Anda di halaman 1dari 19

SOSIALIS-KOMUNISME DALAM NEGARA PANCASILA,

ANTARA ROMANTISME MASA LALU DAN MUSUH ABADI


DALAM KACAMATA SEJARAH ALTERNATIF
Oleh :

Arief Hidayatullah (170342615535)

JURUSAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
NOVEMBER 2017
SOSIALIS-KOMUNISME DALAM NEGARA PANCASILA,
ANTARA ROMANTISME MASA LALU DAN MUSUH ABADI
DALAM KACAMATA SEJARAH ALTERNATIF

Arief Hidayatullah
(Universitas Negeri Malang, Indonesia)

Pancasila dan Sosialis-Komunisme adalah dua ideologi besar yang pernah


menghiasi panggung sejarah Republik Indonesia. Sering kali dibenturkan dan
dianggap bertentangan satu sama lain. Pancasila diangkat menjadi ideologi negara
dan bangsa Indonesia sedangkan Sosialis-Komunisme dilarang dan diasosiasikan
sebagai ideologi jahat, ideologi pemberontak, dan ideologi ateis. Hubungan
Pancasila dan Komunisme diibaratkan seperti hubungan cinta dan benci antara
sepasang kekasih yang pada akhirnya menjadi musuh bebuyutan. Hubungan kedua
ideologi ini terekam di lembar sejarah bangsa ini, namun karena cap pengkhianat
yang diberikan oleh rezim Soeharto waktu itu membuat masyarakat seperti
menafikan sejarah bahwa kaum sosialis-komunis juga ikut berperan dalam
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan menganggap bahwa kaum sosialis-
komunis hanya hadir sebagai perusak, pengkhianat, dan pemberontak negara.
Realitas di masyarakat menganggap bahwa komunisme adalah hal yang berbahaya
sehingga jangan sekali-sekali di dekati. Stigma ini melekat kuat di benak
masyarakat terutama semenjak peristiwa Gestok dan pelarangan ideologi
komunisme beserta turunannya dengan keluarnya TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 yang secara tegas melarang segala bentuk komunisme. Negara
ini memang berdiri di atas kaki Pancasila, namun dalam perjuangan bangsa ini tak
lepas pula peran dari tokoh-tokoh kiri. Jika ditelaah lagi, Indonesia sejatinya adalah
kiri. Dua proklamatornya: Soekarno-Hatta, adalah kiri. Sebagian besar pendiri
bangsa juga berpaham kiri. Konstitusinya UUD 45 adalah sosialistis, khususnya
pasal 33. Pancasila dasar negara juga nilai-nilainya kiri, tetapi rezim Orde Baru
menyatakan bahwa kiri adalah haram sedangkan nilai-nilai kiri itu menjadi dasar
dari negara Indonesia merdeka.
Pancasila dan Sosialis-Komunisme lahir dari keadaan yang hampir mirip.
Komunisme lahir dari dorongan revolusioner kaum proletar yang tertindas di bawah
sistem yang dikukuhkan borjuasi yaitu kapitalisme (McVey, 2009), sedangkan
Pancasila lahir dari semangat dan pemikiran rakyat Indonesia yang menginginkan
lahirnya negara Indonesia yang merdeka dari segala bentuk jajahan dan
kolonialisme. Komunisme berperan dalam drama revolusioner terutama di negara-
negara Asia yang dimainkan di antara dua perang dunia yang merupakan salah satu
upaya dari Komunis Internasional (Komintern) untuk menempatkan komunisme di
wilayah negara-negara terbelakang di seluruh dunia. Dalam buku Kemunculan
Komunisme Indonesia, Ruth T. McVey mengutip pernyataan dari Komintern yaitu
“Negara-negara Timur—bukan hanya dunia Asia yang tertindas. Negara-negara
Timur adalah keseluruhan dunia terjajah, dunia rakyat yang tertindas bukan hanya
ada di Asia, tetapi juga Afrika dan Amerika Selatan: Dengan kata lain, seluruh
bagian dunia tempat eksploitasi kaum masyarakat kapitalis Eropa dan Amerika
Serikat.”. Jauh sebelum Komintern berdiri, keyakinan bahwa kapitalisme dan
imperialisme akan hancur lewat revolusi sosialis sudah terbangun, namun mengenai
nasib negara jajahan bangsa Eropa dan Amerika yang menopang sistem kapitalisme
belum menjadi fokus dari kaum sosialis ini. Barulah setelah kongres Internasional
Kedua di Stuttgart pada 1907 dilaksanakan yang memperdebatkan masalah negeri-
negeri jajahan, nasib negara jajahan mulai mendapat perhatian karena Lenin dalam
teorinya menyatakan bahwa negeri-negeri jajahan merupakan mata rantai paling
lemah kapitalisme bahkan merupakan daerah revolusi yang lebih penting dari
negara-negara industri di Eropa karena jika dominasi terhadap negeri-negeri jajahan
terlepas dari kontrol maka akan merusak sistem kapitalis. (McVey, 2009).

Sosialisme di Indonesia dibawa masuk oleh Josephus Franciscus Marie


Sneevliet, seorang pemimpin buruh Belanda yang mendirikan ISDV (Indische
Sociaal-Democratische Vereniging) pada 9 Mei 1914 di Surabaya yang menjadi
embrio dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mendorong sikap revolusioner
anti-imperialisme dan menyebarkan propaganda sosialisme di Indonesia dengan
cara terjun langsung ke panggung politik Hindia Belanda. Sadar bahwa ISDV tidak
memiliki basis yang kuat karena beranggotakan orang-orang Belanda, maka ISDV
melakukan infiltrasi ke dalam tubuh SI (Sarekat Islam). ISDV mengartikan
sosialisme sebagai perlawanan terhadap dominasi asing dan dukungan terhadap
Indonesia yang modern, sejahtera, dan merdeka. (Hasan Ali Surati dalam McVey,
2009). Sneevliet pada Maret 1917 menulis artikel berjudul “Zegepraal”
(Kemenangan) yang menyatakan penguasa Belanda akan mengalami nasib yang
sama dengan Tsar Rusia jika orang-orang Indonesia menghendakinya (McVey,
2009). Artikel tersebut merupakan respons Sneevliet terhadap Revolusi Februari
1917 yang berhasil menjatuhkan Tsar Rusia.

Pancasila lahir hampir satu abad setelah lahirnya komunis. Pancasila lahir
ketika komunisme berada di puncak kejayaan dan menuju terjadinya perang
ideologi dengan liberalisme. Sejarah lahirnya Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia merdeka dimulai pada 7 September 1944 ketika perdana menteri
kekaisaran Jepang waktu itu Koiso Kuniaki memberikan janji kemerdekaan kepada
Indonesia yang tak lain karena terdesaknya kekaisaran Jepang dalam Perang Pasifik
yang merupakan bagian dari Perang Dunia II dimana Jepang sebagai kekuatan fasis
di Asia mulai terdesak oleh pasukan sekutu. Menjelang kekalahan Tentara
Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang di Indonesia
berupaya menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Junbi
Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan atau BPUPKI, yang
setelah itu menjadi BPUPKI, dengan tambahan "Indonesia") dengan mengeluarkan
Maklumat Gunseikan pada 25 April 1945. Tugas badan ini adalah menyelidiki dan
mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah
Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia. Kemudian
BPUPKI bersidang pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Setelah sebagian hari tak
memperoleh titik terang, pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno memperoleh giliran
untuk mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia merdeka, yang
dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tak dipersiapkan secara tertulis terlebih
dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap partisipan Dokuritsu Junbi
Cosakai. Selanjutnya Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk Panitia Kecil untuk
merumuskan serta menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman terhadap
pidato Bung Karno tersebut. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno,
Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar
Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, serta Mohammad Yamin)
yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara
berdasarkan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, serta menjadikan dokumen
tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah
melewati sistem persidangan serta lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil
penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam
Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan serta dinyatakan sah
sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI.

Dari paparan di atas mengenai bagaimana kedua ideologi besar ini lahir,
dapat terlihat bahwa kedua ideologi ini lahir di situasi yang hampir mirip walaupun
terpaut hampir satu abad. Keduanya bersumber dari semangat revolusi kaum yang
tertindas dan bertujuan melawan penindasan yang dilakukan baik oleh kaum borjuis
maupun penjajah di tanah jajahan. Meski demikian, komunisme lahir dari semangat
revolusi ekstrem dari kaum pekerja yang menginginkan kehancuran sistem
kapitalisme dan menyingkirkan kaum borjuis dengan menekankan pada aksi massa.
Hal ini dikembangkan oleh kaum Marxis radikal yang menyebutkan bahwa
kapitalisme wataknya anarkis dan penuh persaingan. Sedangkan Pancasila
bersumber dari semangat meraih kemerdekaan bangsa Indonesia yang berlandaskan
dari nilai-nilai bangsa Indonesia sendiri yang juga menentang segala bentuk
penjajahan baik kolonialisme maupun imperialisme dalam model apapun.

Karena komunis lebih dulu muncul daripada Pancasila, maka tak bisa
dipungkiri bahwa pengaruh komunisme juga ada dalam sejarah perjuangan revolusi
Indonesia utamanya pra-Pancasila. Dalam sejarah gerakan radikal di Hindia
Belanda waktu itu, kemunculan Partai Komunis Indonesia atau PKI menandai fase
baru dalam perlawanan menentang negara kolonial secara modern. Berbeda dengan
beberapa organisasi yang bersifat moderat, PKI menjadikan pergerakan di Hindia
Belanda menjadi medan pertarungan terbuka antara penguasa dan yang dikuasai,
antara rakyat jajahan versus kekuasaan kolonial (Wilson, 2015). Secara ideologis
PKI bertarung dengan pemerintah kolonial melalui produksi bacaan-bacaan politik.
Salah satu daya tarik PKI waktu itu sebenarnya bukan karena pesan anti
imperialisme dan kolonialisme melainkan karena keberhasilan propaganda partai
bahwa dengan melibatkan diri ke dalam partai dan berpikir dengan cara baru,
seseorang dapat memperoleh kekuatan tetapi tidak menampik pula peran PKI dalam
perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. Pada tingkat yang paling
bawah, rakyat tertarik pada gerakan ini karena makna-makna lokal yang terkandung
dalam ungkapan ekonomis, kultural, dan sosial walaupun terkadang praktiknya
sangat berbeda dari komunisme yang sekarang ini dikenal, contohnya dengan
munculnya tokoh karismatik seperti Haji Misbach yang menggabungkan antara
nasionalisme, Islam, dan komunisme sebagai suatu ikatan yang tak terbatas yang
nantinya di tahun 1960-an juga diadaptasi oleh Soekarno menjadi NASAKOM
yang artinya unsur elemen dalam Pancasila yang lahir beberapa puluh tahun
setelahnya sebenarnya sudah diterapkan pada saat itu yaitu semangat nasionalisme,
dan semangat ketuhanan. Memadukan antara nasionalisme, komunisme, dan agama
memang terdengar seperti hal yang konyol karena banyak yang menganggap ketiga
jenis pemikiran tersebut tidak bisa di satukan dan apabila di satukan maka akan
muncul pertentangan satu sama lain sehingga hasilnya akan sia-sia. Namun patut
digarisbawahi bahwa ada kesalahpahaman mengenai komunisme yang sering
disalahartikan sebagai gerakan ateis atau tidak bertuhan. Tidak selamanya kaum
komunis merupakan kaum ateis, memang dalam ideologi tersebut tidak disebutkan
tentang materi ketuhanan karena memang basisnya bukan kaum agamis melainkan
lebih kepada kaum ekonomi tertindas, namun pada praktiknya pada periode 1917-
1920, kaum Bolshewik yang sukses melakukan revolusi di Rusia ingin melebarkan
pengaruhnya negeri Timur dan Asia Tengah. Mereka sadar bahwa agama utamanya
Islam sangat menyentuh emosi terdalam di wilayah tersebut. sebagai tindak lanjut
dari pemikiran tersebut, pada Februari 1918 dibentuk “Komisariat Islam di Timur”.
Selain itu juga Soviet tertarik dengan kemungkinan memanfaatkan gerakan Pan-
Islamisme yang kemudian disimpulkan bahwa gerakan ini dipastikan pada dasarnya
bersifat nasional dan religius. Tetapi Islam selalu menjadi agama yang aktif dan
politis; para penganutnya bukan secara eksklusif atau bahkan lebih menonjol
sebagai kaum yang bersifat teologis, tapi orang-orang politik; kehidupan beragama
mereka diisi dengan semangat politik militan. Pan-Islamisme dapat digunakan
untuk meningkatkan gerakan kemerdekaan nasional. Di dalam negeri, komunis
sering kali dibenturkan oleh masyarakat utamanya dengan Pancasila sila pertama
karena menganggap bahwa komunis adalah ateis padahal hal tersebut tidaklah
relevan karena di Indonesia sendiri sosialis-komunis berkembang dari Sarekat
Islam yang nantinya akan terpecah menjadi SI merah dan SI putih. SI yang notabene
berbasis pada agama tertentu yaitu Islam ternyata bisa dimasuki oleh ideologi
komunis yang dianggap sebagian orang tidak bertuhan dan nyatanya tokoh-tokoh
komunis Indonesia semuanya tetap memiliki agama, tetap mengakui Tuhan dan
bukan menjadi ateis seperti yang dianggap selama ini. Hal ini menunjukkan bahwa
komunis yang ada di Indonesia telah disesuaikan dengan bangsa Indonesia sendiri
yang berbeda dari kaum-kaum komunis yang ada di Eropa. Komunis yang
berkembang di Indonesia adalah komunis yang berbeda dari yang ada di negara-
negara Eropa yang sering disebut sebagai komunisme mentah. Seperti pernyataan
dari Tan Malaka, seorang pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari golongan
kiri, beliau pernah melontarkan pernyataan “Di hadapan manusia aku adalah
Komunis, tetapi di hadapan Tuhan aku adalah muslim”. Contoh ini telah jelas
membuktikan bahwa komunisme Indonesia bukanlah komunisme yang ateis
sehingga jika dibenturkan dengan Pancasila sila pertama seperti yang selama ini
terjadi di masyarakat maka keduanya tidak saling berbenturan karena sama-sama
tetap mengakui Tuhan.

Tahun 1923 terbentuk Sarekat Rakyat (SR) yang bertujuan untuk


memobilisasi massa rakyat yang luas di luar kelas buruh untuk melakukan
perlawanan politik melawan negara kolonial. Hal ini merupakan respons dari
pernyataan Lenin pada Konferensi Komunis Internasional ke-2 yang menyebutkan
bahwa perjuangan sosialisme di negeri jajahan penting untuk mengupayakan
kolaborasi dengan borjuis demokratik kaum tani dan mayoritas petani di negeri-
negeri kolonial dalam strategi kaum nasionalis revolusioner. Kapitalisme yang
terbelakang dan mayoritas penduduknya adalah petani merupakan kondisi objektif
yang harus diterima dan dipimpin oleh gerakan “nasional revolusioner” di negeri-
negeri jajahan. (Wilson. 2015). Sebagai puncak radikalisme kiri waktu itu dan
sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah kolonial, massa PKI melakukan
pemberontakan yang bertajuk pemberontakan rakyat 1926/1927 membuka babak
baru dalam pentas pergerakan politik di Hindia Belanda waktu itu. Walau
pemberontakan ini dipersiapkan dengan terburu-buru karena tekanan dari
pemerintah kolonial, namun ternyata menjadi pukulan telak bagi pemerintah
kolonial yang setelah berhasil memadamkan pemberontakan menerbitkan peraturan
yang ketat tentang organisasi pergerakan. PKI menjadi korban pertama dengan
pembredelan dan pemberangusan. Komite Eksekutif Komintern mengeluarkan
resolusi yang menyatakan bahwa di bawah hegemoni proletariat sebuah front
persatuan telah terbentuk bagi kemerdekaan bangsa Indonesia atas dominasi
imperialis. Proses depolitisasi dan sikap represif negara telah memunculkan tokoh
pergerakan baru. Seberapapun represifnya negara kolonial, sejarah selalu
menyediakan celah bagi orang-orang baru, orang-orang yang sadar, belajar dari
sejarah, bahwa sebuah perubahan bukanlah sekedar persoalan waktu, tapi harus
diciptakan (Wilson, 2015).

Pada medio yang sama, perjuangan kaum nasionalis juga mulai beranjak
ke fase radikal dimana kaum nasionalis dalam perjuangannya menolak bekerja
sama dengan pemerintah kolonial termasuk menolak keanggotaan dalam Volksraad.
Salah satu tonggak sejarah perjuangan kaum nasionalis adalah berdirinya Partai
Nasional Indonesia besutan Soekarno. Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia
merdeka dengan kekuatan sendiri. PNI bersifat terbuka sehingga keanggotaannya
cepat berkembang. Cabang-cabang PNI terdapat di seluruh Hindia Belanda.
Kelompok nasionalis revolusioner dapat ditampung di dalam PNI. Pada tahun 1927,
PNI memprakarsai berdirinya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia). Salah satu yang menjadi kunci dari PNI adalah
marhaenisme. Soekarno pernah menyatakan dalam kursus Presiden tentang
Pancasila di Istana Negara pada 26 Mei 1958 bahwa marhaenisme dalam arti rakyat
Indonesia golongan yang kecil yang tidak bisa diberi nama proletar. Marhaen
sendiri merupakan nama petani yang memiliki sedikit alat produksi tapi
dimiskinkan oleh sistem. Marhaenisme menaungi semua kelas yang termiskinkan
oleh sistem kolonialisme-imperialisme. Soekarno mengatakan, kalau hendak ingin
mempelajari Marhaenisme seseorang harus mengetahui kondisi Indonesia dan
sedikit tentang Marxisme. Sebenarnya dua hal itu memiliki hubungan yang tak
terpisah satu sama lain. Kondisi Indonesia sebagai realitas objektif yang akan
dihadapi guna dikaji. Sementara sedikit Marxisme yang dimaksud adalah inti dari
Marxisme itu sendiri, materialisme dialektika dan materialisme historis (Rahardjo
dan Gusmian, 2002). Pernyataan inilah yang menyebabkan tak jarang Soekarno
disebut sebagai seorang Marxis atau lebih condong ke kiri.
Dalam perjalanan politik dan juga ajarannya, memang sosok Soekarno
lebih condong ke kiri. Sebagai seorang nasionalis, Soekarno juga dikenal sebagai
orang yang keras menentang imperialisme dan kolonialisme dan juga ikut
merumuskan dasar negara Indonesia merdeka. Soekarno lebih condong ke kiri
karena Soekarno melihat bahwa keadaan rakyat Indonesia saat itu yang masih
terbelakang serta desakan agar segera lepas dari belenggu penjajahan hampir
sejalan dengan apa yang digaungkan oleh kaum sosialis-komunis. Dikatakan
hampir sejalan karena walaupun beliau condong ke kiri namun beliau tetaplah
seorang nasionalis revolusionis serta seorang yang religius walaupun sekali lagi,
komunisme di Indonesia bukanlah komunisme yang ateis. Bahkan dalam pidato di
rapat raksasa ulang tahun PKI ke 45 pada 1965, Bung Karno secara gamblang
menyatakan bahwa ketika beliau mendirikan PNI pada 1927, beliau bermaksud
meneruskan perjuangan PKI yang saat itu dibredel oleh pemerintah kolonial walau
ada sebagian pihak yang meragukan pernyataan ini.

Soekarno dalam beberapa kesempatan mengemukakan tentang sosio-


nasionalisme yang di dalamnya disebut bahwa bagian terpenting dari nasionalisme
adalah rakyat. Bagi Soekarno, sosio-nasionalisme harus menciptakan masyarakat
yang adil dan sejahtera yang terbebas dari segala praktik pengisapan dan
penindasan seperti kapitalisme dan imperialisme. Ini yang dimaksud dari istilah
humanty dalam pernyataan Soekarno dalam pidato 1 Juni yang mengutip Mahatma
Gandhi, “my nationalism is humanity”. Seperti juga yang ia ungkapkan dalam
pidato tahun 1959, semua orang di bawah atap langit tidak ingin ditindas baik oleh
bangsa lain maupun bangsanya sendiri. Alasan ini pula yang memungkinkan
Soekarno yang nasionalis itu menolak kapitalisme bangsa sendiri dengan begitu
tegas. Dengan rumusan yang seperti itu, sosio-nasionalisme bertujuan untuk
menjungkirbalikkan kapitalisme serta kolonialisme dan mencipta sosialisme
Indonesia. Memang pernyataan tersebut terlihat sangat sosialis bahkan cenderung
mengarah ke arah ekstrem kiri, namun Bung Karno tidaklah lupa bahwa negara ini
adalah negara Pancasila. Nasionalisme juga merupakan nilai dari Pancasila dimana
sebagai dasar negara Indonesia merdeka, tentu Pancasila memiliki semangat
nasionalisme yang tinggi. Namun perlu digarisbawahi bahwa Bung Karno tidak
menempatkan nasionalisme Indonesia sebagai nasionalisme yang bersifat
chauvinisme seperti yang ditempatkan Adolf Hitler.

Sosio-nasionalisme yang merupakan bagian dari sosialisme Indonesia yang


dianggap sebagai aliran kiri ternyata selaras dengan Pancasila utamanya sila ke-5.
Dari lima sila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia disematkan pada
nomor lima sebagai penggenap Pancasila yang mengandung unsur keadilan sosial.
Keadilan sosial inilah merupakan nilai dari sosialis-komunis yang masuk ke dalam
Pancasila. Bung Karno pada suatu kesempatan berkata bahwa “Pancasila adalah
kiri!” yang dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa ada nilai sosialisme dalam
Pancasila yang digunakan sebagai penggenap atau pelengkap Pancasila. Maka dari
itu di suatu kesempatan dalam pertemuan Golongan Karya di Istana Bogor, Bung
Karno menyampaikan bahwa “Perkataan (Pancasila) dipakai sebetulnya untuk
men-demonstreer anti kepada Kom (Komunisme). Padahal, Pancasila sebetulnya
tidak antikomunisme. Sejatinya komunisme adalah ideologi untuk mendatangkan
suatu masyarakat sosialistis di Indonesia.” (Sugiharto, 2016).

Pada prinsipnya, Pancasila adalah gagasan tentang toleransi dan keadilan


sosial. (Dahm, 2014). Menurut profesor Bernhard Dahm, seorang profesor jurusan
studi Indonesia dan Asia Tenggara asal Jerman, Soekarno dan para pemikir lain
ketika itu mencari formula yang bisa menjadi falsafah kebangsaan, katakanlah
sebagai motor utama nation building. Lalu Soekarno memperkenalkan konsep
Pancasila. Jangan lupa, gagasan para pendiri Republik Indonesia ketika itu tidak
hanya berkaitan dengan negaranya. Kita harus ingat, tugas kemerdekaan Indonesia
bukan hanya ditujukan untuk memerdekakan rakyatnya dari penjajahan Belanda,
melainkan memerdekakan seluruh bangsa-bangsa yang terjajah dari kolonialisme
dan imperialisme, membebaskan manusia dari eksploitasi. Jadi Soekarno dan
rekan-rekannya mencari gagasan yang bisa berlaku universal. Soekarno ketika itu
merangkum konsepsi politiknya sebagai NASAKOM: nasionalisme, agama,
komunisme. Kita harus memahami komunisme di sini sebagai sosialisme, karena
dasar pemikirannya adalah prinsip keadilan sosial, yang juga menjadi dasar
pemikiran politik Karl Marx. Jadi Soekarno yakin, perbedaan dan perpecahan dunia
dalam persaingan ideologis saat itu bisa dijawab dengan menghormati nasionalisme,
agama dan prinsip sosialisme.
Pernyataan profesor Dahm tersebut menguatkan pandangan bahwa memang
politik Bung Karno berada di jalur kiri. Bahkan di masa kekuasaannya mulai redup,
pada tanggal 28 Februari 1966, Bung Karno terang-terangan mengakui dirinya
sebagai Marxis. “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku Marxis,”
kata Bung Karno. Menurut pengakuan beliau, sejak tahun 1928 Ia sudah menjadi
Marxis, sekaligus nasionalis dan agamais. Seperti yang sudah disebutkan di atas,
salah satu gebrakan Bung Karno yang dianggap sebagai penyimpangan dari dasar
negara adalah NASAKOM; Nasionalis, Agama, dan Komunis dimana hal tersebut
merupakan usaha Bung Karno untuk mempersatukan golongan nasionalis, agama,
dan sosialis komunis. Bung Karno optimis dengan prinsip tersebut ditambah lagi
dengan Pancasila, Pancasila dan NASAKOM yang merupakan jalan tengah dan
faktor penyatu antara kalangan agama dan kalangan sosialis, adalah masa depan
Indonesia. Beliau berkata, “Selalu akan ada pemikiran agama dan dasar-dasar
sosialisme yang kuat di Indonesia, kedua prinsip itu saling bersaing. Saya berikan
mereka Pancasila. Saya yakinkan kaum Marxis, agar mereka menerima prinsip
Ketuhanan. Lalu saya yakinkan kubu Islamis, bahwa ajaran Marx adalah analisa
jitu yang memberi kita instrumen untuk mencapai keadilan sosial. Kalau mereka
semua mau saling menerima dan melepaskan doktrin-doktrin yang ditolak pihak
lain, maka Indonesia akan berjaya. Dan mereka semua, kubu agama dan kubu
sosialis, mau menerima Pancasila demi kepentingan nasional.” (Dahm, 2014).
Nasakom yang ditawarkan Bung Karno merupakan salah satu dari Panca Azimat
Revolusi, lima ajimat revolusi Indonesia, yaitu: Nasakom, Pancasila, Manipol-
Usdek, Trisakti dan Berdikari. Alat pertama, adalah persatuan kaum nasionalis,
agamis dan komunis, dalam mencapai tujuan Sosialisme Indonesia. Kedua,
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, sebagai fondasi sebuah nasion yang akan
mencapai Sosialisme Indonesia. Ketiga-keempat dan kelima, adalah instrumen-
instrumen-implementatifnya, dari sejak manifesto politik (manipol) dan lima kunci
pelaksanaannya: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Nasional. Trisakti juga sama penekanannya:
Berdikari di bidang ekonomi, Berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian
nasional di bidang budaya. Dan Berdikari adalah pikiran dasar pembangunan:
berdiri di atas kaki sendiri (Setiawan, 2016). Namun ada syarat agar bisa
mempelajari ide berdikari itu, yaitu jangan komunisto-fobi karena sekali dihinggapi
fobia itu, maka akan membuat perilaku seperti penganut agama yang radikal
dimana menolak semua yang timbul dari negeri kafir, selain perilakunya menjadi
aneh (Tan, 2010).

Di masa pemerintahannya yang sejati, yaitu sejak Dekrit Presiden 5 Juli


1959 hingga kejatuhannya di tahun 1966, maka beliau terus menerus konsisten
untuk berjuang bersama kaum Komunis. Karena baginya, kaum komunis adalah
yang paling konsisten menjalankan revolusi Indonesia. Soekarno dan D.N. Aidit
punya kesamaan pemahaman, yaitu revolusi harus diperjuangkan untuk
mewujudkan masyarakat tanpa Kapitalisme dan Imperialisme. Bung Karno dan
PKI sama-sama konsisten anti imperialisme. Deklarasi manipol, menetapkan
revolusi Indonesia memakai teori revolusi dua tahap, sama seperti teori dua tahap
PKI, yaitu tahap revolusi nasional-demokratis dan kemudian baru tahap
pengkonstruksian sosialis. Dan hingga akhir hayatnya, Bung Karno tidak pernah
mau melarang PKI, meski itu berarti beliau kehilangan kekuasaannya. Bung Karno
lebih berhasil menerapkan Marxisme ketimbang PKI, yaitu kemampuannya
merangkul semua pihak yang sangat berbeda-beda agar semua pihak bisa
bersepakat dan bersama-sama berjuang mencapai tujuan yang ditetapkannya, yaitu
Sosialisme Indonesia. Jadi kisah Bung Karno adalah kisah perjuangan menegakkan
Sosialisme, bukan terbatas hanya pada kemerdekaan Indonesia atau nasionalisme.
Bung Karno bukanlah nasionalis saja karena seorang sosialis pada dasarnya adalah
juga seorang nasionalis tidak bisa dipisahkan. Berkali-kali, hal inilah yang
ditekankan Bung Karno, “nasionalisme saya adalah peri-kemanusiaan”. Jadi
nasionalisme Bung Karno lebih tinggi dari sekedar nasionalisme biasa.

Membicarakan bagaimana sosialisme dan komunisme di Indonesia


utamanya di era pemerintahan Bung Karno tidak bisa lepas dari PKI dan juga ketua
CC PKI saat itu yaitu Dipa Nusantara Aidit atau yang dikenal sebagai D.N. Aidit.
Aidit adalah tokoh yang berada di belakang kesuksesan PKI mendulang 6,1 juta
suara dan menduduki peringkat ke-4 terbesar pada pemilu tahun 1955. Aidit adalah
seorang intelektual tulen, tidak hanya mengorganisir beliau juga seorang
pembelajar dan penulis produktif. Dari kecerdasannya lahir banyak karya yang
ilmiah, terutama soal ilmu Marxisme yang telah mengilhami ribuan rakyat untuk
melawan neo-kolonialisme dan dan neo-imperialisme beserta kaki tangannya di
dalam negeri. Aidit adalah seorang muslim taat, tetapi karena label komunis ateis
dan anti Pancasila merupakan hal yang melekat pada Aidit di mata lawan politiknya,
maka pribadinya sebagai muslim juga hancur. Aidit dalam suatu wawancara dengan
Solichin Salam memberikan pernyataan sebagai berikut.

 PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan. Hanya dengan menerima


Pancasila sebagai keseluruhan, Pancasila dapat berfungsi sebagai alat
pemersatu. PKI menentang pembredelan terhadap Pancasila. Bagi PKI,
semua sila sama pentingnya dan tidak boleh ada propaganda anti-agama.
 Marxisme adalah ilmu dan salah satu bagiannya ialah Materialisme Historis,
yang menjelaskan hukum-hukum perkembangan masyarakat dan juga akar-
akar sosial dari agama. Materialisme Historis menjelaskan secara ilmiah
mengapa ada orang-orang yang memeluk agama. Kami berpendapat, agama
yang dianut masing-masing orang adalah masalah pribadi. Karena PKI
berdasarkan Marxisme, dan karena itu memahami dengan baik akar-akar
sosial dari agama, maka anggota-anggota PKI menghormati hak setiap
orang untuk memeluk agama. Marxisme sebagai ilmu, sama seperti ilmu-
ilmu lainnya, tidak menyoalkan apakah individu atau seseorang beragama
atau tidak. Lalu apakah agama itu candu bagi rakyat atau tidak harus kita
lihat secara konkret. Jika agama digunakan untuk memperkuat kolonialisme,
misalnya memperkuat kedudukan neo-kolonialisme Amerika Serikat atau
memperkuat kedudukan neo-kolonialisme “Malaysia”, maka agama betul
sebagai candu untuk rakyat. Tetapi jika agama digunakan untuk
menghantam kolonialisme, neo-kolonialisme, feodalisme dan kapitalisme,
maka hanya orang gila sajalah yang mengatakan bahwa agama adalah candu
bagi rakyat.
 PKI cukup sadar bahwa sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam,
Karena itulah diperlukan Pancasila dan faktor “A” (Agama) dalam
Nasakom. Kami bukan hanya menyetujui gagasan Nasakom melainkan juga
sebagai unsur “Kom” mengadakan kerjasama dengan partai-partai,
organisasi, serta perseorangan yang mewakili unsur “A” demi persatuan
nasional dan perkembangan revolusi Indonesia.
 PKI adalah partai politik. Benar apa yang Saudara katakan bahwa banyak
anggota PKI memeluk agama. Saya dapat pastikan, di dalam PKI terdapat
lebih banyak orang yang menganut agama Islam daripada di dalam suatu
partai Islam yang kecil. Tetapi, hubungan anggota PKI yang beragama
dengan Tuhannya tidak bisa diwakili CC PKI, sebagaimana halnya Dewan
Partai dari partai-partai politik yang berdasarkan agama tidak bisa mewakili
anggota-anggotanya dalam hubungan dengan Tuhan. Menurut Anggaran
Dasar PKI, PKI tidak melarang anggotanya memeluk suatu agama asal saja
anggota-anggota PKI itu menjalankan program dan politik PKI yang
melawan imperialisme dan feodalisme dan bertujuan membentuk
masyarakat tanpa kelas dan tanpa exploitation de l’homme par l’homme.
 Kita sekarang berada dalam tahap pertama revolusi, yaitu tahap nasional-
demokratis, belum dalam tahap kedua, yaitu tahap sosialis. Apakah berbeda
atau tidak pembangunan masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan
Pancasila dengan yang berdasarkan Marxisme-Leninisme, hal ini akan kita
ketahui kalau kita sudah sampai pada tahap kedua nanti. Tetapi karena
pembangunan masyarakat sosialis berdasarkan Pancasila adalah
pembangunan masyarakat tanpa exploitation de l’homme par l’homme,
masyarakat adil dan makmur, maka sejak sekarang bisa saya katakan bahwa
pembangunan masyarakat demikian sesuai dengan tujuan Marxisme.
 Mengenai agama Islam dan organisasi Islam, out of date atau tidak, hal ini
tergantung pada revolusionerkah atau tidak. Jika tidak revolusioner, maka
ia adalah out of date. Juga partai komunis, seandainya ia tidak revolusioner,
maka ia juga out of date, yang berarti pada hakikatnya ia bukan partai
komunis sekalipun namanya partai komunis. Mengenai organisasi Islam
mana yang progresif revolusioner, saya tidak bisa menjadi hakim dan
memutuskannya. Hal ini tergantung pada tindak-tanduk organisasi-
organisasi Islam itu sendiri. (Sumber: koleksi Komando Operasi Tertinggi
(KOTI) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam Villarian, 2017)

Dari petikan wawancara di atas dapat diketahui bagaimana pandangan objektif dari
sikap Aidit terhadap Agama dan Pancasila yang selama ini selalu dikaburkan dan
dibelokkan oleh lawan-lawan politiknya, kelompok yang takut dan anti dengan
sosialisme. Dengan demikian maka sentimen anti komunisme atau anti sosialisme
murni merupakan politik kambing hitam terutama pada masa itu tensi dunia
menjadi tinggi dengan terjadinya perang ideologi antara blok barat dan blok timur
atau yang dikenal sebagai Perang Dingin. Perang urat saraf yang sampai saat ini
kenyataannya masih belum berakhir walaupun Uni Soviet telah runtuh 26 tahun
yang lalu seiring dengan pengunduran diri Gorbachev dari kursi Sekretaris Jenderal
Partai Komunis Uni Soviet. Perang ini menyisakan satu medan laga yang belum
selesai yaitu semenanjung Korea.

Pada waktu itu, dengan status Bung Karno sebagai tokoh sentral republik
serta kecenderungan politik yang lebih ke arah sosialisme serta wacana
pembentukan poros Moskowa-Beijing-Pyongyang-Jakarta—waktu itu PKI
merupakan organisasi sosialis komunis terbesar yang berada di luar wilayah bekas
kekuasaan Tsar Rusia, membuat beberapa kelompok antikomunis dan masyarakat
kawatir Indonesia akan jatuh ke dalam sosialisme dan komunisme. Masyarakat
beranggapan bahwa jika Indonesia jatuh ke dalam sosialis-komunisme, maka
Indonesia akan menjadi negara yang tidak bertuhan—sekali lagi merupakan produk
dari propaganda lawan politik kaum sosialis waktu itu yang salah satunya adalah
fatwa yang dikeluarkan oleh Masyumi pada Desember 1954 yang menyatakan
bahwa sosialisme, komunisme adalah ateis yang dalam hal ini fatwa tersebut murni
kepentingan politik. Hal ini juga menjadi kekawatiran beberapa negara utamanya
negara barat yang menganggap bahwa komunisme merupakan suatu ancaman
serius yang dapat menghancurkan eksistensi mereka. Dalam suasana Perang Dingin,
negara barat khususnya Amerika dan sekutu waspada terhadap pengaruh sosialis-
komunisme yang sudah tersebar utamanya di Asia. Menurut pandangan Amerika
dan sekutunya, sosialis-komunis sudah menyebar di Tiongkok, Korea (Republik
Demokratik Rakyat Korea—walau secara resmi Kim Il-Sung menyebut bahwa
ideologi mereka adalah Juche), Vietnam, Laos, dan Indonesia. Apabila negara barat
tidak bisa menghentikan penyebaran ideologi ini, maka besar kemungkinan
Australia akan berubah juga menjadi sosialis-komunis. Maka mereka perlu
mengambil langkah agar penyebaran komunisme ke selatan hanya berhenti sampai
di Indonesia saja. Maka CIA yang waktu itu dikepalai Allan Dulles membuat skema
yang bertujuan menyingkirkan komunis. Kemudian terjadilah suatu peristiwa
kelam yang dikenal sebagai Gestok dengan dalang pasukan Tjakrabirawa dan
akhirnya membawa kehancuran bagi komunis dan Soekarno yang dituding sebagai
dalang dari peristiwa kelam tersebut yang dokumennya baru-baru ini dirilis oleh
CIA ke publik bersamaan dengan dokumen intelijen tentang pembunuhan presiden
John F. Kennedy. CIA menganggap bahwa Bung Karno lebih berbahaya ketimbang
PKI., karena sesungguhnya master-mind dari pemikiran revolusi Indonesia dan
pembangunan Sosialisme Indonesia adalah Bung Karno. Justru PKI yang kemudian
mengikuti teori-teori dan pemikiran Bung Karno. Justru PKI dan Aidit yang
kemudian berkompromi dengan Bung Karno dan menjadi tidak sesuai lagi dengan
jalan komunisme ortodoks, karena menjalankan: parlementarisme dan legalisme,
mengadopsi persatuan Indonesia lewat front nasional dan kerjasama Nasakom,
serta mengadopsi jalan damai menuju Sosialisme. Karena itu peristiwa Gestok
pertama-tama tujuannya justru adalah penyingkiran Bung Karno, dengan terlebih
dulu memotong dan menghabisi kekuatan pendukung utamanya, yaitu PKI.

Kejadian kelam dalam sejarah bangsa Indonesia itu membuat jatuhnya sang
Pemimpin Besar Revolusi, PKI, dan cita-cita Sosialisme Indonesia. Menurut Tan
Swie Ling, seorang mantan tahanan politik dalam bukunya yang berjudul G30S PKI
Sebuah Peristiwa Kejahatan Kemanusiaan, rezim pengganti Soekarno yaitu rezim
Orba pimpinan Soeharto secara kejam menumpas dan membantai habis siapapun
yang dicap sebagai PKI, dalam proses peradilan pun pihak rezim berkuasa tidak
mengikuti prosedur hukum contohnya adalah BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
pemimpin PKI yang dimanipulasi secara tidak manusiawi dan juga berbagai aksi
kejahatan kemanusiaan lainnya. Rezim juga memberikan sentimen dan doktrin
benci terhadap segala macam bentuk komunisme, contohnya seperti yang
dikisahkan oleh Roeslan Abdulgani dimana beliau menjadi saksi bahwa dalam
peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 yang selama ini dikisahkan membunuh
banyak kiai, ternyata juga terjadi pembunuhan terhadap 43 orang komunis secara
kejam yang dilakukan oleh militer. Dengan sentimen ateisme menyebabkan
persepsi masyarakat semakin meruncing pada kesimpulan bahwa PKI ateis dan PKI
harus dibantai. Pewarisan kebencian atau dendam seperti ini akan menghambat
penciptaan rekonsiliasi nasional. Dari sudut pandang ini, dilihat bahwa peristiwa
Gestok merupakan salah satu proses berlangsungnya “Perang Dingin” di Indonesia
yang dijalankan oleh penguasa rezim saat itu. Pihak yang paling berkepentingan
menghancurkan PKI dan Presiden Soekarno dari politik adalah kekuatan
kolonialisme/imperialisme yang terkemas dalam Perang Dingin melalui perangkat
kerjanya, CIA yang bersama oknum jenderal menyusupkan agennya ke dalam
tubuh PKI (Tan, 2010). Hal ini diperkuat oleh keterangan ajudan Aidit yang
menyatakan bahwa Aidit menangis dan menanyakan apa kesalahannya sehingga ia
dijebloskan dalam permasalahan Gestok yang artinya Aidit tidak tahu menahu
skenario peristiwa Gestok yang seharusnya secara logika seorang pemimpin PKI
seharusnya paham rencana besar seperti itu. Akhirnya perjalanan komunis di negeri
ini berakhir di tangan penguasa rezim dengan dikeluarkannya TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1966 dan selama masa kuasanya, rezim Orba terus menggerak-
gerakkan “mayat” PKI agar seolah-olah tampak seperti sesosok mayat yang
menakutkan dan mengajak rakyat untuk menghadapi hantu PKI yang sebenarnya
hanya tinggal nama dan mengkultuskan Pancasila serta UUD 1945 yang pada
praktiknya juga banyak penyimpangan. (Tan, 2010).

Warisan rezim Orba tentang hantu PKI memang masih sering didengar
apalagi ketika menjelang pemilihan umum. Sentimen PKI dan anti Pancasila
terbukti ampuh sebagai senjata politik. Sebagian besar masyarakat cemas,
mengingat besar dan dalamnya doktrin anti komunisme yang ditanamkan selama
periode Orde Baru. Dengan kata lain, sangat sulit membawa kembali gerakan
komunisme aktif ke Indonesia dalam wajah apapun. Sisa dari ide komunisme masih
tertinggal di buku-buku dan masih menjadi bahan diskusi banyak pihak dalam
atmosfer akademik pun dalam diskusi warung kopi. Padahal bila menilik sejarah
sedikit ke era Soekarno, cita-cita NASAKOM cukup mewakili betapa Pancasila
merupakan rumah bersama setiap orang, terlepas dari pilihan ideologi politik yang
diyakininya. (Saputra, 2017).
KESIMPULAN

Pancasila dan Sosialis-komunis, dua ideologi yang pernah saling


melengkapi di era perjuangan dan revolusi Indonesia. Jika ditelaah lagi, Indonesia
sejatinya adalah kiri. Dua proklamatornya: Soekarno-Hatta, adalah kiri. Sebagian
besar pendiri bangsa juga berpaham kiri. Konstitusinya UUD 45 adalah sosialistis,
khususnya pasal 33. Pancasila sebetulnya tidak antikomunisme. Sejatinya
komunisme adalah ideologi untuk mendatangkan suatu masyarakat sosialistis di
Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya nilai sosialisme yang terkandung
dalam Pancasila yaitu sila ke-5 sebagai penggenap Pancasila yang mengandung
unsur keadilan sosial. Keadilan sosial inilah merupakan nilai dari sosialis-komunis
yang masuk ke dalam Pancasila. Keduanya juga menentang apa yang disebut
sebagai kolonialisme dan imperialisme serta kapitalisme. Tujuan Bung Karno untuk
mewujudkan Sosialisme Indonesia dituangkan dalam Panca Azimat Revolusi, lima
ajimat revolusi Indonesia, yaitu: Nasakom, Pancasila, Manipol-Usdek, Trisakti dan
Berdikari. Bagi PKI, PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan dan semua sila
sama pentingnya dan tidak boleh ada propaganda anti-agama. Namun dikarenakan
Indonesia tak luput dari medan Perang Dingin, maka dijadikanlah PKI dan
Soekarno kambing hitam dalam peristiwa Gestok yang menyebabkan munculnya
larangan terhadap komunisme dan segala turunannya. Dengan demikian maka isu
komunis akan bangkit kembali tak ubahnya seperti membangkitkan orang mati,
sangat sulit membawa kembali gerakan komunisme aktif ke Indonesia dalam wajah
apapun karena negara ini secara tegas masih melarang segala bentuk komunisme
dan sampai sekarang, dua “sahabat lama” ini akan terus bermusuhan sampai tiba
waktunya rekonsiliasi dan pelurusan sejarah yang serius.
DAFTAR PUSTAKA

Dahm, Bernhard. 2016. "Soekarno Yakin Pancasila dan NASAKOM Adalah Masa
Depan Indonesia" (Online) (http://www.dw.com/id/soekarno-yakin-
pancasila-dan-nasakom-adalah-masa-depan-indonesia/a-19345349)
diakses 26 November 2017 pukul 09.54 WIB.

Gusmian, Islah; Rahardjo, Pamoe. 2002. Bung Karno dan Pancasila. Yogyakarta:
Galang Press.

McVey, Ruth T. 2009. Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta: Komunitas


Bambu.

Saputra, Kristianus Antonius. 2017. Benarkah Komunisme Bangkit Lagi? (Online)


(https://indoprogress.com/2017/09/benarkah-komunisme-bangkit-lagi/)
diakses 26 November 2017 pukul 17.37 WIB.

Setiawan, Bonnie. 2016. Sukarno Itu Kiri Marxis (Online)


(https://indoprogress.com/2016/03/sukarno-itu-kiri-marxis/) diakses 26
November 2017 pukul 11.43 WIB.

Tan Swie Ling. 2010. G30S PKI Sebuah Peristiwa Kejahatan Kemanusiaan
Pemikiran Cina Jelata Korban Orba. Jakarta: Komunitas Bambu.

Villarian. 2017. DN Aidit, Agama dan Pancasila (Online)


(https://indoprogress.com/2017/10/dn-aidit-agama-dan-pancasila-dan-
menemukan-narasi-baru-perjuangan-kiri-melawan-komunisphobia/)
diakses 26 November 2017 pukul 13.25 WIB.

Wilson. 2015. Soekarno, Komunis, dan Fasis Orba. Malang: Intrans Publishing.

Anda mungkin juga menyukai