Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas selesainya makalah
dengan judul Pendekatan Sosiologi dalam Apresiasi Prosa Fiksi ini dengan baik.
Sholawat dan salam selalu terarah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW
yang merupakan tongkat penegak islam hingga akhir zaman.
Makalah ini tidak akan selesai tanpa uluran tangan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang terlibat baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan makalah ini.
Namun, perlu disadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini, akhirnya semoga bermanfaat untuk kita semua Amin.
Hormat kami,
Penulis
diceritakan tentang penyair Tok yang bunuh diri. Dalam bunuh diri tersebut, penyair Tok
meninggalkan sebuah puisi yang merupakan sebuah wasiat. Isi puisi tersebut adalah:
Mari, kita bangkit dan pergi.
Menuju lembah yang memisahkan dunia yang fana ini
Di mana dinding-dinding batunya dingin
Di mana sungai-sungai gunung masih murni
Di mana bunga-bambu masih harum mewangi.
2. Sosiologi Karya
Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial
pada novel Kappa adalah dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat Jepang. Pada intinya, novel ini bercerita tentang realitas kehidupan si pengarang
yang menyoroti tentang kegilaan ibunya, sensor atas seni, hubungan lelaki dan perempuan,
agama, dan modernisme.
Tentang kegilaan ibunya, Ryunosuke mengemas ide yang dituangkan dalam
novel kappa ini semata-mata karena keadaan diri Ryunonosuke yang di ambil hak
asuhnya oleh bibinya karena ketidakmampuan ibunya mengurusnya disebabkan karena
depresi yang melandanya. Fenomena ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa ibunya
pernah menggambar tentang anak-anaknya, tetapi ironisnya, kepala anak-anaknya
diganti dengan serigala. Keadaan ini memberikan tekanan kepada Ryunosuke. Dalam
novel itu diperlihatkan bahwa telah terpasang spanduk di jalan-jalan yang bertuliskan
bahwa para pasukan kappa yang gagah perkasa dan kuat-kuat hendaklah mengawini
kappa betina yang lemah dan cacat untuk membunuh keturunan yang jelek. Ini sematamata adalah sindiran yang di tujukan kepada seluruh warga di negeri Sakura bahwa
memang manusia yang memiliki kekurangan seolah tak diharapkan dan harus di basmi
karena dianggap akan memberikan keturunan yang jelek bagi warga di negeri bunga
Sakura ini. Sensor lain dari kehidupan Ryunosuke yang tersirat dalam goresan tinta di
lembar novel kappa ialah ketika Bag harus bertanya kepada anaknya apakah ia mau
dilahirkan atau tidak, tetapi anak Bag justru tidak mau dilahirkan karena dia tidak mau
menuruni kegilaan orang tuanya dan bahwa eksistensi kappa dianggap sebagai suatu
kejahatan.
Sensor atas Seni
Lepas dari itu, Akutagawa banyak memberikan sentilan kepada kehidupan para
seniman Jepang. Di negeri matahari terbit ini, dijelmakan dalam dunia kappa bahwa
seni tidak dibiarkan berkembang secara bebas, bahkan seni dianggap sebagai
larangan. Jiplakan ini disoroti dalam kisah ketika penyair Tok, Krabach sang seniman
memainkan musik dalam suatu pentas seni. Yang terjadi di tengah maraknya
pementasan seni kappa adalah munculnya polisi kappa secara tiba-tiba yang
mengharuskan agar pementasan seni di hentikan. Beginilah sudut pandang Akutagawa
dalam menilai tanggapan pemerintah atau aparat terhadap seni.
Hubungan Laki-laki dan Perempuan
Cara bercinta negeri Sakura ini juga digambarakan dalam Kappa. Ini terjadi
karena ketidakseimbangan kuantitas laki-laki dan perempuan. Untuk itu, perlu sekali
diadakan pelestarian keturunan untuk menutupi angka kekurangan yang muncul dalam
kategori gender.Hal ini diperlihatkan dalam fenomena betapa menyedihkan melihat
kappa betina yang mengejar kappa jantan selama berbulan-bulan. Kappa jantan akan
bersembunyi atau menghindar dari incaran kappa betina.
Sensor terhadap Agama
Tak hanya itu yang menjadi santapan Akutagawa yang akan diberitakannya
lewat jembatan kappa, tetapi agama pun tak luput dari incarannya. Ini adalah pengantar
menuju suatu pemikiran baru tentang agama kappa.Dia kemudian bertemu dengan
kappa tua di sebuah kuil yang begitu indah dan menjulang tinggi. Hal ini menimbulkan
hasratnya untuk mengetahui tentang seluk- beluk agama kappa. Melalui kappa akan di
sajikan peran agama di negeri Sakura ini. Fenomena tentang agama yang digambarkan
dalam dunia kappa terlukis bahwa seorang pemuda yang terdampar di negeri kappa
tiba-tiba mempertanyakan tentang agama kappa. Dalam nuansa satire ini Akutagawa
ingin memberikan sindiran tentang eksistensi agama di Jepang. Jepang adalah negara
sekuler, yang berarti negara tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data
pemerintahan atau surat-surat resmi lainnya tentang identitas penduduk, masalah
agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan .Agama adalah suatu
kebebasan. Hal ini ditujukkan dengan bangunan kuil yang kebanyakan terbuka hampir
tanpa pintu. Siapapun bisa datang dengan bebas untuk datang tanpa pernah
membedakan agama apapun dan juga tidak akan pernah ditanyakan dengan
pertanyaan apapun tentang agama. Hampir tidak ada basa-basi apapun yang perlu
dilakukan agar bisa memasuki kuil dengan aman. Berkunjung ke kuil juga tidak dibatasi
hanya untuk berdoa atau sembahyang saja, tetapi juga bisa dilakukan hanya untuk
tujuan rekreasi atau sekedar kunjungan wisata saja. Hal inilah yang mungkin
menyebabkan kebanyakan orang Jepang merasa nyaman kalau memilih tidak
beragama, suatu kebebasan yang sepertinya tidak mungkin bisa didapatkan kalau
harus memeluk suatu agama tertentu.
3. Sosiologi Pembaca
2.2.2 Analisis Puisi Kita Memasuki Pasar Riba Dengan Pendekatan Sosiologi
1. Sosiologi Pengarang
Dari sosiologi pengarang dapat kita lihat bahwa Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, 27
Mei 1953, anak ke-4 dari 15 bersaudara,pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1
Fakultas ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sebelum itu 'diusir' dari
Pondok Modern Gontor Ponorogo karena 'demo' melawan Dept. Keamanan pada pertengahan
tahun ketiga studinya, kemudian pindak ke Yogya dan lumayan bisa tamat SMA Muhammadiyah
I.
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar
sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya
misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha.Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya
bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan
mengasilkan reportoar serta pementasan drama. Emha terjun langsung di masyarakat dan
melakukan multi-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama,
pendidikan politik, sinergi ekonomi, yang berintikan upaya penumbuhan potensialitas rakyat. Di
samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan di sejumlah kota, ia
juga diminta berkeliling ke berbagai wilayah seluruh nusantara, rata-rata 10-15 kali perbulan
bersama Musik Kiai Kanjeng, dan ia sendiri rata-rata 40-50 acara yang massa yang umumnya
outdoor, dengan berbagai strata dan segmen masyarakat. Mengumpulkan semua golongan,
aliran, kelompok, agama, berdasar kegembiraan menikmati kebersamaan kemanusiaan.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas
nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta
pengupayaan solusi-solusi problem masyarakat.
2. Sosiologi Karya
Contoh penerapan sosiologi karya sastra dalam hubungannya dengan masalah sosial pada
puisi kita memasuki pasar riba adalah bahwa puisi itu menceritakan gambaran kehidupan
masyarakat menurut sudut pandang nadjib.dalam puisi itu diceritakan tentang kehidupan
masyarakat yang tujuannya hanyalah mencari keuntungan, meskipun berada di tanah air sendiri,
tetapi kita yang sebagai rakyat jelata seperti tenggelam dan tersisih dari negeri sendiri. Hai ini
dapat kita lihat pada kutipan sebagai berikut:
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Selain itu, dalam puisi ini juga menceritakan tentang kehidupan masyarakat khususnya
nasib yang dialami rakyat kecil yang hidup di tengah masyarakat yang tercekik dengan aturan
dan kekuasaan penguasa, seakan-akan seperti bernapas dengan air. Dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kutipan selanjutnya menjelaskan bahwa ini adalah suratan takdir yang sudah ditentukan
Tuhan dan kita menjadi korban politik dan ekonomi. Dapat disimak dalam kutipan sebagai
berikut:
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Di sini juga dijelaskan bahwa semua orang mencari keuntungan melalui politik dan
ekonomi. Siapa yang kuat maka dia yang berkuasa. Berbagai etnis, ras, dan golongan yang hidup
di masyarakat yang setiap hari bias berubah status dan kedudukan tergantung kekuasaan.terlihat
dalam kutipan sebagai berikut:
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tapi itu tergatung apakah orang tersebut beruntung atau rugi, baik dalam politik maupun
ekonomi. Hal itu terjadi tergantung kepada siapa kita berpihak. Dapat dilihat dalm kutipan
berikut ini:
kegiatan pengarang di luar karya sastra. Sosiologi karya sastra mengkaji isi karya sastra, tujuan,
serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah
sosial. Sosiologi pembaca mengkaji permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra, serta
sejauh mana karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan
perkembangan sosial.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas pada artikel ini
antara lain:
a. Sosiologi Sastra sebagai Karya Sastra pada CERPEN IMAGOSENTRIS karya Dewi Lestari.
b. Sosiologi Sastra sebagai Pengarang pada CERPEN IMAGOSENTRIS karya Dewi Lestari.
c.
Sosiologi Sastra sebagai Pembaca atau Masyarakat pada CERPEN IMAGOSENTRIS karya
Dewi Lestari.
1.3. Tujuan
Bertolak dari rumusan masalah diatas, penulisan artikel ini bertujuan untuk menganalisis
CERPEN IMAGOSENTRIS karya Dewi Lestari dari pendekatan karya sastra, pengarang, dan
pembaca atau masyarakat.
2. PEMBAHASAN
2.1. Sinopsis CERPEN IMAGOSENTRIS karya Dewi Lestari.
Imagosentris jangan tanya saya dari mana asal istilah itu, karena itu hasil rekaan saya
sendiri ketika tengah merenungi fenomena budaya global ini. Image atau citra adalah adimagnet
yang kini menjadi titik sentral dari kebudayaan modern, menariki semua orang miliaran paku
payung yang dengan sukarela ikut menari dalam tarian magnetis nan membius. Hidup adalah
gerakan antistatis. Pada citra mereka itulah ditanamkan representasi kita terhadap gerakan
resistensi heroik melawan rambu normalitas ataupun mainstream. Jangan heran kalau label
absurditas dan abnormalitas kini bukan lagi celaan, melainkan klaim pujian dan simbol
keberanian.
Terlepas dari Anda seseorang yang melek budaya, seorang apatis sejati, atau seorang
korban mode. Kita semua berperan dalam gerakan imagosentris. Dunia citra dan simbol, yang
selama ini digembar-gemborkan sebagai konsep eksklusif milik postmodernisme dan isme-isme
lain, ternyata bisa saja bersemayam pada level hakekat. Berdasarkan citra itulah kebanyakan dari
kita menjalankan hidup. Kita jatuh cinta pada citra, sengsara karena citra, mengorbankan nyawa
demi mempertahakankan sebuah citra, dan seterusnya.
Menolak dunia citra ini adalah usaha yang sia- sia. Realitas kita berada pada level materi,
dan materi itu sendiri adalah proyeksi citra dari level yang lebih halus: level energi. Kultur,
ekonomi, pasar, dan seterusnya adalah rangkaian epifenomena dari fenomena abstrak yang
niscaya tidak mampu termuat dalam kata-kata. Sesuatu telah membuat Anda memilih celana
kargo, tank- top, T-shirt band favorit, parfum tertentu, model rambut, CD kesukaan, hobi, sampai
cara berjalan. Akan tetapi, sama halnya dengan lambung, ada baiknya juga citra 'berpuasa' sekalisekali. Ketika kita menjadi penonton yang berjarak, maka kita bisa memberi jeda sebentar pada
diri kita.
Tidak melulu menjadi obyek mesin hasrat (desiring machine) istilah psikoanalisis Gilles
Deleuze dan Felix Guattari untuk menerangkan mekanisme produksi ketidakcukupan dalam diri
seseorang tapi sesekali memberikan kesempatan bagi diri untuk merasakan energi kreativitas
yang sesungguhnya. Kalau saya, supaya lebih gampang di lidah, menyebutnya bedah citra. Satu
dari sekian banyak metoda bagi Anda yang ingin menjadi penonton berjarak. Setiap kali Anda
bercermin, coba tembusilah lapisan demi lapisan citra yang membungkus Anda selama ini.
Realitas yang lebih segar mungkin akan muncul. Tepatnya, realitas yang lebih... riil. Apa adanya,
hingga yang ada tinggal ada. Dan mari kita tercengang bersama.
2.2. Sosiologi Sastra sebagai Karya Sastra
CERPEN ini memiliki unsur karya sastra yang menarik, dianggap sebagai pencerminan atas
realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Dee seorang penulis yang handal, ia biasa menciptakan karya sastra Novel atau CERPEN yang
melatarbelakangi kalangan remaja bahkan ada menceritakan kehidupan seorang wanita yang
mungkin melatarbelakangi kehidupannya sendiri atau masyarakat luas sekalipun.
f.
Pembaca atau masyarakat memandang arus Globalisasi ditujukan besar pada citra yang tidak
terlepas dari hasrat manusia.
b. Kita sendiri tidak dapat menyimpulkan citraan dan hasrat itu darimana? saya atau anda tidak
tahu kita ini citraan apa.
3. PENUTUP
3.1. Simpulan
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai CERPEN adalah suatu bentuk prosa naratif
fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya
fiksi lain yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh,
plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang.
Ceritanya bisa dalam berbagai jenis, Hubungan antar cerpen atau karya sastra dan masyarakat
adalah tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari yang berarti cerpen atau karya sastra berdasarkan
pada pengalaman pribadi maupun sekelompok orang yang bisa dijadikan sebuah tulisan-tulisan
cerita indah.
3.2. Saran
Dalam CERPEN ini saya sebagai pembaca, dan penyusun artikel ini berbendapat
CERPEN hanya dinikmati oleh orang-orang yang memiliki khayalan yang tinggi, karena bahasa
dalam CERPEN ini sukar untuk dimengerti.