JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
NOVEMBER 2017
SOSIALIS-KOMUNISME DALAM NEGARA PANCASILA,
ANTARA ROMANTISME MASA LALU DAN MUSUH ABADI
DALAM KACAMATA SEJARAH ALTERNATIF
Arief Hidayatullah
(Universitas Negeri Malang, Indonesia)
Pancasila lahir hampir satu abad setelah lahirnya komunis. Pancasila lahir
ketika komunisme berada di puncak kejayaan dan menuju terjadinya perang
ideologi dengan liberalisme. Sejarah lahirnya Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia merdeka dimulai pada 7 September 1944 ketika perdana menteri
kekaisaran Jepang waktu itu Koiso Kuniaki memberikan janji kemerdekaan kepada
Indonesia yang tak lain karena terdesaknya kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik
yang merupakan bagian dari Perang Dunia II dimana Jepang sebagai kekuatan fasis
di Asia mulai terdesak oleh pasukan sekutu. Menjelang kekalahan Tentara
Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang di Indonesia
berupaya menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Junbi
Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPKI, yang
setelah itu menjadi BPUPKI, dengan tambahan "Indonesia") dengan mengeluarkan
Maklumat Gunseikan pada 25 April 1945. Tugas badan ini adalah menyelidiki dan
mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah
Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia. Kemudian
BPUPKI bersidang pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Setelah sebagian hari tak
memperoleh titik terang, pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno memperoleh giliran
untuk mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia merdeka, yang
dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tak dipersiapkan secara tertulis terlebih
dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap partisipan Dokuritsu Junbi
Cosakai. Selanjutnya Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk Panitia Kecil untuk
merumuskan serta menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman terhadap
pidato Bung Karno tersebut. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar
Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, serta Mohammad Yamin)
yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara
berdasarkan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, serta menjadikan dokumen
tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah
melewati sistem persidangan serta lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil
penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam
Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan serta dinyatakan sah
sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI.
Dari paparan di atas mengenai bagaimana kedua ideologi besar ini lahir,
dapat terlihat bahwa kedua ideologi ini lahir di situasi yang hampir mirip walaupun
terpaut hampir satu abad. Keduanya bersumber dari semangat revolusi kaum yang
tertindas dan bertujuan melawan penindasan yang dilakukan baik oleh kaum borjuis
maupun penjajah di tanah jajahan. Meski demikian, komunisme lahir dari semangat
revolusi ekstrem dari kaum pekerja yang menginginkan kehancuran sistem
kapitalisme dan menyingkirkan kaum borjuis dengan menekankan pada aksi massa.
Hal ini dikembangkan oleh kaum Marxis radikal yang menyebutkan bahwa
kapitalisme wataknya anarkis dan penuh persaingan. Sedangkan Pancasila
bersumber dari semangat meraih kemerdekaan bangsa Indonesia yang berlandaskan
dari nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri yang juga menentang segala bentuk
penjajahan baik kolonialisme maupun imperialisme dalam model apapun.
Karena komunis lebih dulu muncul daripada Pancasila, maka tak bisa
dipungkiri bahwa pengaruh komunisme juga ada dalam sejarah perjuangan revolusi
Indonesia utamanya pra-Pancasila. Dalam sejarah gerakan radikal di Hindia
Belanda waktu itu, kemunculan Partai Komunis Indonesia atau PKI menandai fase
baru dalam perlawanan menentang negara kolonial secara modern. Berbeda dengan
beberapa organisasi yang bersifat moderat, PKI menjadikan pergerakan di Hindia
Belanda menjadi medan pertarungan terbuka antara penguasa dan yang dikuasai,
antara rakyat jajahan versus kekuasaan kolonial (Wilson, 2015). Secara ideologis
PKI bertarung dengan pemerintah kolonial melalui produksi bacaan-bacaan politik.
Salah satu daya tarik PKI waktu itu sebenarnya bukan karena pesan anti
imperialisme dan kolonialisme melainkan karena keberhasilan propaganda partai
bahwa dengan melibatkan diri ke dalam partai dan berpikir dengan cara baru,
seseorang dapat memperoleh kekuatan tetapi tidak menampik pula peran PKI dalam
perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. Pada tingkat yang paling
bawah, rakyat tertarik pada gerakan ini karena makna-makna lokal yang terkandung
dalam ungkapan ekonomis, kultural, dan sosial walaupun terkadang praktiknya
sangat berbeda dari komunisme yang sekarang ini dikenal, contohnya dengan
munculnya tokoh karismatik seperti Haji Misbach yang menggabungkan antara
nasionalisme, Islam, dan komunisme sebagai suatu ikatan yang tak terbatas yang
nantinya di tahun 1960-an juga diadaptasi oleh Soekarno menjadi NASAKOM
yang artinya unsur elemen dalam Pancasila yang lahir beberapa puluh tahun
setelahnya sebenarnya sudah diterapkan pada saat itu yaitu semangat nasionalisme,
dan semangat ketuhanan. Memadukan antara nasionalisme, komunisme, dan agama
memang terdengar seperti hal yang konyol karena banyak yang menganggap ketiga
jenis pemikiran tersebut tidak bisa di satukan dan apabila di satukan maka akan
muncul pertentangan satu sama lain sehingga hasilnya akan sia-sia. Namun patut
digarisbawahi bahwa ada kesalahpahaman mengenai komunisme yang sering
disalahartikan sebagai gerakan ateis atau tidak bertuhan. Tidak selamanya kaum
komunis merupakan kaum ateis, memang dalam ideologi tersebut tidak disebutkan
tentang materi ketuhanan karena memang basisnya bukan kaum agamis melainkan
lebih kepada kaum ekonomi tertindas, namun pada praktiknya pada periode 1917-
1920, kaum Bolshewik yang sukses melakukan revolusi di Rusia ingin melebarkan
pengaruhnya negeri Timur dan Asia Tengah. Mereka sadar bahwa agama utamanya
Islam sangat menyentuh emosi terdalam di wilayah tersebut. sebagai tindak lanjut
dari pemikiran tersebut, pada Februari 1918 dibentuk “Komisariat Islam di Timur”.
Selain itu juga Soviet tertarik dengan kemungkinan memanfaatkan gerakan Pan-
Islamisme yang kemudian disimpulkan bahwa gerakan ini dipastikan pada dasarnya
bersifat nasional dan religius. Tetapi Islam selalu menjadi agama yang aktif dan
politis; para penganutnya bukan secara eksklusif atau bahkan lebih menonjol
sebagai kaum yang bersifat teologis, tapi orang-orang politik; kehidupan beragama
mereka diisi dengan semangat politik militan. Pan-Islamisme dapat digunakan
untuk meningkatkan gerakan kemerdekaan nasional. Di dalam negeri, komunis
sering kali dibenturkan oleh masyarakat utamanya dengan Pancasila sila pertama
karena menganggap bahwa komunis adalah ateis padahal hal tersebut tidaklah
relevan karena di Indonesia sendiri sosialis-komunis berkembang dari Sarekat
Islam yang nantinya akan terpecah menjadi SI merah dan SI putih. SI yang notabene
berbasis pada agama tertentu yaitu Islam ternyata bisa dimasuki oleh ideologi
komunis yang dianggap sebagian orang tidak bertuhan dan nyatanya tokoh-tokoh
komunis Indonesia semuanya tetap memiliki agama, tetap mengakui Tuhan dan
bukan menjadi ateis seperti yang dianggap selama ini. Hal ini menunjukkan bahwa
komunis yang ada di Indonesia telah disesuaikan dengan bangsa Indonesia sendiri
yang berbeda dari kaum-kaum komunis yang ada di Eropa. Komunis yang
berkembang di Indonesia adalah komunis yang berbeda dari yang ada di negara-
negara Eropa yang sering disebut sebagai komunisme mentah. Seperti pernyataan
dari Tan Malaka, seorang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari golongan
kiri, beliau pernah melontarkan pernyataan “Di hadapan manusia aku adalah
Komunis, tetapi di hadapan Tuhan aku adalah muslim”. Contoh ini telah jelas
membuktikan bahwa komunisme Indonesia bukanlah komunisme yang ateis
sehingga jika dibenturkan dengan Pancasila sila pertama seperti yang selama ini
terjadi di masyarakat maka keduanya tidak saling berbenturan karena sama-sama
tetap mengakui Tuhan.
Pada medio yang sama, perjuangan kaum nasionalis juga mulai beranjak
ke fase radikal dimana kaum nasionalis dalam perjuangannya menolak bekerja
sama dengan pemerintah kolonial termasuk menolak keanggotaan dalam Volksraad.
Salah satu tonggak sejarah perjuangan kaum nasionalis adalah berdirinya Partai
Nasional Indonesia besutan Soekarno. Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia
merdeka dengan kekuatan sendiri. PNI bersifat terbuka sehingga keanggotaannya
cepat berkembang. Cabang-cabang PNI terdapat di seluruh Hindia Belanda.
Kelompok nasionalis revolusioner dapat ditampung di dalam PNI. Pada tahun 1927,
PNI memprakarsai berdirinya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia). Salah satu yang menjadi kunci dari PNI adalah
marhaenisme. Soekarno pernah menyatakan dalam kursus Presiden tentang
Pancasila di Istana Negara pada 26 Mei 1958 bahwa marhaenisme dalam arti rakyat
Indonesia golongan yang kecil yang tidak bisa diberi nama proletar. Marhaen
sendiri merupakan nama petani yang memiliki sedikit alat produksi tapi
dimiskinkan oleh sistem. Marhaenisme menaungi semua kelas yang termiskinkan
oleh sistem kolonialisme-imperialisme. Soekarno mengatakan, kalau hendak ingin
mempelajari Marhaenisme seseorang harus mengetahui kondisi Indonesia dan
sedikit tentang Marxisme. Sebenarnya dua hal itu memiliki hubungan yang tak
terpisah satu sama lain. Kondisi Indonesia sebagai realitas objektif yang akan
dihadapi guna dikaji. Sementara sedikit Marxisme yang dimaksud adalah inti dari
Marxisme itu sendiri, materialisme dialektika dan materialisme historis (Rahardjo
dan Gusmian, 2002). Pernyataan inilah yang menyebabkan tak jarang Soekarno
disebut sebagai seorang Marxis atau lebih condong ke kiri.
Dalam perjalanan politik dan juga ajarannya, memang sosok Soekarno
lebih condong ke kiri. Sebagai seorang nasionalis, Soekarno juga dikenal sebagai
orang yang keras menentang imperialisme dan kolonialisme dan juga ikut
merumuskan dasar negara Indonesia merdeka. Soekarno lebih condong ke kiri
karena Soekarno melihat bahwa keadaan rakyat Indonesia saat itu yang masih
terbelakang serta desakan agar segera lepas dari belenggu penjajahan hampir
sejalan dengan apa yang digaungkan oleh kaum sosialis-komunis. Dikatakan
hampir sejalan karena walaupun beliau condong ke kiri namun beliau tetaplah
seorang nasionalis revolusionis serta seorang yang religius walaupun sekali lagi,
komunisme di Indonesia bukanlah komunisme yang ateis. Bahkan dalam pidato di
rapat raksasa ulang tahun PKI ke 45 pada 1965, Bung Karno secara gamblang
menyatakan bahwa ketika beliau mendirikan PNI pada 1927, beliau bermaksud
meneruskan perjuangan PKI yang saat itu dibredel oleh pemerintah kolonial walau
ada sebagian pihak yang meragukan pernyataan ini.
Dari petikan wawancara di atas dapat diketahui bagaimana pandangan objektif dari
sikap Aidit terhadap Agama dan Pancasila yang selama ini selalu dikaburkan dan
dibelokkan oleh lawan-lawan politiknya, kelompok yang takut dan anti dengan
sosialisme. Dengan demikian maka sentimen anti komunisme atau anti sosialisme
murni merupakan politik kambing hitam terutama pada masa itu tensi dunia
menjadi tinggi dengan terjadinya perang ideologi antara blok barat dan blok timur
atau yang dikenal sebagai Perang Dingin. Perang urat saraf yang sampai saat ini
kenyataannya masih belum berakhir walaupun Uni Soviet telah runtuh 26 tahun
yang lalu seiring dengan pengunduran diri Gorbachev dari kursi Sekretaris Jenderal
Partai Komunis Uni Soviet. Perang ini menyisakan satu medan laga yang belum
selesai yaitu semenanjung Korea.
Pada waktu itu, dengan status Bung Karno sebagai tokoh sentral republik
serta kecenderungan politik yang lebih ke arah sosialisme serta wacana
pembentukan poros Moskowa-Beijing-Pyongyang-Jakarta—waktu itu PKI
merupakan organisasi sosialis komunis terbesar yang berada di luar wilayah bekas
kekuasaan Tsar Rusia, membuat beberapa kelompok antikomunis dan masyarakat
kawatir Indonesia akan jatuh ke dalam sosialisme dan komunisme. Masyarakat
beranggapan bahwa jika Indonesia jatuh ke dalam sosialis-komunisme, maka
Indonesia akan menjadi negara yang tidak bertuhan—sekali lagi merupakan produk
dari propaganda lawan politik kaum sosialis waktu itu yang salah satunya adalah
fatwa yang dikeluarkan oleh Masyumi pada Desember 1954 yang menyatakan
bahwa sosialisme, komunisme adalah ateis yang dalam hal ini fatwa tersebut murni
kepentingan politik. Hal ini juga menjadi kekawatiran beberapa negara utamanya
negara barat yang menganggap bahwa komunisme merupakan suatu ancaman
serius yang dapat menghancurkan eksistensi mereka. Dalam suasana Perang Dingin,
negara barat khususnya Amerika dan sekutu waspada terhadap pengaruh sosialis-
komunisme yang sudah tersebar utamanya di Asia. Menurut pandangan Amerika
dan sekutunya, sosialis-komunis sudah menyebar di Tiongkok, Korea (Republik
Demokratik Rakyat Korea—walau secara resmi Kim Il-Sung menyebut bahwa
ideologi mereka adalah Juche), Vietnam, Laos, dan Indonesia. Apabila negara barat
tidak bisa menghentikan penyebaran ideologi ini, maka besar kemungkinan
Australia akan berubah juga menjadi sosialis-komunis. Maka mereka perlu
mengambil langkah agar penyebaran komunisme ke selatan hanya berhenti sampai
di Indonesia saja. Maka CIA yang waktu itu dikepalai Allan Dulles membuat skema
yang bertujuan menyingkirkan komunis. Kemudian terjadilah suatu peristiwa
kelam yang dikenal sebagai Gestok dengan dalang pasukan Tjakrabirawa dan
akhirnya membawa kehancuran bagi komunis dan Soekarno yang dituding sebagai
dalang dari peristiwa kelam tersebut yang dokumennya baru-baru ini dirilis oleh
CIA ke publik bersamaan dengan dokumen intelijen tentang pembunuhan presiden
John F. Kennedy. CIA menganggap bahwa Bung Karno lebih berbahaya ketimbang
PKI., karena sesungguhnya master-mind dari pemikiran revolusi Indonesia dan
pembangunan Sosialisme Indonesia adalah Bung Karno. Justru PKI yang kemudian
mengikuti teori-teori dan pemikiran Bung Karno. Justru PKI dan Aidit yang
kemudian berkompromi dengan Bung Karno dan menjadi tidak sesuai lagi dengan
jalan komunisme ortodoks, karena menjalankan: parlementarisme dan legalisme,
mengadopsi persatuan Indonesia lewat front nasional dan kerjasama Nasakom,
serta mengadopsi jalan damai menuju Sosialisme. Karena itu peristiwa Gestok
pertama-tama tujuannya justru adalah penyingkiran Bung Karno, dengan terlebih
dulu memotong dan menghabisi kekuatan pendukung utamanya, yaitu PKI.
Kejadian kelam dalam sejarah bangsa Indonesia itu membuat jatuhnya sang
Pemimpin Besar Revolusi, PKI, dan cita-cita Sosialisme Indonesia. Menurut Tan
Swie Ling, seorang mantan tahanan politik dalam bukunya yang berjudul G30S PKI
Sebuah Peristiwa Kejahatan Kemanusiaan, rezim pengganti Soekarno yaitu rezim
Orba pimpinan Soeharto secara kejam menumpas dan membantai habis siapapun
yang dicap sebagai PKI, dalam proses peradilan pun pihak rezim berkuasa tidak
mengikuti prosedur hukum contohnya adalah BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
pemimpin PKI yang dimanipulasi secara tidak manusiawi dan juga berbagai aksi
kejahatan kemanusiaan lainnya. Rezim juga memberikan sentimen dan doktrin
benci terhadap segala macam bentuk komunisme, contohnya seperti yang
dikisahkan oleh Roeslan Abdulgani dimana beliau menjadi saksi bahwa dalam
peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 yang selama ini dikisahkan membunuh
banyak kiai, ternyata juga terjadi pembunuhan terhadap 43 orang komunis secara
kejam yang dilakukan oleh militer. Dengan sentimen ateisme menyebabkan
persepsi masyarakat semakin meruncing pada kesimpulan bahwa PKI ateis dan PKI
harus dibantai. Pewarisan kebencian atau dendam seperti ini akan menghambat
penciptaan rekonsiliasi nasional. Dari sudut pandang ini, dilihat bahwa peristiwa
Gestok merupakan salah satu proses berlangsungnya “Perang Dingin” di Indonesia
yang dijalankan oleh penguasa rezim saat itu. Pihak yang paling berkepentingan
menghancurkan PKI dan Presiden Soekarno dari politik adalah kekuatan
kolonialisme/imperialisme yang terkemas dalam Perang Dingin melalui perangkat
kerjanya, CIA yang bersama oknum jenderal menyusupkan agennya ke dalam
tubuh PKI (Tan, 2010). Hal ini diperkuat oleh keterangan ajudan Aidit yang
menyatakan bahwa Aidit menangis dan menanyakan apa kesalahannya sehingga ia
dijebloskan dalam permasalahan Gestok yang artinya Aidit tidak tahu menahu
skenario peristiwa Gestok yang seharusnya secara logika seorang pemimpin PKI
seharusnya paham rencana besar seperti itu. Akhirnya perjalanan komunis di negeri
ini berakhir di tangan penguasa rezim dengan dikeluarkannya TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 dan selama masa kuasanya, rezim Orba terus menggerak-
gerakkan “mayat” PKI agar seolah-olah tampak seperti sesosok mayat yang
menakutkan dan mengajak rakyat untuk menghadapi hantu PKI yang sebenarnya
hanya tinggal nama dan mengkultuskan Pancasila serta UUD 1945 yang pada
praktiknya juga banyak penyimpangan. (Tan, 2010).
Warisan rezim Orba tentang hantu PKI memang masih sering didengar
apalagi ketika menjelang pemilihan umum. Sentimen PKI dan anti Pancasila
terbukti ampuh sebagai senjata politik. Sebagian besar masyarakat cemas,
mengingat besar dan dalamnya doktrin anti komunisme yang ditanamkan selama
periode Orde Baru. Dengan kata lain, sangat sulit membawa kembali gerakan
komunisme aktif ke Indonesia dalam wajah apapun. Sisa dari ide komunisme masih
tertinggal di buku-buku dan masih menjadi bahan diskusi banyak pihak dalam
atmosfer akademik pun dalam diskusi warung kopi. Padahal bila menilik sejarah
sedikit ke era Soekarno, cita-cita NASAKOM cukup mewakili betapa Pancasila
merupakan rumah bersama setiap orang, terlepas dari pilihan ideologi politik yang
diyakininya. (Saputra, 2017).
KESIMPULAN
Dahm, Bernhard. 2016. "Soekarno Yakin Pancasila dan NASAKOM Adalah Masa
Depan Indonesia" (Online) (http://www.dw.com/id/soekarno-yakin-
pancasila-dan-nasakom-adalah-masa-depan-indonesia/a-19345349)
diakses 26 November 2017 pukul 09.54 WIB.
Gusmian, Islah; Rahardjo, Pamoe. 2002. Bung Karno dan Pancasila. Yogyakarta:
Galang Press.
Tan Swie Ling. 2010. G30S PKI Sebuah Peristiwa Kejahatan Kemanusiaan
Pemikiran Cina Jelata Korban Orba. Jakarta: Komunitas Bambu.
Wilson. 2015. Soekarno, Komunis, dan Fasis Orba. Malang: Intrans Publishing.