Anda di halaman 1dari 10

Iman, Sastrawan, dan Karya Sastra

; In Memoriam Kuntowijoyo

Oleh M. Irfan Hidayatullah, M.Hum

1. Mencari Identitas Alternatif


Sebenarnya yang dilakukan oleh Kuntowijoyo dalam karya-karya tergagasnya adalah
sebuah pencarian identitas alternatif. Identitas yang bisa menjadi penengah dari berbagai
kebuntuan. Dari titik inilah, Kuntowijoyo melakukan penelitian demi penelitian, mengeksplorasi
pemikiran demi pemikiran, dan mencermati ideologi demi ideologi. Setelah itu, Kuntowijoyo
melakukan pencarian untuk mengalternatifi semua yang ia rasakan kurang, janggal, dan tidak
menyelesaikan aspek pragmatik kehidupan.
Peneliltian yang ia lakukan, sejak skripsi kesarjanaannya sangat menyuratkan gerak
pencarian itu. Pada skripsinya, Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa, yang ia tulis pada
tahun 1969 dan diterbitkan oleh penerbit Ombak setelah ia wafat (2005), Kuntowijoyo berusaha
memahami perkembangan pemikiran dan kebudayaan Eropa. Pada buku tersebut Kuntowijoyo
berusaha mencari benang merah perubahan peradaban Barat dengan meneliti satu kelompok
yang disinyalir berperan pada revolusi Inggris dan Prancis, yaitu kaum Borjuis. Dari hasil
penelitiannya tersebut Kuntowijoyo seolah ingin membuktikan sebuah pendapat Eric R. Wolf
dalam buku Peasant Wars of the Twentieth Century yang diungkap kembali oleh Bertold Brecht,
yaitu “It is not Communism which is radical, it is capitalism”. Dalam tangkapan Kuntowijoyo
ungkapan tersebut menjadi berbunyi, “Bukanlah proletariat yang radikal, tapi borjuasi” (2005:
viii).
Begitulah Kuntowijoyo menelusuri mentifak zaman demi zaman pada saat kebangkitan
Eropa terjadi dan (kemudian) menjadi mitos bagi negara ketiga lewat proyek modernisasinya. Di
akhir tulisannya ia menemukan beberapa simpulan yang semuanya bercitra negatif tentang
borjuasi (2005: 227-233), yaitu:
- Borjuasi membebaskan kehidupan ekonomi dari ikatan moral agama warisan Zaman
Pertengahan, usury mulai dikenal. Usury ini adalah akar pertama kapitalisme, maka peranan
uang semakin penting;
- Borjuasi bertanggung jawab terhadap pembentukan negara-negara nasional di Eropa baik
yang menjadi absolute despotism atau crown republic seperti Inggris;
- Maka, kapitalisme membangun pula sebuah liberal culture yang berbeda dengan spiritual
despotism Zaman Pertengahan, ia memuja kebebasan;
- Sekularisme dapat menjadi materialisme yang ekstrem dalam atheisme dan bahkan
antiagama. Kesusilaan yang menjadi sekuler membuat orang lebih suka menjadi honnete
home daripada menjadi kristen;
- Hukum alam mereka pakai karena mereka telah menempuh jalan di luar agama;
- Liberalisme sangat dekat dengan individualisme karena realisasi diri baru dapat dicapai
dalam suasana kebebasan sebagaimana dituntut oleh liberalisme;
- Namun, hasil perbuatan borjuasi tidak selamanya membawa kebaikan. Kemajuan yang
mereka capai menimbulkan cultural lag, menyebabkan berbagai kepincangan dan krisis.
- Maka masih ada pertanyaan, apakah borjuasi masih mempunyai peranan ataukah ia harus
menghentikan peran itu dan menyerahkan peran itu pada kelas lain, misalnya proletariat?
Pada simpulan-simpulan tersebut ditemukan dua pijakan kritik yang dilakukan
Kuntowijoyo, yaitu keberadaan agama sebagai spirit moralitas zaman yang tergeser dan
sosialisme yang kemudian bermuara pada gerakan proletariat. Pada pijakan pertama
Kuntowijoyo seolah ingin berkata tentang betapa agama sangatlah diperlukan untuk membangun
moral manusia sedangkan kaum borjuasi jelas-jelas mengeliminasinya atau memosisikannya di
bawah kepentingan pragmatik ekonomi. Sedangkan proletariat dimunculkan sebagai pembanding
posisi ideologis saat perkembangan borjuasi mengalami puncaknya sehingga pada zaman
tersebut sosialime menjadi alternatif. Namun, bila melihat wacana-wacana yang dikembangkan
Kuntowijoyo dalam karya-karya selanjutnya titik pijak agama lah yang menjadi spirit, sedangkan
proletariat termasuk ideologi yang ia kritisi.
Pengkritisan terhadap proletariat atau kemudian lebih luasnya ideologi marxisme dan
sosialisme terdapat dalam salah satu tulisan pada bukunya yang berjudul Radikalisasi Petani
(1993). Pada buku itu Kuntowijoyo menelaah tentang usaha gagal PKI dalam memanfaatkan
petani untuk kepentingan poltik mereka. Kuntowijoyo menyimpulkan ada beberapa penyebab
kegagalan:
- Komunis memang tidak menyerang agama sebagai agama, namun para petani saleh itu tetap
tak dapat dipengaruhi oleh propaganda mereka….
- Nilai-nilai moral juga menghambat rasionalisasi kemiskinan menjadi konsep tentang
pemerasan. Iri hati dianggap sebagai sifat-sifat yang buruk, dan gambaran tentang kebaikan
yang terbatas (the image of limited goods) sebagaimana digambarkan oleh ahli antropologi
rupanya dikalahkan oleh kesadaran moral.
- Untuk mengubah orang desa dari manusia sosial ke manusia ekonomi, atau dari sistem status
ke sistem kelas, memerlukan waktu lebih panjang dari sekadar propaganda partai.
- Dsb.
Selain pengkritisan terhadap kedua ideologi besar dunia tersebut, Kuntowijoyo pun
melanjutkan pencarian ideologi alternatifnya pada budaya asli Indonesia, dalam hal ini kultur
Jawa lah yang ia telaah. Dalam karyanya Raja, Priyayi, dan Kawula (2004), Kuntowijoyo
membedah sisi baik dan buruk hubungan di antara ketiga strata sosial tersebut di Surakarta tahun
1900-1915. Pada buku itu disimpulkan bahwa kepriyayian saat itu memiliki kecenderungan
patron-client politics, political mystcism, dan budaya afirmatif, mentalitas priyayi adalah
hedonisme, yaitu tayub, seks, dan minuman keras. Bisa diduga bahwa budaya mereka tidak lain
adalah affirmative culture. (hal.110).
Sebenarnya kultur Jawa yang ditelaah Kuntowijoyo berhubungan juga dengan pengaruh
kolonialisme saat itu. Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa kegagalan Pakubuwono X dalam
menjalin hubungan dengan berbagai strata sosial adalah disebabkan oleh tidak dikedepankannya
politik substantif dengan menekankan ekonomi dan kesejahteraan. PB X saat itu malah
mengembangkan politik simbolis yang hanya memperkuat kekuasaan semata (hal 111).
Dari berbagai karya penelitiannya tersebut kemudian Kuntowijoyo mengukuhkan sebuah
identitas alternatif , yaitu spiritualitas dan atau religiusitas lewat sebuah transformasi yang ia
sebut sebagai transformasi religiositas(1999: 19).

2. Sebuah Upaya Budaya Tanding


Setelah memahami akar pemikiran Kuntowijoyo dalam mencari identitas alternatif, harus
dilanjutkan pada pemahaman tentang upaya Kuntowijoyo dalam menjadikan religiusitas sebagai
budaya tanding. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai gagasannya yang kemudian terkumpul dalam
beberapa buku, yaitu: Dinamika Sejarah Ummat Islam Indonesia (1985), Budaya dan
Masyarakat (Tiara Wacana, 1987), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Mizan,1991),
Identitas Politik Umat Islam (Mizan, 1997), Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya,
dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Mizan, 2001), Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas (Mizan, 2002), dan Islam Sebagai Ilmu (Mizan, 2004).
Pada beberapa buku tersebut dapat disimpulkan beberapa gagasan besar yang sebenarnya
memiliki alur tertentu, yaitu:
1. Becermin dari dinamika kesejarahan umat Islam. Melilhat naik-turun dan kejayaan kegagalan
perjuangan identitas Umat Islam;
2. Mengukuhkan transformasi religiusitas sebagai jalan menuju perubahan kebudayaan
masyarakat;
3. Mencari dan memahami identitas politik keumatan di tengah politik bangsa;
4. Mencari paradigma objektif sebagai bingkai gagasan pemikiran keislaman;
5. Melakukan demitologisasi terhadap budaya masyarakat yang akan menghambat
perkembangan berpikkir masyarakat;
6. Mengembangkan integralisme sebagai budaya tanding sekularisme;
7. Mengukuhkan ilmu sosial profetik sebagai jalan keluar dari kebuntuan dialektika umat Islam
dengan realitas;
8. Mengukuhkan konsep Islam sebagai ilmu sebagai aksi objektivikasi praktik keislaman di
masyarakat.
9. Menafsirkan dan menggagas pemikiran budaya dalam paradigma Islam;
10. Mengembangkan ancangan Ilmu Sosial Profetik, Etika Profetik, ke Sastra Profetik.

3. Mengukuhkan Jalan Tengah Kesusastraan


Melalui pemahaman atas berbagai realitas ideologi yang memengaruhi realitas kehidupan
manusia, Kuntowijoyo membagi kecenderungan kesastraan dalam tiga kategori pendekatan.
Ketiganya adalah pengembangan dari ilmu sisial profetik, yaitu sebuah tafsiran atas Ali
Imran:110, yaitu Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi. Menurutnya bila sastra hanya
mengembangkan sisi Humanisasi, sastra akan berkecenderungan kapitalistik yang pada dasarnya
selalu melandaskan epistemologi kesastraan pada landasan humanisme. Sedangkan bila sastra
dikembangkan hanya pada faktor liberasi, sastra akan sangat sosialistik atau bahkan marxistis.
Karena itu, digagaslah faktor terakhir yang sekaligus menggenapkan keprofetikkan sastra, yaitu
transendensi.
Menurut Kuntowijoyo ketiga unsur tersebut haruslah ada bila ingin menggagas sastra
profetik karena begitulah hakikat profetisme. Sifat kenabian tidaklah berada pada sisi amar
makruf semata yang menurut tafsir Kuntowijoyo berada pada ranah memanusiakan orang yang
bisa juga ditafsirkan sebagai mengembangkan aspek rasional semata. Begitu juga sifat kenabian
bukanlah hanya berada pada ranah nahyi munkar atau liberasi saja yang menurut tafsir
Kuntowijoyo berada pada ranah membebaskan manusia dari penindasan yang bisa ditafsirkan
sebagai hanya mengembangkan aspek kepedulian semata atau pembelaan terhadap kaum lemah
semata. Begitu juga, sifat kenabian tidak hanya berada pada sisi tu’minuuna billah atau menurut
tafsir Kuntowijoyo berada pada ranah membawa manusia beriman kepada Tuhan yang dapat
berarti mementingkan asketisme, spiritualisme semata-mata. Akan tetapi, sifat kenabian meliputi
ketiganya secara konperhensif.
Abdul Hadi W.M. berpendapat tentang profetisme sastra sebagai salah satu segi dari
sastra Sufi:
Segi penting yang kerap ditekankan oleh para ahli dan pengamat yang tajam dalam
membicarakan relevansi sastra keagamaan yang mendalam, termasuk sastra Sufi, ialah segi
profetiknya. Segi ini, yang akan saya sebut sebagai ‘semangat profetik’ …. Ia merupakan segi
yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transendental di dalam penciptaan karya
sastra. (2004:1).
Akan tetapi, bila kita lihat dari karya-karya sastra Kuntowijoyo sebagai tafsir praktis dari
semua gagasan kesastraannya yang dimaksud profetisme adalah lebih dari sekadar segi dari
sufisme. Sastra Kuntowijoyo adalah jalan tengah antara kesufian yang menitikberatkan
kesakralan atau transendensi dan sastra pada umumnya yang menekankan sisi keprofanan atau
humanisasi dan liberasi. Untuk itu, akan dibahas sepintas tentang posisi kesastraan Kuntowijoyo.
Mungkin lebih tepat memakai istilah religiositas untuk meruanglingkupi sufisme dan profetisme.

4. Tak Sekadar Bicara


Karya sastra Kuntowijiyo adalah bukti sah dari konsepsi yang digagas dalam berbagai
esai dan bukunya. Berikut ini kecenderungan umum karya cerita rekaannya.

Judul Titik Religiositas Nilai Keprofetikan

Pasar Religiusitas yang dibangun -Lebih dominan Liberasi


oleh filsafat kejawaan dan dan Humanisasi daripada
nilai-nilai tradisional Transendensi. Namun,
dengan kapitalisme. Nilai- transendensi tetap ada.
nilai religius yang
dipaparkan lewat konflik
kemasyarakatan yang
mengangkat titik
hablumminannas sebagai
aplikasi ibadah ghair
mahdah.
Khotbah di Atas Bukit Religiositas yang bersifat Lebih dominan
sufistik lewat pemikiran transendensi daripada
mendalam tentang humanisasi dan liberasi,
kehidupan dengan tapi dua hal itu tetap
mengetengahkan konsep tersirat pada latar sosial
Uzlah (mengasingkan tokoh.
diri). Lebih ke arah
paradoks kehidupan dan
realitas kefanaan
Impian Amerika Religiositas muncul dari Adanya keseimbangan di
simbol-simbol ke-Islaman antara berbagai unsur
yang membangun sebuah profetik. Novel ini utuh
ketegasan identitas dan mengusung profetisme.
muncul dari tema-tema
keseharian yang
berhubungan dengan
pergulatan budaya atau
gegar budaya
Dilarang Mencintai Religiositas muncul pada Sda.
Bunga-Bunga usaha penyeimbangan
antara transendensi dengan
hubungan antar manusia
dan penyikapan terhadap
dunia.
Hampir Sebuah Subversi Religiositas tampak pada Lebih menekankan
usaha mendemistifikasi humanisasi dan
berbagai mitos masyarakat transendensi daripada
baik mitos-mitos liberasi.
tradisional maupun
modern.
Mantra Penjinak Ular Religiositas pada upaya Lebih menekankan pada
demitologisasi dan liberasi dan transendensi.
pembebasan diri dari
cengkraman kekuasaan
politis manusia.
Wasripin dan Satinah Religiositas dalam upaya Adanya keseimbangan
demitologisasi dengan nilai profetik.
mitos-mitos baru, tapi
dalam kerangka ruang
masyarakat yang realis
(latar politik).
Jl. Asmaradana Religiusitas yang lebih Lebih menekankan
menekankan pada sisi humanisasi daripada
kemanusiaan yang liberasi dan transendensi
bergelut dengan ketentuan
Tuhan dan demitologisasi
kelas intelektual
kemasyarakatan.

Nilai Profetik Puisi-Puisi Kuntowijoyo

Judul Titik Religiositas Nilai Profetik


Suluk Awang-Uwung Religiositas berdasarkan Lebih menekankan
intuisi dalam proses transendensi daripada
pencarian spiritual humanisasi dan liberasi.
Isyarat Religiositas intuitif Humanisasi dan
ditambah dengan transendensi dominan.
pengenalan konsep
keislaman lewat tafsiran
sebuah ayat tanpa simbol-
simbol Islam
Makrifat Daun Daun Religiositas intuitif Nilai profetiknya
Makrifat ditambah dengan konsep- seimbang.
konsep Islam simbolik dan
setting realis.

5. Iman, Sastrawan, dan Karya Sastra


Simpulan dari semua pembacaan gagasan Kuntowijoyo adalah ungkapan Kutowijoyo
sendiri, yaitu: “Sekarang ini Sastra Transendental sangat diperlukan karena kemanusiaan hanya
mungkin diselamatkan oleh iman .“(2004: 38). Pada ungkapan ini ada sebuah gagasan tentang
hubungan antara karya sastra, sastrawan, dan keimanan. Gagasan yang menyuratkan tentang
sebuah budaya tanding terhadap budaya-budaya dekaden, termasuk dalam karya sastra, yang
lebih mementingkan estetika semata dan kepuasan pengarang atau senimannya. Ini adalah salah
satu gagasan integralisme untuk menggeser sekularisme yang muncul seiring modernitas
kapitalistik maupun sosialistik.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S..1993. (Cet.II). Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam. Bandung:
Mizan.

Badudu, J.S. dan Muhammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan.

Banita, Baban. 1997. Kajian Semiotik terhadap Cerkan Pasar Karya Kuntowijoyo. Skripsi,
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Wachid, Abdul. 2005. Sastra Pencerahan. Yogyakarta: Saka.

Budiman, Hikmat. 1997. Pembunuhan yang Selalu Gagal; Modernitas dan Krisis Rasionalitas
Menurut Daniel Bell. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Burhani, Ahmad Najib.2002. Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif.
Jakarta: Penerbit Hikmah.

Calne, Donald B. 2005. (Cet. III). Batas Nalar; Rasionalitas dan Prilaku Manusia. Jakarta:
KPG.

Fahmi, M.2005. Islam Transendental: Menelusuri Jejak-Jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo.


Yogyakarta: Pilar Media.

Hardiman, Fransisco Budi. 2004. Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan


Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.

---------------. 2003. Melampai Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.

Hidayatullah, M. Irfan. 1998. Citraan Alam sebagai Pendekatan Diri Makhluk Kepada Khalik
dalam Kumpulan Sajak Makrifat Daun Daun Makrifat Karya Kuntowijoyo. Skripsi,
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

H.T., Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai
Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kratz, Ulrich (peny.).2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG.

Kleden, Ignas. 1988. (Cet. II) Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Kuntowijoyo. 1976. Isyarat. Jakarta: Pustaka Jaya.

----------------. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.

----------------. 2003. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. (Cet.IV). Jakarta: Pustaka Firdaus.

----------------. 1994. Radikalisasi Petani. (Cet. II). Yogyakarta: Bentang.

----------------. 1995. Makrifat Daun Daun Makrifat. Jakarta: Gema Insani Press.

----------------. 1998. Impian Amerika. Yogyakarta:Bentang Budaya.

----------------. 1999. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. (Cet. IX). Bandung:Mizan.

---------------. 2001. Muslim Tanpa Mesjid. Bandung: Mizan.

---------------. 2001. Topeng Kayu. Yogyakarta: Bentang.

---------------. 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan.

---------------. 2002. Pasar. (Cet. II). Yogyakarta: Bentang.

---------------. 2003. Metodologi Sejarah. (Edisi II). Yogyakarta: Tiara Wacana.

---------------.2003. Khotbah di Atas Bukit. (Cet. V). Yogyakarta: Bentang.

---------------. 2003. Wasripin dan Satinah. Jakarta: Kompas.

---------------. 2004. Islam sebagai Ilmu. Bandung: Mizan.

---------------. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Ombak.

---------------. 2005. Peran Borjuasi dalam Transformasi Eropa. Yogyakarta: Ombak.—


---------------. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. (Cet. V). Bandung: Mizan.

---------------, dkk. 2005. Jl. “Asmaradana”. Jakarta: Kompas.

Kurzweill, Edith. 2004. Jaring Kuasa Strukturalisme. Yogyakarta: Kreasi wacana.

Lash, Scott. 2004. Sosiologi Post Modernisme. Yogyakarta: Kanisius.

Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa; Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia
Abad ke-20. Bandung: Mizan.

Leaman, Oliver. 2005. Estetika Islam; Menafsirkan Seni dan Keindahan. Bandung: Mizan.
Luxemberg, Jan Van, dkk. 1992. (Cet. IV), Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Lyotard, Jean-Francois. 1984. Krisis dan Masa Depan Pengetahuan Posmodernisme. Bandung:
Teraju.

Mohamad, Goenawan. 2002. Eksotopi: tentang Kekuasaan, Tubuh, dan Identitas. Jakarta:
Grafiti.

Ninok, Leksono. (Ed.) 2000. Indonesia Abad XXI di Tengah Kepungan Perubahan Global.
Jakarta: Kompas.

Rand, Ayn. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Yogyakarta: Bentang.

Risdian, Dian. 2004. Hedonisme dan Mitos yang Melatarbelakanginya dalam Antologi Cerpen
Hampir Sebuah Subversi Karya Kuntowijoyo: Dilihat dari Sudut Pandang Islam. Skripsi,
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Salad, Hamdy.2000. Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Yogyakarta: Semesta.

Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemahan Rachmat Djoko
Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 2003. (Cet. III). Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. (Cet. III). Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

W.M, Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber. Jakarta: Pustaka Firdaus.

---------------. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Mahatari.

Anda mungkin juga menyukai