Anda di halaman 1dari 15

Hukum dan masyarakat sangat berkaitan erat, seperti adagium lama di mana ada masyarakat di situ ada hukum.

Namun diantara anggota masyarakat itu terdapat kepentingan yang berbeda-beda sehingga perlu suatu aturan tata tertib yang dapat mengakomodir setiap kepentingan anggota masyarakat.

Peran yang dimaksud adalah sebagai sikap dan keadaan diri seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan. Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Dalam studi tentang kejahatan dapat dikatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa menimbulkan korban. Meskipun pada sisi lain dikenal pula kejahatan tanpa korban crime without victim, akan tetapi harus diartikan kejahatan yang tidak menimbulkan korban di pihak lain, misal : penyalahgunaan obat terlarang, perjudian, aborsi, di mana korban menyatu sebagai pelaku.

Menurut Mendelsohn, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam : a.Yang sama sekali tidak bersalah. b.Yang jadi korban karena kelalainnya. c.Yang sama salahnya dengan pelaku. d.Yang lebih bersalah daripada pelaku. e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).

Hentig beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah : a. Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi. b. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. c. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama antara si pelaku dan si korban. d. Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila tidak ada provokasi dari si korban.

Peranan korban kejahatan antara lain berkenaan dengan hal-hal : a. Apa yang dilakukan pihak korban. b. Bilamana dilakukan sesuatu. c. Di mana hal tersebut dilakukan.

Tanpa adanya korban tidak mungkin adanya kejahatan. Dalam hal ini peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihakpihak lain dan lingkungannya. Antara pihak korban dan pelaku terdapat hubungan fungsional. Bahkan dalam kejahatan tertentu pihak korban dikatakan bertanggungjawab.

Untuk melihat peran, karakteristik pelaku dan korban kejahatan, Carrol mengajukan rumus dengan pendekatan rasional-analitis. Menurutnya kejahatan adalah realisasi dari keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan beberapa faktor antara lain SU (subjective utility), p(S) (probability of success), G (gain), p(F) (probability of fail), dan L (loss).

SU = (p(S) x G) (p(F) x L)

SU = (p(S) x G) (p(F) x L)
Seseorang yang akan melakukan kejahatan harus mempertimbangkan beberapa hal yang selanjutnya akan menghasilkan keputusan apakah ia akan melakukan tindak pidana atau tidak. Faktor p(S), seberapa besar kemungkinan berhasilnya rencana kejahatan. Faktor G, seberapa besar keuntungan (materi dan kepuasan) yang akan diperoleh. Faktor p(F), seberapa besar kemungkinan gagalnya rencana kejahatan. Faktor L, seberapa besar kerugian yang akan diderita manakala kejahatan yang direncanakan gagal dan tertangkap.

Faktor p(S) dan p(F), sebagian besar teletak pada korban. Artinya, berhasil atau gagalnya rencana kejahatan tergantung pada keadaan diri ataupun tipologi calon korban. Sedangkan faktor G (Gain) terlihat pada sikap korban yang senang dengan gaya hidup mewah dan pamer materi yang lebih menjurus pada peningkatan daya rangsang, sehingga palaku kejahatan secara dini telah dapat memperkirakan keuntungan yang akan diperoleh.

Kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat. Kehadirannya di bumi ini dapat dianggap setua dengan umur manusia. Permasalahan yang dihadapi dalam bentuk-bentuk kejahatan paling tidak ada dua: a. Sukarnya menentukan korban dengan jelas (adanya abstract victims, dan collective victims). b. Sukarnya melakukan penuntutan pidana kepada para pelaku antara lain karena kesukaran dalam pengumpulan barang bukti.

Penegakkan hukum secara hakiki dilandasi 3 hal pokok yaitu landasan ajaran/faham agama; landasan ajaran kultur (adat istiadat) dan landasan aturan hukum positif yang jelas. Penegakkan hukum pada hakekatnya adalah usaha atau upaya untuk menciptakan keadilan. Tujuan penegakkan hukum secara umum adalah untuk menegakkan prinsip equality before the law dan untuk pencapaian keadilan bagi semua orang (justice for all). Penegakkan hukum (law enforcement) tentu akan mendinamisasikan sistem hukum.

Penegakkan hukum yang kurang efektif dan cenderung tidak mampu secara tuntas menangani kejahatan baik kualitas maupun kuantitas telah menimbulkan fenomena baru yang masyarakat sendiri menamakan peradilan massa, yang selalu berpegang pada jalan pintas dan terobosan dengan menghabisi nyawa penjahat yang tertangkap basah.

14 (empat belas) faktor yang mempengaruhi kinerja penegakkan hukum menurut Mastra Liba, yaitu : a. Sistem ketatanegaraan yang menempatkan Jaksa Agung sejajar Menteri. b. Sistem perundangan belum memadai. c. Faktor SDM. d. Faktor kepentingan yang melekat pada aparat pelaksana e. Corpsgeist dalam institusi. f. Tekanan yang kuat kepada aparat penegak hukum g. Faktor budaya. h. Faktor agama. i. Legislatif sebagai lembaga legislasi j. Kemauan politik pemerintah. k. Faktor kepemimpinan l. Kuatnya jaringan kerjasama pelaku kejahatan (organize crime) m. Kuatnya pengaruh kolusi dalam jiwa pensiunan aparat penegak hukum n. Pemanfaatan kelemahan peraturan perundang-undangan.

Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai