Anda di halaman 1dari 10

Teori Postkolonialisme Dan Perubahan Sosial

Oleh:
Fatniyanti
Nurul Hikmah
Ummy Kalsum

A. PENDAHULUAN
Masyarakat selalu mengalami perubahan dalam kehidupannya. Hal inilah yang
menyebabkan berbagai studi atau kajian mengenai masalah perubahan sosial selalu
mengalami perkembangan dan pembaruan. Perubahan sosial merupakan sebuah isu yang
tidak akan pernah selesai untuk diperdebatkan. Perubahan sosial menyangkut kajian dalam
ilmu sosial yang meliputi tiga dimensi waktu yang berbeda, dulu, sekarang, dan masa depan.
Untuk itulah, masalah sosial yang terkait dengan isu perubahan sosial merupakan masalah
yang sulit untuk diatasi dan diantisipasi.

Perubahan sosial selalu terjadi dalam masyarakat, seperti halnya pada masa kolonial
Belanda yang terjadi di dunia salah satunya adalah di Indonesia. Dimana kolonialisme sendiri
memiliki dampak besar terhadap kehidupan masyarakat. Hal tersebut yang membawa
perubahan-perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat. Kolonialisme telah
menghancurkan sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan masyarakat jajahan. Kemudian
muncullah teori postkolonialisme.

Kemunculan teori postkolonialisme ini kemudian digunakan sebagai strategi


pembacaan yang dapat diharapkan mampu mengungkapkan pemaknaan baru. Dimana teori
merupakan teori yang masih relative baru. Teori ini memberikan perspektif baru mengenai
analisis tentang dominasi negara barat atau kelompok negara-negara Timur. Dimana negara
barat disini posisikan sebagai kelompok superior sedangkan negara timur di posisikan
sebagai kelompok inferior yang tertindas. Untuk itu, di dalam makalah pendek ini akan
dibahas mengenai teori postkolonialisme dan perubahan social.
B. BATASAN MASALAH

Selama ini seperti yang kita ketahi bahwa, di mana Barat selalu menampilkan dirinya
sebagai peradabanyang superior, sementara Timur dianggap sebagai inferior. Peradaban
Barat selalu memposisikan dirinya sebagai ordinat, dan timur tak lebih sebagai Sub-Ordinat.

Dalam prefektif sejarah, munculnya kecurigaan Timur atas peradaban Barat memang
cukup beralasan. Setidaknya ada dua alasan yang menguatkan munculnya kecurigaan
tersebut. Pertama, tampilannya bangsa-bangsa berpengaruh di Barat sebagai negara kolonial
(penjajah) atas negara-negara di Timur. Kedua, kolonialisasi juga memunculkan problem
epistemologi dengan munculnya spiritualitas baru yang cenderung berbeda dengan basis
peradaban Timur, yaitu, berupa dominasi kognitif oleh Barat melalui berbagai penciptaan
citra Timur secara negatif.

Secara epistemologi, kolonialisme dianggap sebagai keinginan “mulia” masyarakat


Barat untuk menciptakan sebuah peradaban yang lebih maju, lebih beradab. Bagi masyarakat
Barat peradaban Timur, awalnya dianggap sebagai masyarakat tak berperadaban, primitif,
dan masih diselimuti oleh mitos, takhayul yang perlu diubah melalui semangat modernisani.

Ironisnya, modernisasi masyarakat Timur oleh Barat kemudian diterjemahakn melalui


suatu ‘mega-proyek’ yang bernama kolonialisme.

C. BACKGROUND THEORY : KONSEP UTAMA TEORI POSTKOLONIALISME

Poskolonialisme adalah teori yang berasumsikan perbedaan antara negara yang


terjajah dan menjajah dalam menyikapi perkembangan kebudayaan. Poskolonial dapat
dipandang pula sebagai ancangan teoritis untuk medenkonstruksi pandangan kaum barat yang
merendahkan timur atau daerah jajahannya. Menurut Thomas Suarez dalam Early Mapping
of Southeast Asia (1998), dikutip oleh Soendjojo (2000:75), sejarah panjang kolonialisme
pada dasarnya simulasi dari sebuah peta. Melalui peta ini, bangsa Eropa mengundang
kolonialisme di dunia Timur.

Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya, Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra


(2008:81—82) mengemukakan lima pokok pengertian postkolonial, yaitu:

(1) Menaruh perhatian untuk menganalisis era kolonial,


(2) Memiliki kaitan erat dengan nasionalisme,
(3) Memperjuangkan narasi kecil, menggalang kekuatan dari bawah, sekaligus belajar dari
masa lampau untuk menuju masa depan,
(4) Membangkitkan kesadaran bahwa penjajahan bukan semata-mata dalam bentuk fisik,
melainkan juga psikis,dan
(5) Bukan semata-mata teori, melainkan kesadaran bahwa banyak pekerjaan besar yang
harus dilakukan, seperti memerangi imperalisme, orientalisme, rasialisme, dan berbagai
bentuk hegemoni lainnya.

Kajian poskolonial muncul ketika Bill Aschroft dkk mencoba memperkenalkan kajian
sastra (postcolonial literature). Paham tersebut, semla mencuatkan pemahaman model
national dan Black writing. Model national memusatkan perhatian pada hubungan antara
negara dan bekas jajahannya. Sedangkan black writing, menekannkann aspek etnisitas.
Model nasional mencari konsep pengaruh lingkungan ke sastra, pengaruh politik ke sastra,
dan lainlain. Studi ini sedikit banyak berbau sosiologi satra.

Model black writing lebih menitik beratkan aspek refleksi etnisitas ke dalam sastra.
Misalnya saja, peneliti mengungkan subkultur (Jawa, Sunda, Bali, Bugis, dan lain-lain) ke
dalam sastra nasional. Sastra nasional dianggap mewakili keinginan penguasa dan kolonialis.

Poskolonialisme hadir dan menciptakan fenomena westernisasi. Kenyataan ini


ditunjukkan dengan masih bercokolnya sikap superioritas Barat atas Timur. Menurut Edward
Said (1979: 262), hal ini terjadi karena Barat mennggulirkan ego melalui gerakan
orientalisme yang di bungkus dalam kedok-kedok ilmiah. Orientalisme merupakan
kategorisasi kajian ilmiah dunia Barat atas Timur. Ini malah menjadikan dunia Timur sebagai
‘ruang’ eksploitatif bagi kepentingan Barat.

Gejala superioritas Barat tertanam secara mendalam dalam kesadaran epistemologi


masyarakat (dunia) Timur, yang tidak disadari kehadirannya. Istilah Barat-Timur pun
sesungguhnya mengandung pesan-pesan yang diciptakan oleh Eropa untuk menyebut dirinya
sebagai Barat dengan rasionalis dan kemajuan peradabannya dan masyarakat lain (di luar
dirinya) dianggap sebagi ‘the others’.

Bagi Eropa, dunia Timur bukan hanya sekat, ia juga merupakan tempat koloni-koloni
Eropa yang terbesar, terkaya, dan tertua. Bangsa Timur juga menjadi peradaban-peradaban
dan bahasa-bahasa, menjadi saingan budaya, dan salah satu imajinasi yang paling dalam dan
paling sering muncul tentang „dunia yang lain‟ (Said; 1979: 2)
Dalam pihak Spivak (Gandhi, 2001:2) studi sastra kolonialisme dapat mengaitkan
dengan masalah subaltern studies. Artinya, studi tentang masyarakat yang tertekan harus
bicara, harus mengambil inisiatif, dan menggelar aksi atas suara mereka yang terbungkam.
Tak sedikit karya sastra di era kolonial yang mengungkapkan masalah subaltern.
Korbankorban penindasan kolonial dan pemberontakan anti kolonial, akan menjadi sasaran
peneliti.Kolonialisme telah menabur ketidakpahaman sebuah tatanan, termasuk sastra.
Kehadiran postkolonial telah memperkaya studi sastra.

Kajian postkolonial, melihat representasi historis, dan rentetan akar peristiwa


“penjajah” dan “terjajah” ke dunia ketiga (postkolonial). Kata “post” disini berartikan
“setelah” kolonial. “Penjajah selalu duduk dalam posisi subyek, arogan, superior, ingin
menang, dan menguasai pada masyarakat setepat (“terjajah”). Akibatnya, “terjajah” harus
tunduk dalam segala hal, bersikap meniru, mengikuti jejak, dan tak berkreasi sama sekali.
Para penulis menyadari bahwa dalam segala “penjajah” selalu ada, tak pernah habis, dan
“terjajah” pun merasa tertindas terus-menerus, sehingga kajian postkolonial sangat penting
artinya.

Dalam pandangan sastra postkolonial (Gandhi, 2001: 189-220) karya sastra selalu
mengungkapkan produk politik. Sastra adalah tanggapan mengenai penindasan dan
penyembuhan. Tekstual adalah endemic terhadap pertempuran colonial dan dalam kajian
postkolonialisme hal semacam ini diperhalus oleh estetika sastra. Sehingga, muncul lah
“mimikri kolonial”, yang selanjutnya menjadi slogan dari postkolonial. Konsensus yang
muncul dalam pandangan sastra kolonial, bahwa penulis antikolonial yang paling radikal
disebut “mimic men” (orang mimikri). Teori sastra postkolonial biasanya jarang menghargai
nasionalisme. Hibriditas penulis antikolonial menunjukkan bahwa tak mungkin menciptakan
formasi-formasi nasional atau regional yang benar-benar bebas dari implikasi sejarah.

Beberapa hal yang harus diteliti oleh peneliti sastra postkolonial, yaitu:

(1) Mengkasi refleksi sejarah kolonial tentang penjajahan dan penaklukan fisik.
(2) Mengkaji refkelsi ideologi, sebagai bentuk penaklukan pemikiran kaum terjajah.
(3) Mengkaji hegemoni kekuasaan penjajah terhadap terjajah.
(4) Mengkaji hegemoni dari aspek gender.

Kunci filosofi kajian postkolonial adalah kenangan. Fungsi kenangan, menurut


Bhabha (Gandhi, 2001:14) ada dua hal. Pertama, sebagai penggalian yang lebih sederhana
atas ingatan-ingatan yang tak mengenakkan, berusaha mengungkap kekerasan kolonisasi
yang melimpah dan masih tersisa. Kedua, untuk menciptakan masa lalu yang bermusuhan ke
arah perdamaian.

Kolonialisme menghasilkan peruabahan dalam struktur kebudayaan dan nalar suatu


masyarakat yang pernah dijajah. Dan berkembangnya suatu pendekatan baru negara kolonial
untuk melanjutkan imperialismenya dalam bentuk yang lain, yakni penguasaan pikiran.

Study poskolonial dimaknai sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi


kolonialisme dan warisan kolonialisme. Pada masa ini era globalisasi harus diakui telah
membawa pengaruh luar biasa terhadap perkembangan teknologi, tak terkecuali bagi industri
komunikasi modern. Dampak-dampak itu adalah subversi kebudayaan dan ideologi Barat.

Dampak nyata globalisasi media adalah sistem kepemilikan global yang menjadi tren
industri media massa modern. Kekuatan modal asing mampu berpenetrasi dalam struktur
media lokal atau nasional yang pada akhirnya berpengaruh pada masalah transmisi
kebudayaan global ke tingkat lebih rendah dalam hal ini nasional dan lokal. Ancaman media
global tidak berhenti pada masalah sosial politik saja tetapi masuk dalam nilai-nilai budaya
masyarakat.

D. PEMBAHASAN

1. Poskolonial : Dikatomi Barat Versus Timur


Studi poskolonial merupakan sebuah studi yang relatif masih baru dalam
perkembangan ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah perperktif “ baru “ dalam
menganalisis dominasi negara barat atau kelompok negara-negara Timur. Negara barat di
posisikan sebagai kelompok superior sedangkan negara timur di posisikan sebagai kelompok
inferior yang tertindas.
Moore dan Gilbert (1997) menjelaskan bahwa teori poskolonial yang lahir pada paruh
kedua abad ke-20 sering disebut sebagai motode dekonstruksi terhadap model berfikir dualis
(biner), yang membedakan antara “ timur” dan “ barat “, meskipun mereka yang mengaku
sebagai ahli dengan perpektif poskolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini.

2. Edward Said dan Orientalisme


Menurut Said, Orientalisme, yang menggambarkan hubungan dua bagian antara timur
dan barat ini merupakan kunci dalam teori poskolonial. Said berpendapat bahwa Barat tidak
akan ada tanpa Timur, dan sebaliknya. Dengan kata lain, dua kelompok tersebut bersifat
komplementer (saling melengkapi).
Istilah orientalisme menurut Said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda.
Pertama, memandang orientalisme sebagai suatu metode atau paradigma berfikir yang
berdasarkan epistemologi dan ontologi yang secara tegas membedakan antara Timur dan
Barat; Kedua, orientalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis untuk
menggambarkan serangkaian lembaga, disiplin, dan kegiatan yang umumnya terdapat pada
universitas Barat yang peduli pada kajian masyarakat dan kebudayaan Timur; Ketiga, melihat
orientalisme sebagai lembaga resmi yang pada hakikatnya peduli pada Timur.
Dengan Orientalism, Said mengembangkan Kajian Poskolonial di institusi “Barat”.
Orientalism merupakan karya representasi yang mampu masuk ke dalam dunia filsafat,
politik, agama, dan literatur. Permasalahan utama yang ingin diangkat oleh Orientalism
adalah bagaimana kolonialisme Eropa menghasilkan sebuah pengetahuan, sebuah
“kebenaran”, dan kepercayaan mengenai identitas sang penjajah (colonizer) dan yang dijajah
(colonized).
Digambarkan oleh Said (2001), orang Amerika tidak akan mempunyai perasaan yang
sama dalam melihat dunia “Timur” dibandingkan orang “Timur” sendiri. Orang-orang
Prancis dan Inggris misalnya, telah mempunyai tradisi lama bagaimana melihat “Timur” yang
Said sebut sebagai orientalisme — suatu cara memahami dunia timur berdasarkan tempatnya
yang khusus dalam pengalaman manusia Eropa. Bagi Eropa, “Timur” merupakan tempat
koloni-koloni Eropa yang terkaya dan tertua. “Timur” telah membantu Eropa mendefinisikan
“Barat” sebagai imaji, idea, kepribadian dan pengalaman yang berlawanan dengan “Timur”.
Terdapat tiga unsur yang membangun istilah orientalisme, yakni: orient, oriental, dan
orientalism. Orient cenderung menunjuk pada sebuah sistem frame representasi oleh
kekuatan politis yang membawa “Timur” ke dalam pembelajaran dan kesadaran “Barat”
(Occident). Orient diciptakan untuk kepentingan “Barat”, dan dibentuk oleh dan dalam
hubungannya dengan “Barat”. Orient sering dimaknai sebagai yang inferior dan asing atau
liyan (Other) bagi “Barat”.
Oriental adalah orang yang di-orient-kan, yang termasuk dan tergabung di dalam
sistem orient tersebut. Ia direpresentasikan sebagai individu yang lemah, dan apabila kuat ia
dianggap berbahaya bagi “Barat”. Bagi oriental berjenis kelamin perempuan digambarkan
sebagai individu yang mudah didominasi dan berpawakan exotic, telanjang dada, dan
“sumber eksploitasi”. Oriental merupakan satu citra yang kemudian digeneralisasikan atau
distereotipekan terhadap setiap individu orient di dalam suatu batas kawasan dan budaya
tertentu. Sedangkan istilah orientalism dimaksudkan sebagai sebuah bentuk tulisan, cara
pandang, pendidikan yang telah diorientalisasikan, dan sebuah bentuk dominasi bias
kepentingan, ideologi, dan perspektif. Orientalism yang laten mengambil bentuk
ketidaksadaran mengenai yang orient.
Di dalam buku Orientalism, “Barat” memiliki stereotipe yang cenderung menghina
oriental. Oriental — Said memberikan contoh orang-orang Arab dan dalam konteks yang
lebih luas bangsa-bangsa “Timur” — ditunjukkan sebagai bangsa yang naif, tidak
mempunyai energi dan inisiatif, dan menyukai konflik. Oriental tidak dapat bejalan di atas
jalan karena kebodohan mereka untuk mengerti kepintaran Eropa. Oriental disebutkan
sebagai kaum pembohong, malas dan tidak dapat dipercaya, dan dalam setiap hal selalu
menentang petunjuk dan keningratan ras Anglo-Saxon.2
Buku Orientalism disusun oleh Said dalam rangka mengkritik oyektifitas “Barat”
dalam melihat “Timur”. Kritik Said tersebut ia tekankan pada karya-karya sastra “Barat”
yang cenderung ditulis untuk memojokkan “Timur” dengan stereotipenya yang bernada
merendahkan. Subyektifitas cakrawala berfikir para penulis “Barat” inilah yang kemudian
membentuk cara melihat bangsa “Barat” terhadap “Timur”. Hal inilah yang kemudian ingin
Said runtuhkan. Selain itu, cara melihat “Barat” terhadap “Timur” yang cenderung
memojokkan tersebut Said lihat mempunyai bahaya lain, yaitu: pembenaran-pembenaran diri
bagi orang-orang “Barat” untuk memperadabkan “Timur”.
Penolakan Said terhadap orientalisme menunjukkan penolakannya terhadap
generalisasi biologis manusia, konstruksi budaya, dan chauvinisme rasial dan agama. Bagi
Said, hal ini adalah sebuah bentuk penolakan kepada keserakahan sebagai faktor utama
motifasi pencapaian intelektual. Tujuan utama Said adalah untuk menghapus garis pemisah
antara “Barat” dan yang liyan atau “Timur”, dan hal ini pulalah yang menjadi semangat
terbentunya Kajian Poskolonial.
Kritik terpenting terhadap pemikiran Said adalah: kemungkinan munculnya sikap
rasis terhadap “Barat” sebagai bentuk tandingan dari pihak “Timur”. Ketakutan ini sangat
wajar karena hal tersebut akan menjadi kontra produktif dengan cita-cita utama Orientalism
Said dan berlawanan dengan tujuan Kajian Poskolonial. Kekhawatiran dari para kritikus
tersebut muncul bilamana Kajian Poskolonial akan menjadi neo-colonialism dan neo-
imperialism. Maka dari itu, diperlukan sikap kehati-hatian dalam menggulirkan wacana
orientalisme.
3. Spivak: Perempuan dan Subaltern
Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variabel janis
kelamin sebagai subjek kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara dengan
antara laki-laki dan perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi biner.
Feminisme memberikan perhatian terhadap bahasa yang berperan dalam membentuk
identitas dan mengonstruksi subjektivitas. Secara khusus, bahasa menjadi alat untuk melawan
budaya patriarki dan kekuasaan imprealis.
Teks teori feminis berkaitan erat dengan teori identitas dalam wacana dominan. Teori
ini menawarkan berbagai strategi perlawanan terhadap kontrol yang menetukan pemaknaan
identitas diri kaum perempuan. Sebenarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah
bukan masalah fisik atau biologis, namun labih berkaitan dengan konstruksi sosial yang
merupakan hasil pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
Spivak memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang
semetinya menjadi kesadaran yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lokal.

4. Fanon: Identitas, Ras, dan Etnisitas


Teori panon yang cukup terkenal adalah mengenai teori identitas. Konsep identitas
memiliki makna yang cukup luas. Castells menjelaskan beberapa hal penting untuk dapat
memahami megenai konsep identitas. Menurut Castells, identitas adalah sumber pemaknaan
dan pengalaman orang. Identitas merupakan proses pembentukan makna yang berdasar pada
sebuah atribut budaya tertentu, atau seperangkat atribut kultural, yang diprioritaskan diatas
sumber-sumber pemaknaan yang lain. Identitas erat kaitannya dengan proses internalisasi
nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan, ide-ide. Pada hakikatnya identitas dibedakan menjadi
dua, yaitu identitas individu dan identitas kelompok (kolektif).
Fanon secara implisit juga menjelaskan bahwa pendefinisian ras dab etnisitas selalu
merupakan hasil proses sejarah dan konstruksi politik yang dominan di samping
permasalahan kebudayaan. Melalui sejarah kolonisasi, sang penjajah melakukan konstruksi
secara subjektif terhadap identitas kaum kulit hitam yang dijajah dan dirinya sendiri.

5. Bhaba: Mimikri dan Hibriditas


Konsep utama dalam teori poskolonial Bhaba adalah mimikri dan hibriditas. Mimikri
memiliki dua pengertian. Pertama, dalam arti bahasa, mimikri merupakan sebuah keunikan
yang dimiliki binatang tertentu, seperti bunglon dan sejenis serangga seperti kupu-kupu, yang
memiliki kemampuan untuk menyerupai warna atau unsur tertentu ditempat binatang tersebut
tinggal. Kedua, peniruan atau mimikri yang dipakai Bhaba cenderung pada mimikri dalam
arti bahasa, yakni kemampuan seseorang untuk meyerupai orang lain yang lebih kuat atau
mempunyai kemampuan lebih besar dari dirinya.
Terminologi negara dunia ketiga dan negara maju juga menjadi dua kunci dalam
gagasan Bhaba. Bhaba menemukan adanya proses “mimikri” digunakan untuk
menggambarkan proses peniruan atau peminjaman berbgai elemen kebudayaan. Fenomena
mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan sang terjajah kepeda yang di jajah, tetapi
peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi
tersebut. Dengan demikian, mimikri dapat dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi
penjajah.
Istilah hibriditas mengacu pada proses ketika penulis dan pemikir pribumi
menyingkapnya hakikat wacana pascakolonial yang bersifat beraneka ragam dan kontigen,
namun berlindung di balik klaim-klaim logika tunggal dan absolut. Hibriditas atau hibridasi
adalah bentuk lain dari mimikri; yaitu sebuah teks hibrid yang berbeda dari teks “resmi”
wacana kolonial yang merupakan produk tindakan meniru (mimikri).
Keragaman budaya adalah sebuah objek epitemologi budaya sebagai objek
pengetahuan epmiris sedangkan, perbedaan budaya merupakan pengacuan budaya yang
“berpengetahuan luas”, berwibawa, mampu membangun sistem identitas budaya. Keragaman
budaya bahkan dapat muncul sebagai sistem artikulasi dan pertukaran tanda-tanda budaya
tertentu. (Bhabha, 1995).

6. Studi Poskolonial dan Perubahan Sosial


Said menjelaskan bahwa dampak kolonisasi telah menyebabkan negara terjajah seolah
tidak berdaya menghadapi dominasi Barat dalam berbagai bentuk.
Spivak menguraikan mengenai penderitaan Timur dan kelompok-kelompok subaltern
lainnya yang terjajah dan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Kelompok
minoritas, kaum perempuan yang dikuasai laki-laki, semuanya mengalami penderitaan.
Fanon, tertarik pada untuk mendalami masalah kolonisasi yang dialami kaum kulit
hitam oleh kulit putih. Akibat penjajahan ini, kelompok kulit hitam harus kehilangan
identitasnya sebagai suatu bangsa. Hak-hak mereka seolah-olah dibatasi oleh dominasi
kelompok kulit putih.
Bhabha menyoroti masalah identifikasi kolmpok terjajah dengan kelompok penjajah.
Akibat kolonisasi, bangsa terjajah seolah mengalami proses mimikri, mereka meniru budaya-
budaya yang telah dibawa dan ditularkan bangsa penjajah, akibatnya budaya mereka
mengalami hibridasi, budaya asli akan hilang secara perlahan akibat percampuran budaya
mereka dengan budaya penjajah.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Pengalaman dengan kolonialisme menyisakan banyak hal yang berubah dari


kebudayaan, tradisi, nalar dan sejarah masyarakat yang dikoloni. Karena itu, lepas dari
kolonialisme secara fisik bukanlah berarti bangsa Indonesia merdeka seratus persen, tetapi
malah harus berusaha untuk keluar dari belenggu kolonialitas, atau minimal sisa-sisa dari
kolonialisme. Khususnya di negara Indonesia. Indonesia mengalami masa kolonial yang amat
panjang karena terjajah oleh piahak barat dengan adanya paham ini masyarakat di Indonesia
berani melawan untuk menemukan identitas bangsa dan memperoleh kemerdekaan serta bisa
mengimplikasi kebudayaan yang tidak tertinggal.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan


Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Martono, nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial : Perspektif Klasik, Modern, Posmodern
dan Poskolonial. Jakarta: Rajawali Pers.

Santoso, Listiyono, dkk. 2003. Epistemologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sasatra, dan
Budaya.Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber lain:

http://baharbtp.blogspot.co.id/2015/06/makalah-teori-poskolonial-mengenai.html

http://wahayu-rohmania-fib13.web.unair.ac.id/artikel_detail-105405-
Pengantar%20FilsafatPoskolonialisme.html

Anda mungkin juga menyukai