Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ashiilah Ariij Syahni

NPP : 31.0188
Kelas :D–1
Mata Kuliah : Komunikasi Pemerintahan

Resume Film “ Bumi Manusia “

Bumi Manusia adalah kisah perjuangan kelas, perjuangan seorang Pribumi yang
menuntut keadilan baginya, bagi mertuanya dan bagi bangsanya. Perjuangan yang akhirnya
meruncing menjadi pertentangan antara Hukum Eropa dan Hukum Islam. Hukum Eropa,
sebagai sebuah tatanan aturan yang dianggap 'beradab' dan 'modern' ternyata tidak lebih dari
sekedar hukum yang menjerat dan menyengsarakan.
Film Bumi Manusia diangkat dari novel best seller karya Pramoedya Ananta Toer
yang ditulisnya sewaktu mendekam di balik dinginnya jeruji di Pulau Buru tahun 1970-an.
Novel luar biasa ini pernah dilarang penerbitannya karena dianggap mengajarkan ajaran
Marxisme-Leninisme oleh pemerintah Indonesia, nyatanya menjadi salah satu karya yang
membanggakan bangsa Indonesia, setidaknya sudah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa.
Film ini disajikan dengan adegan pembuka Robert Surof (Jerome Kurnia)
membangunkan Minke (Iqbaal Ramadhan) yang sedang tertidur pulas untuk jalan keluar.
Surof, pemuda darah campuran Eropa dan Indonesia (Indo) mengajak Minke, pemuda
pribumi untuk datang menyaksikan perayaan pengangkatan Ratu Wilhelmina. Minke yang
terkesima dengan padatnya jalanan dan semaraknya hiburan saat itu lantas mengamini ajakan
temannya di HBS (sekolah elit yang diperuntukan untuk Eropa, Indo dan Ningrat) tersebut.
Adegan dilanjutkan dengan keinginan keduanya untuk berbicara di club orang Eropa,
Sebelum masuk, tampak sebuah papan tertulis 'Pribumi dan Anjing dilarang masuk'. Surof
tetap bersikukuh masuk, baginya dia punya darah Eropa dan punya 'hak' untuk berada di
dalam, berbeda dengan Minke yang sedari awal sudah enggan untuk menuju tempat itu.
Namun bukannya bisa bersantai dan menikmati secangkir kopi, keduanya di usir dengan
dengan sangat kasar oleh seorang Belanda.
Keduanya pun kesal dan akhirnya melanjutkan perbincangan mereka di sebuah tempat
hingga akhirnya Surof mengajak Minke untuk datang ke tempat Robert Mellema (Giorgino
Abraham), seorang Indo sama seperti Surof yang mendukung kesebelasan sepak bola yang
sama. Menariknya di sini, Surof mengatakan bahwa Robert punya saudari yang cantik dan
jelita. Minke pun mengiyakan ajakan tersebut.
Ajakan ini menjadi salah satu konflik dan kisah yang luar biasa menarik. Minke
datang dengan tampilan menawan dan rupawan dengan pakaian eropa. Bersama Surof
mereka menuju rumah Robert dengan pedati terbaik saat itu. Boerderij Buitenzorg
(Perusahaan Pertanian) di Wonokromo itulah tujuan mereka, di sini Minke diprilakukan
buruk oleh tuan rumah, stratanya sebagai pribumi direndahkan oleh Robert dan Surof. Alih-
alih kesal, dirinya justru bertemu dengan terpukau dengan Annelies Mellema (Mawar Eva de
Jongh). Bukan hanya Annelies, Minke pun kagumi sosok Nyai Ontosoroh (Sha Ine
Febriyanti), ibu dari Annelies dan Robert, pribumi yang tangguh dan cerdas. Pertemuan itu
melahirkan benih-benih cinta antara Minke dan Annelies, selebihnya kisah mereka sama
dengan bagaimana Pramoedya tuliskan dalam novelnya.
Annelies di sini adalah seorang Indo yang kagum kepada ibunya, Nyai Ontosoroh.
Baginya menjadi seorang pribumi dengan utuh adalah keinginannya, bertemu dan menikah
dengan seorang pribumi adalah mimpinya. Hadirnya Minke, menjadi oase bagi Annelies.
Sedangkan Nyai Ontosoroh, seorang simpanan dari Herman Mellema yang tidak dinikahi
secara agama sehingga dicap negatif oleh lingkungannya. Beruntung, Nyai dididik dengan
pengetahuan serta manajemen yang baik, tak ayal hal itu membuat perusahaan pertanian
Mellema berkembang pesat.
Dialog dan adegan awal sangat menggambarkan bagaimana strata dan kasta pribumi
sangat hina di negaranya sendiri. Minke yang mengenyam bangku sekolah HBS pun dibuat
kesal dengan prilaku dan pikiran teman-temannya serta lingkungannya. Terlebih rasa kesal
tersebut harus dibalut dengan anggapan miring terhadap cintanya.
Bagi mereka yang sudah membaca novelnya tentu tidak akan terlalu terkejut dengan
bagaimana alur ceritanya, mungkin mereka hanya menantikan bagaimana Hanung
mengangkat bahasa teks dalam bentuk audio visual dan cerita yang menghibur. Memang, ada
beberapa adegan yang dihilangkan seperti bagaimana Robert meninggal karena sifilis dan
lainnya. Bagi mereka yang belum membaca novel ini, pasti terpukau dan menikmati setiap
alur dan adegan film ini.
Sepanjang film, penonton akan disajikan dengan perjuangan Minke mendapatkan
cinta sejatinya. Mulai dari dihujat, dianggap simpanan Nyai sampai akhirnya tidak direstui
oleh Ayahnya. Beruntung Minke, punya sosok ibu yang kuat dan mendukung langkah
anaknya. Bukan hanya cinta kepada Annelies tapi juga perjuangan cintanya kepada
bangsanya, bagi Minke bangsanya sedari era Majapahit sudah memiliki peradaban yang maju
dan sumpah sakti yang menyatukan bangsa ini.
Ketika Falcon Picture, mengumumkan tahun lalu bahwa film akan disutradarai oleh
Hanung Bramantyo dan Iqbaal Ramadhan berperan sebagai Minke, banyak cibiran yang
dialamatkan kepada Iqbaal. Dirinya dianggap tidak mampu dan tidak sanggup memerankan
karakter Minke. Gambaran tentang Dilan, remaja yang ahli menggombal masih sangat
melengkap di benak penikmat film di Indonesia.
Nyatanya, menurut saya pemilihan itu tepat dan sangat tepat, Iqbaal sanggup dan
mampu perankan Minke dengan sangat baik. Film ini hidup karena diperankan oleh aktor dan
aktris muda yang cocok menggambarkan gelora dan gairah cinta yang menggebu-gebu.
Iqbaal sangat baik, tapi Ine Febriyanti tetaplah juaranya.
Terlebih, dialog yang dibangun sangat dalam dan menghibur. Selama menikmati film
ini beberapa kali kami tertawa dan tersenyum tipis dengan polesan Hanung. Durasi waktu
180 menit terasa begitu singkat, saya menikmati betul tiap adegan dan dialog yang
disungguhkan dalam film ini.
Kendati, saya merasa ada beberapa hal yang kiranya perlu ditingkatkan. Dalam
pengambilan setting tempat, saya melihat bahwa beberapa properti film terlalu mencolok dan
kurang natural, lihat-lah adegan bagaimana warna merah di rumah bordil terlalu mencolok
seperti baru dibanggun beberapa jam yang lalu. Jika dibuat lebih usang sedikit setidaknya
membuat saya lebih menikmati properti film. Atau tentang pengambilan drone view sawah
saat Minke di atas pedati, saluran parit yang sudah disemen agak sedikit mengganggu saya
seorang yang visual ini.
Belum lagi, Hanung dalam hal ini masih menyisakan puzzle yang belum terjawab,
seperti pria gemuk yang membuntuti Minke selama berhari-hari. Entah bagaimana ia? Seperti
apa ceritanya dan pertanyaan lainnya? Entah mungkin puzzle itu akan dijawab nanti di sekuel
selanjutnya. Semoga.
Film ini membuat kita menyadari peradaban yang modern dan maju sekalipun belum
tentu merupakan peradaban yang baik dalam menerapkan hak-hak manusia. Eropa dengan
kegagahannya, dengan kekayaan intelektualnya, serta barang-barang modern-pun ternyata
belum menjamin mampu menerapkan dan menempatkan hak-hak manusia dengan layak dan
pantas. Lantas, sebagai seorang yang berpendidikan sudah selayaknya kita adil sedari pikir
terlebih perbuatan agar kita dapat hidup di bumi manusia yang penuh dengan manusia bebas
yang bertangung jawab atas segala tindakan yang diambilnya.
Dari awal, penonton disodori kisah perjuangan Minke terhadap cintanya dan
kesetaraan kaumnya, sampai di akhir film-pun kita akan tetap menyaksikan perjuangan
Minke. Perjuangan cinta Minke itu pun harus mundur beberapa langkah seiring putusan
pengadilan Eropa yang mencabut hak asuh Nyai terhadap Annelies, serta putuskan bahwa
Annelies harus kembali ke Belanda dan diasuh oleh keluarga Herman Mellema, ayahnya.

Anda mungkin juga menyukai