Anda di halaman 1dari 5

hak berserikat

berpendapat

berkumpul

dan

Hak asasi manusia dimiliki setiap orang dan tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun, seperti yang tertulis dalam UUD 1945 pasal 28 I
ayat 1. Namun pada kenyataannya, banyak orang yang menjadi korban
pelanggaran HAM. Banyak orang yang disiksa, diperbudak, dibunuh, diambil
kebebasannya, dll. Menurut saya, dari sekian banyak pelanggaran HAM yang
terjadi, yang paling sering dilanggar adalah hak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, seperti yang tertulis dalam UUD
1945 pasal 28 E ayat 3. Dalam ayat tersebut, dikatakan bahwa setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Mengapa hak tersebut yang paling banyak dilanggar? Karena tanpa
sadar kitapun pernah melakukannya. Misalnya jika di suatu organisasi ada
seorang anggota yang malas berkumpul. Saat ada rapat organisasi tersebut,
anggota yang malas tadi ingin menyampaikan pendapatnya, tetapi ditolak
mentah-mentah dan tidak didengarkan oleh anggota organisasi yang
lainnya. Atau misalkan pula ada anggota organisasi yang tidak diperbolehkan
oleh anggota lain untuk berkumpul, karena anggota tersebut sering
mengacau.
Contoh kasus pelanggaran HAM berat tentang hak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah Tragedi Trisakti.
Tragedi tersebut terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Tragedi dilatarbelakangi
oleh krisis finansial pada awal tahun 1998 dan massa menuntut agar
Soeharto turun dari jabatannya. Demonstrasi di depan gedung MPR/DPR
diawali dengan mimbar bebas oleh civitas akademika Universitas Trisakti.
Massa pun membuat aksi damai, namun dihambat oleh blokade dari aparat.
Negosiasi pun dilakukan dan didapat keputusan bahwa mahasiswa dan
aparat sama-sama mundur. Massa pun mundur dan kembali ke Universitas
Trisakti, namun aparat maju dan mulai menembak dengan peluru ke arah
mahasiswa. Korbanpun berjatuhan, dengan 4 orang meninggal dunia dan
belasan lainnya luka-luka.
Dari Tragedi Trisakti, terlihat jelas ada pelanggaran hak menyampaikan
pendapat. Para mahasiswa hanya melakukan mimbar bebas, namun
diserang oleh aparat keamanan. Selain itu, ada pula pelanggaran terhadap
hak hidup, karena ada 4 korban yang meninggal dunia. Padahal pada UUD
1945 pasal 28 A dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat penting untuk ditegakkan, karena bisa mempengaruhi kemajuan
bangsa. Suatu bangsa perlu banyak inovasi dan inspirasi untuk bisa
memperbaiki keadaan. Inovasi dan inspirasi tidak hanya berasal dari para

pemimpin ataupun pihak luar, melainkan bisa berasal dari rakyatnya.


Dengan demikian, rakyat bisa aktif dalam penentuan nasib bangsa kedepan.
Apabila kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat
dapat direalisasikan, niscaya akan ada banyak masukkan dari rakyat, dan
pemimpin juga akan mengetahui apa saja yang menjadi kebutuhan
rakyatnya. Dengan demikian akan terjadi hubungan yang baik antara
pemimpin dan rakyatnya, dan rakyatpun akan senantiasa aktif bekerja sama
dalam pembangunan suatu bangsa.
Menurut saya, pelanggaran HAM tersebut dapat dikurangi dengan
adanya kesadaran dari setiap warga masyarakat termasuk diri kita sendiri.
Jika setiap warga mengakui hak orang lain, maka tidak akan ada
pelanggaran terhadap HAM. Jika semua sadar akan pentingnya HAM, maka
pasti tidak akan ada yang mau melanggar HAM, karena dirinya sendiri pun
tidak mau menjadi korban pelanggaran HAM. Sehingga tercipta suasana
saling menghargai sesama manusia.
Suasana saling menghargai sesama manusia tersebut bisa mengurangi
pelanggaran HAM, terutam hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengemukakan pendapat. Suasana tersebut bisa terwujud dengan adanya
sikap toleransi, rendah hati, tidak memaksakan kehendak dan menerima
keputusan kelompok dengan lapang dada. Kita tentu tidak ingin jika hak kita
dikekang oleh orang lain, karena itu mulailah untuk menghargai orang lain.
Orang lain pun akan merasa tertarik dengan sikap kita dan akan mulai
bersikap demikian, terutama apabila pemimpinnya sendiri yang memiliki
sifat demikian. Jika sifat-sifat tersebut dimiliki oleh para pemimpin, maka
bangsa yang dipimpinnya pun dapat maju, dan pelanggaran HAM terutama
hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat
dapat dikurangi.

Kebebasan Berserikat Dalam UUD 45


Pasal 28 UUD 45 sebelum amandemen mengatakan bahwa Kebebasan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang. Pasal tersebut mengandung pengertian bahwa
kebebasan berserikat adalah pemberian Negara melalui undang-undang.
Amandemen UUD 45 tahap ke-2 tahun 2000 mempertegas dan sekaligus
memperluas makna kebebasan berserikat dalam UUD 45. Isi Pasal 28 tersebut di
atas Kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang tetap dipertahankan
tetapi esensi kebebasan berserikat ditegaskan bukan sebagai pemberian negara,
tetapi sebagai bagian dari hak asasi manusia yang melekat pada warga dan
dihargai oleh Negara. Pasal 28E ayat (3) menegaskan bahwa Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Perumusan Hak Kebebasan Berserikat Dalam Sejarah Pembentukan UUD

Pembahasan dan kesepakatan atas perubahan ketentuan kebebasan berserikat


dalam UUD 45 di PAH I maupun dalam sidang Komisi dan sidang paripurna MPR
tahun 2000 berjalan dengan lancar. Tidak ada yang menentang. Semua pihak
menyadari bahwa kebebasan berserikat sebagai hak asasi adalah salah satu prinsip
utama untuk menegakkan demokrasi yang sebenarnya (genuine) dan rule of law.
Kebebasan berserikat, atau lengkapnya kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat, freedom of association, freedom of assembly and freedom
of speech, adalah conditio sine qua non (prasyarat mutlak) bagi tegaknya
mekanisme checks and balances yang dianut UUD 45. Pembagian kekuasaan antara
eksekutif, legislatif dan judikatif hanya akan bermakna bila ada kewenangan untuk
saling mengimbangi di antara cabang kekuasaan itu. Kemampuan saling
mengimbangi hanya akan mempunyai relevansi dengan aspirasi masyarakat luas
bila ada kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pikiran bagi warga.
Selanjutnya kebebasan berserikat juga merupakan landasan perkembangan
demokrasi yang sehat.
Sejarah mencatat bahwa pengaturan kebebasan berpendapat seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 28 UUD 45 yang lama adalah buah kompromi dari dua
paham pikiran yang berseberangan. Dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU-PKI), bulan Juni 1945, Mohammad Hatta
dan Mohammad Yamin, yang mengusung pendapat bahwa kemerdekaan berserikat
hendaknya diakui dan dimasukkan ke dalam UUD 45, berhadapan dengan Soepomo
yang berpendapat bahwa dalam negara Indonesia merdeka kebebasan pribadi tidak
dipentingkan. Menurut Soepomo dan kawan-kawan, yang perlu ditegakkan adalah
kepentingan bersama dan kepentingan negara serta kewajiban warga negara untuk
mencapai kemakmuran bersama. Ada kemungkinan Soepomo, yang mengetuai
panitia kecil penyusunan rancangan UUD (45), bersikap demikian karena sedang
menyiasati penguasa (militer) Jepang yang menganut paham fasis dan karena itu
Jepang tidak menyetujui paham kebebasan karena dianggap liberal. (Di kemudian
hari Prof Dr Soepomo mengetuai panitia penyusun rancangan UUDS 1950 yang
liberal-parlementer dan pada masa sesudah itu beliau termasuk pendukung hak
asasi manusia). Tetapi perlu juga diperhatikan fakta lain, yaitu PPKI (d.h. BPU-PKI),
pada tanggal 20 Agustus 1945 membuat keputusan untuk mendirikan Partai
Nasional Indonesia, sebagai partai tunggal, partai negara (Jakob Tobing, Berusaha
Turut Melayani, 2008). Kenyataan ini memperjelas bahwa dengan hanya
memperbolehkan partai negara sebagai satu-satunya partai politik, pada dasarnya
rancang bangun sistim politik menurut UUD 45 yang lama adalah rancang bangun
sistim politik totaliter yang tidak mengenal kebebasan berserikat. (Keputusan
tersebut dibatalkan oleh PPKI tanggal 31 Agustus 1945 atas desakan pihak Sekutu
yang telah memenangkan PD II dan telah mulai memasuki Indonesia. Pada tgl 3
November 1945 Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat X yang
mendorong pembentukan partai-partai politik di Indonesia. Inilah permulaan sistim
multi partai dalam Indonesia merdeka).
Kebebasan Berserikat, Demokrasi Konstitusional Dan Negara Hukum
Sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 45 Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, demokrasi kita

adalah demokrasi konstitusional, demokrasi yag dilaksanakan menurut ketentuan


UUD. Pasal II Aturan Tambahan UUD 45 menegaskan bahwa UUD 45 terdiri atas
Pembukaan dan pasal-pasal. Jelas bahwa Pembukaan adalah bagian dari konstitusi.
Oleh karena itu Pancasila sebagai fundamental norms yang terkandung dalam
Pembukaan UUD adalah nilai dasar (value) dan moral demokrasi kita. Demikian
pula penegasan Pasal 1 ayat (3) UUD 45 bahwa Negara Indonesia adalah negara
hukum, memberi kualifikasi bahwa demokrasi kita bergerak dalam ruangan besar
yang diberi batasan hukum. Dalam hubungan itu maka batasan hukum bukanlah
sekedar batasan hukum positif, tetapi batasan hukum yang memenuhi rasa keadilan
dalam lingkup nilai-nilai Pancasila.
Pembentukan partai-partai politik adalah manifestasi yang nyata dari kebebasan
berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Manifestasinya juga terjadi dalam
lingkup minat masyarakat secara luas: budaya, olah-raga, sosial-kemanusiaan,
rekreasi, dan sebagainya. Kemudian, sebagai buah berkembangnya kebebasan
berserikat yang sehat adalah terbentuknya organisasi kemasyarakatan dan pada
gilirannya masyarakat sipil yang matang dan dewasa. Dalam konteks Indonesia
maka masyarakat sipil yang seyogianya terbentuk adalah masyarakat sipil yang
didukung oleh kebebasan berserikat yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila.
Penerapan Kebebasan Berserikat Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa Dan
Bernegara
Pancasila adalah sebuah ideologi terbuka, tidak doktriner dan dogmatik. Sila-silanya
terhubung satu dengan lainnya secara organis, saling menghidupi dan saling
memberi makna. Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, tidak terlepas satu dari lainnya. Penerapannya sangat kontekstual,
dinamis dan aktual. Tidak tersedia rumus siap pakai, instan dan selalu sama, untuk
memformulasikan sebuah kebijakan tertentu. Diperlukan dialog terus-menerus di
dalam masyarakat, langsung ataupun dalam perwakilan, untuk memperoleh sikap
atau posisi yang sesuai dalam koridor nilai-nilai Pancasila.
Dalam latar belakang demikian itulah pengaturan kebebasan berserikat harus
dimaknai. Pasal 28 UUD menyatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapat itu diatur dengan undang-undang, sebagaimana juga
ditegaskan dalam Pasal 28I ayat (5). Di pihak lain, Pasal 28I ayat (1) konstitusi
menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Prinsip-prinsip itu jelas menyatakan bahwa UUD 45
menghormati kebebasan nurani yang merupakan forum internum (dimensi internal)
seseorang sebagai non-derogable rights, yaitu hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Prinsip ini merupakan batas yang prinsipil dalam mengatur
hak-hak kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

Permasalahannya adalah dalam manifestasi dimensi internal (forum internum) itu


dalam kehidupan bersama yang merupakan forum externum (dimensi eksternal).
Hak setiap orang dapat berhadapan dengan hak orang (-orang) lain. Bisa terjadi
perilaku yang dianggap masih dalam forum internum oleh seseorang dirasakan
telah memasuki forum externum oleh anggota masyarakat lainnya.
Sebuah organisasi keagamaan misalnya tidak dapat dibatasi oleh negara bila itu
menyangkut wilayah hubungan hati-nurani umat dengan imannya. Oleh karena itu
setiap bentuk pengaturan perundang-undangan atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat, tidak boleh menerobos masuk kedalam
wilayah internal (forum internum) mereka yang termasuk dalam organisasi
kemasyarakatan itu. Negara dapat masuk kedalam wilayah manifestasinya, yaitu
forum externum, melalui undang-undang dalam rangka menjaga ketenteraman dan
ketertiban. Namun harus diakui bahwa, seperti dikemukakan di atas, batasnya
sering abu-abu, tidak jelas dan rumit. Disinilah pentingnya selalu ada dan dijaga
suasana dialog dan toleransi serta penghormatan terhadap keyakinan dan hati
nurani seseorang di tengah masyarakat.
Atas dasar itu, maka pengaturan yang berpotensi menerobos atau bahkan
melanggar hak asasi manusia, temasuk mengenai organisasi kemasyarakatan,
haruslah dilakukan melalui sebuah proses demokrasi, yaitu dalam rupa undangundang yang dibentuk bersama oleh DPR dengan Presiden dan karena itu dapat
diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. UUD 45 menegaskan
pengaturan dan pembatasan seperti itu hanya dapat dilakukan dengan undangundang (Pasal 28J ayat (2) UUD 45), tidak dengan bentuk peraturan perundangundangan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai