Anda di halaman 1dari 7

Perjuangan Kaum Pribumi Melawan Diskriminasi Kaum Eropa Pada Masa Kolonial Belanda dalam Novel Bumi Manusia

Karya Pramoedya Ananta Toer


I. Deskripsi Fisik Buku 1.1 Judul 1.3 Kota, Penerbit 1.4 Tahun Terbit 1.5 Jenis Kertas 1.6 Ukuran 1.7 Cetakan ke II. Sinopsis Terlahir sebagai seorang anak Indonesia diantara akhir abad ke-19 dan awal abad ke20 bukanlah suatu hal yang mudah. Masa kolonial Belanda yang masih begitu mencekam hingga hampir menguasai seluruh Indonesia termasuk hak-hak orang Indonesia di dalamnya membuat manusia Indonesia tidak dapat melawan karena terlalu terkungkung dalam tradisi lama yang sulit menerima perubahan dan pengetahuan baru yang telah berkembang pesat. Hal ini pula yang membuat seorang anak manusia Indonesia lebih memilih melepas adat kedaerahannya demi sebuah pengetahuan menjadi seorang manusia modern. Diceritakan dalam novel ini seorang tokoh utama bernama Minke yang merupakan seorang pria asli Indonesia berketurunan Jawa yang memiliki kecerdasan melampaui kecerdasan yang seharusnya ia miliki sebagai putra Indonesia. Minke yang berdarah priyayi sebisa mungkin ingin keluar dari kepompong kejawaannya menuju manusia modern. Ia mempelajari Eropa dengan begitu antusias hingga bahkan melupakan nama aslinya dan menggunakan nama Minke yang diberikan guru di sekolah Eropanya. Minke berasal dari keluarga priyayi dan ayahnya adalah seorang Bupati yang sangat menjunjung tinggi kebudayaan Jawa yang telah diwariskan turun-menurun. Walaupun ia berasal dari keluarga Jawa, Minke sendiri tidak suka dengan adat Jawa yang menurutnya terlalu kolot. Bahkan, ia lebih lancar menulis dalam bahasa Belanda daripada dalam bahasa Jawa. Kecintaan Minke pada pengetahuan dan peradaban Eropa dibuktikannya dengan bersekolah di HBS, sebuah sekolah menengah Belanda yang bergengsi pada waktu itu yang tidak dapat dimasuki sembarangan siswa. Beruntung, Minke adalah anak seorang Bupati hingga ia dapat bersekolah disana. Di sekolah itu jugalah ia bertemu dengan seorang teman bernama Robert Suurhof, seorang pria Indo, yang kemudian membuatnya mengenal Robert Mellema, Nyai Ontosoroh, dan gadis cantik bernama Annelies Mellema. Nyai Ontosoroh alias Sanikem sendiri merupakan seorang gundik orang Belanda bernama Herman Mellema. Dari Herman Mellema-lah ia belajar banyak hal secara otodidak yang kemudian menjadikannya seorak gundik yang sangat pintar dan mampu 1 : Bumi Manusia : Jakarta, Lentera Dipantara : 2011 : : 13x20cm :17 (tujuh belas) 1.2 Pengarang : Pramoedya Ananta Toer

memimpin Boerderij Buitenzorg yang ditinggal Herman Mellema menjadi sebuah perusahaan peternakan yang maju pesat. , namun dari Herman Mellema jugalah ia merasakan dendam mendalam pada kaum Eropa. Rasa kagum pada Nyai Ontosoroh membuat Minke perlahan-lahan berbalik dari kekaguman menjadi kebencian pada kaum Eropa. Pengetahuan tentang Eropa yang ia dapat dari Nyai Ontosoroh dan tidak ia dapat di bangku sekolah membuatnya mengerti akan ketidakberdayaan bangsa Indonesia di mata Eropa. Di rumah Nyai Ontosoroh itu pulalah ia jatuh cinta pada gadis Indo Belanda, Annelies Mellema, anak dari Nyai Ontosoroh. Setelah tamat dari HBS, Minke menikah dengan Annelies Mellema. Namun kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Kasus kematian Herman Mellema di tempat prostitusi membuat anak kandung Herman Mellema dari istri sahnya di Belanda , Maurits Mellema, menuntut penyitaan harta Herman Mellema dan pengambilan hak asuh Annelies Mellema dari Nyai Ontosoroh Pengadilan Amsterdam juga tidak mengakui pernikahan antara Minke dan Annelies Mellema dan akan memindahkan secara paksa Annelies Mellema ke Nederland. Kejahatan kolonialisme seperti diskriminasi ras, hukum yang kejam dan tidak adil, egois, tidak manusiawi, buta terhadap realitas sosial dan tidak bermoral adalah kesan akhir dari novel pertama dari tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer ini.

III. Perjuangan Kaum Pribumi Melawan Diskriminasi Kaum Eropa Pada Masa Kolonial Belanda dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer

3.1 Pendahuluan 3.1.1 Latar Belakang Masalah Novel Bumi Manusia adalah novel yang memberikan sumbangan besar pada sejarah Indonesia. Saya memilih novel ini sebagai novel yang akan saya telaah dikarenakan novel ini adalah tertalogi buru karya Pramoedya Ananta Toer yang sangat laris dan telah memperoleh penghargaan PEN Freedom to Write Award yang diterima dari berbagai anggota PEN di berbagai Negara yakni PEN Australia (1982), Swedia (1982), Amerika Serikat (1987), Swiss (1989) dan penghargaan The Fund for Free Expression Award ditahun 1989 dari negeri paman Sam di New York. Diskriminasi kaum pribumi saya tekankan menjadi judul bedah buku saya karena setelah membaca novel ini saya banyak sekali menafsirkan suatu tindakan pembedaan yang sangat jelas oleh kaum Eropa terhadap kaum pribumi. Hal tersebut membuat prihatin karena di negara sendiri pada masa kolonial Belanda kita tidak dapat membela diri kita jika kita hanya seorang Pribumi. 3.1.2 Tujuan Menganalisis tindakan dan perjuangan seorang manusia pribumi melawan diskriminasi kaum Eropa pada masa kolonial Belanda. 3..1.3 Rumusan Masalah Bagaimana tindakan kaum pribumi dalam mengahadapi diskriminasi kaum Eropa? 3.2 Analisis 3.2.1 Tinjauan Pustaka

3.2.2 Aplikasi Novel Bumi Manusia dikemas dalam 20 bab oleh pengarangnya. Pendahuluan dari novel ini diceritakan penulis dengan menggambarkan sosok Minke yang cukup membuat pembaca penasaran membaca kelanjutannya. Orang memanggil aku Minke. Namaku sendiri. Sementara ini tak perlu kusebutkan. Bukan karena gila misteri. Telah aku timbang: belum perlu benar tampilkan diri di hadapan mata orang lain. (Toer, 2011: 9) Minke diceritakan pengarang sebagai tokoh pribumi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Eropa. Ia yang berdarah Jawa bahkan lebih mengagung-agungkan Eropa daripada adat Jawa yang mengalir dalam darahnya.

Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu. Dan justru pengalaman hidup sebagai orang Jawa berilmu pengetahuan Eropa yang mendorong aku suka bercatat-catat. Suatu kali akan berguna, seperti sekarang ini. (Toer, 2011: 12) Kecintaan Minke yang luar biasa pada Eropa membuatnya sangat tidak suka pada adat Jawa yang dianggapnya terlalu kolot. Dalam keluarganya pun Minke telah melupakan dan membenci adat Jawa karena menurutnya itu sama saja dengan penghinaan terhadap martabat manusia. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajaritahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi umat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembahpengagungan pada leluhur dan pembesarmelalui perendahan dan penghinaan diri!sampai sedatar tanah kalau mungkin!Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalankan penghinaan ini. (Toer, 2011: 182) Penghinaan kaum Eropa terhadap kaum Pribumi mulai diceritakan pengarang pada saat Tuan Herman Mellema memarahi Minke yang berada di rumahnya. Kowe kira,kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa?Tetap monyet!. (Toer, 2011: 64) Ketidakadilan kompeni Belanda juga ditunjukkan pengarang pada cerita Jean Marais mengenai gambar yang dilukisnya. Gambar tersebut merupakan kisah nyatanya yang kehilangan seorang wanita Aceh , Pribumi, yang disukainya dibunuh adiknya sendiri karena pengaruh kompeni. Seorang serdadu kompeni , nampak dari topi bambu dan pedangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh. Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya., dan dari balik baju itu muncul buah dada seorang wanita muda. Mata wanita itu membeliak. Rambutnya jatuh terjuraidi atas luruhan daun bambu. Tangan sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang yang tak berdaya. Di atas paying mereka berdua memayungi

rumpun bambu yang nampak meliuk diterjang angina kencang. Di seluruh ala ini seakan hanya mereka berdua saja yang hidup :yang hendak membunuh dan yang hendak dibunuh. (Toer, 2011: 78) Kebengisan kaum Eropa diperkuat pula dengan pernyataan Nyai Ontosoroh tentang Herman Mellema pada anaknya, Annelies Mellema juga pada Juffrouw Madga Peters. Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama. Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja padanya, termasuk Mama dan aku. (Toer, 2011: 97) Seorang Eropa, Eropa Totok, telah membeli diriku dari orangtuaku. Aku dibeli untuk dijadikan induk bagi anak-anak mereka. (Toer, 2011: 341) Ketidakadilan kaum Eropa pada Nyai Ontosoroh, seorang pribumi, dinyatakan pengarang dalam perkataan Nyai Ontosoroh pada Minke saat mereka menghadapi kasus kematian Tuan Herman Mellema. Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku! (Toer, 2011: 413) Diskriminasi kaum Eropa terhadap kaum Pribumi ditunjukkan dengan ketidakadilan hukum pada Pribumi yang diungkapkan oleh Nyai Ontosoroh pada Minke. Namun disini terlihat perjuangan kaum Pribumi untuk tetap melawan. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua protokol dan advokat .bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumim menggugat Eropa. Tulisan ini jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga. (Toer, 2011: 414) Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa dan bagaimana. Aku tak tahu apa alat-alat saranany. Biar begitu: Kita melawan. (Toer, 2011:494)

Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hokum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa. Begini, Nak, Nyo, kita , Pribumi seluruhnya, tak bisa menyewa advokat. Ada uang pun belum bisa. Lebih banyka lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu. Sepanjang hdiupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan sekarang ini. Tak ada suara, Nak, Nyomembisu seperti batu-batu kali dan gunung, bairpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalu semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan. (Toer, 2011: 499) Kita telah melawan, Nak. Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. (Toer, 2011: 535) Diskriminasi kaum Eropa juga ditunjukkan pengarang pada perlakuan Pengadilan Amsterdam pada Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies Mellema yang cenderung membela seorang Eropa, Maurits Mellema, anak sah Herman Mellema yang dengan semena-mena menginjak kaum Pribumi. Pengadilan Amsterdam telah juga menunjukkan Ir.Maurits Mellema menjadi wali bagi Annelies Mellema karena yang belakangan ini dianggap masih berada di bawah umur, sedang haknya ata warisan, sementara ia dianggap belum dewasa, juga dikelola oleh Ir.Maurits Mellema. Dalam menggunakan haknya sebagai wali, melalui advokatnya, Mr.Graeg telah mensubstitusikan kuasa pada conferenya, seorang advokat di Surabaya, yang mengajukan gugatan terhadap Sanikem alias Nyai Onosoroh dan Annelies Mellema kepada Pengadilan Putih di Surabaya tentang perwalian atas Annelies dan pengasuhannya di Nederland. (Toer, 2011: 486) Kami tidak punya urusan dengan siapa pun yang mengaku atau tidak mengaku sebaai suaminya. Juffrouw Annelies Mellema masih gadis, tidak bersuami. (Toer, 2011: 510) Perlakuan diskriminasi pengadilan Amsterdam semakin tidak bermoral dan telah menyerang pada kekerasan. Hal ini ditunjukkan pengarang dalam pertempuran yang terjadi antara petugas pengadilan, orang Eropa, dengan pegawai Nyai, orang Madura. Dua regu Veldpolitie dating dalam iring-iringan kereta berkuda Gubermen. Dari kejauhan telah terdengar lonceng kuningan yang mereka bunyikan terus-menerus

dari semua keretanya. Tanpa menghiraukan orang-orang Madura kereta-kereta itu langsung memasuki pelataran. Dari kamar kami dapat kulihat beberapa orang Madura menyerampangkan arit-arit besarnya pada kai-kai kuda. Dua buah kereta lepas dari kekangan, memasuki taman, tercebur ke dalam kolam angsa.Dari keretakereta yang berhasil dapat dihentikan orang berseragam dan berkerabin melompat turun, menghalau orang-orang Madura. Yang dihalau tak sudi meninggalkan pelataran. Pertempuran (Toer, 2011: 512) 3.3 Kesimpulan 3.3.1 Keunggulan Novel Bumi Manusia mengungkapkan semangat perjuangan kaum pribumi untuk mendapatkan haknya di Negeri sendiri dan bebas dari belenggu dan diskriminasi kaum Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan secara terperinci dan jelas sehingga pembaca dapat dengan mudah mengerti karakteristik dari masing-masing tokoh. Bumi Manusia menampilkan problematika manusia Pribumi pada masa Hindia Belanda yang kompleks dari satu bagian cerita ke cerita yang lainnya. Namun penyelesaian dari bagian-bagian cerita dijelaskan Pramoedya Ananta Toer dengan bahasa yang lugas sehingga dapat dipahami pembaca. Melalui Novel Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer berani menceritakan bagaimana kolotnya tradisi Jawa pada masa itu bahkan hingga membuat generasi muda bangsanya sendiri tidak mau mengkutinya dan lebih memilih tradisi negara lain. Pelarangan yang dilakukan Jaksa Agung pada tahun 1980 tidak membuat Pramoedya Ananta Toer gentar untuk terus berkarya. Hal itulah yang menunjukkan sifat Pramoedya sebagai seorang sastrawan yang tidak kenal takut mengungkap kenyataan walaupun tau resiko berat yang akan ia terima. 3.3.2 Kekurangan Tidak dapat dipungkiri Novel Bumi Manusia memang merupakan novel sejarah yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia. Hanya saja isi dari novel ini masih menggunakan beberapa kata yang

Anda mungkin juga menyukai