh inteldan beliau
tetap bisa membawakan suasana kekejian dari
penyiksaan-penyiksaan terhadap aktivis yang dilakukannnya.
Menyayat dari Sisi Keluarga

Di novelnya, ada dua sudut pandang yang digunakan, yaitu sudut pandang orang ketiga
dari Laut dan Asmara. Laut mengisahkan tentang kehidupannya sebagai mahasiswa perantauan
dari Jakarta ke Yogyakarta sebagai mahasiswa Sastra Inggris yang doyannya mengkaji buku-
buku terlarang versi Orba seperti buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Sisi Laut ini juga
menceritakan perjuangannya sebagai aktivis yang menyerukan kebobrokan rezim Orba bersama
teman-temannya di organisasi Winatra―sebuah organisasi kemahasiswaan di Yogyakarta yang
menaungi kegiatan aktivis. Kisah cintanya dengan Anjani yang manis dan menggebu-gebu
namun hanya berlangsung sementara sebab Laut yang kemudian menjadi buronan intel bersama
Daniel, Sunu, Alex, dan teman-temannya yang lain. Laut menceritakan kisahnya dimulai ketika
ia dilemparkan ke laut menemui ajalnya, dan berakhir ketika ia akhirnya benar-benar tenggelam
diiringi pelukan lautan dan gerombolan ikan serta burung camar yang seakan mengantar
kepergiannya.

Ada adegan ketika Laut menelepon ayahnya. Adegan tersebut cukup menegangkan sebab
ternyata sang ayah sedang diawasi oleh dua
intel yang menanyai keberadaan Laut. Laut
dengan tanggapnya mengerti pesan sang
ayah yang sangat tersirat bahwa beliau tidak
sendirian. Ekspresi Reza ketika adegan ini
sangat apik, ia menunjukkan kemarahan,
kegetiran, dan kekhawatiran kepada ayahnya
dan keluarganya tetapi ia juga harus cukup
Ekspresi Laut ketika menelepon ayahnya yang
pintar untuk mengatur emosinya agar tak ternyata sedang diawasi intel.
mengacau.

Sedangkan dari sudut pandang Asmara, adik Laut,


mengisahkan tentang pasca berita kehilangan Laut dan
kawan-kawannya. Asmara harus dihadapkan pada
ujian batin ketika melihat keluarganya yang sama
sekali tidak bisa berpikir jernih dan mengikhlaskan Laut yang tidak akan pulang. Selain ibu dan
ayahnya, ada pula Anjani, kekasih Laut yang berubah menjadi perempuan yang tidak mengurus
dirinya semenjak mendapat berita hilangnya Laut. Anjani yang ceria dan murah senyum berubah
menjadi mudah marah dan menangis jika diingatkan tentang kepedihan yang dialami Laut.
Asmara begitu miris dan sedih melihat kondisi mental keluarganya dan Anjani, mereka hidup di
dalam imajinasi dan harapan semu. Asmara berjuang seorang diri untuk menyadarkan mereka
namun mereka serta-merta menolaknya dan menampiknya yang membuatnya merasa ia tidak
lagi penting di dalam keluarga tersebut. Tentu saja, itu adalah perasaan kemarahan biasa yang
dipicu oleh rasa khawatir, kalut, dan tidak bisa menerima.

Setiap minggu, keluarga Wibisana tetap rutin mengadakan acara makan malam bersama
dengan terus menghidangkan makanan
kesukaan Laut yaitu tengkleng. Menyusun
piring-piring tak lupa dengan piring untuk
Laut. Menyetel lagu-lagu The Beatles terutama
Black Bird karena itulah lagu kesukaan Laut.
Setiap hari membereskan, merapihkan, melap
buku-buku di kamar Laut agar, siapa tahu,
Laut muncul di depan pintu dan ingin segera
Acara makan malam rutin keluarga Wibisana
istirahat atau makan. Kegiatan semu ini
dijalankan selama bertahun-tahun semenjak
hilangnya Laut, membuat Asmara frustasi, namun ia juga tidak ingin melihat kedua orang tuanya
sedih.

Selain keluarga Laut, keluarga Sunu juga mengira


hal yang sama. Ibu Sunu, seorang pengrajin batik, berkali-
kali memberikan saksi bahwa ada tanda-tanda Sunu
pulang, ditandai dengan gambar kupu-kupu di batik yang
ia buat. Ia bersaksi bahwa hanya Sunu yang bisa membuat
motif batik seperti itu di rumahnya. Kata sang ibu, Sunu
tidak bisa menunjukkan batang hidungnya sebab masih
takut akan intel. Namun berkali-kali pula, diberikan

Anjani yang kacau sedang bercerita


kepada Asmara.
kenyataan pahit bahwa Sunu tidak akan kembali, sebab ketika aktivis-aktivis yang sempat
diculik itu kembali, Sunu dan Laut tidak ikut muncul dan kembali.

Adegan-adegan kekalutan keluarga ini sangat menyayat hati, sebab di adegan inilah
digambarkan betapa tidak mengetahui kabar dari orang yang begitu disayangi adalah penyiksaan
yang nyata. Hidup dalam harapan semu dan bayang-bayang harus menghadapi keluarga yang
tidak bisa move on dari peristiwa menyakitkan itu adalah ujian mental dan fisik yang begitu
berat. Inilah yang harus dihadapi Asmara. Inilah yang harus dihadapi banyak keluarga ketika
peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1990-an berlangsung.

U n t u k m e n g
Pencarian Orang Hilang. Selama bertahun-tahun mereka
mencari kebenaran dan tanda-tanda. Asmara juga selalu
ikut dalam kegiatan Kamisan di depan Istana Presiden
bersama banyak keluarga yang ditinggalkan. Kegiatan
Kamisan ini juga masih terus berlangsung hingga saat
ini. Masih banyak sekali orang yang tidak menyerah
untuk menuntut keadilan dan kebenaran.
Asmara mengikuti Aksi Kamisan

Visual

Sinematografi pada film Laut


Bercerita ini cukup bagus untuk
ukuran film pendek. Setiap shot
diambil tanpa shaking yang fatal.
Ekspresi dan mimik muka para tokoh
disorot dengan cukup intens. Tone
gambar yang cenderung bernuansa
gelap di sepanjang film ini pun
berhasil membangkitkan perasaan
Tone gambar, kostum, dan tata rias yang sangat
mendukung
sendu dan duka. Adegan Aksi Kamisan serta ditenggelamkannya Laut ke dalam lautan menutup
film ini dengan apik.

Pemilihan kostum oleh Retno Ratih Damayanti dan tata rias oleh Eba Sheba sangat
mendukung dan sangat realistis. Pakaian yang dikenakan menggambarkan pakaian ala tahun
1990-an. Tata rias Laut dan kawan-kawannya ketika disiksa di penjara bawah tanah juga sangat
nyata, sangat mendukung ekspresi marah, getir, takut, kesakitan oleh para aktor dan menambah
kesan keji dari penyiksaan-penyiksaan tersebut. Anjani yang diperankan Dian Sastrowardoyo,
yang semula sangat cantik dan ceria dapat terlihat beberapa tahun lebih tua dan letih dengan tata
rias yang mumpuni, menambah kesan dekil dan tidak terurus, membuat penonton makin
bertambah rasa iba dan miris.

Antara Film dan Buku?

Bagi saya yang sudah membaca bukunya, tentu saya memilih buku untuk karya yang
lebih fenomenal dan lebih menusuk-nusuk hati. Namun, jika filmnya dilihat sebagai karya
tunggal tanpa embel-embel alih wahana dari novelnya, dapat cukup dinikmati tanpa kritik yang
berarti. Untuk ukuran film pendek berdurasi 30 menit, aspek-aspek pentingnya tidak ada yang
tertinggal. Setiap adegan yang dilakoni para aktor menancap dihati, setiap mimik wajah dan
gestur sangat meyakinkan. Kekurangannya mungkin karena durasi yang terlalu pendek sehingga
ada beberapa adegan yang begitu cepat perpindahannya baik secara emosi maupun pengambilan
gambar, emosi penonton cepat sekali dibawa naik dan turunnya sehingga kadang terkesan
tanggung. Kalau di novel yang tebalnya 379 halaman ini, tentunya tiap alur emosi dinaik
turunkan dengan pas. Film ini memang tidak diputar secara komersil, hanya diputar jika ada
acara screening film atau bedah buku Laut Bercerita, sehingga untuk menonton film ini harus
mencari tahu infonya. Bagi saya, 8/10 untuk film Laut Bercerita!

Anda mungkin juga menyukai