Anda di halaman 1dari 4

Nama: Wanda Kurnia Ayu Fatmawati

Nim: 225110701111025

Kelas: Apresiasi Prosa B

Resume Bacaan Liar,Roman Picisan,dan Sastra Populer

A. Bacaan Liar
Istilah “bacaan liar” sendiri pertama kali diucapkan oleh Rinkes 6 pada tahun 1914 untuk tulisan-
tulisan kaum pergerakan, baik berupa novel, roman, puisi, artikel, maupun buku pemikiran. Pada waktu
itu pemerintah merasa khawatir terhadap bacaan berupa surat kabar dan karya sastra. Pemaparan Razif
(2005: 37) menjelaskan kalau pemerintah kolonial mulai gencar mengatasi derasnya bacaan yang mulai
menyinggung kekuasaan kolonial, baik yang dihasilkan rakyat pribumi atau Tionghoa peranakan.
Surat kabar harian maupun mingguan isinya seringkali provokatif, menyerang pemerintah
kolonial, mengejek aturan-aturan pemerintah dan menyerang pejabat pemerintah, maka bacaan-bacaan
tersebut dianggap telah melanggar kekuasaan kolonial dan mengganggu ketertiban. Lebih jauh pernyataan
Rinkes ini merupakan hasil perdebatan dengan Mas Marco Kartodikromo pada tahun 1914 tentang hasil-
hasil kerja Mindere Welvaart Commissie, yang dianggap Mas Marco sebagai usaha mempertahankan
mitos politik etis.7 Dari permulaan bisa diidentifikasi, bahwa bacaan liar atau karya sastra yang disebut
liar salah satunya bermaksud untuk mendidik kaum kromo. Razif (2005: 30) kembali mempertegas, demi
menghela rintangan-rintangan bagi pergerakan diperlukan bacaan-bacaan politik, agar kaum kromo
mengetahui, memahami, dan menyadari politik kekuasaan kolonial.Bacaan-bacaan yang dihasilkan oleh
para pemimpin pergerakan di atas dapat dikatagorikan sebagai “bacaan politik”.
Bacaan-bacaan dari kaum pergerakan sangat membahayakan dan mengancam keberadaan
pemerintah. Rinkes (direktur Balai Pustaka) menyatakan harus dijauhkan bacaan yang dapat merusakkan
kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri dan diperluas bacaan-bacaan yang diproduksi oleh Balai
Pustaka. Hal-hal inilah yang signifikan mendasari, kenapa karya pribumi berhaluan kiri perlu untuk
diteliti dan diangkat ke permukaan lagi, setidaknya menemukan gambaran awal aktivitas-aktivitas kaum
pergerakan untuk merealisasikan kehidupan yang lepas dari kolonialisme.
Bacaan liar yang dimaksud adalah buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis—
yang diterbitkan bukan oleh Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka sebagai penerbit yang dikelola oleh
Pemerintah—menetapkan aturan-aturan yang telah disetujui Pemerintah Kolonial. Peraturan itu dikenal
dengan Nota Rinkes (1911). Salah satu dari karya sastra yang dicap sebagai bacaan liar pada masa itu
adalah novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen

 Ciri-ciri Bacaan Liar Menurut Balai Pustaka:


Yulianeta (2008: 171) mengemukakan bahwa karakteristik karya sastra yang termasuk bacaan liar
menurut Balai Pustaka adalah:
1. Di dalamnya memuat gagasan politik tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah
yang berkuasa.
2. Di dalamnya berisi penghinaan atau memojokkan golongan agama tertentu.
3. Di dalamnya memuat atau menceritakan adegan-adegan yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.
4. Di dalamnya terdapat penghinaan terhadap golongan bangsa tertentu.
5. Di dalamnya menggunakan bahasa yang bukan bahasa melayu tinggi (melayu rendah).

 Contoh novel bacaan liar:


Novel Hikayat Kadiroen adalah karya sastra berbentuk novel yang ditulis pada tahun 1919
sewaktu ia berada dalam penjara selama 4 bulan karena persdelict. Novel ini sebelumnya sudah
dipublikasikan dalam koran Sinar Hindia sebagai cerita bersambung (Kadiroen, 2002: ix). Pada tahun itu
juga novel ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Partai Komunis Indonesia (Budianata, Kompas 2002).
Novel ini sempat mendapat teguran keras dari pihak Kolonial Belanda karena dianggap bisa
membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan untuk berorganisasi atau membentuk kelompok politik
yang memang sedang marak, dan karena itu pulalah Semaoen kemudian dibuang ke Belanda pada tahun
1923 (Sunanda, 2000: 128). Disamping itu, novel ini juga banyak didasarkan pada ajaran-ajaran Marx,
persoalan kelas jelas menjadi sorotan. Pada pokoknya kelas menurut masyarakat Marxisme ada dua
macam, yaitu kelas yang memiliki tanah atau alat produksi dan kelas yang tidak memiliki tanah dan
hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam proses produksi (Soekanto, 1974).

B. Roman Picisan
Roman adalah jenis karya sastra yang termasuk dalam epik panjang dan telah menjadi sangat
populer dalam perkembangannya. Sejak abad ke-16, roman telah menjadi salah satu bentuk epik panjang
yang paling disukai dalam prosa. Roman umumnya memiliki narasi yang panjang dan terdiri dari
beberapa bab yang saling terkait satu sama lain. Biasanya, roman menceritakan kehidupan seorang tokoh
dari kelahirannya hingga kematiannya.
Kata "roman" sendiri berasal dari bahasa Perancis "romanz" pada abad ke-12, serta berasal dari
ungkapan bahasa Latin "lingua romana," yang merujuk pada semua jenis karya sastra yang ditulis untuk
golongan rakyat biasa. Jadi, roman adalah sebuah genre sastra yang menggambarkan cerita panjang
dengan berbagai peristiwa dan perkembangan dalam kehidupan seorang tokoh, dan telah menjadi bentuk
sastra epik yang sangat digemari sejak abad ke-16.
Kelemahan Roman Picisan Menurut A. Teeuw dalam H. B. Jassin buku Kesusastraan Indonesia
Modern Dalam Kritik dan Esei (IV) menyebutkan kelemahan roman ini. ujarnya ” roman picisan
mengandung uraian jiwa yang dangkal, komposisi yang kadang-kadang tidak memuaskan. Bahasa
dirusakkan oleh kata-kata yang bukan kata Indonesia. Pengarang tidak pandai meletakkan tanda-tanda
bacaan. ”Kelemahan roman picisan mencakup penokohan/ perwatakan, plot, pemakaian bahasa bukan
Indonesia dan ejaan yang tidak tertib.
Pratt dalam Burhan Nurgiantoro buku Teori Pengkajian Fiksi mengatakan:” masalah
kelitereran/litererariness tak ditentukan oleh ciri khas pemakaian bahasa. Melainkan oleh ciri khas situasi
pemakaian bahasa tersebut.” Jadi, pemahaman bahasa yang rusak karena bukan kata-kata Indonesia perlu
ditinjau kembali. Persoalan kelitereran tidak karena pemakaian bahasanya, kecuali oleh situasi di mana
bahasa itu dipergunakan. Termasuk karena ragam bahasa ke dalam bahasa tulis dan karakter berbahasa
orang Medan.
Ciri-ciri Roman Picisan: Bersifat perdagangan/komersil, Lukisan watak tokoh kurang
mendalam, Pertentangan budaya lama dan budaya modern, disisipi iklan/reklame, Komposisi cerita dan
bahasa kurang terpelihara.
C. Sastra Populer
Sastra populer adalah jenis sastra yang bertujuan untuk menghibur pembaca dan
cenderung memiliki sifat komersial. Sastra ini berbeda dengan sastra kanon yang lebih fokus
pada nilai seni dan intelektualitas. Dalam sastra populer, permasalahan yang diangkat hanya
sampai permukaan dan biasanya berhubungan dengan isu-isu sehari-hari yang dapat mudah
dikenali oleh pembaca. Tema atau topik yang sering muncul dalam sastra populer adalah
romantisme. Ini berarti sastra ini sering menggambarkan kisah cinta dan hubungan antarpribadi.
Sastra populer juga cenderung menghindari kompleksitas dan lebih fokus pada aspek-aspek yang
dapat menghibur pembaca. Perkembangan teknologi juga telah berdampak pada perkembangan
sastra. Sastra populer, terutama, telah berkembang pesat berkat kemajuan teknologi. Awalnya,
sastra populer dianggap sebelah mata karena dianggap dangkal dan hanya memenuhi keinginan
pembaca tanpa menyentuh permasalahan yang lebih dalam. Namun, seiring dengan digitalisasi,
sastra populer juga dapat terintegrasi dengan platform digital dan menjangkau khalayak yang
lebih luas.

 Berikut adalah periodisasi sastra popular:


(1)Periode Zaman Kolonial: Sastra populer Indonesia sudah ada dan berkembang sejak abad
ke19. Sastra populer tersebut tersebut ditulis oleh kaum Indo-Belanda, peranakan Cina, dan
kaum pribum. Bahasa yang digunakan pada zaman ini adalah bahasa Melayu Pasar. Tema yang
menonjol pada zaman ini adalah: cerita kehidupan para nyai, cerita kriminal yang diangkat dari
pengadilan, cerita hantu, dan cerita percintaan (yang dibumbui dengan seks). Selain itu, sastra
populer juga memuat ideologi tertentu. Sebagai contoh, ideologi komunis dituliskan oleh R. M.
Tirto Adhi Soerjo dan Marco Kartodikromo.Akan tetapi, sastra zaman ini mengalami
kemunduran ketika zaman penjajahan Jepang. Pada masa ini, terjadi pergolakan politik dan
sosial sehingga penulis tidak bisa fokus dalam menuliskan karyanya. Dari beberapa literatur,
sastra populer di masa penjajahan Jepang tidak terdeskripsikan sehingga sastra populer zaman
Jepang tidak masuk dalam periodisasi sastra populer.
(2)Periode 1950-1968-an: Sastra populer Indonesia mulai berkembang kembali setelah masa
kemerdekaan. Pada masa ini, sastra populer memiliki tema yang berbeda dengan masa
sebelumnya. Sastra populer yang ditemukan adalah novel dan cerpen. Tema yang menonjol pada
periode ini adalah cerita percintaan yang sensual, detektif, dan cowboy.
(3)Periode 1970-1990-an: Sastra di periode 1970-1990-an mengalami pergeseran ciri. Pada masa
ini, muncullah penulis-penulis wanita yang mengambil tema masalah rumah tangga. Selain itu,
tema remaja juga mulai muncul. Tema remaja meliputi percintaan remaja dan cerita petualangan.
(4)Periode Era Reformasi: Setelah masa Orde Baru, sastra populer berkembang dengan pesat.
Tema-tema sastra populer juga semakin banyak dan beragam, seperti tema keagamaan, tema
perempuan kosmopolitan. Karakteristik sastra populer pada masa yang lain pun tetap
berkembang meskipun tidak mendominasi. Pada periode ini, muncul pula sastra populer berjenis
chicklit dan teenlit. Perbedaan dari periode era refomasi dengan periode sebelumnya adalah
berkurangnya tema kriminalitas pada sastra populer. Catatan penting di dalam sastra populer
periode era reformasi adalah muncul pergeseran bobot tema sastra. Sastra populer pada era ini
lebih melibatkan intelektualitas. Sebagai contoh, novel berjudul AyatAyat Cinta mengandung
wawasan keagamaan yang mendalam. Contoh lain adalah novel chicklit dan teenlit. Aquarini
Prabasmoro mengatakan bahwa novel-novel tersebut mengambil tema feminism lunak

 Ciri-Ciri Sastra Populer:


 Memiliki banyak pembaca, terutama di kalangan remaja.
 Tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens, sebab memiliki alur cerita yang ringan.
 Dikategorikan sebagai sastra hiburan dan komersial, karena berkaitan dengan selera orang banyak.
 Disukai oleh masyarakat umum karena sejalan dengan tren budaya yang ada.
 Bersifat sementara dan mudah berganti ketika tren sudah berganti. Maka dari itu, sastra populer
cepat dilupakan oleh pembaca apalagi ketika muncul karya sastra populer yang sejalan dengan tren.
 Lebih mengejar selera pembaca dan bersifat komersial.
 Menjadi bagian dari industri budaya karena diproduksi oleh massa secara luas untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi.

Refrensi:

Razif. (2005). Bacaan Liar Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan. Jakarta: Edi Cahyono
Experience.

Yulianeta. 2008. Jurnal Bahasa dan Sastra. Bandung: FPBS UPI.

A., N. L. (2015). Adakah (dan Perlukah) Periodisasi Sastra Populer? H.U. Pikiran Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai