Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FRANSISKUS ALDERINO ANGGA NUGRAHA

NIM : 231224002

Mata Kuliah : Sejarah Sastra A

Laporan Hasil Analisis

Perkembangan Sastra Angkatan Balai Pustaka dan Sastra Angkatan


Pujangga Baru

Sejarah mengenai sastra sendiri sudah muncul di Indonesia sejak 1920-an.


Pertumbuhan sastra di Indonesia sangat berhubungan dengan kondisi sosial dan politik
masyarakat pada awal kemunculan karya sastra di zaman kolonial Belanda. Sastra yang
muncul di tahun 1920-an masih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Belanda sebab negara
Indonesia masih dalam cengkraman penjajahan. Sastra yang muncul masih dikontrol atau
diatur oleh pihak Belanda dimana berkaitan dengan penerbitannya tidak boleh mengandung
unsur nasionalisme. Masalah yang diangkat di dalam sebuah karya sastra mengandung aspek
budaya daerah masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat mulai menyadari betapa
pentingnya memperjuangkan kemerdekaan dan nasionalisme dengan bermunculan gerakan
intelektual yang digerakkan oleh para penulis atau sastrawan untuk menyuarakan
nasionalisme walaupun jelas masih terdapat batas-batas.

Tahun 1930-an, gerakan nasionalis semakin meningkat dan organisasi politik seperti
Partai Nasional Indonesia (PNI) muncul. Tema-tema yang diangkat dalam sastra dipengaruhi
oleh keadaan politik dan sosial yang semakin tegang. Tema-tema ini sering menggambarkan
perlawanan terhadap penjajahan dan keinginan untuk kemerdekaan. Tahun 1930-an menjadi
titik kemajuan sastra di awal 1920-an dimana periode ini ditandai dengan munculnya
kelompok-kelompok penulis atau sastrawan seperti Angkatan Pujangga Baru. Kelompok ini
banyak memunculkan karya sastra yang mengusung semangat kebangsaan secara terang-
terangan dibandingkan pada tahun 1920-an. Tema perjuangan melawan penjajahan serta
penindasan banyak mendominasi pada karya sastra di tahun ini.

Balai Pustaka di tahun 1920-an menjadi satu-satunya badan penerbit buku seperti
bacaan berbentuk karya sastra. Badan penerbit ini dimiliki oleh pemerintah Belanda dan
didirikan pada akhir abad ke-19 dengan nama “ Komisi “ yang selanjutnya diubah menjadi
Balai Pustaka dikarenakan semakin luas jangkauan serta macam kegiatannya. Badan ini
didirikan sebagai bacaan untuk rakyat di sekolah bernama Sekolah Bumiputera. Balai Pustaka
sendiri memiliki tujuan dalam pendiriannya seperti mencukupi kebutuhan pembaca di
masyarakat dengan membaca buku terbitan sendiri untuk menghindari ancaman ketertiban di
dalam negeri, karya sastra yang terbit mengandung unsur penjajahan yang secara tidak sadar
dimasukkan oleh pemerintah Belanda, dan adanya Balai Pustaka ini sebgai bentuk balas budi
terhadap rakyat Indonesia. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu naskah karya sastra
dapat diterbitkan yaitu harus netral secara agama, tidak mengganggu ketertiban umum atau
keamanan negara serta dapat menimbulkan kecerdasan dan pendidikan moral berdasarkan “
Nota over de Volkslectuur” tahun 1911. Hal ini menimbulkan sebagian pengarang tidak dapat
menerbitkan karyanya melalui penerit Bali Pustaka dan mulai berkembang atau muncul karya
sastra di luar Balai Pustaka. Badan ini memiliki peran penting dalam sejarah sastra seperti
membuat pengarang Indonesia berkesempatan untuk menghasilkan karangan juga dapat
membaca karya anak bangsa sendiri, melalui bacaan yang ada membuat rakyat Indonesia
memperoleh pengetahuan dan kemajuan dalam pembuatan karya sastra serta menumbuhkan
semangat bersastra di Indonesia. Angkatan Balai Pustaka sendiri merupakan sebutan bagi
sekelompok orang atau sastrawan yang karyanya terbit melalui badan penerbit ini, hanya
sebagian sastrawan dengan gaya penulisannya mengikuti persayaratan yang ditetapkan oleh
Angkatan Balai Pustaka. Ciri-ciri di dalam karya sastra pada era Balai Pustaka meliputi
berbentuk roman, menggunakan bahasa perumpamaan, bercorak romantis, dan adanya sisipan
peritiwa berupa adat serta nasehat. Isi cerita di dalam karya sastra di tahun ini lebih
mengangkat masalah adat seperti kawin paksa, memiliki latar kedaerahan dimana peristiwa
yang diceritakan terjadi di suatu daerah terutama Minangkabau, dan mengandung
pertentangan budaya di masyarakat. Perkemangan sastra di luar Balai Pustaka juga
menambah ragam sastra di Indonesia. Sastra ini sering disebut bacaan terlarang sebab isinya
mengandung unsur propaganda dan sindiran terhadap pemerintah Belanda. Sastra ini juga
memiliki sifat heterogen dimana karya yang muncul terdiri dari Sastra Peranakan Eropa,
Sastra Peranakan Tionghoa, dan Sastra Pribumi.

Tahun 1930-an muncul keberadaan majalah Pujanga Baru yang membawa warna
berbeda bagi perkembangan sastra Indonesia. Hal ini sebagai bentuk perlawanan terhadap
detektor Balai Pustaka pada karya sastra yang mengandung rasa nasionalisme. Majalah
Pujangga Baru lahir sebelum kemerdakaan tahun 1933-1942 yang berlandaskan cita-cita
kemerdekaan serta sesudah kemerdekaan tahun 1948-1953 sebagai semangat angkatan
Pujangga Baru dan angakatan berikutnya. Suatu kelompok pengarang yang disebut Pujangga
Baru berusaha untuk memperbaharui dari aspek kebudayaan Indonesia. Pada bulan Juli 1933,
mereka dikenal sebagai Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 33 atau Angkatan 30. Pengarang
Pujangga Baru memiliki banyak kepercayaan agama dan daerah asal. Namun, mereka disebut
sebagai angkatan karena memiliki cita-cita yang sama dimana ingin membuat budaya baru
yang menggabungkan semua orang Indonesia. Karya sastra puisi cukup mendominasi tetapi
cerita pendek dan drama juga mulai banyak ditulis pada periode ini. Karakteristik sastra di
tahun 1930-an lebih mengangkat cerita masyarakat kota dan persoalan emansipasi, diwarnai
dengan unsur nasionalisme dan kemerdekaan serta menggunakan bahasa Indonesia di dalam
isi karya sastra tersebut.

Beberapa karakteristik sastra Balai Pustaka adalah non-nasionalisme, berlatar


belakang kedaerahan, terutama Minangkabau, romantis-sentimenal, membahas kawin paksa,
dan menentang paham kaum muda-tua. Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
memiliki ciri-ciri tersebut. Buku ini tidak nasionalis karena mengangkat budaya masyarakat
yang bertentangan dengan ideologi negara. Novel ini berlatarkan kedaerahan, terutama
Minangkabau, karena menceritakan tradisi masyarakat, terutama adat Batak, di mana
perkawinan sangat dihargai.

Kutipan :

“Hal ini menundjukan djuga, bagaimana kuat perkawinan orang Batak jang sedjati. Lebih
lima belas tahun sadja tinggal di kampong kelahiranku, jang tiada berapa djauh dari
Sipirok, tempat tjeritera ini terdjadi; tiadalah lebih dari dua kali sahadja, jang kulihat dan
kuketahui jang tjerai….”( Azab dan Sengsara: 77).

Seperti karya sastra bali pustaka lainnya, novel ini bersifat romantis dan sentimental karena
menggambarkan kehidupan tokoh-tokohnya sejak lahir hingga meninggal, yaitu dari masa
kanak-kanak hingga kematian Mariamin.

Kutipan :

“Anak perempuanja itu bernama Mariamin dan ringkasan namanja Riam. Anak itu seorang
anak yang elok parasnja. Akan tetapi, ketjantikan rupanya itu belumlah nampak terangnja,
karena ia masih ketjil, ibarat bunga belum kembang….”( Azab dan Sengsara: 32).

Petikan ini berbicara tentang masa kecil Mariamin, tokoh utama wanita.

“Lihatlah kuburan jang baru itu! Tanahja masih merah… itulah tempat Mariamin, anak
dara jang saleh itu, unttuk beristirahat selama-lamanja.” (Azab dan Sengsara:180)
Dalam cuplikan ini, aditokoh wanita telah berpulang.

Novel ini menggambarkan konflik antara seorang lelaki tua dan seorang pemuda mengenai
adat istiadat. Perbedaan pemahaman ini misalnya tergambar dalam kisah Aminuddin. Konflik
disebabkan oleh keinginan ayah Aminuddin untuk memiliki menantu yang setara dengannya,
dan keinginan Aminuddin agar istrinya menjadi orang yang dicintainya.

Kutipan :

“Ajah Aminn’uddin seorang keplaa kampong jang dimalui diluhuk Sipirok. Uang banjak,
sawah lebar, kerbau dan lembupun tjukup, sedang anaknja seorang makan gadji, di Deli
pula. Sekali ini haruslah mereka itu mengambil anak bangsawan jang sekurang-kurangnja
sama dengan mereka itu, jang dibawah pantang. Demikianlah pikir orang tua itu….”(Azab
dan Sengsara: 133).

Beberapa ciri-ciri karya sastra pada era Pujangga Baru meliputi isi cerita bersifat
nasonalisme, mengandung unsur aliran romantis serta menyiratkan tentang modernisasi.
Novel Belenggu karya Armijn Pane memiliki tema nasionalisme. Hal ini dibuktikan dalam
cerita dimana sepasang suami istri mengabdi kepada negara melalui pekerjaanya. Sukartono
mencintai pekerjaannya sebagai dokter dan bertanggung jawab penuh, sedangkan Sumartini
berangkat ke Surabaya untuk bekerja di panti asuhan. Cerita di dalamnya mengandung
modernisasi. Hal ini dibawakan oleh persepsi Tono bahwa Tini berbeda dari kebanyakan
perempuan yang biasa merawat suaminya. Tini menunjukkan seseorang yang modernis sebab
hari-harinya dihabiskan di luar rumah.

Bacaan di luar Balai Pustaka dan di luar Pujangga Baru terdiri dari bacaan liar, roman
picisan, dan HAMKA. Karakteristik bacaan liar muncul pada era sebelum maupun pasca-
kemerdekaan Indonesia. Cinta dan Petualangan adalah tema yang sering diangkat, sering kali
persahabatan dengan cerita yang sederhana namun menarik. Bahasanya santai dan mudah
dipahami, dan dia sering menggunakan bahasa sehari-hari dan istilah umum. Roman picisan
memiliki sifat-sifatnya termasuk cerita yang melodramatis, penuh emosi, dan sering kali
menggambarkan cinta yang intens. Plotnya seringkali sederhana, dengan konflik yang
dramatis dan penyelesaian yang memuaskan bagi pembaca. Bahasanya menarik dan
mengalir, dan gaya penceritaan yang dia gunakan menarik pembaca untuk terlibat dalam
kisah romantis yang lengkap. Tema-tema dalam sastra HAMKA lebih mengangkat tentang
keislaman, moralitas, dan kehidupan sosial masyarakat sering dibahas dalam karyanya.
Bahasanya lugas dan sederhana, tetapi sarat dengan makna dan pesan moral. Beberapa
cirinya termasuk kecenderungannya untuk memberikan pelajaran moral dan menyampaikan
nilai-nilai hidup melalui kisah-kisah yang menginspirasi.

Sumber belajar : Materi Elearning Sejarah Sastra.

Anda mungkin juga menyukai