Anda di halaman 1dari 5

Nama : Achsannanda Maulyta Sari

NIM

: 121411331035

Departemen Sastra Jepang


Universitas Airlangga

Filsafat: Teori Postkolonialisme Dalam Roman Bumi Manusia (1975) dan Film
Cotton Mary (1999).

Teori Postkolonialisme: Pengertian Singkat


Postkolonialisme, dari akar kata post- + kolonial + -isme, secara harfiah berarti paham
mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Secara umum, meski istilah kolonial telah
digunakan untuk menyebut masa prakemerdekaan dan sebagai istilah untuk menggambarkan karyakarya nasional, seperti tulisan Kanada modern atau kesusastraan India Barat kontemporer, istilah
tersebut juga dipakai untuk menyebut masa setelah kemerdekaan. Sesuai dengan pendapat Keith
Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial tetapi dalam
pengertian lebih luas. Sasaran postkolonialisme adalah masyarakat yang dibayang- bayangi oleh
pengalaman kolonialisme. Objek postkolonialisme juga meliputi karya- karya yang ditulis pada masa
berlangsungnya kolonialisme (Ratna 2008: 150).
Teori postkolonialisme yang dikemukakan oleh Moore dan Gilbert memaparkan bahwa
postkolonial lahir pada paruh kedua abad ke-20 dan seringkali disebut sebagai metode dekonstruktif
terhadap model berpikir dualis (biner). Model berpikir dualis ini cenderung selalu menempatkan
kedudukan Barat dalam posisi yang lebih unggul dibandingkan dengan Timur. Dalam hal ini
kedudukan orang-orang di negara Barat selalu dianggap sebagai pengamat, subyek, penjajah, dan halhal unggul lainnya. Sedangkan orang-orang di negara Timur selalu dianggap sebagai pelengkap, orang
luar, obyek, dan pihak yang terjajah. Menurut Fanon, melalui dikotomi kolonial, penjajah-terjajah,
wacana oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dasyat bagi kaum
inferior yang terjajah. Dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga
penaklukan pikiran, jiwa, dan budaya. Intinya, postkolonialisme menyediakan kerangka untuk
mendestabilisasi bahwa ada asumsi tersembunyi yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini
selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal.
Teori Postkolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagi gejala kultural,
seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dsb, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa
modern. Tujuan utama dari teori postkolonialisme ini sebenarnya adalah untuk mendobrak tradisi

kolonialisme berupa kritik dan melawan dampak yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Teori ini
diterapkan dalam sebuah karya sastra terutama untuk mendekonstruksi narasi kolonial dengan
mengkaji karakter budaya yang lahir pada negara-negara dunia ketiga atau negara bekas jajahan pada
dekade setelah masa penjajahan berakhir.

Roman Bumi Manusia dan Cotton Mary


Teori Postkolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagi gejala kultural,
seperti: sejarah, politik, ekonomi, sastra, dsb, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa
modern. Dalam roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer ini berlatar belakang sejarah
Indonesia pada tahun 1800-an, merupakan awal dimana era modern memasuki nusantara, juga saat
dimana Indonesia masih berada dalam jajahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Di dalamnya
dapat ditemukan berbagai macam gejala kultural yang menarik, misalnya permasalahan dari
kedudukan para Pribumi atas orang Indo dan Eropa Totok. Pribumi adalah sebutan dari penduduk asli
Indonesia (tanpa ada darah campuran orang Eropa), Eropa Totok adalah orang berdarah Eropa murni,
sebutan untuk pendatang atau untuk orang Belanda sendiri. Sedangkan Indo adalah sebutan untuk
orang yang berdarah campuran atau peranakan dari orang Eropa dengan Pribumi.
Terdapat sebuah istilah nyai dalam roman ini, yang berarti gundik. Wacana umum
mengenai nyai pada era itu adalah wanita simpanan yang dikawini orang Eropa yang kaya raya atau
berkuasa secara tidak syah, perempuan pribumi yang tiada harganya, tiada terpelajar, dipandang hina
dan rendah, serta hanya sebagai budak pemuas nafsu tuannya belaka. Namun, Pram meruntuhkan
wacana tersebut melalui penokohannya tentang seorang Nyai Ontosoroh yang enggan berdamai
dengan nasibnya. Nyai Ontosoroh ini bukanlah sembarang nyai. Dia merupakan Pribumi yang
terpelajar, yang dididik untuk menjadi wanita Eropa oleh majikannya, Tuan Herman Mallema.
Pramoedya mencoba menunjukkan bahwa seseorang yang tidak pernah menjajal bangku sekolahpun
bisa menjadi pribadi yang terpelajar, boleh jadi bisa lebih baik dari siswa yang katanya terpelajar.
Meski ditakdirkan menjadi seorang gundik, Nyai Ontosoroh berhasil membuktikan bahwa nyai
macam dirinya bisa menjadi dihormati dan disegani. Meski ia hanyalah Pribumi, Nyai dapat
mengangkat harga dirinya dengan upaya membangun dan mengelola perusahaannya sehingga orang
menjadi hormat hanya karena hartanya yang berlimpah serta menjadi berkuasa karenanya. Jika tanpa
perusahaan besar, kekayaan, dan modal pendidikan yang diajarkan tuannya maka nyai tiada bedanya
dengan nyai-nyai pada umumnya. Ini menjadi pembuktian adanya gejala kultural ekonomi dan sosial
pada era tersebut. Harga diri seseorang dapat dinilai dari kekayaan dan seberapa cakap
pengetahuannya tentang Eropa, yakni; Bagaimana berbicara bahasa Belanda tanpa cela, kepandaian
menulis dalam bahasa Belanda, bersikap sebagaimana orang Eropa, beretika Eropa, pengetahuan

mengatur perusahaan, dan sebagainya. Hal ini sudah menjadi wacana yang dikonstruksi oleh negara
superior (Belanda) terhadap koloni jajahannya (Indonesia). Karenanya Banyak yang tdak sadar akan
hal itu sehingga dianggap wajar dan benar.
Dampak kolonialisasi telah melahirkan pengaruh psikologis dan sosiologis yang besar. Minke
sebagai tokoh utama dalam roman ini, ialah Pribumi berdarah priyayi. Mendapat panggilan Raden
Mas tidak disukainya, meneruskan ayahnya menjadi bupati kelak tidak jadi cita-citanya. Bersekolah
di H.B.S Surabaya telah mengolah pribadi Minke untuk menjadi manusia Eropa. Minke dihadapkan
dengan berbagai masalah yang menyadarkan pembaca akan ketidakadilan yang dialami oleh kaum
Pribumi. Eropa, yang dijadikan kiblat dalam segala hal telah menjadi tolak ukur nilai yang berlaku.
Kaum Eropa adalah yang tertinggi, sedang Pribumi adalah yang rendah. Terdapat suatu kutipan dalam
novel ini: Sekalipun monyet tetap monyet. Meski Pribumi menganggap dirinya akan bisa sederajat
dengan orang Eropa, dengan cara melakukan mimikri, meniru segala sesuatu yang berunsur Eropa;
berjas, bersepatu, berdasi, berbahasa Belanda dan terpelajar sekalipun dihadapan Para Eropa Totok
sendiri tetaplah monyet. Tidak merubah kenyataan bahwa Pribumi tetap Pribumi. Harga dirinya jauh
dibawah Kaum Eropa. Padahal belum tentu Orang Eropa tersebut lebih pintar dan cakap dalam segala
hal dibanding Pribumi tadi. Bisa jadi Pribumi tersebut lebih terpelajar. Namun telah tertancap dalam
pemahaman umum bahwasannya Bangsa Eropa lebih mulia. Begitu pula yang tertanam dalam
psikologis kebanyakan orang Indo. Meski dalam darahnya hanya terdapat sedikit saja campuran
keturunan Eropa, maka ia sombongnya bukan main. Merendahkan para Pribumi, menganggap dirinya
berbeda, lebih mulia dan tak ingin disamakan. Saya lebih suka menyebutkannya sebagai Eroupe
wanna be. Sok-sokan menganggap diri orang Eropa. Padahal dalam dirinya juga terdapat darah
Pribumi. Sama-sama darahnya, sama-sama berwarna merah, sama-sama memberi kehidupan. Lalu
dari manakah yang menjadi letak perbedaan sehingga masing-masing mendapatkan perlakuan
berbeda? Jika setiap orang berhak memilih untuk dilahirkan di keluarga kaya, di negara mana,
menjadi ras apa, maka masih adakah dominasi yang dilakukan oleh koloni Eropa ini?
Eroupe Wanna Be dapat terjadi dikarenakan telah hilangnya penghargaan terhadap bangsa
sendiri. Akibat kolonialisme, perlahan pola pikir masyarakat jajahannya telah terhegemoni. Negara
Seperior dengan bermodalkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang lebih maju, secara tidak
langsung telah membuat bangsa jajahannya merasa bodoh dan tertinggal. Hal ini membuat bangsa
Pribumi yang telah dijajah selama beratus tahun lamanya mengalami perubahan mental. Meski
diantaranya masih banyak yang berperang, meski tahu akan kalah mereka tetap berperang untuk
melindungi kemerdekaan dan harga diri bangsanya. Namun ada pula diantaranya Pribumi yang
mengagumi bangsa Eropa, mencoba belajar darinya dan akhirnya timbullah keinginan untuk
menyelaraskan diri dengan pendatang tersebut. Mulai menganggap bahwa bangsanya sendiri tidak
berdaya dan ketinggalan jaman. Hilangnya nasionalisme dan mulai menyukai adat Eropa. Sungguh
kontradiksi, Pribumi mempunyai dendam tersendiri kepada Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda,

membenci orang Eropa, namun disisi lain memuji dan belajar meniru kebiasaan yang ditinggalkan
bangsa Eropa. Akibat kolonialisasi ini juga menciptakan alienisasi, Pribumi yang melakukan mimikri
akan dianggap telah menjadi asing oleh masyarakatnya sendiri, sedang oleh Eropa Totok sendiri
pribumi tetaplah pribumi. Derajatnya lebih rendah.
Hal semacam ini juga terdapat dalam Film Cotton Mary. Mary yang ayahnya adalah orang
Inggris merasa bahwa dalam dirinya darah Inggris lebih mendominasi. Sejak awal agama yang dianut
Mary adalah Nasrani, yakni agama yang dibawa oleh Inggris yang pernah menjajah India. Berhasil
bekerja pada orang Inggris, ia menganggap dirinya telah sukses. Maka ia berusaha keras mendapatkan
kepercayaan penuh majikannya, Lily. Di hadapan keluarganya sendiri ia berlaku sombong. Dengan
mencuri sabun majikannya dan memakainya, ia mulai merasa menjalani kehidupan layaknya orang
Inggris. Seiring berjalannya waktu tingkah Mary menjadi-jadi. Mary semakin merasa seutuhnya
menjadi orang Inggris dan derajatnya telah naik. Itu ditunjukkan dengan kebanggaannya ketika
mengenakan pakaian, sepatu dan topi yang diberikan Lily.
Dalam Film Cotton Mary ini, Perlakuan yang diterima orang India dengan Inggris sangat
berbeda. Contohnya saja ketika Lily melahirkan. Rumah bersalin tempat Lily dan bayinya dirawat
melakukan segala yang terbaik untuk Lily dan bayinya. Adik Mary yang juga bekerja disana bahkan
sampai diberi tugas tambahan oleh kepala perawat, padahal saat itu dia seharusnya sudah pulang dan
hendak berpesta. Disitu adik Mary mengeluh: Karena yang melahirkan orang Inggris saja aku harus
kerepotan seperti ini. Coba kalau yang melahirkan orang India. Dari keluhan tersebut tersirat bahwa
seharusnya tidak ada diskriminasi diantara Ibu yang melahirkan. Baik itu Berdarah Inggris ataupun
India, sama-sama perlu mendapatkan perawatan yang maksimal. Bukan berarti jika itu India, maka
tidak harus diperhatikan.Maka lahirlah suatu antisesis sebagai perlawanan teks yang telah diciptakan
oleh Kolonialisme.
Permasalahan lainnya ialah kedudukan hukum. Dalam Bumi Manusia, di akhir cerita Minke
dan Nyai Ontosoroh mencoba melawan keputusan Pengadilan Putih (keputusan dari Nederland) yang
hendak membawa Annelies Malleman (Istri Minke, anak Nyai Ontosoroh) ke Nederland dikarenakan
hak asuhnya yang syah adalah Maurits malleman (Anak Herman malleman dengan Istri syahnya).
Juga perusahaan dan kekayaan Nyai seeluruhnya dilimpahkan kepada Maurits sejak meninggalnya
Herman Malleman. Mengapakah Nyai tidak berhak mendapat hak asuh putrinya sendiri? Mengapa
pewarisan nama belakang menjadi kendala? Annelies hanya diakui sebagai Putra Herman Mallema,
tetapi tidak sebagai putri Nyai, dikarenakan pernikahannya tidak syah. Padahal selama ini yang
mengandung dan membesarkan Annelies tidak lain adalah Nyai. Begitupula dengan Minke yang
dianggap tidak syah perkawinannya dengan Annelies. Itu semua hanya karena Nyai dan Minke adalah
Pribumi. Sekeras apapun Minke dan Nyai melawan, mencoba mendapatkan dukungan dan simpati,
menyewa advokat terbaik, namun tetap kalah dihadapan Hukum Nederland. Karena hukum itu

berlaku untuk Annelies yang dalam tubuhnya mengalir darah Eropa. Sedang hukum tersebut tidak ada
urusannya bagi Pribumi seperti Minke dan Nyai. Sebegitu lemahnya Pribumi dihadapan Eropa. Dari
peristiwa ini telah membuka tirani Eropa yang tidak adil. Ditunjukkanlah dalam roman ini teori
postkolonial untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkan oleh
Kolonialisme melalui peristiwa-peristiwa yang dilalui Minke.

Kesimpulan
Pada intinya, teori postkolonialisme ingin melakukan semacam dekonstruksi terhadap
kolonialisme yang telah berlangsung sejak masa penjajahan. Kajian postkolonialisme sendiri
bertujuan untuk melihat golongan lemah dan termarjinalkan, kemudian berusaha untuk
mengangkatnya menjadi salah satu bagian penting dalam masyarakat heterogen. Jadi, Sastra
postkolonial dilahirkan untuk menghadirkan perspektif baru di luar mainstream dominan kolonial.
Dapat diperoleh bahwasannya perlakuan tidak adil sering diterima oleh negara-negara yang
dijajah oleh pemerintahan kolonialisme. Terjadi suatu perubahan psikologis dan sosiologis yang
diakibatkan oleh Kolonialisme. Seperti teks yang dipercaya secara tidak sadar, bahwa kulit putih lebih
diatas segala-galanya daripada kulit gelap. Juga perubahan kiblat yang dijadikan acuan adalah Eropa.
Hal itu disebabkan oleh wacana yang dianggap benar secara terus menerus sehingga lama-kelamaan
menjadi mitos dan dipercaya. Muncullah gejala mimikri, dengan harapan bisa menjadi sederajat
dengan meniru bangsa Eropa dalam kesehariannya, baik pakaian, perilaku, hingga intelektualnya,
walaupun sebenarnya kontradiktif karena kaum inferior ini membenci pemerintahan Kolonial ataupun
Eropa (Ambivalensi).
Baik Bumi Manusia dan Cotton Mary, keduanya adalah hasil karya sastra yang didalamnya
tersirat teori postkolonialisme. Kreatif imajinatif karya sastra dengan bahasa kias, metafora, dan
kontradiksi didalamnya, sastra menjadi tempat bersembunyi kepentingan ideologis yang hendak
disampaikan kepada pembacanya. Melalui Roman Bumi Manusia, Pramoedya telah menyediakan
pemahaman langsung kepada pembaca, sehingga menghasilkan sebuah antitesis atas teks kolonial
yang dipelajari melalui konflik-konflik yang dialami Minke. Terdapat suatu istilah philogynik yang
sekarang dalam KBBI dikenal sebagai filogeni, yakni penyelidikan tentang sejarah dan perkembangan
bahasa sebagai suatu sistem. Memang roman ini menampilkan sejarah awal pergerakan Nasionalisme
dari sisi yang lain dan mencoba membongkar teks Kolonialisme. Pembaca seakan-akan diajak untuk
menanggapi suatu permasalahan kemudian disadarkan bahwasannya ada suatu sistem yang
mengendalikan dibalik hukum dan wacana umum yang dipegang. Sehingga memunculkan
pemahaman dan perlawanan oleh pembaca terhadap kolonialisme dalam Roman dan Film tersebut
sebagai refleksi teori Post-kolonialisme yang disampaikan penulisnya.

Anda mungkin juga menyukai