Anda di halaman 1dari 5

KESUSASTRAAN ZAMAN PERTENGAHAN

ESAI TSUREZURE GUSA KARYA YOSHIDA KENKO

Oleh: Vinya Atmi K


NPM: 043120025
Semester: 3 Karyawan
MATA KULIAH: BUNGAKUSHI
PROGRAM STUDI SASRA JEPANG FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA UNIVERSITAS
PAKUAN TAHUN 2021
Pendahuluan
Periode abad pertengahan sekitar 400 tahun dapat dibagi menjadi dua era, Kamakura dan
Muromachi. Pemerintah Kamakura (Kamakura akufu) didirikan oleh Minamoto no Yoritomo
dan diangkat sebagai Seii Taisogun atau pemimpin tertinggi para samurai. Kesusastraan awal
abad pertengahan berlangsung sekitar 140 tahun, dari tahun ketiga pemerintahan Kaisar Gen
hingga runtuhnya Kamakura bakufu.
Pada waktu itu, banyak bawahan melawan para atasan dan kedudukan rakyat menjadi naik
sehingga kaum bangsawan kehilangan kekuasaannya. Akan tetapi, golongan samurai
memperoleh kekuasaan dan berhasil membentuk kebudayaan. Kesusastraan berkembang
karena kerja sama antara seniman dan samurai selain bangsawan dan rakyat. Drama Noh
yang dilindungi oleh para samurai berkembang dengan pesat di tangan seniman yang
bernama Kannami dan Zeami. Selain itu, seni Kyoogen (lelucon dalam drama Noh) dan
Otoogizoshi (dongeng) mulai berkembang.
Dari banyaknya karya kesusastraan pada masa itu, bahasan kali ini adalah tentang salah satu
jenis karya esai (Zuihitsu). Contoh esai yang terkenal adalah Tsurezure Gusa, yang ditulis
Yoshida Kenko pada zaman Kamakura. Esai ini terdiri dari 243 bab yang berisikan berbagai
cara menghadapi dan mengatasi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Esai ini mudah
dimengerti sehingga berguna bagi pendidikan.
Pembahasan
Saat ini Tsurezuregusa dikenal menjadi salah satu karya klasik abad pertengahan yang
mempengaruhi baik gaya penulisan ataupun gagasan keindahan kesusastraan Jepang. Ditulis
pada jangka waktu 2 tahun antara 1330 sampai 1332, Tsurezuregusa mempunyai arti secara
harfiah Tsurezure (leisure) dan Gusa (mempunyai arti kata “mentah” tak jarang dipakai untuk
mendeskripsikan sesuatu yang belum selesai). Yoshida Kenko sendiri merupakan figur yang
istimewa: seseorang penjaga istana (merangkap penyair) yang mengabdikan masa tuanya
menjadi seseorang Biksu. Sosok Kenko kemudian menjadi legenda pada sastra klasik Jepang
menjadi seorang yang berhasil merangkum keindahan Jepang dimana estetika hadir pada
ketidaksempurnaan (dikenal menggunakan konsep Wabi-sabi) – sebuah bangun keindahan
yang bagi budaya lain terasa absurd dan sulit dipahami.
Adapun karya monumental Tsurezuregusa ditulis oleh biksu eksentrik dalam lembaran-
lembaran kertas yg lantas dia tempel memenuhi dinding kamar. Paska kematiannya,
Imagawa Ryoshun, seseorang kawan baik Kenko-lah yg mengumpulkan & memberi
penomoran sebagaimana cetakan yg dipublikasikan waktu ini. Kenko tidak pernah
bermaksud buat menyebarluaskan Tsurezuregusa sebagai akibatnya gagasannya bukanlah
sebuah pendalaman yg mempunyai awal & akhir, sebab-akibat, ataupun “metode validitas”
sebagaimana dikembangkan para filsuf di seberang lautan (gagasan filosofis Barat kental
menggunakan mobilitas pikir ini, pula filosofi China yg populer sangat logis & sistematis).
Namun, walaupun tidak memenuhi kriteria “metodologis”, 243 essay pada Tsurezuregusa
merupakan fragmen filosofis Jepang menggunakan rentang yg luas: mulai menurut musik,
puisi, kehidupan politik istana, rekanan sosial, waktu & semesta, peringatan atas
“kebahagiaan yg berlebihan”, sampai kematian. Kelihaian Kenko membuat essay yg sarat
menggunakan insinuasi sarkas ini sanggup bersandingan menggunakan gagasan spiritualnya
alhasil imbas Budhisme sangat terasa dalam deretan goresan pena ini. Selain menekankan
dalam spiritualitas Budhisme, Tsurezuregusa juga menempatkan nilai emosional menjadi
sesuatu yg begitu berharga – sisi ini menciptakan Tsurezuregusa mempunyai keriangan
khas, yg terasa bahkan waktu Kenko tengah mengungkapkan kematian.
Berikut kita simak bagaimana Kenko mengurai gagasan tentang “kebahagiaan yang
berlebihan” melaui sebuah esay bebasnya:
This is a story of the priests of the Ninnaji. They had a feast to celebrate the farewell to the
world of a young acolyte about to enter the priesthood. In their revels they became drunken,
and the acolyte, beginning to feel merry, took a three-legged iron pot that lay nearby and put
it on his head. Then, though it fitted very tight, he flattened out his nose, pulled the pot over
his face, and began to dance. The whole company grew merry beyond measure, until after
performing awhile, he at length tried to pull it off—but in vain!
This sobered the feast, and they were thrown into confusion and doubt, wondering what they
should do. While they were debating, the pot cut into his head, and blood began to flow and
his face swelled up so that he could hardly breathe. They tried to break it, but it was not easily
broken, and as the force of the blow went to his head, he could not bear it, and they were
obliged to stop. They did not know what to do next, so, throwing a black gauze cloak over the
three legs, which looked like horns, they led him, supported by a staff, to the house of a
physician in Kyoto. People looked at them with amazement as they went along.
It must have been a queer scene when they brought him face to face with the physician on
entering his house. When he spoke, his voice was muffled, and resounded so that they could
not hear what he said. The physician said that he had never seen such a case in the books, nor
had he ever had any oral instruction on the point, so they were obliged to return to the temple.
There his friends and relatives, with his old mother, gathered at his bedside and wept and
grieved—not that they thought he could hear! At last someone said, “Suppose he does lose
his ears and nose, so far as living goes there is no reason why he should not survive. Let us
then pull the thing off by main force.” So they thrust rice straw all round between his head and
the metal, and pulled as if to drag off his head. His ears and nose were torn away, and he
escaped with his bare life, suffering afterward many a long day.
Keseluruhan karyanya tidak memiliki ikatan yang eksplisit (namun justru melalui tema
sembarang, semakin terlihatlah pola universal yang berulang). Pola penulisan acak ini pada
akhirnya menjadi genre tersendiri yang dikenal dengan sebutan Zuihitsu, sebuah pola
penulisan gagasan (biasanya prosa atau esay) yang alurnya ditentukan oleh “flow of
conciousness” (alur kesadaran). Dengan kata lain, esay dan prosa dalam genre ini tidak
memiliki alur baku – biasanya mengacu pada respon penulis tentang lingkungan sekitar atau
fenomena tertentu. Selain Tsurezuregusa karya Kenko, terdapat dua karya lain yang
dianggap sebagai pionir Zuihitsu, yaitu Makura no Sōshi (The Pillow Book) karya Sei
Shōnagon dan Hōjōki karya Kamo no Chōmei (yang juga seorang Budhist seperti Kenko).
Selain memberi pengaruh dalam penulisan melalui Zuihitsu, Kenko juga memberikan
pandangan yang tajam tentang puisi. Ia menuliskannya dalam essay berikut:

詩について

セクション 14。しかし、それでももっと楽しいのは日本語の詩です。 詩に入れる


と、貧しい謙虚な登山家の苦労も美しくなり、ひどいイノシシは、隠れ家をしゃが
むイノシシと呼ばれると穏やかに聞こえます。 現代の詩に関しては、一行にいくら
かのメリットがあるかもしれないことを認めます。 しかし、言葉を除けば、昔の巨
匠の作品のように、深い意味はありません。

Kalimat Kenko tentang karakter spesifik estetika Jepang: yaitu memberikan nilai pada
sesuatu yang biasa. Paine menggambarkan bahwa letak kekuatan kebudayaan Jepang
adalah kapasitasnya untuk menghargai segala sesuatu – termasuk retakan di vas bunga
(dalam konteks Wabi-sabi: keretakan memiliki nilai dan bukan sebuah cacat), atau
rerumputan liar di sebuah taman bunga, yang merupakan esensi kehidupan itu sendiri.
Sekilas, terlintas adegan dalam film garapan Yasujirō Ozu ketika kamera menyorot diam
sebuah teko yang dibiarkan mendidih dan mengepulkan asap. Atau alegori Mishima tentang
gunting, buku, dan alat tulis lain yang saling berdampingan tanpa tujuan di atas meja tulis
Yuichi (tokoh dalam Forbidden Colors). Dalam dua alusi tadi, Ozu dan Mishima, memiliki
napas yang sama dengan keindahan sublim Tsurezuregusa karya Kenko.
Kesimpulan
Bagi Neo-Konfusianisme Edo awal pada umumnya, sastra hanya memiliki makna ketika
dibuat berguna dalam kehidupan sehari-hari, dan dibawa sejalan dengan studi tentang hal-
hal nyata. Kegunaan semacam itu dalam tulisan-tulisan perempuan dibayangi oleh
kesalahan-kesalahan laten perempuan. Ada pernyataan dan implikasi dalam Tsurezuregusa
yang mengganggu , memang benar, tetapi dia menemukan bahwa dia bisa mengatasinya.
Dalam perjuangannya untuk menjadikan teks sebagai kendaraan untuk menyebarkan ajaran
Neo-Konfusianisme tidak serta merta menyembunyikan atau menghilangkan kontradiksi
dalam teks, tetapi dia membentuk dan melapisinya, seperti yang dia katakan 'membawa
kata-kata klasik Konfusianisme, menggunakan peribahasa Jepang untuk menjelaskan
sesuatu, menulis dalam suku kata' (berlawanan dengan karakter), dengan cara yang bahkan
dia cirikan sebagai 'memotong ayam dengan pisau yang dimaksudkan untuk daging sapi.'
Unggas vernakular itu sendiri tidak terlalu berpengaruh daripada kemudi filosofis.

Daftar Pustaka
1. https://www.tlu.ee/sites/default/files/Instituudid/T%C3%9CHI/%C3%B5ppekavad/Liber
al%20Arts%20in%20Humanities%20tekstid/Essays%20in%20Idleness_%20and%20Hojoki
%20-%20Kenko.pdf
2. https://daftarbuku.blogspot.com/2016/05/zuihitsu-esai.html
3. https://www.BUNGAKUSHI%202020_Bab%20I,%20II,%20III.pdf
4. https://en.wikipedia.org/wiki/Tsurezuregusa

Anda mungkin juga menyukai