Anda di halaman 1dari 5

Riri Aisyah Andini

180110180057/A
Sastra Bandingan

Antara Film dan Buku Bumi Manusia: Gejolak Batin dan


Kompleksitas

Bumi Manusia menceritakan Minke, seorang pribumi yang belajar di HBS (Hogere
Burger School), alias sekolah menengah umum untuk kaum Belanda dan para priyayi Jawa.
Minke adalah pemuda yang begitu memuja kemodernan yang dibawa oleh kaum barat. Di masa-
masa remajanya, ia jatuh cinta pada Annelies, gadis cantik yang kekanak-kanakan, putri Nyai
Ontosoroh dan Herman Mellema. Kisah cinta Minke dan Annelis tumbuh di antara sekian
banyak permasalahan sosial dan ketidakadilan di masa penjajahan Belanda. Perlu ditekankan,
Bumi Manusia tidak hanya berpusat pada kisah cinta, melainkan penggambaran keadaan dan
perlawanan terhadap kekolonialismean dan kefeodalan. Ada pula perjuangan Nyai Ontosoroh,
istri simpanan Herman Mellema yang dipandang miring oleh masyarakat, tapi kemudian belajar
menjadi pengusaha ulung. Bumi Manusia juga menjadi fase ketika kesadaran Minke terhadap
rasa kebangsaan dan kemanusiaannya bangkit lewat pertemuan dan benturan dengan berbagai
sosok serta pergolakan batin mereka. Cerita yang dihadirkan begitu kompleks sehingga tak
cukup jika hanya diberi genre percintaan.

Sebuah novel fenomenal karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang termasuk ke
dalam tetralogi yang dikenal dengan Tetralogi Buru. Pram menulis tetraloginya ketika ia berada
dalam penahanan di Pulau Buru pada tahun 1965 hingga 1979. Penulisan buku-buku ini tidak
berlangsung mudah sebab dalam keadaan sebagai tahanan politik, kemudian ketika buku-buku
ini sudah terbit, pada tahun 1980-an buku ini dilarang keras beredar di Indonesia ketika rezim
Orde Baru yang fobia komunisme karena dianggap buku yang berbahaya dan menentang
ideologi Pancasila sebab katanya mengandung paham Marxisme-Leninisme. Segala kesulitan
dan larangan ini membuat buku-buku karya Pram, terutama Tetralogi Buru kian fenomenal.
Orde Baru sudah terlewati, masyarakat Indonesia sudah bisa menikmati karya-karya
Pram tanpa harus sembunyi-sembunyi. Hal ini memicu banyak seniman dari berbagai bidang
ingin mengadaptasi karya-karya Pram dengan mengalih wahanakannya. Bumi Manusia pernah
dipentaskan dalam teater yang berjudul “Bunga Penutup Abad” dengan pemeran Reza Rahadia
sebagai Minke dan Chealsea Islan sebagai Annelies. Selain itu, banyak dari sutradara-sutradara
film di Indonesia yang ingin membawa Bumi Manusia ke dalam dunia film, namun beberapa kali
ditolak oleh sang penulis, Pram. Namun, pada akhirnya, pada 2019, film Bumi Manusia resmi
tayang di Indonesia dengan sutrada Hanung Bramantyo.

Dalam mengadaptasi novel menjadi film, tentunya bukanlah hal yang mudah, apalagi
yang diadaptasi adalah novel fenomenal dan mendunia seperti Bumi Manusia. Hanung memang
mengatakan akan sangat berpatok pada novel (yang memang sudah seharusnya begitu).
Membuat alur dan setiap adegan persis sama dengan di novel tentulah hal yang tidak mudah
tetapi bukan tidak mungkin, hanya saja hal ini juga bergantung pada durasi dan minat pasar, juga
pada pemahaman sang sutradara dan penulis naskah terhadap karya yang akan mereka angkat.
Untuk membuktikan keakuratan film dan novelnya, tentunya harus dibandingkan.

Secara keseluruhan, film ini lebih mengutamakan gejolak konflik percintaan Minke
(Iqbaal Ramadhan) dan Annelies (Mawar Eva de Jongh) dan perjuangan Nyai Ontosoroh (Sha
Ine Febriyanti) untuk hidupnya dan anaknya. Hal ini mungkin disebabkan oleh Hanung yang
juga harus memilih pasar milenial Indonesia yang cenderung doyan kisah romantis, bukan kisah
adaptasi sejarah. Unsur-unsur lainnya digarap hanya sekilas atau kurang dalam sehingga tidak
terasa pergolakan batin tokoh-tokoh lainnya dan kompleksitas yang hadir di dalam novel.
Padahal, durasi film hampir mencapai tiga jam tetapi tidak memenuhi seluruh elemen yang ada.
Bagi penikmat film yang belum pernah membaca novelnya―terlepas dari penilaian terhadap
sinematografi, artistik, dan keaktoran―mungkin akan merasa cukup dengan jalan ceritanya.
Namun, bagi yang sudah membaca novelnya tentu akan merasakan setidaknya sedikit keganjalan
dan catatan.

Di dalam film, tidak begitu terasa perubahan pola pikir Minke yang semula memuja
kebarat-baratan khususnya Eropa, menjadi menyadari bahwa kekuatan bangsanya sendiri pun
bisa tidak terkalahkan. Padahal di buku, gejolak ini sangat terasa, dapat dilihat dari bagaimana
Minke dengan tulisan-tulisannya menggambarkan hal-hal kolonial dan feodal yang merendahkan
hakikat manusia. Pertemuan-pertemuan Minke dengan berbagai tokoh juga membangun
perubahan pola pikir ini, namun di film, ada banyak tokoh yang sepertinya dianggap kurang
penting sehingga kurang digarap, mengakibatkan kurangnya dinamika.

Tiap polemik terasa sekadar ada demi kelengkapan film, tapi kurang tergali untuk masuk
ke dalam pergulatan batin masing-masing karakter. Dapat dilihat dari pertemanan antara Minke
dan Jan Dapperste (Bryan Domani). Di dalam buku, Jan diceritakan adalah seorang pemuda yang
penakut dan mengalami pergolakan batin sebab ia sebenarnya tidak mau menggunakan identitas
Belanda yang diberi orang tua angkatnya dan harus ikut ke Belanda. Ia ingin tetap menjadi
pribumi dan tinggal di tanahnya. Pergolakan batin inilah yang mengantarkan Jan kepada Minke
dan akhirnya dapat berteman baik, bukan hanya sekali membela Minke yang diolok-olok Robert
Suurhof seperti di film.

Selain itu, ada pula pergolakan batin Nyai Ontosoroh yang kurang terasa mengenai
dirinya yang begitu membenci ayahnya yang menjualnya untuk dijadikan gundik dan ibunya
yang tidak melakukan perjuangan apa-apa dalam mempertahankannya. Padahal ingatan ini juga
sangat berpengaruh dan berhubungan pada kondisi batin Nyai Ontosoroh ketika
memperjuangkan Annelies yang akan diambil alih keluarga Mellema di Belanda, dan bagaimana
ketika akhirnya Annelies harus berangkat ke Belanda.

Perubahan kejiwaan pada Herman Mellema yang semula adalah seorang Belanda totok
yang pandai dan baik hati menjadi seorang pemabuk, linglung, dan “merusak” dirinya di rumah
bordil Babah Ah Tjong―yang kemudian ditemukan tewas diracun―sangatlah berpengaruh pada
jalannya cerita, bisa dibilang alasan dari perubahan kejiwaan ini yang menjadi awal dari konflik
utama. Herman Mellema berubah semenjak anak kandungnya, Maurits Mellema, hasil
perkawinannya dengan istri sahnya di Belanda, datang ke Hindia, ke rumah sang ayah yang juga
ditinggali Nyai Ontosoroh beserta anak-anaknya. Kedatangan ini mengingatkan Herman
Mellema pada keluarganya di Belanda yang berarti ia harus meninggalkan segalanya yang ada di
Hindia; pada hartanya di Hindia dan Nyai Ontosoroh yang begitu dicintainya. Di novel, begitu
dijelaskan pergolakan batin dan kejiwaan Herman Mellema yang menjadi kunci awal cerita dan
konflik utama. Di film, kesannya Herman Mellema yang berubah menjadi “gila” ini hanya
sekedar “pemanis” di antara konflik-konflik yang ada.
Lagi-lagi, pergolakan batin para tokoh dan kompleksitas cerita yang dibangun dari tiap-
tiap tokoh yang ada sehingga menimbulkan kesinambungan dan akhirnya mengubah pola pikir
Minke sang tokoh utama, memang menjadi pembahasan utama antara film dan novel Bumi
Manusia ini, sebab begitu banyak “kedalaman” yang saya rasa kurang diselami selama
menggarap film ini. Meski saya semestinya membandingkan, tak dapat saya pungkiri saya juga
banyak menyematkan kritikan terhadap karya Hanung Bramantyo ini. Sebagai seorang pembaca
karya Pram (meskipun tidak semua karyanya saya sudah baca) saya mempunyai ekspektasi
terhadap filmnya. Namun, saya tidak cukup puas. Ada banyak sekali catatan untuk garapan alih
wahana ini.

Secara visual, cukup menggambarkan bagaimana suasana dan keadaan sesuai dengan di
buku. Bagaimana lanskap Jawa saat itu dengan budaya feodalnya, tekanan kolonialnya,
propertinya (busana, hand-prop, make-up, dan sebagainya), efek animasinya―yang memang
masih harus diperbaiki namun sudah cukup bagus―dan bahasa-bahasa yang digunakan cukup
baik dilafalkan pada lidah yang bukan bahasa utamanya, semua itu cukup tergambar dengan
baik. Namun, ada yang cukup mengganggu, yaitu artitsik bangunan-bangunannya. Tugu penanda
desa terlihat sangat palsu dan seperti dibuat terburu-buru dengan triplek dan cat yang masih
baru―seperti tugu yang dibuat untuk pentas teater berbudget minim. Selain itu, bangun rumah
seperti rumah keluarga Mellema yang diceritakan sudah berusia bertahun-tahun, terlihat tetap
masih baru tanpa noda seperti baru saja selesai dibangun. Dalam garapan ini, saya menilai
banyak sekali detail-detail yang tidak diberi perhatian padahal dapat menimbulkan impact yang
besar, apalagi jika disadari oleh penonton sekaligus pembaca yang kritis dan memperhatikan hal-
hal yang detail.

Usaha Hanung untuk membawa Bumi Manusia menjadi sebuah film tidaklah gagal, tetapi
belum bisa disebut fenomenal seperti novelnya. Pram yang begitu kompleks bahkan kepada hal
terkecil dan pada tiap tokoh yang ia hadirkan, tidak begitu terasa pada film yang disutradarai
Hanung ini. Meski begitu, pesan yang hendak disampaikan melalui novel dan filmnya tetap
tersampaikan, hanya kurang kompleks.

Bagi saya, yang fenomenal dari film ini adalah tokoh Nyai Ontosoroh yang diperankan
Sha Ine Febriyanti dan tokoh Ibunda Minke yang diperankan Ayu Laksmi, begitu sesuai bahkan
melampaui ekspektasi. Di antara tokoh-tokoh yang ada, justru kedua ibu inilah yang berhasil
membekas di hati saya, sama membekasnya ketika saya membaca novelnya. Tokoh-tokoh ibu
yang berkarakter kuat, diperankan oleh perempuan-perempuan yang juga begitu indah dan kuat.

Anda mungkin juga menyukai