Anda di halaman 1dari 9

Bumi Manusia pada Konteks Teori Postkolonialisme

Teori Postkolonialisme
Teori ini termasuk masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya, atau banyak
masyarakat berbicara postkolonial itu tentang penjajahan. Objek penelitian postkolonial
menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah
mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang,
termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna, 2008:90) mendefinisikan
objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman
kolonial. Ratna (2008:90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori
poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala
kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang
terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Dari ide oposisi ini, postkolonial
tidak hanya bicara soal penjajah dan yang terjajah dalam masa kolonial dan sesudahnya,
terutama karena tema tersebut tak relevan lagi, sebab sudah terlalu banyak jenis-jenis
penjajahan baru. Inti dari kritik postkolonial atas kolonialisme adalah tidak dalam
bentuk fisik penjajahan, melainkan juga dalam bangunan wacana dan pengetahuan
(bahkan bahasa).
Postkolonialisme merupakan bentuk penyadaran dan kritik atas kolonialisme.
Postkolonial bukan berarti setelah kemerdekaan, tetapi poskolonial dimulai ketika
kontak pertama kali penjajah dengan masyarakat pribumi. kolonialisme dalam ruang
privat, dan menjadi sumber gugatan feminisme yang senafas dengan gugatan
postkolonial.
Postkolonial menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme
dengan ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi,
masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran
kolonialisme dan imperealisme.Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan
model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan berbagai isu
sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan,masalah ras,
identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai
dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan
konsep poskolonial tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
Latar sosial yang mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompokkelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang
terdapat dalam novel ini juga sangat membantu pembaca mengikuti jalan cerita novel
ini. Realitas sejarah dan kaitannya dengan realitas-realitas lain harus mampu
ditunjukkan oleh karya sastra realisme-sosialis (Kurniawan, 2002: 123). Penggambaran
latar sosial yang baik merupakan salah satu cara yang dapat membantu pengarang dalam
menunjukkan realitas sejarah dan kaitan-kaitannya dengan realitas lain
Kelompok kami akan menggunakan teks novel yang berjudul Bumi
Manusia karya Pramoedya Ananta Toer sebagai bahan atau objek tugas ini dan akan
di bedah lebih mendalam pada konteks teori postkolonialisme.dan dampak apa saja
yang terjadi selama atau sesudah terjadi penjajahan tersebut .Novel Bumi
Manusia mengemukakan semangat nasionalisme manusia pribumi untuk mendapatkan
haknya di negeri sendiri dan bebas dari belenggu tindak kekejaman dan ketidakadilan
orang Eropa. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan secara rinci dan jelas sehingga

pembaca dapat dengan mudah mengerti karakter/ watak dari masing-masing tokoh. Dari
tokoh-tokoh dalam novel ini, Pramoedya Ananta Toer, berhasil menunjukkan rasa
nasionalisme yang begitu kuat ditanamkan dalam diri manusia pribumi masa Kolonial
Belanda. Novel Bumi Manusia mampu mendeskripsikan tindakan kekejaman dan
ketidakadilan melalui hukum Hindia Belanda masa Kolonial Belanda terhadap manusia
pribumi secara jelas, kompleks dari satu bagian cerita ke cerita yang lainnya dan
mengungkapkan sikap dan tindakan penindasan, kekejaman, dan kelicikan orang Eropa.
Tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang tak kalah
pentingnya dari Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga
ingin membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia
itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau nyai; semuanya mempunyai
hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk memandang seseorang dengan
sebelah mata.
Sinopsis Bumi Manusia
Minke adalah tokoh utama dalam novel ini. Meski itu hanya nama julukan dari
katamonkey tapi dia tak peduli, bahkan mana itu lebih terkenal dari nama aslinya. Minke
bukanlah dari keluarga miskin, terbukti dia bersekolah di HBS, sekolah pada masa itu
yang diperuntukkan bagi mereka yang berduit. Sementara yang pas-pasan hanya
mengenyam pendidikan Sekolah Ongko Loro. Minke merupakan karakter yang open
minded.
Perlakuan penjajah terhadap anak pribumi dan anak indo mengusik hatinya. Dia telah
mengalami sendiri ketika masuk sekolah pertama kali, pakaian eropanya harus diganti
dengan pakaian tradisional atau disebut beskap (bahasa Jawa). Baju yang dipakai
seseorang kala itu menunjukkan status sosial orang tersebut. Minke ingin mendobrak
streotype
lama
dengan
yang
baru.
Dari kehidupannya yang sering berjumpa dengan indo dan londo totok membuat
pergaulannya lebih luas. Satu hari dia berjumpa dengan Annelis Mellema, seorang gadis
indo anak dari Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh (seorang pribumi). Gayung
bersambut, cintapun bersemi. Annelis adalah gadis pekerja keras. Dia mewarisi keuletan
ibunya yang meskipun seorang yang tak mengenyam pendidikan formal akan tetapi dia
cepat belajar dari suaminya sehingga dia mampu meneruskan mengelola bisnis keluarga
Mellema. Sosok Sanikem atau Nyai Ontosoroh yang keras perwatakannya tak luput dari
pengalaman hidupnya yang getir. Orang tuanya menyerahkan dia kepada seorang totok
Belanda yang tak dia kenal untuk menjadi nyai (istilah saat itu untuk
menyebut simpanan. Sanikem seperti terlempar ke dunia asing yang harus dimasukinya
dan dia harus berjuang sendirian. Suatu potret sosial masyarakat yang sangat miskin
moralnya sehinggamenjual anaknya kepada orang kaya yang akan mengirimi uang dan
segala kebutuhan mereka. Pengalaman hidupnya membuat wataknya menjadi keras
demikian juga didikan kepada anak-anaknya. Dia mempunyai dua orang anak, Annelis
dan Robert. Annelis adalah seorang pekerjakeras.
Minke mulai mengenal keluarga ini dan mengagumi kegigihan sang Nyai. Annelis suatu
hari mengalami kejadian yang tak seharusnya terlebih-lebih terjadi di rumahnya sendiri.
Robert Suurhof, seorang teman kakaknya yang menaruh hati padanya mengejarnya dan
memaksakan keinginannya. Annelis tak berani menceritakan kejadian ini baik kepada
ibunya
ataupun
kepada
Minke.

Minke akhirnya menikah dengan Annelis. Dia menerima Annelis dengan segala
kekurangannya. Hingga pada satu hari datanglah seorang Belanda bernama Maurits
Mellema. Dia mengaku sebagai anak sah dari Herman Mellema di Nederland. Dia
meminta seluruh hak dan kekayaan ayahnya yang membuat ayahnya frustasi dan lari ke
minuman keras sampai mati. Herman Mellema mempunyai anak dan istri di negara
asalnya, akan tetapi dia menikah dengan wanita pribumi dan mempunyai anak pula.
Dari pengadilan diputuskan bahwa perkawinan Nyai Ontosoroh dengan Herman
Mellema tidak sah berikut perkawinan Minke dan Annelis. Pengadilan memutuskan
bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan Maurits Mellema. Sistem
pengadilan saat itu tidak memberikan kesempatan pribumi membela diri. Maka Annelis
Mellema harus di bawa Maurits ke Belanda. Pada saat itu Annelis jatuh sakit, akan
tetapi hukum yang berlaku telah memaksanya dan memisahkannya dari ibu kandungnya
dan suaminya. Sungguh ironis, orang asli yang punya negara tidak bisa berbuat apa-apa.
Hukum yang berkuasa memutuskan hubungan ibu dan anak, suami dan istri. Hukum
butan manusia yang semena-mena dan lunturnya kemanusiaan yang menyentuh sampai
di dasar hati.
Nilai Sosial dan Politik
Tokoh Nyai Ontosoroh dalam novel ini juga memainkan peran yang tak kalah
pentingnya dari Minke, tokoh utamanya sendiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Pram juga
ingin membuktikan bahwa semua manusia di dunia ini sama. Tidak peduli apakah dia
itu orang Eropa atau bukan, pria atau wanita, nyonya atau nyai; semuanya mempunyai
hak yang sama di dunia ini. Tidak ada alasan untuk memandang seseorang dengan
sebelah mata.
Tokoh Minke juga merealisasikan keinginan Pengarang untuk menyamaratakan
kedudukan semua manusia tanpa pandang bulu. Minke yang berdarah biru malah
berpendapat bahwa kebangsawanan hanyalah warisan masa lalu yang hanya bisa
merendahkan orang l;ain.
;
Pada masa itu status kebangsawanan seseorang sangatlah penting dan dijunjung tinggi.
Tidak heran jika ada banyak bangsawan yang tidak segan-segan memanfaatkan
kebangsawanannya untuk kepentingan pribadi. Biasanya, anak seorang bangsawan
kelak ketika dewasa secara otomatis akan mendapatkan jabatan penting di daerah
tertentu. Minke tidaklah demikian. Ia tidak ingin hidup bergantung pada jabatan dan
kebangsawanan orangtuanya.
Kau punya pergaulan bebas dengan Belanda. Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi
bupati kelak. Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin. Sahaya hanya ingin jadi manusia
bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda. Kepriyayian bukan duniaku. (Toer,
2005: 186 dan 190)
Dalam Bumi Manusia, pengarang menggambarkan bagaimana seorang nyai yang
dianggap bernilai rendah kesusilaannya dan selalu menjadi bahan pergunjingan banyak
orang ternyata mempunyai kualitas diri yang lebih baik dari semua wanita pribumi
terpelajar dan terhormat pada saat itu. Bahkan, jika nyai yang satu ini dibandingkan
dengan para wanita Eropa totok, ia masih jauh lebih baik

Kita juga dapat melihat bahwa budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah ada
sejak dahulu. Nepotisme terlihat jelas dalam Bumi Manusia. Minke yang anak seorang
bupati sudah digariskan akan menjadi bupati juga oleh ayahnya. Pengarang juga
menggambarkan kondisi pemerintahan kita pada saat itu. Ternyata KKN sudah
mengakar kuat pada bangsa kita sejak zaman dahulu.
Pram menggunakan latar Jawa dalam ceritanya karena, sebagai orang yang lahir dan
dibesarkan di Jawa, tentunya Pengarang juga sudah paham betul segala sesuatu yang
berhubungan dengan Jawa. Selain itu, segala kegiatan, baik politik maupun
perekonomian, pada umumnya berpusat di Jawa. Minke adalah seorang pemuda Jawa
yang berpikiran modern dan sangat tidak menyukai kefeodalan priyayi Jawa, apalagi
ketika seseorang harus merendahkan diri jika sedang berhadapan dengan orang besar.
Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang Eropa, kalau
akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja
kecil yang barangkali buta huruf pula? Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab
kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu begini macam? Mengapa kau
sampai hati mewariskan adat semacam ini? (Toer, 2005: 179 dan 181)
Tak hanya harus merendahkan diri, orang-orang yang berstatus lebih rendah biasanya
harus menuruti segala keinginan orang-orang yang berstatus lebih tinggi dan membuat
mereka senang. Pram mengkritik sikap para pejabat pemerintah dan masyarakat yang
pada saat itu menganut prinsip asal Bapak senang.
Tidak hanya dalam instansi, dalam sistem kekeluargaan pun mereka harus mau tunduk
dan patuh terhadap apa pun yang telah diputuskan oleh orang-orang yang dituakan
dalam keluarga itu. Biasanya, mereka menganggapnya sebagai keputusan terbaik.
Walaupun demikian, keputusan itu bisa saja dibuat oleh yang dituakan untuk
kepentingan pribadinya.
Jangan sentuh ini! Siapa kasih kau hak membukanya? Tak mengerti kau kiranya,
catatan begini sangat pribadi sifatnya? Atau memang begitu macam latihan bagi calon
ambtenar?
Dan begitu itu peradaban baru? Menghina? Menghina ambtenar? Kau sendiri bakal
jadi ambtenar. Ambtenar? Orang yang kau hadapi ini tak perlu jadi.
Mari, aku antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya. (Toer, 2005:
190-191)
Dari petikan percakapan Minke dengan abangnya di atas, dapat kita simpulkan bahwa
orang yang mempunyai posisi atau jabatan tertentu adalah seseorang yang harus
diagungkan. Karena posisinya sebagai yang lebih tua dalam keluarga, abang Minke
merasa dapat melakukan apa pun yang dia kehendaki terhadap Minke. Namun, Minke
berpendapat lain. Menurutnya, ada satu sisi dalam hidup kita yang tidak seharusnya
diketahui oleh orang lain, bahkan oleh ibu kita sendiri.
Dan abang, yang selalu menggunakan haknya sebagai anak yang terlahir dahulu
Siapa pun melanggar hak-hak pribadi akan saya tentang, Bunda, jangankan hanya
seorang abang. (Toer, 2005: 190 dan 192)
Pada akhir novel ini Nyai Ontosoroh dan Minke harus kehilangan orang yang mereka
sayangi karena gagal melawan pengadilan kulit putih. Akan tetapi, mereka telah
berusaha keras melawannya. Kita dapat mengambil hikmah bahwa tidak semua yang
kita kehendaki dapat terwujud, sekalipun perjuangan kita sudah tak terkira lagi.
Tidak semua kemenangan harus ditandai dengan tercapainya sebuah cita-cita. Sebuah
perjuangan tidak hanya dilihat dari hasilnya, tapi juga dari prosesnya. Nyai Ontosoroh

dan Minke telah menang dalam kekalahan. Mereka telah mengupayakan semua yang
terbaik dari diri mereka walaupun pada akhirnya tujuan mereka tidak tercapai juga.
Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. (Toer, 2005:
535)
Kalimat terakhir pada novel ini juga merupakan sebuah kritik yang disampaikan oleh
Pengarang. Dia mengkritik orang-orang yang hanya melihat perjuangan dari hasilnya
saja, bahkan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya.
Indonesia di awal abad ke-20 manusia pribumi masih dianggap sebagai manusia
bawah yang tak berpendidikan ditindas secara fisik maupun batin. Akhir abad ke-19
menuju awal abad ke-20 masa kolonial Belanda menguasai hidup manusia pribumi di
Indonesia, dengan kekuasaan hukum Hindia Belanda yang menindas, menyakiti dan
melecehkan martabat manusia pribumi. Manusia pribumi di abad ini belum dapat
melawan hukum Hindia Belanda yang memiliki kekuasaan hukum kuat di Bumi Pertiwi
ini.
Namun, ada manusia pribumi yang memiliki rasa nasionalisme kuat dalam
dirinya untuk melawan kekuasaan hukum Hindia Belanda di Bumi Pertiwi ini. Hukum
Hindia Belanda yang tidak akan memberikan ruang dan kesempatan bagi manusia
pribumi untuk mempertahankan haknya apalagi untuk membela diri mendapatkan
keadilan dan kebenaran. Minke dan Nyai Ontosoroh, manusia pribumi yang memiliki
rasa nasionalisme untuk melawan kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa. Orang
Eropa menggunakan kekuasaannya untuk menghancurkan manusia pribumi melalui
hukum yang dibuatnya. Hukum Hindia Belanda dibuat hanya untuk keuntungan orang
Eropa yang berkeinginan besar untuk menguasai hidup manusia pribumi, merendahkan,
serta melecehkan martabat manusia pribumi.
Penjelasan di atas merupakan salah satu bagian dekonstruksi pada teori
postkolonialisme ini dan terdapat pada bagian teks yang berada pada novel Bumi
Manusia
Pengadilan memutuskan bahwa seluruh harta dan kekayaannya jatuh ke tangan
Maurits Mellema. Sistem pengadilan saat itu tidak memberikan kesempatan pribumi
membela diri. Maka Annelis Mellema harus di bawa Maurits ke Belanda. Pada saat itu
Annelis jatuh sakit, akan tetapi hukum yang berlaku telah memaksanya dan
memisahkannya dari ibu kandungnya dan suaminya. Sungguh ironis, orang asli yang
punya negara tidak bisa berbuat apa-apa. Hukum yang berkuasa memutuskan
hubungan ibu dan anak, suami dan istri. Hukum butan manusia yang semena-mena dan
lunturnya kemanusiaan yang menyentuh sampai di dasar hati.
Keberanian manusia pribumi untuk melawan kekejaman Belanda, mempertahankan
yang jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Sikap keberanian manusia pribumi oleh
pengarang dicantumkan dalam Novel ini. Melalui tokoh Jean Marais, sahabat Minke,
pengarang menunjukkan betapa besar pengorbanan dan perjuangan manusia pribumi
untuk mendapatkan hak yang seharusnya mereka miliki.
Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah,
namun tetap dapat mempertahankan ketingggian semangat pasukannyasuatu rahasia
yang tak dapat aku pecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan
Kompeni, juga melawan kehancurannya sendiri.

novel ini juga menggambarkan kekejaman dan ketidakadilan orang Eropa terhadap
manusia pribumi, melalui isi surat Miriam de la Croix yang ditujukan untuk Minke
Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari
permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke
bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara
melihat keangungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak
tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri.
Pengadilan yang seharusnya bertindak adil dan memberi pengayoman terhadap manusia
manapun tanpa membedakan bangsa, agama, suku, ras dan etnis. Namun, Pengadilan
yang sebagian besar di pimpin oleh orang Eropa membuat pengadilan ini bertindak
semena-mena terhadap manusia pribumi.
Ya, pengadilan itu memang cukup kurangajar. Jaksa dengan sengaja hendak
mengobrak-abrik kehidupan kami di depan umum sebagai sambungan dari perasaan
Robert Surrof.
Sikap Nyai Ontosoroh yang mengungkapkan ketidakadilan hukum Hindia Belanda
masa Kolonial Belanda. Hukum yang digunakan untuk menghina, melecehkan, dan
menindas fisik dan batin manusia pribumi. Hukum Hindia Belanda yang lebih
mengagungkan sikap dan tindakan orang Eropa dan menganggap rendah semua
tindakan manusia pribumi.
Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan
mendiang Tuan Mallema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara
anakku dengan Tuan Minke dipersoalkan? Hanya karena Tuan Minke Pribumi?
Mengapa tidak disinggung hampir semua orangtua golongan Indo? Antara aku dengan
Tuan Mallema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Antara
anakku dan dengan Tuan Minke ada cinta mencintai yang sama tulus. Memang belum
ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun anak-anakku lahir, dan tak ada seorang pun
yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini.
Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus? Kalau orang Eropa boleh
berbuat karena, keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi
ejekan, justru kerena cinta tulus.
Nyai Ontosoroh alias Sanikem adalah seorang gundik orang Eropa, Tuan Herman
Mallema. Ia menyimpan dendam yang mendalam terhadap sikap dan perilaku orang
Eropa. Nyai Ontosoroh mengungkapkan sikap dan perilaku semena-mena, kejam, jahat,
dan angkuh orang Eropa masa Kolonial Belanda.
Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka
Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih , jadi mereka pribumi mesti salah,
orang Eropa mesti bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi
lebih salah lagi. Kita, menghadapi keadaan yang lebih sulit , Minke anakku!

Sikap dan perilaku jahat, merendahkan manusia pribumi, licik, dan semena-mena orang
Eropa ditunjukkan oleh pengarang melalui sikap berani Nyai Ontosoroh melawan
tindakan kekejaman, dan keangkuhan tuan-tuan bangsa Eropa.
Siapa yang menjadikan aku gundik? Siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai?
Tuan-tuan bangsa Eropa, yang dipertuan. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan?
Dihinakan? Apa Tuan-Tuan menghendaki anakku juga jadi gundik?
Sikap perlawanan manusia pribumi terhadap golongan Indo Eropa maupun orang Eropa
yang dibuat melalui tulisan oleh seorang Penulis Koran, Kommers. Tujuannya untuk
mengungkapkan perbuatan buruk, licik dan semena-mena jaksa dan hakim yang
sebagian besar dipimpin oleh orang Eropa. Penyalahgunaan fungsi pengadilan oleh
orang Eropa yang memonopoli dan mempermainkan kebenaran.
Tulisnya, perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo Eropa yang
berasal dari pergundikan dan pernyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya,
menjadi bukan Pribumi. Tidak diakui menjadi Pribumi. Artinya: Pribumi sama dengan
anak gundik yang tidak diakui sang ayah. Ia juga mengecam pengungkapan perkara
pribadi. Kommer menilai jaksa dan hakim itu tidak berbudi Eropa, lebih buruk dari
pengadilan Pribumi yang dilakukan Wiroguno, atas diri Pronocitrobarang duaratus
limapuluh tahunan yang lalu. Minke siapa mereka? Aku tak tahu.
Sikap kepasrahan Minke kepada Allah terhadap situasi yang sedang dihadapinya
digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Ini terlihat dalam Bab 17 kepasrahan dan
kenelangsaan manusia pribumi, Minke dalam menghadapi kekejaman Orang Eropa.
Ya, Allah, juga kenelangsaan bisa menghasilkan sesuatu tentang umatMu sendiri, kau
jugalah perintahkan umat untuk untuk berbangsa-bangsa dan berbiak. Hubungan lakiperempuan yang terjadi karena perbedaan kemampuan sosial dan eknomi bisa kau
ridhai. Mengapa hubungan sukarela tanpa perbedaan sosial ekonomi begini, hanya
karena belum menurut aturanMu? Dan semua itu telah kau biarkan terjadi, melahirkan
golongan Indo yang begitu berkuasa atas mereka yang lahir dengan keridhaanMu?
Keberhasilan Minke, anak manusia pribumi dalam meraih prestasi membanggakan di
HBS. Prestasi anak manusia pribumi yang berada di atas anak Eropa di Hindia
Belanda.
Aku gemetar. Tak pernah aku duga. Dan memang tidak terpikirkan oleh seorang siswa
Pribumi boleh berada di atas anak Eropa. Yang demikian tabu di Hindia Belanda ini
Sikap dan perilaku ketidakadilan orang Eropa yang merampas apa saja yang mereka
ingin kuasai tanpa pandang bulu. Hidup manusia pribumi yang tak ada harganya di
hadapan orang Eropa, tak ada ruang dan kesempatan bagi manusia pribumi untuk
mempertahankan haknya.

Dalam mendengarkan itu terngiang-ngiang kata-kata Bunda: Belanda sangat, sangat


berkuasa, namun tidak merampas istri orang seperti raja-raja Jawa. Bunda? Tidak lain
dari menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak dari
ibunya, istri dari suaminya, dan hendak merampas juga jernih-payah Mama selama
lebih dari duapuluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya didasarkan pada
surat-surat indah jurutulis ahli, dengan tinta hitam tak luntur yang menembus sampai
setengah tebal kertas.
Sikap dan tindakan pantang menyerah, rasa nasionalisme dan mempertahankan hak dan
kepunyaan sampai tidak bisa melawan lagi. Sikap pantang menyerah Minke digunakan
oleh Pramoedya Ananta Toer untuk mengungkapkan, tidak pernah surut perjuangan
manusia pribumi melawan tindak kekejaman dan penindasan orang Eropa.
Pada saat itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya
melawan, membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagiseperti bangsa
Aceh di hadapan Belanda menurut cerita Jean Marais. Mama juga menunduk. Ia justru
yang lebih daripada hanya mengerti. Ia akan kehilangan semua: anak, perusahaan,
jernih-payah, dan milik pribadi
Minke menunjukkan kekejaman orang Eropa yang tak menghiraukan jernih payah,
kepunyaan, dan hak orang lain. Ini terlihat dalam Bab 19 manusia pribumi diremehkan,
dihina dan dilecehkan dengan kekuasaan orang Eropa di Bumi Pertiwi ini.
Rasanya aku menjadi pingsan membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang
dipergunakan begitu aneh. Sedikit dari isinya dapat kupahami benar: tak mengandung
perasaan manusiamenganggap manusia-manusia hanya sebagai inventaris.
Minke menyadari bahwa manusia pribumi lemah di hadapan Orang Eropa. Ini terlihat
dalam Bab 19 pengarang mengungkapkan orang Eropa berkuasa atas hidup dan
kebebasan manusia pribumi.
Benar, ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama,
Annelies dan aku. Barangkali ini yag dinamai perkara kolonialsekiranya penjelasan
Magda Peters benar-benarperkara menelan Pribumi bangsa jajahan.
Sikap penghinaan dan pelecehan koran kolonial terhadap Hukum Agama di Surabaya.
Dalam hal ini penggarang menunjukkan bahwa sikap dan perilaku orang Eropa
sangatlah tak berperasaan dan tak berperikeadilan.
Mahkamah Agama di Surabaya mengeluarkan pernyataan: perkawinan kami syah dan
dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat diganggu-gugat. Sebaliknya beberapa
koran kolonial mengejek, memaki dan melecehkan. Koran Nijman dan Kommers sibuk
menyingkat pernyataan-pernyataan tersebut.
Sikap dan tindakan kemarahan, kemurkaan manusia pribumi dari berbagai elemen,
yaitu serombongan orang Madura yang dipimpin oleh Darsam. Tokoh Darsam yang
digunakan pengarang untuk menunjukkan rasa nasionalisme yang begitu kuat dalam diri

manusia pribumi untuk melawan kekejaman orang Eropa yang semena-mena dalam
mengeluarkan keputusan tak berperikemanusiaan.
Keputusan Pengadilan Surabaya menerbitkan amarah banyak orang dan golongan.
Serombongan orang Madura, bersenjata parang dan sabit besar, clurit, telah
mengepung rumah kami, menyerang orang Eropa dan hamba negeri yang berusaha
memasuki pelataran rumah kami.
Sikap keputusasaan dan kesedihan Minke terhadap keputusan akhir Pengadilan
Amsterdam yang mengharuskan Minke merelakan istrinya pergi ke Negeri Eropa,
Nederland.
Aku sudah tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar suara tangisku sendiri, Bunda,
putramu kalah. Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biarpun tak
mampu membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah Pribumi di hadapan Eropa?
Eropa! Kau, guruku, begini macam perbuatanmu? Sampai-sampai istriku yang tak tahu
banyak tentangmu kini kehilangan kepercayaan pada dunianya yang kecildunia
tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya seorang. Hanya seorang.

Kesimpulan
Bangsa pribumi selalu dianggap lemah oleh bangsa eropa,setinggi apapun jiwa
nasionalisme bangsa pribumi,akan tetap kalah jika dibandingkan oleh kekuasaan eropa
dan hukum pun akhirnya kalah karena adanya kekuasaan eropa.
Tapi pasti ada kemenangan jika Kebangkitan Nasionalisme dan semangat persatuan
untuk mempertahankan jati diri bangsa dan negara yang sesungguhnya. Karena syarat
mutlak dan utama untuk menciptakan dan mengembangkan rasa nasionalisme adalah
adanya kemauan dan tekad bersama. Dan semua orang mempunyai hak yang sama dan
orang lain harus menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat status, jabatan, suku,
bangsa, maupun jenis kelaminnya. Dengan kata lain, semua orang di dunia ini sama dan
tidak ada apa pun yang dapat membedakan mereka. sebuah perjuangan tidak hanya
dilihat dari hasil akhirnya. Proses perjuangan itu sendiri juga merupakan penentu
keberhasilannya. Kemenangan yang diraih dengan kecurangan tidak berarti apa-apa jika
dibandingkan dengan kekalahan yang disertai dengan perjuangan terhormat.

Anda mungkin juga menyukai