Anda di halaman 1dari 10

TEORI POSKOLONIAL:

SEJARAH DAN DASAR PIJAKAN STUDI POSKOLONIAL


Oleh: Mubarak Idrus

A. Sejarah Wacana Poskolonial


Meskipun istilah poskolonial mengacu pada makna kronologis yakni pasca
kemerdekaan, tapi anggapan ini adalah “keliru” untuk menggambarkan akhir dari
proses kolonial karena poskolonialisme dimulai dari momen paling awal dari
kontaknya dengan colonial (Bill Ashcroft; 1995). Dengan demikian, istilah
poskolonial tidak menyatakan secara langsung “setelah kolonialisme” tapi
menunjukkan kelanjutan dari proses perlawanan dan rekonstruksi dari Barat (Ziauddin
Sadar dan Borin Van Loon, 2001). Atau dengan kata lain, poskolonial digunakan
untuk menyebut kritik-kritik lintas budaya yang muncul dari hasil kontaknya dengan
kekuasaan imperial dari awal sejarah kolonisasi hingga kurun waktu sekarang. Dalam
pengertian seperti ini, poskolonial dimaksudkan sebagai kajian tentang kondisi dunia
sepanjang dan sesudah dominasi imperial Eropa serta beragam efek yang ditimbulkan
dari proses kolonisasi Eropa sekaligus sebagai upaya membongkar selubung
hegemoni imperial lewat praktik diskursif atau kuasa pengetahuan.
Istilah ini sebenarnya mirip dengan istilah posmodernisme yang muncul dalam
masyarakat Barat, meskipun kemudian menimbulkan kebingungan yang melingkupi
dua istilah ini –posmodernisme dan poskolonial. Kebingungan ini disebabkan karena
dekonstruksi terhadap ‘pusat’ yang menjadi fokus dari posmodernisme sangat mirip
dengan usaha poskolonial untuk membongkar logika biner tentang pusat/pinggiran
dalam wacana imperial. Dekonstruksi ‘pusat’ dan membongkar logika biner adalah
tema-tema penting yang sering muncul dalam diskursus posmodernisme dan dalam
pemikiran poskolonial. Isu-isu lain yang sering menjadi bahan perdebatan adalah
penolakan terhadap konsep individu ala Cartesian sampai pada operasional yang
sangat dinamis dari power atau kuasa (Leela Ghandi: 1998).
Namun, beberapa kritikus poskolonial tetap melihat adanya perbedaan antara
posmodernisme dan poskolonial. Simon During, kritikus poskolonial asal Selandia
Baru misalnya berargumen bahwa titik pijak yang paling penting dari poskolonial
adalah problem identitas atau lebih tepatnya krisis identitas nasional dan legitimasi
masyarakat terjajah setelah memperoleh kemerdekaannya (Simon During; 1995).
Pada awalnya wacana poskolonial muncul dalam dunia sastra. Hal ini sangat
dapat dimaklumi karena kesusastraan-kesusastraan poskolonial juga terlahir dari
pengalaman kolonisasi bahkan pernyataan-pernyataannya merupakan ungkapan
ketegangan yang dialami berkaitan dengan hadirnya kekuatan imperial dan sekaligus
menekankan perbedaannya dengan asumsi-asumsi yang dibangun oleh pusat imperial
(Bill Ashcroft: 2003). Selain itu, karya sastra poskolonial ditujukan sebagai kritik
terhadap karya sastra kolonial.
Sebagaimana disinggung Edward. W. Said dalam Culture and Imperialism
bahwa karya sastra kolonial seperti novel punya kaitan yang sangat erat dengan proses
imperialisme. Bahkan dengan sinis Said mengatakan tidak akan pernah ada novel
Eropa tanpa imperialisme. Novel adalah wajah yang paling khas dari Barat-kolonial.

1
2

Karena itu, imperialisme dan novel membentengi satu sama lainnnya sedemikian rupa
sehingga, menurut Said, mustahil untuk membaca yang satu tanpa dengan cara
tertentu mengaitkannya dengan yang lain. Lebih jauh Said menunjukkan bahwa
sepanjang abad ke-19 terlihat adanya kesinambungan kebijaksanaan imperial Inggris
melalui proses novelistik yang tujuan utamanya agar menjaga imperium tetap berada
pada tempatnya. Pendeknya, kekuasaan Inggris itu awet dan terus diperkuat dan itu
diuraikan dan dikemukakan dalam novel (Edward W. Said: 1996). Oleh Octave
Mannoni sebagaimana dikutip Ashis Nandy (Ashis Nandy: 1983), hal ini kemudian
memunculkan bentuk perlawanan, mimicri dari kultur lain yang dibinasakan oleh
kultur tertentu (penjajah). Misalnya bagaimana masyarakat poskolonial India melawan
Inggris dengan memunculkan bahasa Inggris versi India atau bagaimana masyarakat
pribumi-terjajah memunculkan bentuk-bentuk kesusastraan yang ditulis sendiri oleh
masyarakat pribumi.
Kesusastraan poskolonial sendiri berkembang melalui berbagai tahapan.
Pertama, ketika masih dalam kekuasaan imperial. Karya-karya sastra pada masa ini
ditulis dalam bahasa imperial. Karena itu, hampir seluruh karya-karya yang muncul
pada masa ini belum mampu menunjukkan watak resistennya terhadap kekuasaan
imperial. Atau dengan kata lain karya-karya sastra pada masa ini berada di bawah
kungkungan wacana dan praktik institusional sebuah sistem patronase yang
membatasi dan bahkan memberangus perspektif berbeda yang mereka ajukan.
Sehingga untuk memunculkan karya sastra yang independen tergantung pada
keberanian mereka menentang kekuatan yang membatasi tersebut. Tahapan kedua
adalah munculnya karya-karya sastra yang ditulis oleh penulis pribumi. Walaupun
masih menggunakan bahasa kolonial sebagai bagian dari budaya dominan, tapi para
penulis tersebut seolah-olah mengumumkan bahwa secara temporal maupun
permanen mereka telah memasuki posisi istimewa di mana mereka berkesempatan
untuk menggunakan bahasa, pendidikan, dan waktu luang untuk menciptakan karya-
karya mereka.
Dari tahapan-tahapan tersebut kemudian dikenal dengan adanya dua model
penting dalam sastra poskolonial, yaitu model nasional dan model black writing.
Model nasional pertama kali berkembang di Amerika Serikat pada akhir abad ke-18
dan lebih banyak berbicara tentang budaya nasional. Karya-karya sastra dari negara-
negara seperti Nigeria, Australia, dan India(?) juga dipandang sebagai bentuk-bentuk
kesusastraan nasional meskipun kemunculannya agak di belakang dibanding dengan
kesusastraan Amerika Serikat. Itupun setelah kesusastraan Amerika Serikat semakin
mengembangkan karakteristiknya dan menegaskan perbedaannya dengan kesusastraan
Inggris. Termasuk yang banyak mengembangkan model nasional adalah Kesusastraan
Indonesia khususnya melalui karya-karya para sastrawan angkatan Pujangga Baru.
Setidaknya karya-karya sastra seperti puisi, naskah drama dan novel, menunjukkan
watak nasionalisme para pengarangnya, seperti yang diekspresikan oleh Abdoel
Moeis, salah satu eksponen angkatan Pujangga Baru, dalam novelnya Salah Asuhan.
Novel ini adalah novel pertama yang mengungkapkan gagasan yang bersifat
nasionalistis karena mempertentangkan antara Barat dan Timur secara konseptual dan
tegas yang direpresentasikan melalui dua tokoh utamanya Corri, diasosiasikan ke
Barat dan Rapiah, diasosiakan ke Timur (Faruk: 1995).
3

Sedangkan model black writing lebih banyak dikembangkan oleh para penulis
dan seniman Afrika dengan menekankan isu tentang diskriminasi ras dan etnisitas.
Mereka juga mengembangkan segenap pandangan Afrika yang unik tentang seni
termasuk memunculkan tradisi lisan Afrika sebagai tandingan terhadap kesusastraan
Eropa. Tapi yang paling penting dari sastra model black writing sekaligus penegasan
tentang keunikan estetika Afrika adalah bahwa mereka mengistimewakan fungsi
sosial tulisan melebihi fungsinya sebagai media ekspresi individual. Novelis Kenya
Ngugi wa Thion’o, Chinua Achebe dan Frantz Fanon adalah beberapa tokoh pemikir,
seniman Afrika yang mengembangkan kesusastraan model black writing dalam karya-
karya mereka.
Tentu yang tidak boleh luput dari perhatian kita adalah perdebatan menarik
antara marxisme dan posstrukturalisme. Seperti yang ditegaskan oleh Leela Ghandi
bahwa sejarah intelektual dan akademis ditandai dengan dialektika antara marxisme,
di satu pihak dan posstrukturalisme di pihak lain (Leela Ghandi: op. cit., h. viii).
Memang harus diakui bahwa anti kolonialisme pertama-tama dihembuskan
oleh para kritikus marxis. Tapi kemudian analisis marxisme dinyatakan gagal dalam
membaca dominasi kolonial karena tidak memberikan kritikan yang komprehensif
untuk melawan ideologi dan sejarah kolonial.
Fanon melihat hal serupa. Bahwa kegagalan marxisme mendakwa kebrutalan
kolonial karena melulu memfokuskan pada perjuangan kelas. Padahal, lanjut Fanon,
dalam konteks kolonial, pemahaman yang spesifik tentang ras sangat penting untuk
melihat kompleksitas yang tumpang-tindih antara ras dan kelas (Ania Loomba: 2003).
Di sinilah pentingnya sumbangsih teori-teori posstrukturalisme/posmodernisme.
Setidaknya tokoh-tokoh poskolonial seperti Said dan Spivak banyak meminjam teori-
teori yang dibangun oleh tokoh-tokoh posstrukturalis. Said melalui karyanya,
Orientalism, yang dijadikan titik referensi bagi teori poskolonial banyak berutang budi
terhadap paradigma yang telah dibangun oleh Foucault khususnya yang menyangkut
tentang wacana. Sementara itu, Spivak justru menjadi penerjemah dari karya
monumental Jacques Derrida, Grammatology pada tahun 1977. Proyek kajian
poskolonial pun menemukan daya dorong yang lebih subtansial dalam pemikiran
posstrukturalis.
Teori lain yang banyak memberi pengaruh dalam studi poskolonial adalah
teori feminisme. Wacana feminisme memfokuskan kajiannya pada pengembalian
mereka-mereka yang telah termarjinalkan oleh pihak dominan selama ini, khususnya
perempuan yang selama ini diposisikan sebagai ‘yang lain’. Mereka telah
dimarjinalkan dan secara metaforik ‘dijajah’. Di sinilah posisi wacana feminisme
dalam tradisi poskolonial. Yang jelas, hubungan antara teori poskolonial dan
feminisme bisa kita lihat ketika kedua pendekatan ini sama-sama mempersoalkan
gambaran “perempuan dunia ketiga”. Mereka mendiagnosa bahwa perempuan dunia
ketiga sering direpresentasikan dengan bodoh, miskin, terbelakang, terikat adat, jinak,
berorientasi keluarga, selalu jadi korban. Karena itu kedua jalur pemikiran ini,
poskolonial dan feminisme berusaha untuk memukul balik hirarki jender/budaya/ras.
Mereka menolak oposisi biner terhadap konstruk wewenang patriarki/kolonial.
4

Saat ini, poskolonial digunakan secara luas dalam analisis sejarah, politik,
sosiologi, ekonomi dan berbagai disiplin ilmu lainnya yang bertujuan membongkar
selubung hegemoni imperial lewat praktik diskursif atau kuasa pengetahuan.
B. Orientalisme: Konstruk Barat atas Timur
Tak bisa dipungkiri bahwa Orientalisme yang ditulis oleh Edward W. Said
menjadi kontribusi terbesar dan terpenting bagi studi poskolonial bahkan ia menjadi
titik referensi bagi teori poskolonial. Tapi di sini tidak akan dikemukakan secara detil
tentang Orientalisme-nya Said karena telah dikemukakan secara gamblang pada bab
satu. Di sini hanya akan dikemukakan inti dari pemikiran Said tentang Orientalisme
termasuk pengaruhnya terhadap perkembangan studi poskolonial.
Melalui karya monumentalnya, Orientalisme, Said telah membuka kedok
penyamaran ideologis imperialisme.1 Barat, menurut Said, telah menciptakan Timur
dengan berbagai penemuan dan penciptaan tentang Timur. Barat memperkenalkan
cara mengetahui Timur melalui berbagai konstruksi, representasi dan dikotomi yang
timpang atas Timur. Barat telah mengkonstruksi Timur sebagai sesuatu yang “Lain”
dari Barat dan selanjutnya Timur, menginternalisasi dirinya sebagai “Yang Lain” dari
Barat. Timur direpresentasikan sebagai yang irasional, bejad moral, kekanak-kanakan
dan “menyimpang”. Sementara Barat merepresentasikan dirinya sebagai yang
rasional, berbudi luhur, dewasa, dan “normal”. Di sini Said tampaknya ingin
menegaskan bagaimana kolonialisme Barat melanggengkan dominasinya melalui
afiliasi pengetahuan dan kekuasaan.2 Artinya bahwa pengetahuan tentang Timur tidak
pernah bisa polos atau “obyektif” karena dihasilkan oleh manusia-manusia yang
tentunya tertanam dalam sejarah dan hubungan-hubungan kolonial. 3 Jadi, pengetahuan
para Orientalis yang mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka karena
studi atas Timur merupakan suatu visi politis atas realitas yang strukturnya menunjang
perbedaan antara yang akrab (Eropa, Barat, ‘kita’) dengan yang asing (Timur,
‘mereka’). Dalam satu arti, pandangan ini menciptakan dan kemudian melayani
kedua dunia yang diciptakan dengan cara demikian. 4 Gambaran lain dari hubungan
antara dunia Timur dan Eropa adalah bahwa Eropa selalu berada dalam kedudukan
yang kuat, untuk tidak mengatakan mendominasi.5 Ketika orang menggunakan
kategori-kategori seperti Timur dan Barat, baik sebagai titik tolak maupun titik tujuan
analisis, riset atau kebijakan publik, maka hasilnya adalah terpolarisasinya perbedaan
–yang Timur menjadi semakin Timur, dan yang Barat menjadi semakin Barat- dan
pada akhirnya membatasi persentuhan manusiawi antara berbagai ragam budaya,
tradisi dan masyarakat.6
Orientalisme bisa disebut mengantarkan satu jenis studi baru atas
kolonialisme. Said menyatakan bahwa penggambaran-penggambaran Timur dalam

1
Leela Ghandi, op. cit., h. 67.
2
Edward W. Said, Covering Islam, terj. Apri Danarto (Cet. I; Yogjakarta: Jendela, 2002), h.
lxvii
3
Ania Loomba, op. cit., h. 60.
4
Edward W. Said., Orientalisme, terj. Asep Hikmat, (Cet. IV; Bandung: Pustaka, 2001), h. 56.
5
Ibid., h. 51.
6
Ibid., h. 59.
5

naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah perjalanan dan tulisan-tulisan lain membantu


terciptanya suatu dikotomi antara Eropa dan “pihak-pihak lain”-nya, suatu dikotomi
yang menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa, selain
mempertahankan dan meluaskan hegemoni Eropa atas negeri-negeri lain. Proyek Said
tersebut adalah untuk memperlihatkan bagaimana pengetahuan tentang orang-orang
non Eropa menjadi bagian dari proses mempertahankan kekuasaan atas mereka.7
Tapi Said bukanlah orang yang pertama yang menulis tentang citra Barat atas
non-Barat atau gagasan tentang Orientalisme. Bertahun-tahun sebelumnya, Fanon
telah menyimpulkan dakwaannya terhadap kolonialisme dengan menyatakan bahwa
Eropalah yang “boleh dikata diciptakan oleh dunia ketiga”. 8 Selain Fanon, sederet
nama bisa disebut seperti sarjana Suriah, Abdul Latif Tibawi yang telah
mengemukakan landasan yang sama dalam monografnya, English Speaking
Orientalism (1965). Kemudian filosof dan sejarahwan Tunisia, Hichem Djait yang
mengemukakan argumen dan bukti tentang representasi Eropa mengenai Islam yang
sama pandangan Said. Dan sosiolog Malaysia, Syed Hussain Alatas, dalam karyanya
The Myth of the Lazy Native yang menguraikan bagaimana kekuasaan kolonial
mengonstruksi citra tentang orang-orang Malaysia, Filipina dan Jawa dari abad ke-16
hingga abad ke-20 dan bagaimana kemudian representasi ini membentuk ideologi
kapitalisme kolonial. Dan banyak lagi penulis lain seperti Anwar Abdel Malik,
Abdullah Laroi. Talal Asad, K.M. Panikkar, Ramila Thapar, yang juga menghasilkan
teks-teks hebat mengenai Orientalisme sebelum Orientalisme-nya Said.9
Namun mengapa karya Said lebih punya gaung dibanding karya-karya lainnya.
Selain karena faktor lokasi para penulis tersebut, misalnya Tibawi bekerja dalam
bidang yang relatif tidak jelas dalam studi keislaman, Djait menulis dalam bahasa
Arab dan tinggal di Tunisia, walaupun karyanya telah diterjemahkan pertama kali ke
dalam bahasa Perancis dan kemudian dalam bahasa Inggris, kemudian Alatas
bermukim di Singapura dan mengerjakan sosiologi yang ketinggalan zaman dari
perspektif dunia ketiga,10 juga karena Orientalisme-nya Said merupakan hal baru
dalam rentang dan fokusnya yang luas, dalam inovasinya atas karya Foucault untuk
menghubungkan antara produksi pengetahuan dan perjalanan kekuasaan dan inovatif
juga dalam penggunaannya atas bahan-bahan literer guna membahas proses-proses
historis dan epistemologis.11 Said juga bukan sekadar menelaah hubungan yang tidak
sederajat antara Barat dan Timur, melainkan Said menelaah titik masuk ke dalam
pembentukan dan praktik-praktik kebudayaan Barat, baik politik, ideologi, ekonomi,
serta sosial tertentu.12 Buku itu juga bukan hanyak menolak keobyektifan dan
kepolosan studi-studi Oriental, tetapi juga semua karya ilmiah Barat. Buku tersebut
mendakwah ilmu-ilmu humaniora dan sosial lainnya dalam bentuknya yang
tradisional –antropologi, filologi, sejarah seni, sejarah, studi-studi ekonomi dan
kultural dan studi-studi literer. Dengan berbagai alasan, semua disiplin ini tidak
7
Ania Loomba, op. cit., h. 59; Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan, op. cit., h. 259.
8
Ania Loomba, ibid., h. 61.
9
Ziauddin Sadar dan Borin Van Loon, op. cit., h. 110.
10
Ibid., h. 111.
11
Ania Loomba, loc. cit.
12
Edward. W. Said, Kebudayaan dan Kekuasaan, op. cit., h. 259.
6

memadai untuk menganalisis konstruksi kolonial atas pengetahuan dan budaya


menurut pengertian Said.13
Harus diakui bahwa hanya Said yang memberikan perhatian yang sangat serius
terhadap relasi historis yang tidak seimbang antara Barat dan Timur. Setidaknya Said
menuangkan gagasannya dalam trilogi yang membicarakan pola hubungan tersebut.
Buku pertama, Orientalisme adalah hal yang paling umum tentang Orientalisme.
Sedangkan buku kedua, The Question of Palestina, menyajikan riwayat perjuangan
dari penduduk asli Arab, sebagian besar penduduk muslim Palestina dan gerakan
zionis Israel, yang sumber dan metode pengikatannya dengan realitas “Oriental”
Palestina sebagian besar adalah produk Barat. Dan terakhir, Covering Islam adalah
karya Said yang menelaah tentang representasi Amerika terhadap dunia Islam melalui
media-media yang dimiliki oleh Amerika.14 Sehingga cukup dapat dimaklumi jika
misalnya, Orientalisme, salah satu dari trilogi yang ditulis oleh Said mengundang
banyak polemik, menggebu-gebu dan dituduh sangat emosional, tetapi ia
mengingatkan pada kita bahwa betapa ilmu pengetahuan Orientalis (juga) memiliki
banyak elemen yang tidak ‘rasional’ sehingga keinginan untuk membangkitkan
otoritas kritik ‘rasional’ tidak boleh dilaksanakan tanpa mempertimbangkan politisasi
rasionalitas. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah/rasional menyatakan bahwa
Orientalisme modern dalam dirinya sendiri berarti pentingnya perhatian bahwa
ambiguitas, paradoks dan penyamaran (seperti ditulis dalam Orientalisme) sama
dengan inkoherensi atau kontradiksi diri.15
Proyek Said tersebut mempunyai arti sangat signifikan bagi perkembangan
studi poskolonial. Berbagai teori terinspirasi dari gagasan Orientalisme yang dibangun
oleh Said. Setidaknya proyek tersebut telah mengilhami upaya-upaya meluas untuk
menulis “sejarah dari bawah” atau “menggali” pengalaman-pengalaman masyarakat
terjajah yang sampai saat ini telah “tersembunyi dari sejarah”. 16 Mulai dari studi-studi
subaltern, feminisme, politik kawasan sampai kajian multikultural. 17 Termasuk kajian-
kajian agama dewasa ini setidaknya mesti mempertimbangkan gagasan-gagasan yang
telah dikemukakan oleh Said tentang hegemoni wacana kolonial.

C. Studi-studi Subaltern

13
Ania Loomba, op. cit., h. 63.
14
Edward W. Said, Covering Islam, op. cit., lxvii-lxviii.; lihat juga Leela Ghandi, op. cit., h.
66.
15
Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, terj.
Nuruddin Mhd. Ali, Uzair Fauzan (Cet. I; Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 43.
16
Ania Loomba, op. cit., h. 299.
17
Multikulturalisme adalah gagasan umum yang menggambarkan keberagaman ras yang hidup
dalam harmoni pluralistik. Ia melihat keberagaman sebagai “suatu kondisi eksistensi manusia”. Dalam
kerangka pluralis ini, identitas dipandang sebagai produk kumpulan adat-istiadat, praktik dan makna,
sebuah warisan abadi dan seperangkat ciri pembawaan serta pengalaman bersama. Lihat, Ziauddin
Sadar dan Borin Van Loon, op. cit., h. 123. Tetapi sebagai sebuah pendekatan, multikulturalisme telah
menuai kritik yang tajam. Ia dianggap lebih memperhitungkan ras dibanding isu-isu lain, seperti kelas,
agama atau jender. Salah satu dosen pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Manneke Budiman, pesimis terhadap multikulturalisme. Lebih jauh, lihat Manneke Budiman, Masih
Adakah Masa Depan bagi Multikulturalisme? dalam Jurnal Srinthil No. 4. 2003, h. 58-73.
7

Bahwa perspektif tentang agen perubahan itu mesti lahir dari masyarakat
“subaltern”. Demikian kata Spivak dalam salah satu esainya yang berjudul Subaltern
Studies: Deconstructing Historiography.18 Gayatri Chakravorty Spivak adalah feminis
India dan anggota masyarakat Subaltern Studies, sebuah mazhab sejarah kolonial
India yang berpusat di Delhi University. Spivak adalah seorang kritikus poskolonial
yang paling subversif. Sebagai seorang antisejarahwan agresif, Spivak berdebat
melawan “historiografi hegemonik”.19 Dengan mengambil satu contoh, Spivak
mengkritik kolonial yang selalu menghadirkan sejarah India (atau dunia ketiga pada
umumnya) sebagai sejarah yang tunggal dan merupakan kelanjutan dari pemerintahan
kolonial sebelumnya. Karena itu, perubahan politik yang diraih negara-negara terjajah
bukanlah satu mata rantai dari kondisi kolonial sebelumnya atau ia bukan sebuah
transisi, sebab itu sama saja mengabsahkan proses kolonisasi bagi negara-negara
penjajah. Karenanya, perubahan politik di negara-negara poskolonial, bagi Spivak,
dianggap sebagai sebuah konfrontasi dibanding sebagai proses transisi. 20 Pembacaan
seperti ini tujuannya tidak saja mendekonstruksi sejarah imperial, tetapi juga
menghancurkan penalaran sejarah itu sendiri.21
Subaltern adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Antonio Gramsci untuk
merujuk kepada kelompok-kelompok yang berada di bawah hegemoni kelas yang
berkuasa.22 Istilah ini lalu dipopulerkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak dan
lingkaran komunitas Subaltern Studies dan studi-studi poskolonial di India.
Perhatian utama kelompok yang beranggotakan antara lain Ranajit Guha,
Shahid Amin, Gyanendra Pandey, Sumit Sarkar, Partha Chatterjee dan Gayatri
Chakravorty Spivak ini adalah menggali, menginvestigasi dan menggambarkan
kontribusi yang diberikan rakyat terhadap kondisi mereka sendiri, bebas dari elit dan
membangun kesadaran subaltern.23 Kelompok ini telah menerbitkan lima jilid
subaltern studies: esei-esei yang terkait dengan sejarah, politik, ekonomi, dan
sosiologi dari subalternitas dan juga sikap-tindak, ideologi serta sistem kepercayaan
atau budaya yang menyangkut kondisi itu. Tujuan proyek ini tidak lain adalah untuk
mengubah ketidakseimbangan yang tercipta dalam karya-karya akademik oleh
kecenderungan memfokuskan diri pada elit dalam historiografi Asia Selatan. 24
Gagasan yang dikembangkan oleh kelompok ini sedikit melampaui gagasan Said
tentang konstruk kolonial. Kalau Said memfokuskan pada pemaksaan kekuasaan
kolonial melalui produksi wacana kolonial atau produksi stereotip-streotip kolonial,
sementara para sarjana yang tergabung dalam kelompok studi subaltern bergerak lebih
jauh; bagaimana masyarakat terjajah tidak lagi dirumuskan atau dikategorikan oleh
Barat, tetapi bagaimana mereka sendiri mendefenisikan dirinya. Atau seperti yang

18
Gayatri Chakravorty Spivak, In Other Worlds Essays in Cultural Politics (London and New
York: Routledge, 1988), h. 197.
19
Ziauddin Sadar dan Borin Van Loon, op. cit., h. 116.
20
Gayatri Chakravorty Spivak, loc. cit.
21
Ziauddin Sadar dan Borin Van Loon, op. cit., h. 116.
22
Bill Ashcroft, et al, Key Concepts In Post-Colonial Studies, op. cit., h. 215.
23
Ziauddin Sadar dan Borin Van Loon, op. cit., h. 80.
24
Bill Ashcroft, et al, Key Concepts…, op. cit., h. 216.
8

diakui oleh Spivak bahwa karya0 mereka adalah untuk mengklaim kembali sejarah
dan menawarkan teori kesadaran dan perubahan bagi masyarakat subaltern.25
Penulisan ulang sejarah seperti yang digagas oleh para intelektual India
tersebut adalah merupakan salah satu kunci untuk merumuskan kembali bentuk-
bentuk aksi politik yang relevan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia
ketiga, khususnya bagaimana mencari identitas diri yang tidak terkonstruk oleh Barat.
Dan salah satu proses itu adalah storytelling. Menurut Trinh Minh-Ha, aktifis
perempuan poskolonial asal vietnam mengatakan bahwa fungsi storytelling adalah “to
(re)tell strories is to enter into the constant recreation of the world, of community, of
mankind. Talking therefore brings the impossible within reach. It contributes to
widening the horizon of one’s imagination; to constantly shifting the frontier between
reality and fantasy; and to questioning, through the gifts of the so-called su
pernatural and the unusual, the limit of all that is thought to be ‘ordinary’ and
‘believable’”. (ber (ulang) cerita adalah memasuki wilayah kreasi terus-menerus
tentang dunia, tentang komunitas, tentang kemanusiaan. Berbicara, bercerita, dengan
demikian, membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin untuk dicapai. Ia
membantu memperluas cakrawala imajinasi; secara terus-menerus, menggeser dan
mempertukarkan daerah garis depan yang memisahkan antara realitas dan fantasi; dan
dengan ketidakbiasaannya, mempertanyakan batas-batas segala hal yang dianggap
‘biasa’ dan ‘mudah dipercaya’.26
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang nasibnya sama dengan India pernah
mengalami masa kolonisasi lebih dari tiga abad. Maka seperti yang dilakukan para
intelektual di India, merumuskan ulang identitas keindonesiaan, baik itu identitas
kebangsaan, kultural, ekonomi, politik, agama dan budaya adalah agenda yang sangat
penting. Entah itu namanya storytelling, reclaiming, changing the subject, dsb.
Dalam wacana keagamaan di Indonesia, umat Islam Indonesia telah
mengalami proses dehistorisasi, di mana pemikiran maupun tindakan umat Islam di
Indonesia bukan merupakan satu tindakan atau pemikiran yang sadar tapi sebetulnya
sudah konstruk wacana zaman. Hal itu diungkapkan oleh M. Jadul Maula, salah satu
aktifis Lkis (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta kepada penulis pada 14
Februari 2004 di kantornya Jl Sorowajan Yogyakarta. Berikut petikan wawancaranya:

Sebenarnya kalau saya melihat beberapa gejala-gejala kontemporer dalam pemikiran


keislaman di Indonesia sejak pasca bom WTC 11 september atau pasca bom bali dan
beberapa tahun sebelumnya sedang terjadi proses atau muncul tantangan baru atau
naiknya tingkat kompleksitas kalau kita konsisten pada pengembangan pemikiran Islam
di Indonesia yang historis di Indonesia. Jadi maksud saya, ada gejala, mungkin
pemikiran maupun tindakan umat Islam di Indonesia yang itu bukan merupakan satu
tindakan atau pemikiran yang sadar tapi sebetulnya sudah konstruk wacana zaman. Saya
menangkap ada proses, pertama-tama, proses dehistorisasi pikiran maupun tindakan
umat Islam Indonesia kontemporer. Ada setting kuat dari pemegang otoritas dunia yang
menjadi invesible hand, menjadi tangan-tangan yang tak terlihat, yang itu tanpa disadari
membentuk pikiran maupun prilaku umat Islam di Indonesia, khususnya. Sebetulnya
25
Ziauddin Sadar dan Borin Van Loon, loc. cit.
26
Ahmad Baso, Plesetan Lokalitas Politik Pribumisasi Islam (Cet. I; Jakarta: Desantara, 2002),
h. 93.
9

bagi saya itu tiba-tiba. Jadi yang saya sebut dehistorisasi itu, umat Islam Indonesia
bertindak dan berpikir itu tidak dalam rangka menjawab tantangan historisnya yang
riil berdasarkan dinamika umat Islam Indonesia yang panjang, tapi dibentuk,
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa kontemporer sosial yang memang sangat dasyat
tapi sebetulnya itu tidak menunjukkan produk riil hubungan historis yang memang
mesti dijawab oleh umat Islam. Yang saya katakan sejak awal bahwa problem kita di
Indonesia kita ini ditutupi oleh kategori-kategori. Awal abad 20, umat Islam di
Indonesia tidak bisa memahami dirinya sendiri, tidak bisa memahami tantangan-
tantangan historisnya sendiri. Dikacaukan oleh kategori tradionalis-modernis.
Pertengahan abad 20, tahun 1950-an-1960-an pemahaman bagi diri kita ditambah
dikacaukan lagi oleh kategori santri, priyayi dan abangan. Di akhir abad 20, kita
ditambah lagi. Muncul kategori lagi. Islam teroris-anti teroris. Lalu kita tidak bisa
mengenali sendiri masa lalu keislaman kita. Islam Indonesia itu seperti apa. Apa
agenda-agenda sosialnya, apa agenda-agenda kulturalnya, apa agenda-agenda politiknya
dalam membangun satu komunitas atau satu identitas keindonesiaan. Itu menjadi luput.
Aktifitas yang lain seperti mengatasi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan sosial,
memperjuangkan keadilan sosial itu mesti menjadi agenda yang harus dipikirkan. Itu
sosial keagamaan. Itu jelas sekali ada keprihatinan sosial. Tapi kita tidak bisa konsisten
pada agenda sosial. Saya sebenarnya agak iri dengan intelektual Arab seperti Al-Jabiri,
Hassan Hanafi, Abu Zayd, dsb. Mereka mengembangkan, menciptakan satu produk
pemikiran baru, analisa baru atau metodologi baru dalam membaca tradisinya. Yang
mereka olah, ya tradisi Arab. Jadi mereka membaca warisan-warisan intelektual Arab
abad 1-5 H lalu itu dijadikan pembacaan ulang secara kritis tradisi Islam itu dan lalu
mereka melahirkan karya-karya baru. Bagi umat Islam Indonesia, itu kan tradisi Arab.
Tapi umat Islam Indonesia mestinya mempunyai tradisi sendiri yang tentunya walaupun
tidak terlepas dari warisan Arab yang dalam dunia pesantren itu menjadi kitab kuning.
Tapi kan umat Islam Indonesia juga banyak naskah-naskah tradisional yang lain. Ada
babad-babad (kalau di Sulawesi ada naskah lontara, Pen). Itu tradisi kita juga. Nah,
membaca tradisi ini yang lemah. Ini problem pasca kolonial. Kita harus menemukan,
merekonstruksi, membaca tradisi kita sendiri. Pertama, perlu ada upaya yang keras
intelektual Islam yang konsisten pada jalurnya mencari kira-kira Islam Indonesia itu
seperti apa. Pertama-tama, kerja keras membangun kembali re-historiograpy Islam
Indonesia. Kita mesti mengembangkan sendiri. Jangan terjebak pada kategori-kategori
produk kaum orientalis. Walaupun itu tidak bisa diabaikan. Tapi menghindari
keterjebakan. Lalu mengembangkan satu tradisi keilmuan. Karena ini memang
tantangan berat karena kita sudah terputus lama. Tidak punya data. Itu jelas. Itu
memang lemahnya data-data, manuskrip-manuskrip, peninggalan-peninggalan tertulis
yang tidak ada. Kita sendiri tidak bisa sampai pada rumusan-rumusan mana sebenarnya
tradisi Islam Indonesia. atau tradisinya itu mengerucut pada zaman apa. Ini yang
kesulitan. Para intelektual Timur-Tengah itu sudah menemukan satu wilayah bahwa
ketika mereka bicara al-turast al-islam al-araby, warisan tradisi Islam Arab itu mereka
mengakui bahwa itu karya-karya yang lahir, yang ditulis, yang dibukukan, yang
dipublikasikan, yang didiskusikan, dari abad 1 H-5 H. Jadi ini wilayah yang subur bagi
studi. Abu Zayd, Hassan Hanafi, al-Jabiri, Arkoun menceburkan diri pada zaman itu.
Mengambil manuskrip, membaca semua tradisi itu dengan percaya diri karena mereka
menguasai metodologi-metodologi kontemporer di satu sisi, memang mereka belajar
dari para orientalis, tapi mereka berhasil menemukan pribadinya masing-masing, tidak
terjebak pada orientalisme di satu sisi, di sisi lain mereka juga menguasai tradisi itu. Ke
sumbernya itu. Jadi terbuka. Islam di Indonesia belum ketemu. Tradisinya itu sampai di
10

mana. Kita masih ribut NU, Muhammadiyah, Persis, padahal itu efek kolonialisme. Ini
agenda besar generasi kita untuk mencari wilayah itu di mana kita bisa menemukan satu
eksperimen Islam Indonesia yang betul-betul otentik. Kalau kita tidak bisa kembali ke
tradisi, bagaimana kita ke depan. Kita jadinya ahistoris terus-menerus. Dan kita
terombang-ambing. Kita hanya menjadi korban dari kategori-kategori yang dibikinkan
orang lain pada kita yang tujuannya untuk menguasai kita di satu sisi, dan mengacaukan
proses identifikasi kita di sisi yang lain. Jadi kita belum ketemu titik pijak tradisi Islam
Indonesia itu kayak apa. Ini belum ketemu. Artinya ini masih menjadi wilayah yang
gelap.27

Akhirnya, seperti yang diserukan Spivak dan lingkaran studi subalternnya


bahwa agen perubahan memang mesti lahir dari masyarakat subaltern. Proses
“bertindak” mesti menjadi bagian dari kesadaran subaltern agar tidak tercipta lagi
ketidakseimbangan antara Barat dan Timur yang tercipta dalam karya-karya akademik
Barat. India dengan intelektual-intelektual subalternnya telah melakukan revisi atau
kritik terhadap sejarah India yang dihomogenkan atau ditunggalkan oleh kolonial.
Begitu pun di Afrika, orang-orang Afrika telah aktif dalam membuat sejarah mereka.
28
Mereka tidak perlu lagi menunggu sampai sejarah itu dibuat(kan) oleh kulit putih.
Melalui sejarah-sejarah lisan, tradisi historis yang lebih tua, masyarakat subaltern
Afrika berpartisipasi untuk menemukan sejarah “diri” mereka walaupun tidak
29
sepenuhnya mencerminkan titik pandang rakyat Afrika. Lalu, Indonesia, walaupun
seperti yang dikeluhkan Jadul, masih wilayah yang gelap, data-data lemah, tapi
setidaknya perjuangan untuk mencari “jejak-jejak”, entah itu namanya Indonesia,
Islam Indonesia, kejawaan, kemakassaran, kebugisan, dll adalah agenda yang sangat
penting. Agar kita tidak menjadi manusia ciptaan Eropa-Barat seperti yang pernah
diteriakkan oleh Frantz Fanon. Mari kita renungkan ajakan Fanon untuk menjadi
manusia seutuhnya, “Let us try to create the whole man, whom Europe has been
incapable of bringing to triumphant birth.” [Marilah kita berusaha menciptakan
manusia seutuhnya, manusia yang tidak diciptakan lagi oleh Eropa].30

27
Wawancara dengan M. Jadul Maula di kantor Lkis Yogyakarta, 14 Februari 2004. Pernah
dimuat di Majalah Syir’ah No. 28/Maret 2004, h. 74-77.
28
Ania Loomba, op. cit., h. 307.
29
Ibid., h. 313.
30
Frantz Fanon sebagaimana dikutif oleh Leela Ghandi, op. cit., h. 20.

Anda mungkin juga menyukai