Anda di halaman 1dari 8

RESENSI NOVEL ANAK SEMUA BANGSA

BANGKITNYA KAUM PRIBUMI DAN MULAI MENGENAL


BANGSA SENDIRI

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Dra. Wiyatmi, M. Hum.

Disusun Oleh :
Winarni Widiastuti (20201241004)
Naurah Athaya Putri (20201241006)
Aisya Vinka Salekha (20201241013)
Aryo Dwi Pangga (20201241015)
Alya Aulia Defyo (20201241019)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
Bangkitnya Kaum Pribumi dan Mulai Mengenal Bangsa Sendiri

Identitas Buku
Judul Buku : Anak Semua Bangsa
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
ISBN : 979-8659-13-9
Halaman : 412 Halaman
Kota Terbit : Jakarta Timur
Tahun Terbit : 2002 (Cetakan ke-6)
Harga : Rp130.000,00

Sinopsis

Novel ini merupakan salah satu dari Tetralogi Buru dari karya Pramoedya Ananta Toer.
Novel Anak Semua Bangsa ini juga merupakan kelanjutan cerita dari novel Bumi Manusia yang
ber-genre sejarah, dimana Pramoedya menyajikan riwayat kehidupan R. M. Tirto Adhisurjo,
seorang tokoh pergerakan pada zaman kolonial Belanda yang mendirikan organisasi Sarekat
Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Dengan kata lain karya
ini merupakan novel sejarah yang mengambil tokoh–tokoh dan peristiwa sejarah, serta latar
belakang sejarah. Lebih tepatnya novel ini menggambarkan sejarah Indonesia pada masa
pemerintahan kolonial Belanda. R. M. Tirto Adhisurjo dalam novel ini digambarkan dalam diri
tokoh Minke. Minke sebagai seorang pribumi yang hidup di era awal tahun 1900-an dan tinggal
dalam lingkungan siswa-siswi Eropa. Walaupun seorang pribumi, Minke berani memberontak
terhadap penindasan kepada bangsanya, Indonesia. Novel ini menjadi salah satu buku yang
dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung bersama dengan buku Bumi Manusia 

Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan penderitaan
rakyat Jawa dibawah pemerintahan Belanda yang licik dan haus kekuasaan. Dari sudut pandang
Minke, seorang penulis pribumi yang begitu mendewakan Eropa, kita dapat melihat kembali
sejarah bangsa Indonesia, serta bercermin melihat diri sendiri. Kita diajak menelusuri pikiran
Minke yang terombang-ambing dalam keyakinannya, sampai akhirnya sadar bahwa ia harus
turun dan memperhatikan bangsanya sendiri.

Novel ini diawali dengan Minke yang sedang kehilangan istrinya, Annelies Mellema.
Sahabatnya, Panji Darman atau Robert Jan Dapperste-lah yang menemani Annelies sampai
ajalnya di Belanda. Banyak surat dikirimkan oleh Panji Darman untuk Minke dan mertuanya,
Nyai Ontosoroh. Selama waktu ini, Minke dan mertuanya (Mama) saling mendukung untuk
lepas dari dukacita. Selanjutnya buku ini mengisahkan perjalanan hidup Minke dan Nyai
Ontosoroh setelah kehilangan Annelies. Minke dan Mama sering ditahan untuk keluar rumah
selama beberapa hari oleh para penjajah, hingga pada akhirnya Nyai Ontosoroh menyadarkan
Minke bahwa sifat bangsa penjajah,sangatlah jahat dan licik. Mereka berilmu tinggi, berwawasan
luas, tetapi perilaku mereka sangat buruk dan keji. Jika para penjajah berbuat baik kepada rakyat
pribumi, pasti ada maksud dan tujuan tertentu yang pastinya akan merugikan bangsa Indonesia.
Novel ini juga menceritakan tentang kondisi rakyat Indonesia yang diperlakukan kasar dan
kejam oleh Belanda pada saat itu. Karena, diberlakukan sistem tanam paksa yang mengharuskan
hasil pertanian harus diberikan percuma kepada pabrik-pabrik buatan Belanda. Hal itulah yang
kemudian membuat Minke ingin bangkit dari keterpurukan bangsanya dan ingin mengenal
bangsanya sendiri lebih dalam.

Perjuangan Minke dijelaskan mulai dari peristiwa demi peristiwa yang dialaminya ketika
dimulai dari karirnya sebagai seorang penulis di koran milik Belanda. Sedikit demi sedikit, dia
dipaksa untuk lebih lagi mencoba keluar dari kondisi nyamannya selama ini. Orang-orang
terdekatnya menjadi sumber kegelisahan yang semakin memuncak dalam benaknya. Ketika
disatu sisi, ia membangga-banggakan Belanda disisi lain orang terdekatnya mencemoohnya
sebagai seorang yang tidak perduli akan bangsanya, akan nasib para rakyat kecil serta
penderitaan yang dialami rakyat jelata. Bagi Minke, persoalan ini sungguh bertentangan dengan
apa yang dia pelajari disekolahnya yang terpandang yaitu HBS (Hogere Burger School).
Sungguh dia merasa sangat bodoh dan tak tahu apa-apa tentang bangsanya selain hanya
mengagumi dan membangun karirnya untuk bangsa kolonial, bangsa Belanda. Pergolakan yang
juga tak kalah serunya adalah ketika dia menyadari bahwa orang-orang berintelektual, berilmu
dan berkuasa ternyata menjadi dalang dari kesengsaraan bangsanya. Sehingga dia mulai
mencoba untuk keluar dari pemikirannya yang hanya searah dan tak objektif itu. Baginya untuk
membeberkan realita yang terjadi dibalik kebohongan-kebohongan yang dilakukan terhadap
rakyat bangsanya adalah hal yang harus ia perjuangkan. Dalam buku ini, Minke menjadi seorang
yang mencoba untuk belajar keras hingga terjun langsung dan bersentuhan dengan rakyat. Dia
menemukan bahwa benar sudah segala hal yang dilontarkan dan desakan sahabatnya Marais, Pak
Kommer dan Nyai Ontosoroh. Dia mulai mencoba untuk berdiri diantara barisan liberal yang
berpihak bagi rakyat dan berjiwa humanis. Dia menemukan bahwa tulisan tidak lagi menjadi
senjata, melainkan dengan mulut pun adalah senjata yang paling ampuh untuk menundukkan
penguasa dari segala keserakahannya.

Kelebihan Novel

Secara garis besar kelebihan novel ini seperti yang sudah dituliskan di awal bahwa Novel
Anak Semua Bangsa adalah titik balik dari kesadaran Minke akan kehidupan penjajah atas
negerinya. Ulasan tentang rumitnya sejarah bangsa dikala penjajahan Belanda di Indonesia telah
dijelaskan secara lugas oleh tangan cekatan, pemikiran dan cara pandang yang sangat maju dari
seorang Pram dalam Tetralogi novel romannya yang kedua ini yaitu Anak Semua Bangsa.
Setelah membaca roman ini, banyak ditemukan bukti-bukti sejarah yang bahkan belum kita
ketahui tentang penjajahan jaman dulu. Dengan bahasanya yang sangat jujur dan buka-bukaan
menjadikan buku ini menjadi sebuah karya yang sempat dicekal, dibakar dan dihilangkan
keberadaannya. Buku ini sukses memberi tamparan dari keburukan dan ketidakadilan yang
dilakukan pihak-pihak penguasa yang terlibat langsung dan yang paling bertanggungjawab
menjadikan bangsa ini, bahkan rakyat pribumi diperlakukan semena-mena ditanah air mereka
sendiri. Jelas ketidakadilan diterapkan dengan sangat bebas. Pram mampu membawa pembaca
kedalam ceritanya dengan penokohan yang cukup kuat. Buku ini sangat menarik dan memiliki
penulisan bahasa yang dalam serta mengandung pesan moral tersendiri dimana hidup tidak boleh
statis dan harus berkembang dan berkembang

Kekurangan Novel
Disisi lain kekurangan novel ini, yaitu penulisan bahasanya yang sangat dalam dan tinggi
berakibat kurang mudah untuk dipahami oleh pembaca. Selain itu, novel ini tidak dapat berdiri
sendiri, sebab Pramoedya tidak lagi memperkenalkan watak para pelakunya.

UNSUR INTRINSIK

Tema

Pencarian jati diri dan pemahaman tentang ngeranya sendiri.

Penokohan

1. Minke : Sosok yang naif, pintar, gusar, dan pecemburu, dari awal hingga akhir cerita
dijelaskan
2. Nyai Ontosoroh (Mama) : Tegas, Tangguh, ulet, tabah, dan sedikit takut
3. Victor Roomers : Terpelajar, baik, bijaksana
4. Robert Suurhuf : Gila, kekanak-kanakan
5. Anneliese Mellema : Baik, open-minded
6. Jean Marrais : Senang bermuslihat, malu, dan bijak
7. Kommer : Terpelajar, open-minded, sangat menghargai orang lain
8. Khouw Ah Soe : Bijaksana, terpelajar, rendah hati
9. Panji Darman (Robert Jan Depperste) : Periang, pemberani,
10. Maurits : Keras, keji
11. Trunodongso : Keras kepala, harga diri tinggi
12. Ter Haar : Berpengalaman, terpelajar, liberal

Latar

Waktu : Masa kolonial Belanda

Tempat : Daerah Surabaya (Wonokromo) dan berpindah-pindah

Suasana : Emosional, panas, berkonflik

Alur

Alur yang digunakan adalah campuran, ada yang regresif dan progesif

Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah orang pertama pelaku utama

Gaya Bahasa
Majas Simile :
Annelies telah berlayar. Kepergiannya laksana cangkokan muda direnggut dari batang induk
(Halaman 1)
Suasana begitu kelabu seakan dunia sudah kehilangan warna-warni selebihnya. (Halaman 1)

Majas Metafora :
Kami hanya semut-semut yang hendak membangunkan astana sejarah baru. (Halaman 69)
Mereka adalah induk-induk serigala yang menghidupi aku jadi pembangun Roma! (Halaman
185)

Majas Personifikasi :
Dan bulan mulai mengintip dari balik pagar pokok kayu-kayuan. (Halaman 162)
Hari telah jam empat sore. Dan perutku mengantuk sejadi-jadinya. (Halaman 186)

Majas Hiperbola :
Mata sipitnya tajam menembus mataku. (Halaman 65)
Tanpa angin dunia serasa berhenti berhafas. (383)

Amanat
Jangan hanya menilai sesorang hanya dari luarnya saja. Perbedaan bahasa, warna kulit, budaya,
adat istiadat, tidak menjadikan kita menjadi manusia yang hina dan tercela. Perbedaan itulah
yang menyeimbangkan kehidupan ini, ada hitam ada putih, ada baik ada pula yang jahat. Karena
itu juga kenali negeri dengan baik dan jangan sekali-kali memandang rendah tanah airmu sendiri.
UNSUR EKSTRINSIK
Tentang Pengarang

Pramoedya Ananta Toer, atau yang


lebih akrab disapa Pram adalah salah satu
sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh
Indonesia. Putra sulung dari seorang kepala
sekolah Institut Budi Oetomo ini telah
menghasilkan lebih dari 50 karya dan
diterjemahkan dalam 41 bahasa asing. Pram
yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan
korektor di kantor berita Domei (LKBN
ANTARA semasa pendudukan Jepang) memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis.
Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar
dengan para sastrawan dunia. Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial membuatnya sering
keluar masuk penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada
masa orde lama. Kemudian selama orde baru ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik
tanpa proses pengadilan.

Unsur Sosial

Unsur sosialnya adalah peduli terhadap penderitaan, permasalahan, dan kesulitan rakyat kecil.
Selain itu, pemuda harus menjadi garda terdepan untuk negeri tercinta, Indonesia. Dan jangan
lupa untuk mengrtahui lebih dalam tentang tanah airnya sendiri.

Unsur Nilai

Tidak membeda-bedakan agama, karena sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selain
itu, harus memiliki moral yang baik. Keseluruhan nilai yang ada dalam novel Anak Semua
Bangsa mampu membawa para generasi penerus bangsa untuk menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai