Anda di halaman 1dari 5

Sejarah dan Peran Penting Sastra Indonesia Dalam

Mencerdaskan Bangsa

Jevan Alandro
Universitas Trisakti
083002200009

Abstrak
Sejarah sastra Indonesia dapat ditarik kembali ke era sesaat setelah kemerdekaan. Banyak cerita-
cerita ringkas yang bermunculan sebagai efek dari masyarakat berintelek yang sudah pandai tulis baca
merasa haus akan bacaan. Hal ini berlanjut sampai masa kini hingga tercipta sastra Indonesia modern.
Berbagai macam jenis karya sastra pun bermunculan dengan sajiannya masing-masing. Terdapat karya
sastra bernuansa nasional, kemerdekaan, islami, serta yang ditargetkan untuk remaja. Sastra merupakan
hasil renungan pengarang yang dituangkan di dalam tulisan. Pengarang terkadang akan memasukkan
unsur multikultural ke dalam karya sastra mereka. Oleh sebab itu, ada berbagai fungsi sastra dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sastra Indonesia modern
hingga saat ini (tahun 2000-an). Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif
terhadap karya sastra Indonesia. Dapat diidentifikasi bahwa sastra Indonesia memiliki fungsi sebagai
pembentuk wawasan, pembentuk kepribadian bangsa, sarana fatwa dan nasihat, sarana kritik sosial atau
kritik masyarakat, catatan warisan kultural, pengalaman perwakilan, dan manifestasi kompleks tertekan.

Kata Kunci : Sastra Indonesia Modern, Unsur Multikultural, Mencerdaskan kehidupan Bangsa,
Deskriptif Kuantitatif

Kehidupan masyarakat Indonesia menjelang akhir abad kesembilan belas dan menjelang abad
kedua puluh memiliki arti yang pentIng. Sejarah menunjukkan bahwa gejolak harapan dan impian suatu
bangsa yang sedang lepas dari penindasan sedang melanda rakyat Indonesia. Hal itu terpacu oleh gejolak
kemewahan dan kemelimpahan uang di negeri Belanda lantaran buah dari tanam paksa di Indonesia.
Uang yang datang dari hasil tanam paksa itu sebaiknya dikembalikan ke Indonesia untuk mencerdaskan
anak bangsa jajah an. Gerakan tersebut kita kenal dengan sebutan “Politik Balas Budi” atau “Politik Etis”.
Dengan politik ini akhirnya Indonesia menjadi bangsa yang “melek” yang menciptakan para intelek di
Indonesia ini. Di mana-mana akhirnya muncul para pemikir dan para pemuka nasional yang menumpu
otaknya untuk “Indonesia Merdeka”. Semangat nasionalisme muncul secara besar-besaran . Di pihak lain,
masyarakat yang sudah pandai tulis baca itu merasa haus akan bacaan. Bacaan liar yang berupa cerita-
cerita ringkas bermunculan di mana-mana.

Dengan tujuan untuk mengidentifikasi sastra Indonesia modern hingga saat ini (tahun 2000-an)
akan dilakukan penelitian yang dilihat dengan pendekatan deskriptif kuantitatif terhadap karya sastra
Indonesia.

Itulah awal Sastra Indonesia modern. Balai Pustaka yang berdiri pada tahun 1917 menerbitkan
karya sastra pertamanya Azab dan Sengsara. Ke-mudian, pada tahun-tahun berikutnya muncullah karya
sastra yang juga bermutu nasional, seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, dan
Hulubalang Raja.

Sejak itu, sastra Indonesia modern melaju dengan pesat dari tahun ke tahun. Sastra Indonesia
merambah berbagai ranah peristiwa dengan sajian yang beragam. Hingga kini kita tidak lagi berbicara
hanya Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan, tetapi sudah harus membaca dan membicarakan antara lain
Harimau! Harimau!, Belenggu, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Sukreni Gadis Bali, Atheis,
Upacara, Kemarau, Pulang, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, Sri Sumarah, Bumi Manusia, Dealova,
Supernova, Saman, Ayat-Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi.

Kemajuan sastra Indonesia sangat pesat dalam arti kuantitas. Rasanya tidak pula kalah
beragamnya kualitas buku-buku novel yang muncul itu. Kalau kita masuk ke toko buku, kita dapat
melihat deretan buku atau novel yang beragam itu. Pada lapisan pertama, kita mendapatkan sastra-sastra
awal, seperti Layar Terkembang dan Atheis. Pada lapisan kedua, kita menemukan novel-novel zaman
kemerdekaan, seperti Harimau! Harimau! dan Merahnya Merah. Kemudian, pada lapis ketiga, kita
menemukan novel-novel yang ringan, seperti Cintaku di Kampus Biru dan Karmila. Pada lapis keempat
kita saksikan novel teenlit, seperti Dialova dan beberapa novel sejenis. Pada lapis kelima kita temukan
novel-novel islami, seperti Ayat-Ayat Cinta dan novel-novel yang sejenis. Paling tidak kita akan
menemukan tiga kelompok novel yang setiap kelompok mempunyai ciri khasnya masing-masing.

Sastra merupakan hasil renungan pengarang yang dituangkan di dalam tulisan. Renungan-
renungan itu adakala merupakan suatu “kompleks tertekan” yang memunculkan dirinya dalam sebuah
novel. Selain itu, berbagai gambaran kedaerahan yang berupa ciri khas kedaerahan itu muncul pula
sebagai isi novel. Dapatlah kita katakan bahwa novel-novel itu memperlihatkan multikultural yang amat
penting. Oleh sebab itu, ada berbagai fungsi sastra dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

1) Sastra sebagai Pembentuk Wawasan

Dalam membaca novel, dalam otak atau jiwa kita terjadi suatu proses pembandingan pada hal-hal
yang sama. Kita membaca Malin Kundang sebagai anak durhaka yang pada akhir cerita, kutukanlah yang
diterimanya. Kita membenarkan apa yang dilakukan oleh ibu Malin Kundang, yaitu mengutuk anaknya
menjadi batu. Akan tetapi, segera kita menemukan putusan yang lain sama sekali setelah kita membaca
Salah Asuhan. Kedurhakaan Hanafi melebihi kedurhakaan Malin Kundang. Hanafi tidak saja
mengabaikan ibunya, tetapi juga meninggalkan adat negerinya, meninggalkan ibu pertiwa lalu menjadi
orang Belanda. Namun, ibu Hanafi tetap memaafkan Hanafi, “Mengucaplah engkau, anakku, supaya
lurus jalanmu.” Jadi, wawasan yang pertama ternyata dipatahkan oleh wawasan yang baru.

2) Sastra sebagai pembentuk Kepribadian Bangsa

Apa yang dapat ditarik dari sebuah karya sastra dalam hal pembentuk kepribadian bangsa? Ada
beberapa novel yang dapat ditunjuk sebagai novel yang seperti itu. Kepribadian bangsa dapat dimasukkan
ke dalam kepribadian seseorang dalam memperlihatkan kekuatan pribadinya dalam mempertahankan
keutuhan rumah tangganya, mempertahankan hal-hal yang benar sebagai bangsa Timur. Kesetiaan seperti
itu kita dapatkan dalam nvel Kugapai Cintamu. Widuri tidak bahagia dengan suaminya. Tody
mengajaknya untuk meninggalkan suami yang laknat itu. Akan tetapi, Widuri menolak dengan
mengatakan, “Aku lebih suka mati dalam keadaan bersih dari cibiran orang, Mas Tody, daripada hidup
menahan nista. Seorang istri tak boleh meninggalkan suaminya untuk ikut dengan lelaki lain, betapa pun
suaminya iblis laknat. Itu adalah nasib yang harus dijalaninya dalam karmanya.” Sebuah kepribadian
bangsa Indonesia ditampilkan oleh Widuri.

3) Sastra sebagai Sarana Fatwa dan Nasihat

Jika kita membaca novel Harimau! Harimau! kita akan menemukan hal yang sangat berguna bagi
kehidupan kita. Para tokohnya saling memberi fatwa dan nasihat terhadap kehidupan yang akan datang
dan mengaku akan dosa-dosanya. Dalam novel Kering kita diyakinkan bahwa manusia hanya dapat
berusaha dan berdoa agar semua yang diinginkan dapat terwujud. Akan tetapi, semua itu akan ditentukan
oleh Tuhan, akan diputuskan oleh Tuhan yang Mahakuasa.

4) Sastra sebagai Sarana Kritik Sosial atau Kritik Masyarakat

Kritik sosial terdapat pada beberapa novel, seperti seperti Kemarau, Tenggelamnya Kapal van
der Wijck. Gambaran pada masa kemarau yang membuat sawah-sawah kehabisan air. Orang justru berdoa
dan bermantra agar para “dewa” menurunkan hujan untuk mengairi sawahnya. Novel ini mengkritik
dengan membandingkannya pada pekerjaan yang nyata yang dapat membawakan hasil yang jelas. Dalam
Tenggelamnya Kapal van der Wijck terlihat bagaimana Datuk.. menerima orang yang kaya untuk menjadi
menantu mereka dan menolak orang miskin untuk kegiatan itu.

5) Sastra sebagai Catatan Warisan Kultural

Salah Asuhan, Sitti Nurbaya, Jalan Tak Ada Ujung, Jogya Diduduki, Hulubalang Raja,
merupakan novel yang memperlihatkan berbagai budaya masyarakat. Novel Salah Asuhan
memperlihatkan bagaimana masyarakat pada waktu itu mempunyai kegandrungan untuk meniru dunia
Barat. Karena begitu besarnya kehendak dan emosi untuk meniru orang Barat itu, justru orang rela
meninggalkan adat, negeri, ibu, dan tanah airnya. Dalam novel Sitti Nurbaya diungkapkan impian-impian
seperti hendak menghilangkan kawin paksa. Hal itu menunjukkan bahwa pada saat itu kawin paksa telah
ditantang dengan keras. Novel Jogja Diduduki tercatat sebagai salah satu novel yang berbicara tentang
perjuangan pada saat revolusi 1945. Sebaliknya, perjuangan yang berarti itu sendiri tidak dialami oleh
generasi muda sekarang ini. Melalui novel Jogja Diduduki kita akan mengetahui bagaimana perjuangan
tentara kita secara nyata ketika Perang Agresi dan Presiden serta Wakil Presiden ditangkap pada tahun
1949. Dalam novel itu pula diungkapkan bagaimana pula “Serangan Satu Maret” itu terjadi di Jogyakarta
selama satu hari. Kemudian, novel Sirkuit Kemelut mengingatkan kita kepada suatu peristiwa di Indonesia
yang kita sebut sebagai Peristiwa Malari yang berhubungan dengan kehadiran produk Jepang di Indonesia
pada tahun 1974.

6) Sastra sebagai Pengalaman Perwakilan

Sastra memperlihatkan kepada kita tentang hal-hal yang belum kita ketahui. Sastra, walaupun
suatu karya fiktif, dapat memberikan informasi kepada kita tentang tempat-tempat yang kita belum tahu.
Karya sastra itu juga akan memberi informasi tentang apa yang ada di suatu tempat yang tempat itu tidak
sempat dikunjungi oleh pembaca. Pengalaman sastrawan tentang suatu tempat atau suatu keadaan itu
kemudian ditularkan kepada pembaca. Melalui informasi yang ada dalam sebuah novel, kita akhirnya
mengetahui secara jelas apa yang diinformasikan itu. Novel Upacara memberi kita suatu hal tentang
bagaimana adat-adat yang berlaku di suatu suku di Kalimantan ini. Kemudian, dengan membaca Warisan
kita akan menyaksikan deskripsi adat di Sumatra Barat, adat kematian seorang bangsawan yang
dihormati. Lalu, novel Pengakuan Pariyem menyuguhkan kepada kita tentang gambaran sikap yang
dianut oleh suatu kelompok etnis di Indonesia ini.

7) Sastra sebagai Manifestasi Kompleks Tertekan


Tidak sedikit karya sastra lahir dari suatu luapan perasaan yang ada dalam alam bawah sadar
manusia. Dalam luapan emosi yang berada di bawah sadar itu terdapat kompleks-kompleks tertekan yang
disublimasikan melalui perwujudan sastra. Karya sastra yang muncul itu terasa lebih serius karena
merupakan hasil kepahitan yang dirasakan selama ini. Barangkali novel Kooong muncul dari
ketidakpuasan Iwan Simatupang dalam melihat masyarakat desa yang tidak peduli lagi dengan budaya
luhur daerahnya. Masyarakat di situ telah terbuai oleh gemerlapannya budaya Barat, seperti radio dan
tape recorder yang membuat desa yang tenang menjadi hiruk pikuk.

Anda mungkin juga menyukai