Anda di halaman 1dari 8

OBJEK PENELITIAN : 1. FORMAL 2. MATERIAL A. Karya sastra : Edensor Masalah kesenjangan sosial antara bangsa Barat dan Timur.

B. Fenomena literer dalam masyarakat : Tetralogi Andrea Hirata menjadi buku-buku best seller dan dibaca oleh banyak orang di Indonesia.

LATAR BELAKANG MASALAH


Wacana sastra Indonesia dari masa ke masa, masih belum beranjak dari sekedar pergumulan simbolis, yang berkembang hanya berputar di sekitar wilayah sastra perempuan, sastra koran, sastra wangi, dan atau misalnya perdebatan antara sastra realis atau eksperimental. Menilik dari perkembangan tersebut, dalam setiap periode sastra nampak bahwa pengaruh kolonialisasi belum bisa sepenuhnya dilepaskan. Bagaimana penjajah telah dengan sangat kuat menancapkan ideologinya pada bangsa kita, tercermin dari berbagai karya sastra yang telah diterbitkan. Bahkan pengaruh kolonialisasi tersebut juga terdapat dalam ranah sastra populer yang diterbitkan baru-baru saja ini. Pada novel Edensor karya Andrea Hirata, juga nampak pengaruh kolonialisasi tersebut. Sebagai penulis muda dalam percaturan sastrawan di Indonesia, Andrea telah mampu menunjukkan kualitasnya sebagai penulis muda berbakat dan melahirkan karya sastra bermutu.

PEMBACAAN
Cerita dalam novel Edensor dituturkan dengan teknik naratif orang pertama. Dengan teknik demikian, narator adalah yang menceritakan tentang tema dari tokoh utamanya. Narator juga memperlihatkan keterlibatannya dengan umpamanya memberikan
1

komentar dan penilaian terhadap tokoh lain, beserta situasi yang ada di sekitarnya. Namun, struktur naratif Edensor bukan tergolong cerita berangkai, karena alurnya yang majumundur. Kita akan dibawa oleh Andrea untuk mengalami masa sekarang yang tiba-tiba akan ditarik mundur ke masa yang lampau, untuk dapat mengetahui keterkaitan antara kejadian yang menimpa saat ini, dengan perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu. Cerita Edensor di mulai dengan gambaran mengenai tokoh Ikal dan Arai yang gigih berjuang melawan nasib dan keterbatasan. Diceritakan bahwa, bila kita ingin menggapai cinta dan atau mempunyai mimpi, maka kita harus memperjuangkan mimpi tersebut dengan berusaha keras dan pantang menyerah untuk dapat meraihnya.
Tiga ekor elang gugok melesat diam-diam. Aku tahu, predator itu ingin ,menyerbu kawanan pipit yang baru bangun di sabana Genting Apit. Darah akan bersimbah di bilah-bilah ilalang. Aku yakin, daratan itulah tujuanku, Belitong Aku pulang dari tengah samudra dengan membaca langit. Weh telah membuatku, untuk pertama kalinya, merasa menjadi seorang laki-laki. Berat sekali harus kembali kutinggalkan Weh dua minggu untuk ujian sekolah ke Tanjong Pandan. Menghadapi kertas ujian... (Hirata, 2008:11)

Novel ini menunjukkkan kepada kita bahwa menerima kehidupan berarti menerima kenyataan, bahwa tidak ada hal sekecil apa pun yang terjadi di dunia ini sematamata karena kebetulan, karena siapa menabur angin akan menuai badai.
Nakalku makin menjadi. Aku blingsatan mencari diriku sendiri, tersesat dalam ide-ide yang sinting. Dengan sogokan sebungkus kuaci, kuhasut adikku si nomor enam itu untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan pengeras suara mesjid. Suaranya yang cadel melolong-lolong seantero kampung. Aku dan ayah kena sidang. (Hirata, 2008:23)

Sebaliknya, bila kita menebar kebaikan, maka walaupun bukan oleh orang yang kita tolong secara langsung kebaikan tersebut dibalas, namun melalui entah bagaimana caranya, ketulusan kita akan berbuah manfaat.
Kami menumpang truk yang hanya kami tahu meluncur ke utara, berdesakan dalam baknya bersama perempuan pemetik buah pear. Mereka adalah orang Chita, suku yang umumnya bekerja di kebun-kebun sebagai pemetik buah Olovyannaya! Olovyannaya! puluhan tangan menunjuk kea rah yang ditunjuk gadis kecil tadi. Pertemuan singkat kami dengan perempuan-perempuan Chita itu amat mengesankan. Kami seperti dicampakkan oleh tangan nasib ke dalam bak truk untuk bertemu dengan mereka, satu kesempatan dari ribuan kali mereka berangkat ke kebun pear. Tanpa mereka, kami takkan pernah tahu di mana Olovyannaya. Mereka seperti lebah yang membantu bunga-bunga bersemi. Merekalah potongan mozaik terakhir kami di Rusia. (Hirata, 2008: 209)

Dari segi struktur atau komposisinya, karena berlatar tempat di Negara Eropa, maka gaya bahasa dalam Edensor juga dipengaruhi oleh bahasa Belanda, Inggris, Perancis. Penggunaan bahasa asing yang dianggap mewakili kelas sosial tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Di mana para tokohnya adalah kaum terpelajar, yang tentu saja telah menguasai paling tidak dua bahasa asing, selain tentu saja bahasa ibu mereka. Berangkat ke Eropa untuk menimba ilmu di Altar Ilmu Pengetahuan tertinggi di dunia atau di lUniversit de Paris Sorbonne, adalah upaya para tokohnya dalam meraih impian dan cita-cita bagi masa depan yang lebih baik.
Aku dan Arai menerima surat pengumuman tes beasiswa itu di Belitong. Dr. Michaella Woodward yang member komentar pada pengumuman itu membuat kami berbesar hati. Intinya, ia menganggap hasil riset kami berpotensi melahirkan teori baru dalam disiplin ilmu kami masing-masing. Karena itu Dr. Woodward meluluskan tes beasiswa kami. Aku gembira, berbulan-bulan kutekuni buku tebal yang runyam berjudul Financial Econometrics, sebelum menyusun proposal risetku, ternyata ada gunanya. Namun aku tahu persis, kesuksesan proposalku bukan hanya karena aku dapat mengaplikasikan teori ketidakpastian termasuk gerak Brown atau segala sebaran Gauss untuk memetakan interkoneksi telekomunikasi, namun karena Motivation Letter-ku yang hebat luar biasa. Beginilah kutulis motivasiku:

Akan saya sumbangkan seluruh ilmu dan pengalaman riset yang saya dapatkan di Sorbonne demi kemajuan nusa dan bangsa, demi tanah tumpah darah saya!... (Hirata, 2008: 45)

Dari segi waktu, novel ini memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk membuat masa lalu, masa kini, dan masa depan bertumpang-tindih. Masa kini yang membahagiakan terus-menerus dibayangi oleh masa lalu yang berat dan penuh perjuangan, atau harapan akan masa depan selalu dibayangi oleh masa kini yang dengan kuat mendorong agar impian tersebut dapat diwujudkan. Waktu menjadi seakan bergerak majumundur, karena segala hal yang terjadi di masa kini, adalah segala cerminan pada apa yang telah dialami di masa lalu, dan akan menjadi penentu di masa depan kelak.
Sisanya selalu terlambat, berantakan, dan tergopoh-gopoh adalah The Pathetic Four empat makhluk menyedihkan penghuni jejeran bangku paling depan. Jika dosen menjelaskan, mereka berulang kali bertanya soal remeh-temeh, sampai menjengkelkan. Anak-anak ini melengkapi diri dengan perekam agar petuah dosen dapat diputar lagi di rumah. Norak dan repot sekali. Begilah akibat penguasaan bahasa asing ilmiah yang memalukan dan efek gizi buruk masa balita. (Hirata, 2008: 103)

Kesimpulan yang diberikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyan yang muncul ketika membaca novel Edensor. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan diberikan satu jawaban alternatif yang nampaknya minimal, yaitu sastra postkolonial. Sebentuk wacana sastra yang mencoba mengkaji masalah kolonialisme dan apa yang telah ditinggalkannya dalam struktur kebudayaan masyarakat pascakolonial. Alternatif kajian ini banyak dikembangkan utamanya oleh intelektual dari negara-negara pascakolonial. Seperti India ada Gayatri Spivak, dan Homi Bhaba. Pendekatan inilah yang dianggap menyediakan basis untuk kritik nalar kolonialisme melalui karya sastra persemakmuran. Terutama adalah konsepsi yang berkisar pada kajian subaltern, berangkat dari pengamatan tentang bagaimana mahasiswa-mahasiswa asing penerima beasiswa Uni4

Eropa, yang sebagian besar berasal dari Negara-negara dunia ketiga. Para mahasiswa tersebut menjadi terpinggirkan dan tidak bisa bersuara. Mereka tidak mempunyai nyali dan kemampuan finansial yang memadai untuk bersaing dengan para mahasiswa dari Negaranegara maju (Eropa dan Amerika Serikat). Karena pengaruh masa lalu mereka yang serba kekurangan baik secara gizi maupun ilmu pengetahuan, serta keterbatasan ekonomi di masa kini yang menghambat laju mereka di arena pertarungan akademik. Para mahasiswa penerima beasiswa, sebagai kaum terpinggirkan dan mengalami gagap budaya inilah yang disebutkan dalam teori Spivak sebagai subaltern.

PEMBAHASAN
Andrea menuangkan kegelisahannya akan neokolonialisasi di berbagai Negara berkembang dalam novel Edensor. Terlihat bagaimana telah terjadi gagap budaya yang luar biasa, dari sekelompok mahasiswa dari Negara berkembang dibandingkan dengan mahasiswa dari Negara maju. Sekelompok mahasiswa dari Negara berkembang tersebut, yang oleh Andrea disebut The pathetic four, terdiri dari empat orang mahasiswa yang kesemuanya memperoleh beasiswa Uni Eropa berasal dari India, Mexico, Ukraina dan Indonesia. Permasalahan gagap budaya yang diangkat menjadikan novel Edensor menarik untuk diikuti jalinan ceritanya, serta dapat dilakukan analisis dengan menggunakan teori postkolonialisme. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai sejarah dijajah oleh bangsa lain (Barat) selama ratusan tahun, tentu saja tidak akan bisa melepaskan diri begitu saja dari pengaruh-pengaruh kebudayaan yang telah ditanamkan oleh bangsa penjajah tersebut. Perlu dilakukan pemahaman tentang wacana kolonial yang terpisah, sehingga menganggap wacana kolonial bukan sesuatu yang tertutup dari kemungkinan resistensi. Sesuai dengan pendekatan Dekonstruksi Derrida, bahwa wacana itu sendiri dapat melawan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan efek yang berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu efek yang memberdayakan bagi masyarakat terjajah.

Resistensi atau penolakan fundamentalis yang mengkonstruksi identitas subjek sebagai sesuatu yang esensial harus dilawan pula keberadaannya. Karena, identitas bukan sesuatu yang penting (essential), hal itu tak lain hanyalah merupakan hasil kosntruksi secara diskursif yang terbentuk melalui berbagai interpelasi kekuasaan. Sehingga pada akhirnya, identitas adalah sesuatu yang dapat dinegosiasikan. Konsep negosiasi ini membuka peluang bagi kemungkinan heterogenitas identitas, tidak hanya dari wacanawacana yang dominan, namun juga dari wacana-wacana yang termarginalkan. Menyikapi heterogenitas identitas dalam realitas sosial yang dihadapinya, Andrea mengungkapkan bahwa selama ia yang di dalam novel tersebut diinterpretasikan sebagai tokoh bernama Ikal mengikuti program beasiswa pasca sarjana di lUniversit de Paris Sorbonne, ia menemui berbagai kekacauan identitas subjek dari begitu banyaknya etnis dan suku-bangsa yang menuntut ilmu di Sorbonne, sebagai Altar Ilmu Pengetahuan Tertinggi di dunia tersebut. Kekacauan identitas subjek tersebut dikarenakan hasil konstruksi secara diskursif dari berbagai latar kebudayaan yang dibawa oleh masingmasing individu yang mewakili berbagai Negara bekas jajahan di dunia (Negara berkembang). Kemungkinan heterogenitas itu memungkinkan terjadinya perbedaan identitas budaya antara bangsa penjajah yang satu dengan bangsa penjajah yang lain. Akibat perbedaan identitas budaya tersebut, tidaklah mengherankan jika kemudian dimungkinkan pula perbedaan pola perlawanan antara kelas sosial yang lain dari bangsa yang sama terhadap bangsa penjajah yang sama pula. Dalam pertentangannya, ada dualisme dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan di Negara jajahan. Di satu pihak, penduduk lokal hidup dalam dan dengan sistem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan tradisional mereka masing-masing sesuai dengan warisan budaya leluhur mereka, akan tetapi di lain pihak mereka juga harus hidup dengan dan dalam tatanan kolonial yang berlaku dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Dalam dualisme ini, sistem yang satu tidak terpisah dari yang lainnya, melainkan cenderung saling melintasi dan bahkan saling bertumpang-tindih. Saling tumpang-tindih dalam sektor politik terutama yang paling mempengaruhi bagi budaya

birokrasi di Negara jajahan. Sistem birokrasi penjajah yang identik lebih modern, dicoba diselaraskan dengan sistem birokrasi pemerintahan Negara jajahan yang masih lebih tradisional dalam mekanisme penyelenggaraannya. Oleh karena itu, pasca-kolonialisme digunakan dalam bidang-bidang yang bervariasi, diantaranya adalah menandai keheterogenan seperangkat posisi-posisi subjek, bidang-bidang professional, dan upaya-upaya kritis, serta cara pengaturan kritik bentukbentuk pentotalisasian historisisme Barat. Selain itu, sebagai istilah gabungan dari bagian dua kata (portmanteau) untuk gagasan kelas yang dilengkapi kembali, sebagai himpunan bagian (subset) dari postmodernisme dan poststrukturalisme (dan sebaliknya, sebagai kondisi struktur logika dan kritik cultural diri mereka sendiri). Juga sebagai nama untuk kondisi panjang penduduk asli dalam pengelompokkan nasional pascakemerdekaan, dan penanda budaya nonresidensi bagi kader intelektual dunia ketiga. Sehingga sebagai bagian dari wacana yang retak dan ambivalen dari kekuasaan kolonial, maka dianggap sebagai bentuk oposisi dari praktik pembacaan. Pada akhirnya pasca-kolonialisme dianggap sebagai nama untuk kategori aktivitas kesastraan yang membuka energi politis baru dan yang datang, di dalam apa yang digunakan untuk menyebut kajian-kajian sastra persemakmuran (commonwealth) dilihat sebagai wilayah produksi dan analisis budaya, yang kemudian kajian tersebut disusun berdasarkan tiga bagian, yaitu: A. Secara Historis a. Ada subjek pada imperialisme (Eropa) b. Mengacu pada periode pasca kemerdekaan, akan tetapi kebebasan secara politis bukan berarti otonom secara kebudayaan, ekonomi, dan sosial. Definisi-definisi secara historis memunculkan jenis-jenis imperialisme baru yang bervariasi. Jenis-jenis imperialisme baru tersebut, dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut; (1) Kolonialisme Internal, yaitu para elite terjajah mengabadikan pola-pola kekuasaan kolonial, menjaga dan menguasai pada periode pasca penjajahan. (2) Imperialisme Baru Regional, yaitu kebudayaan menjadi subjek bentuk-bentuk baru

imperialism sebagai hasil perubahan struktur geopolitik, ekonomis, dan kebudayaan dalam region lokal. (3) Imperialisme Baru Global, yaitu imperialisme yang datang menuju

permainan globalisasi yang meningkat pada ekonomi dunia dan melanjutkan kekuasaan Barat. B. Secara Counter-Discursive Dikarenakan ada subjek dalam imperialisme Eropa, momen kolonial pun dipandang dapat membuka kondisi pasca-kolonialitas. Kondisi ini memunculkan counterdiscursive. Perlawanan didasarkan pada struktur-struktur ganda dan kadang-kadang kontradiktif, tidak lengkap, ambigu. C. Secara Ekonomis Kolonialisme merupakan hasil yang tak terelakkan dari modernitas dan industrialisasi. Istilah terjajah sering diterapkan bukan hanya pada budaya-budaya dunia ketiga tetapi juga secara lebih umum, terdapat pada strata yang lebih rendah dari masyarakat kapitalis, khususnya kelompok-kelompok yang dimarginalisasikan oleh ras, etnisitas, kelas, dan gender. Sehingga postkolonialisme adalah merupakan proses pelepasan dari posisi marginalitas.

Anda mungkin juga menyukai