Anda di halaman 1dari 65

PENETAPAN LOKASI PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN

UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI ATAS PUTUSAN PTUN


NOMOR 02 K/TUN/2016 KASUS PLTU BATANG)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S. H) Fakultas Hukum

Universitas Kristen Satya Wacana

BENEDIGTUS BRILIANT TRISNA NIMANUHO

312014021

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

27 APRIL 2021
Lembar Pernyataan Orisinalitas Skripsi

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Benedigtus Brilian Trisna Nimanuho

NIM : 312014021

Judul Skripsi : Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan


Untuk Kepentingan Umum (Studi Atas Putusan Ptun Nomor 02 K/Tun/2016
Kasus Pltu Batang)

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang ditulis ini tidak mempunyai
persamaan dengan skripsi lain.

Demikian pernyataan ini dibuat tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila
pernyataan ini tidak benar, maka akan diberikan sanksi oleh pihak Pimpinan
Fakultas.

Salatiga, 27 April 2021

Benedigtus Brilian Trisna Nimanuho

iii
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan


guna mencapai Gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam proses penulisan skripsi ini
penulis telah di bantu oleh berbagai pihak, oleh karena itu tak lupa penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Marihot Janpiter Hutajulu, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas


Hukum Universitas Kristen Satya Wacana.
2. Bapak Yakub Adi Krisanto, S.H., M.H selaku dosen pembimbing, yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing
penulis menyelesaikan skripsi. Sehingga skripsi ini dapat selesai sesuai
waktu yang ditentukan.
3. Bapak Dr. Jefferson Kameo, S.H., LL.M dan Kustadi, S.H., M.Hum. yang
telah berkenan dan bersedia menjadi penguji pada ujian skripsi penulis.
4. Bapak Ibu Dosen dan Staf yang telah memberikan ilmu, dukungan, dan
fasilitas kepada penulis.
5. Kedua orang tua yang telah memberikan waktu, semangat, dorongan dan
kasih sayang kepada penulis.
6. Teman seperjuangan skripsi Iqbal Annas, Zaki Kurniawan, Ardianto
Prabowo, dan lain-lain yang tidak bias penulis sebutkan satu persatu yang
selalu memberikan dorongan dan semangat kepada penulis
7. Teman – teman Afsonderlike, Trigramyama dan WW Customwork
terimaksih telah menjadi sahabat dan keluarga terbaik bagi penulis yang
selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi, serta doa hingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

iv
8. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam proses
penyelesaian skripsi yang yang tidak bisa penulis sebutkan satupersatu

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran penulis harapkan. Semoga penulisan skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait pada penulisan skripsi ini
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Salatiga, 27 April 2021

Penulis

Benedigtus Brilian Trisna Nimanuho

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah


melimpahkan rahmat serta hidayat-Nya sehingga penyusunan skripsi
dengan judul: “PENETAPAN LOKASI PENGADAAN TANAH BAGI
PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STUDI ATAS
PUTUSAN PTUN NOMOR 02 K/TUN/2016KASUS PLTU
BATANG)” ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini terdiri dari 3
bab. Bab I. Pendahuluan, Bab II. Kerangka teori, hasil penelitian dan
analisis dan Bab III. Penutup yaitu Kesimpulan dan Saran.
Adapun BAB I menjelaskan tentang alasan dan latar belakang
pemilihan judul skripsi, penulis merasa perlu mengangkat tulisan berkaitan
dengan Perlindungan Hukum bagi pemegang hak atas tanah
BAB II menjelaskan tentang kerangka teori, prosedur pengadaan
tanah, kesesuaian rencana tata ruang nasional dan daerah, dan peran
pemerintah dalam pembangunan untuk kepentingan umum.

BAB III berisikan kesimpulan dan saran.

Demikianlah Kata Pengantar yang berisikan sistematika penulisan


skripsi, semoga skripsi dari hasil penelitian ini, penulis harapkan dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Salatiga, 27 April 2021

Benedigtus Brilian Trisna Nimanuho

vi
ABSTRAK

Tanah merupakan hamparan permukaan bumi tempat manusia hidup yang harus
dimanfaatkan seefisien mungkin dan dijaga kelestariannya sehingga dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan dan kesejahteraan
manusia, oleh karena itu harus diatur. Menurut Hukum Indonesia pengaturan
Penguasaan Tanah itu diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang- Undang Pokok Agraria, dan Undang-Undangan lainnya.
Tanah yang dikuasai oleh warga dapat diambil alih oleh pemerintah untuk
kepentingan umum, atas dasar itu dibentuklah peraturan mengenai Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ketentuan ini menjadi
acuan dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap di daerah Batang Jawa Tengah, dalam Pengadaan Tanah itu timbul masalah
dalam proses penetapan lokasi dan pembebasan lahan oleh pemerintah karena
mendapat penolakan oleh warga sekitar pemegang hak katas tanah yang tanahnya
akan di gunakan untuk pembangunan proyek tersebut. Dengan metode penelitian
hukum normatif penulis mengkaji peraturan Hukum Tanah dan teori-teori yang
relevan. Akhirnya sampailah pada kesimpulan dan saran.

Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Kepentingan Umum, Penetapan Lokasi

vii
Daftar Isi

Lembar Persetujuan………………………………………………………….….i
Lembar Pernyataan Orisinalitas Skripsi............................................................iii

UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................iv

KATA PENGANTAR...........................................................................................vi

ABSTRAK............................................................................................................vii

Daftar Isi...............................................................................................................viii

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................5

C. Tujuan dan Manfaat...................................................................................6

D. Metode Penelitian......................................................................................6

E. Sistematika Penulisan................................................................................8

BAB II......................................................................................................................9

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................9

1. Pengertian Pengadaan Tanah........................................................................9

2. Pengertian Kepentingan Umum....................................................................10

Jenis-Jenis Kepentingan Umum.....................................................................13

Analisis...............................................................................................................14

A. Penataan Ruang.............................................................................................14

Rencana Tata Ruang Wilayah............................................................................14

Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang..................................................15

Dasar Hukum Tata Ruang..............................................................................16

viii
Asas dan Tujuan Penataan Ruang..................................................................19

Keseusaian RTRW dan Rencana Pembangunan Nasional atau Daerah........21

B. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum............................................22

1. Pengadaan Tanah........................................................................................22

Tim Persiapan Pengadaan Tanah...................................................................22

Tugas Panitia Pengadaan...............................................................................23

Asas-Asas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.............................24

Prosedur pengadaan tanah..............................................................................25

2. Kepentingan umum.....................................................................................26

Peraturan Perundang-undangan.....................................................................31

C. Pertimbangan Hakim dan Penemuan Hukum.............................................32

Langkah – langkah Analisis Hukum (pemecahan masalah hukum)..............33

D. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor:


049/G/2015/PTUN.Smg. Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor: 02
K/TUN/2016......................................................................................................37

a. Posisi kasus..............................................................................................37

b. Pertimbangan Hukum dan Argumentasi Hakim dalam Putusan


Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor Nomor: 049/G/2015/PTUN.Smg. Jo
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 02 K/TUN/2016...................................41

c. Analisis Terhadap Argumentasi Hakim..................................................46

BAB III..................................................................................................................52

PENUTUP..............................................................................................................52

A. Kesimpulan.................................................................................................52

B. Saran............................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................55

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah memiliki peran sangat penting dalam proses kehidupan masyarakat.
tanah merupakan tempat bermukim, juga sebagai sumber penghidupan bagi
mereka yang mencaria nafkah melalui pertanian dan perkebunan. Disamping itu,
tanah adalah salah satu sarana dalam proses pembangunan untuk kepentingan
umum. Namun persediaan tanah semakin berkurang dengan semakin majunya
perkembangan zaman.

Dari hal tersebut, maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk


kepentingan umum menjadi hal yang sangat penting, terkhusus pembangunan
berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah yang
sangat luas. Dan upaya pengadaan tanah guna kepentingan umum perlu dilakukan
dengan sebaik-baiknya, serta dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam
kehidupan manusia, begitu juga dengan prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah, mengingat bidang-bidang tanah yang diperlukan telah dimiliki oleh
masyarakat atas nama hak kepemilikian.

Dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) telah jelas dikatakan bahwa “bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang kemudian
pengejawantahannya terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan diatur lebih lanjut oleh peraturan-peraturan
lainnya yang terkait dengan pengadaan tanah. Dimana semua hak atas tanah
memiliki fungsi sosial.1 Hal ini yang tidak bisa di elakkan oleh masyarakat,
sehingga hak individu dapat terkalahkan oleh kepentingan umum.

1
UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

1
Mengingat hal tersebut, sehingga pengadaan tanah bagi kepentingan
umum selalu diiringi dengan proses ganti kerugian atas tanah. Seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bahwa pengadaan tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak, dimana pengadaan tanah tersebut
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan
keselarasan.2 Dan bertujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,
dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.3
Begitu pula yang tercantum dalam peraturan pelaksananya dalam PP Nomor 30
Tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, memuat hal yang sama. Namun dalam proses ganti kerugian
dalam hal pengadaan tanah selalu diiringi dengan rasa tidak puas dikalangan
masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut.

Contoh Kasus :

1. Konflik Agraria Kasus Desa Tangun Kecamatan Bangun Purba


Kabupaten Rokan Hulu Tahun 2012.
2. Kasus Sengketa Lahan Hutan Di Kabupaten Siak Tahun 2012.
3. Kasus Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo
Di Desa Lemah Ireng Kec. Bawen 2012

Masalah ganti kerugian memang selalu menjadi isu sentral yang paling
rumit penanganannya dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah. Di
Indonesia yang menganut asas keadilan dalam proses ganti kerugian atas tanah

2
UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bag Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
3
BPN RI, Pengaadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Jakarta,BPN-RI,
2012, h. 3.

2
kerap sekali menuai konflik.4 Seperti halnya pembangunan PLTU Batang yang
mengandung propaganda antara pemerintah dengan masyarakat yang menuntut
agar pemerintah memindahkan lokasi pembangunan PLTU karena lahan tersebut
merupakan sumber bagi penghidupan masyarakat sekitar yang mayoritas
merupakan petanidan juga nelayan. Masyarakat sekitar yang terkena konsinyasi
pun merasa bahwa ganti kerugian yang mereka dapat sangat tidak layak.

Melihat dari proyek PLTU Batang dengan segala rencana tata ruang dan
tata wilayahnya, daerah tersebut merupakan lahan yang produktif, sebab itulah
masyarakat enggan melepaskan hak kepemilikan atas tanah dan menuntut ganti
kerugian dengan nominal yang tinggi. Tanah di daerah tersebut memang memiliki
nilai ekonomis yang juga memiliki fungsi sosial. Dimana ketentuan tanah yang
memiliki fungsi sosial telah diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yaitu “semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. Dari fungsi sosial inilah yang mengharuskan
kepentingan individu dikorbankan untuk kepentingan umum. Fungsi sosial
sebagai salah satu landasan hukum hak menguasai negara atas tanah semakin
memperkuat posisi negara ke arah pencarian tanah-tanah untuk kepentingan
pembangunan menyebabkan kian mudahnya pemilik tanah terusik dari tanah
mereka sendiri.5
Mengenai prosedur pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, Ir. Danu Ismadi menyatakan bahwa peran Pengadilan TUN
dalam penyelesaian sengketa pengadaan tanah adalah pada tahap penetapan
lokasi, dimana jika terjadi keberatan terhadap SK penetapan lokasi yang
dikeluarkan oleh Gubernur, maka pihak yang berkepentingan tersebut dapat
mengajukan gugatannya ke Pengadilan TUN, namun terhadap sengketa dengan
objek sengketa selain SK Penetapan Lokasi maka bukan lagi menjadi ranah
Pengadilan TUN untuk menyelesaikannya. Peran Pengadilan TUN ini telah diatur
dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

4
Maria S. W, Kebijakan Pertanaha Antara Regulasi dan Implementasi Jakarta, Kompas, h.78.
5
Yusriyadi, Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, h.
7.

3
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 23 dan Pasal 49.6 Menurut
Perpres No. 148 Tahun 2015 tentang Perubahan keempat atas Peraturan Presiden
No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pengadaan tanah adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi Ganti Kerugian yang layak dan adil
kepada Pihak yang Berhak.

Pada Oktober 2015 lalu, Warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah,


menyatakan akan mengajukan permohonan kasasi terkait dengan ditolaknya
permohonan mereka untuk membatalkan peraturan Gubernur Jawa Tengah oleh
PTUN Semarang.Peraturan yang dimaksud adalah Surat Keputusan (SK)
Gubernur No.590/35 Tahun 2015 soal Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan
Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 meter persegi untuk Pembangunan PLTU Jawa
Tengah 2x1000 MW.Sebelumnya, PTUN Semarang menolak seluruh gugatan
penggugat atas Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 590/35/2015. Dalam
keterangan di pengadilan, disebutkan SK Gubernur telah melalui beberapa
tahapan berkaitan dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.7

Oleh sebab itu, menjadi penting apabila pengadaan tanah dikaji kembali
dengan lebih mendalam, terkhusus untuk pelaksanaan pembangunan bagi
kepentingan umum. Meskipun telah ada peraturan yang mengaturnya, seperti
Undang – undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak – hak atas tanah
dan benda – benda yang ada diatasnya, PP nomor 39 tahun 1973 tentang acara
penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan dengan pencabutan
hak – hak atas tanah dan benda - benda yang ada di atasnya, Inpres nomor 9
tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak – hak atas tanah dan benda – benda yang
ada di atasnya. Mengenai hak milik yang memiliki fungsi sosial dianggap berhasil
menjadi wadah antara dua kepentingan, yaitu kepentingan pemilik tanah dan

6
Danu Ismadi,http://ditjenmiltun.mahkamahagung.go.id/
7
Anugerah Perkasa, https://ekonomi.bisnis.com/read/20160229/44/523780/pembangkit-listrik-
ma-putuskan-sisa-lahan-untuk-pltu-batang

4
kepentingan di luar individu pemilik tanah. Bahkan fungsi sosial dipandang
mampu menjamin kepastian hukum.8

Jika dilihat dari relevansinya di zaman sekarang ini seharusnya PLTU


sudah mulai ditinggalkan dikarenakan energi yang digunakan tidak ramah
lingkungan sebab pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia
pada tahun 2011 telah membuat komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca sebesar 26% namun di sisi lain Negara kita masih meneruskan kebijakan
perluasan PLTU Batubara.9

Berangkat dari uraian latar belakang di atas, penulis akan membahas


permasalahan tersebut dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “PENETAPAN
LOKASI PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM (STUDI ATAS PUTUSAN PTUN NOMOR 02
K/TUN/2016KASUS PLTU BATANG)”. Dimana dalam proyek tersebut belum
menemukan titik temu ganti kerugian untuk 12,7 hektare bidang tanah yang masih
dibutuhkan pemerintah.10 Beerdasarkan Pasal 1 ayat (1) PERMENDAGRI nomor
15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan – Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan
hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya
dengan cara memberikan ganti rugi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:

Bagaimana pertimbangan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memutuskan


masalah konflik penetapan lokasi untuk pengadaan tanahm pembangunan PLTU?

8
Op.cit.
9
Greenpeace.org, “Ancaman Maut PLTU Batubara”, Agustus 2015, h. 15.
10
Deni Muhtarudin, https://www.jitunews.com/read/20206/kebut-proyek-pltu-batang-pemerintah-
gunakan-konsinyasi

5
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Untuk mengetahui hakikat dari pengadaan tanah dalam aspek
pembangunan
2. Untuk memahami peran pemerintah dalam pengadaan tanah guna
kepentingan umum.
3. Untuk memahami sekaligus memberi pemahaman kepada siapasaja yang
membacanya terkait dengan ganti kerugian dalam pengadaan tanah

Dan penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk para
pembaca secara umum dan khusus untuk penulis sendiri.

D. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian hukum normatif, yaitu :
pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan baku utama, menelaah hal
yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi hukum,
pandangan dan doktrin-doktrin hukum, peraturan dan sistem hukum dengan
menggunakan data sekunder, diantaranya asas, kaidah, norma dan aturan
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan
lainnya, dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan
dan dokumen lain yang berhubungan erat dengan penelitian.11
2. Jenis pendekatan
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara

11
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006,
hlm.24.

6
Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-
Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain, dst.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)


Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang
ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan
tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu
keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam
memecahkan isu hukum yang dihadapi.

c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)


Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini
menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk
membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum
yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan
memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun
asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer
Bahan Hukum primer dalam penulisan penelitian ini adalah
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Undang - Undang
Nomor 5 tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Untuk kepentingan Umum.

7
b. Bahan hukum sekunder
Adapun bahan hukum sekunder dalam proposal ini diperoleh dari
buku-buku yang terkait dengan pengadaan tanah bagi penmbangunan
untuk kepentingan umum, beberapa tesis berkaitan dengan hal
tersebut dan berita dari media masa online.
4. Metode pengumpulan bahan hukum
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi
dokumen atau studi pustaka, dengan menentukan bahan hukum yang
dicari, kemudian mencari bahan hukum sekunderyang diperlukan dengan
mempelajari substansinya.

E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terbagi ke dalam tiga bab yakni :
BAB I mencakupLatar belakang, Rumisan masalah, Tujuan dan Manfaat,
Metode Penelitian, Sistematika penulisan.

BAB II membahas mengenai Pertimbangan Pengadilan Tata Usaha Negara


dalam memutuskan masalah konflik penetapan lokasi untuk pengadaan tanah
pembangunan PLTU

BAB III berisi kesimpulan dan saran.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Pengadaan Tanah

Pengertian Pengadaan Tanah Menurut Sumardjono pengertian pengadaan


tanah, yaitu: “Pengadaan tanah merupakan perbuatan pemerintah untuk
memperoleh tanah untuk berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi
kepentingan umum”.12 Menurut Salindeho, “Penyediaan dan pengadaan tanah
dimaksudkan untu menyediakan atau mengadakan tanah untuk kepentingan atau
keperluan pemerintah, dalam rangka pembangunan proyek atau pembangunan
sesuatu sesuai program pemerintah yang telah ditetapkan”.13 Selain menurut
pendapat para ahli tersebut, terdapat berbagai macam pengertian pengadaan tanah
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Istilah “pengadaan tanah”
secara yuridis pertama kali dikenal sejak keluarnya Keputusan Presiden (Keppres)
No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak
atas tanah tersebut.14

Dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagai penganti Keppres


diatas, disebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan
atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan
dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. 15 Kemudian Perpres No. 65
Tahun 2006 mengubah lagi pengertian pengadaan tanah setiap kegiatan untuk

12
Maria S.W Sumardjono, Tanah Dalam Prespektif Hak Ekonomi Sosial Dan Budaya, PT
Kompas, Jakarta, 2009, hlm. 280
13
John salindeho, Op.Cit, hlm.31.
14
Pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 55 Tahun 1993.
15
Pasal 1 angka 3 Kepres Nomor 36 Tahun 2005.

9
mendapatkan tanah dengan cara memberi ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Perubahan terakhir tentang Pengadaan Tanah ditegaskan kembali dalam
Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa pengadaan tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pihak yang berhak adalah pihak yang
menguasai atau memiliki obyek pengadaan tanah. Obyek Pengadaan Tanah adalah
tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan dan tanaman, benda yang
berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Pengertian Pengadaan
tanah selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, pengadaan tanah adalah


kegiatan pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum dengan memberikan
ganti-rugi yang layak kepada Pihak yang Berhak.

2. Pengertian Kepentingan Umum

Kegiatan perolehan tanah oleh pemerintah untuk melaksanakan


pembangunan ditujukan kepada pemenuhan kepentingan umum. Pembebasan
tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan untuk mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.16 Menurut Sumardjono, kepentingan umum dapat dijabarkan
melalui dua cara. Pertama, berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa
pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui
berbagai istilah. Karena berupa pedoman, hal ini dapat mendorong eksekutif
secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi syarat kepentingan umum.
16
Andrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.

10
Kedua, penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktik
kedua cara itu sering ditempuh secara bersamaan. 17 Menurut Mudakir Iskandar
Kepentingan umum adalah suatu kepentingan yang menyangkut semua lapisan
masyarakat tanpa pandang golongan, suku, agama, ras, status sosial dan
sebagainya. Berarti apa yang dikatakan kepentingan umum ini menyangkut hajat
hidup orang banyak bahkan termasuk hajat orang yang telah meninggal atau
dengan kata lain hajat semua orang, dikatakan demikian karena orang yang
meninggalpun masih memerlukan tempat pemakaman dan sarana lainnya.18
Sedangkan Menurut Salihendo Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan
segi-segi sosial, politik, psikologi dan hankamnas atas dasar asas- asas
pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasionl serta wawasan
nusantara.19 Dalam rangka pengadaan tanah, penegasan tentang kepentingan
umum yang menjadi dasar pengadaan tanah perlu ditentukan secara tegas karena
pengadaan tanah itu bertujuan untuk pembangunan kepentingan umum, maka
harus ada kriteria yang pasti tentang arti atau katagori dari kepentingan umum itu
sendiri. Arti kepentingan umum secara luas adalah kepentingan Negara yang
termasuk didalamnya kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan, atau
dengan kata lain kepentingan umum merupakan kepentingan yang menyangkut
sebagian besar masyarakat. Kepentingan umum menurut doktrin yuridis, arti
kepentingan umum dilihat dari yuridis normatif yaitu sebagaimana ditegaskan
lebih lanjut pada Pasal 1 angka 6 UU No.2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden
No 71 Tahun 2012 Pasal 1 angka 6 yaitu Kepentingan Umum adalah kepentingan
bangsa, Negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. UU tersebut juga
mengubah pengertian dan ruang lingkup kepentingan umum, pembangunan
kepentingan umum meliputi 18 (delapan belas) kegiatan. Kriteria kepentingan
17
Maria S.W Sumardjono, Op.Cit. hlm. 107
18
32 Mudakir Iskandar, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Jala
Permata Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 12.
19
John Salindeho, Op.Cit. hlm. 40.

11
umum ditentukan : (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan (2) tanahnya
selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Melihat kepada beberapa kali perubahan pengertian, kriteria, dan kegiatan


pembangunan kepentingan umum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian kepentingan umum menjadi isu sentral dalam pengadaan tanah.

Arti dari kepentingan umum, harus mencakup kepentingan sebagian besar


masyarakat, dan sebetulnya arti sebagian besar masyarakat itu sendiri termasuk
kepentingan para korban pembebasan tanah, sehingga dua kepentingan
yaitukepentingan antara pengguna tanah dalam hal ini pemerintah dan
kepentingan korban pembebasan tanah dalam hal ini pemilik tanah yang terkena
pembebasan.

Ada tiga prinsip yang dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu kegiatan benar-benar
untuk kepentingan umum, yaitu:

a. Kegiatan tersebut benar-benar dimiliki oleh pemerintah

Kalimat ini mengandung batasan bahwa kegiatan kepentingan umum


tidak dapat dimiliki perorangan ataupun swasta. Dengan kata lain,
swasta dan perorangan tidak dapat memiliki jenis-jenis kegiatan
kepentingan umum.

b. Kegiatan pembangunan terkait dilakukan oleh pemerintah

Kalimat ini memberikan batasan bahwa proses pelaksanaan dan


pengelolaan suatu kegiatan untuk kepentingan umum hanya dapat
diperankan oleh pemerintah. Karena maksud pada kalimat tersebut
belum jelas maka timbul pertanyaan: bagaimana kalau pelaksaaan dan
pengelolaan kegiatan untuk kepentingan umum tersebut ditenderkan
pada pihak swasta, karena dalam prakteknya banyak kegiatan untuk
kepentingan umum namun pengelola kegiatannya adalah pihak
swasta.

12
c. Tidak mencari keuntungan

Kalimat ini membatasi tentang fungsi suatu kegiatan untuk


kepentingan umum sehingga benar-benar berbeda dengan kepentingan
swasta yang bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga
terkualifikasi bahwa kegiatan untuk kepentingan umum sama sekali
tidak boleh mencari keuntungan.20

Jenis-Jenis Kepentingan Umum


Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan Tanah untuk Kepentingan
Umum yang digunakan untuk pembangunan meliputi :

a. Pertahanan dan keamanan nasional

b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api,
dan fasilitas operasi kereta api

c. waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan


air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya

d. pelabuhan, bandar udara dan terminal

e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi

f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik

g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah

h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah

i. rumah sakit Pemerintah/ Pemerintah Daerah

20
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 75.

13
j. fasilitas keselamatan umum

k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah

l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau public

m. cagar alam dan cagar budaya

n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/ desa

o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan atau konsolidasi tanah,


serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan
status sewa

p. prasana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah.

Analisis

A. Penataan Ruang

Rencana Tata Ruang Wilayah


Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sebagai
kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang perlu disyukuri,
dilindungi, dan dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang
terkandung dalam falsafah dan dasar negara Pancasila.Untuk mewujudkan
amanat Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut, Undang-Undang tentang Penataan Ruang ini menyatakan
bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang, yang pelaksanaan
wewenangnya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan tetap
menghormati hak yang dimiliki oleh setiap orang.

14
Secara geografis, letak Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berada di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis, baik bagi
kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem, kondisi alamiah
Indonesia sangat khas karena posisinya yang berada di dekat khatulistiwa
dengan cuaca, musim, dan iklim tropis, yang merupakan aset atau sumber daya
yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Di samping keberadaan yang bernilai
sangat strategis tersebut, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana,
yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan
keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus
dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan
efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.

Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang


Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah:21
“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya.”
Sedangkan menurut D.A.Tisnaamidjaja, yang dimaksud dengan
pengertian ruang adalah “wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan
geometris yang merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan
kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”22.
Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan
manusia, juga sebagai sumber daya alam merupakan salah satu karunia Tuhan
kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia
merupakan suatu aset yang harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan
21
UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
22
D.A. Tisnaadmidjaja, dalam Asep Warlan Yusuf, Pranata Pembangunan, Bandung: Universitas
Parahyangan, 1997, hlm.6

15
bangsa Indonesia secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan
memperhatikan faktor-faktor lain seperti, ekonomi, sosial, budaya, hankam,
serta kelestarian lingkungan untuk mendorong terciptanya pembangunan
nasional yang serasi dan seimbang.
Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana
Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang
Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah:
“Wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara
sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya dan
melakukan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”

Dasar Hukum Tata Ruang


Mochtar Koesoemaatmadja mengonstatir bahwa tujuan pokok
penerapan hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah
ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala
hukum, kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok (fundamental)
bagi adanya masyarakat teratur: di samping itu tujuan lainnya adalah
tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut
masyarakat pada zamannya.23
Menurut Juniarso Ridwan konsep dasar hukum penataan ruang,
tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang berbunyi:
”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia…”
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat,
berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

23
Mochtar Kusumaatmadja. Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Bina Cipta,
1976

16
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”24
Menurut M. Daud Silalahi salah satu konsep dasar pemikiran tata
ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam UUPA No. 5 Tahun 1960.
Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian hak menguasai
dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA memuat wewenang
untuk25:
(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan
penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air
dan ruang angkasa.
(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsep tata ruang dalam tiga dimensi tersebut di atas
terkait dengan mekanisme kelembagaan dan untuk
perencanannya diatur dalam Pasal 14 yang
mengatakan:
(1) Pemerintah dalam rangka membuat suatu rencana
umum mengenai persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa, dan
(2) Berdasarkan rencana umum tersebut Pemda mengatur
persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air,
dan ruang angkasa.
Selanjutnya, Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah, termasuk
mengambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya yang merupakan
kewajiban setiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak ekonomi
lemah.
Ketentuan tersebut memberikan hak penguasaan kepada negara atas
seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada
negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai kewenangan untuk

Juniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, 2008, hlm.23


24

M.Daud Silalahi, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia,
25

Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 2001, hlm.78-79

17
melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam
guna terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.
Untuk dapat mewujudkan tujuan negara tersebut, khususnya untuk
meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
berarti negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang
dalam tercapainya tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan
terarah. Apabila dicermati dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan
dimiliki oleh negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis,
maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan dikembangkan dalam pola
tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap
lingkungan hidup.
Upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah
kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup,
dalam konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam, menurut
Juniarso Ridwan ”melekat di dalam kewajiban negara untuk melindungi,
melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas
pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya
bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan26.
Untuk lebih mengoptimalkan konsep penataan ruang, maka peraturan-
peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak
pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur
penataan ruang adalah Undang-undang No. 267 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 merupakan undang-undang pokok
yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-
undang tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam
melaksanakan perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungan
hidup.

26
Juniarso Ridwan, Op. cit

18
Berikut ini kumpulan peraturan terkait Rencana Tata Ruang Wilayah,
baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keppres, Permen maupun
Kepmen:
1. Undang – Undang No. 26 Tahun 2007 (UU 26/2007), tentang Penataan
Ruang.
2. Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
3. Peraturan Menteri PU No. 11/PRT/M Tahun 2009 tentang Pedoman
Persetujuan Subtansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota, Beserta Rencana Rincinya.
4. Peraturan Menteri PU No.15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
5. Peraturan Menteri PU No.16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
6. Peraturan Menteri PU No.17/PRT/M/2009, tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.
7. Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2010, Tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang

Asas dan Tujuan Penataan Ruang


Menurut Herman Hermit ”sebagaimana asas hukum yang paling utama
yaitu keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-
pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan) apa
pun, termasuk Undang-undang Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas
keadilan”27.
Adapun asas penataan ruang menurut Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah:

27
Herman Hermit, Pembahasan Undang – Undang Penataan Ruang, Mandar Maju, Bandung,
2008, hlm.68

19
Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan
ruang diselenggarakan berdasarkan asas:
a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan . . .
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas. (Pasal 2)
Kesembilan asas penyelenggaraan penataan ruang tersebut pada
intinya merupakan norma-norma yang diambil untuk memayungi semua
kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang.
Adapun tujuan penataan ruang menurut Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 adalah:
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan
lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.(Pasal 3)
Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa rumusan tujuan (pengaturan
penataan ruang) merupakan penerapan bagaimana konsep asas-asas
penyelenggaran penataan ruang mengendalikan arah dan sasaran yang hendak
dituju oleh suatu pengaturan Undang-Undang Penataan Ruang ini.

20
Keseusaian RTRW dan Rencana Pembangunan Nasional atau Daerah.
Lokasi rencana pembangunan yang berdasarkan pada rencana tata
ruang wilayah nsional, provinsi, dan/atau kabupaten kota, dan prioritas
pembangunan (RPJM, rencana kerja kementerian PUPR, dan rencana strategis
kementerian PUPR). Kesesuaian lokasi rencana pembangunan dengan RTRW
dan prioritas pembangunan dapat diperoleh dari Koordinasi dengan
Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya, Untuk rencana pembangunan
yg belum ditetapkan dalam RTRW dan/atau prioritas pembangunan, maka
Kementerian PUPR segera berkoordinasi lebih lanjut dengan Pemerintah
Daerah dan Instansi terkait lainnya untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut dan Dokumen perencanaan pengadaan tanah yang dilampiri dengan
peraturan RTRW dan prioritas lokasi rencana pembangunan yang telah
ditetapkan lengkap dengan peta.

Tujuan penataan ruang wilayah adalah untuk mewujudkan ruang


wilayah kabupaten yang memiliki daya tarik bagi investasi khususnya bidang
industri yang bertumpu pada sektor pertanian dengan tetap memperhatikan
kondisi lingkungan yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Berdasarkan Perda Kab. Batang nomor 7 Tahun 2011 Tentang RTRW


Kab. Batang Tahun 2011 – 2031 kebijakan penataan ruang sangat jelas
dituangkan dalam Pasal 6 huruf f: “pengembangan sistem jaringan prasarana
sumberdaya air untuk kepentingan irigasi, air minum, industri, perikanan dan
pariwisata dengan tetap memperhatikan pelestarian dan keseimbangan
ekosistem” huruf r: “pengembangan kawasan budidaya untuk perwujudan dan
pemanfaatan kawasan peruntukan pertanian” huruf s: “pengembangan
kawasan budidaya untuk perwujudan dan pemanfaatan kawasan peruntukan
perikanan” huruf z: “pengembangan kawasan strategis untuk pelestarian dan
peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk
mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam.”

21
B. Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

1. Pengadaan Tanah

Tim Persiapan Pengadaan Tanah


Tim Persiapan Pengadaan Tanah, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor
71 Tahun 2012. Hal-hal penting dalam Tim Persiapan Pengadaan Tanah tersebut
diuraikan sebagai berikut :

a. Pengertian Pasal 1 Ayat (9) Perpres Nomor 71 Tahun 2012


menegaskan : Tim persiapan Pengadaan Tanah adalah tim yang
dibentuk oleh gubernur untuk membantu gubernur dalam
melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan, pendataan
awal lokasi rencana pembangunan dan konsultasi publik rencana
pembangunan.28 28

b. Susunan Keanggotaan Susunan Keanggotaan Pelaksanaan


pengadaan tanah paling kurang terdiri dari :29

1. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di


lingkungan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

2. Kepala Kantor Pertanahan setempat pada lokasi pengadaan


tanah.

3. Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang


membidangi urusan pertanahan.

4. Camat setempat pada lokasi Pengadaan Tanah.

5. Lurah/Kepala Desa atau nama lain pada lokasi Pengadaan


Tanah.

28
Peraturan Presiden Nomor 71 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Pasal 19
29
Peraruran Presiden Nomor 71 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum, Pasal 49.

22
Tugas Panitia Pengadaan
Tugas Panitia Pengadaan Tanah berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.3 Tahun 2007 memiliki tugas sebagai berikut:

ii. Memeberikan penjelasan atau penyuluhn kepada masyarakat

iii. Mengadakan inventarisasi atas bidang tanah, bangunan, tanaman


dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang haknya
akan dilepaskan atau diserahkan

iv. Mengadakan penelitian mengenai status hukum bidang tanah yang


haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang
mendukungnya.

v. Mengumumkan hasil penelitian dan inventarisasi

vi. Menerima hasil penilaian harga tanah, dan/atau bangunan, dan/atau


benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, dari Lembaga atau
Tim Penilai Harga Tanah dan Pejabat yang bertanggung jawab
menilai bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah.

vii. Mengadakan musyawarah dengan para pemilik dan instansi


pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan atau besarnya ganti rugi.

viii. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan

ix. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para


pemilik

x. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak.

23
xi. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas
pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi pemerintah
yang memerlukan tanah dan Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.

xii. Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian


pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur apabila
musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan
keputusan.

Asas-Asas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum


Dalam Pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2012 Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum dilaksanakan dengan asas :

a). Kemanusiaan

b) Keadilan

c) kemanfaatan

d) kepastian

e) keterbukaan

f) kesepakatan

g) keiukutsertaan

h) kesejahtraan

i) keberlanjutan

j) keselarasan.

24
Prosedur pengadaan tanah
Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum memuat mengenai prosedur
Pengadaan Tanah yang tertuang dalam pasal 14 yaitu sebagai berikut :

1. Perencanaan Instansi pemerintah yang memerlukan tanah membuat


perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum menyusun
proposal rencana pembangunan, yang menguraikan :

a. maksud dan tujuan pembangunan

b. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan Rencana


pembangunan nasional dan daerah

c. letak tanah

d. luasan tanah yg dibutuhkan

e. gambaran umum status tanah

f. perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah

g. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan

h. perkiraan nilai tanah

i. rencana penganggaran

2. Persiapan Pengadaan tanah Berdasarkan proposal instansi


pemerintah yang memerlukan tanah bersama pemerintah provinsi
berdasarkan dokumen perencanaan pengadaan tanah sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 15 melaksanakan :

a. Pemberitahuan rencana pembangunan

b. Pendataan awal lokasi rencana pembangunan

c. Konsultasi public rencana pembangunan

25
3. Pelaksanaan pengadaan tanah Berdasarkan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum, Instansi yang memerlukan
tanah mengajukan pelasanaan Pengadaan Tanah kepada lembaga
pertanahan. Pelaksanaan pengadaan tanah meliputi :

a. Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilik,


penggunaan, dan pemanfaatan tanah 30

b. Penilaian Ganti Kerugian

c. Musyawarah penetapan Ganti Kerugian

d. Pemberian ganti kerugian

e. Pelepasan tanah Instansi

4. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah Lembaga pertanahan


menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada Instansi yang
memerlukan tanah setelah :

a. Pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak dan


Pelepasan Hak

b. Pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan


negeri Instansi yang memerlukan tanah dapat mulai
melaksanakan kegiatan pembangunan setelah dilakukan
serah terima hasil pengadaan tanah.

2. Kepentingan umum
Pasal 18 UUPA menyebutkan bahwa “ Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang”. Pelaksanaan
Pasal 18 ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang

26
Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya dan
operasionalnya berdasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
dan BendaBenda Yang Ada Diatasnya.
Pasal 1 Undang-Undang no 20 Tahun 1961 menyebutkan bahwa : Untuk
kepentingan umum termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak
atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.”.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa kepentingan
umum menurut UUPA dan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 adalah dalam
arti peruntukannya, yaitu untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan
bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Dengan kata lain
kepentingan umum adalah kepentingan yang harus memenuhi peruntukkannya
dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh
masyarakat secara keseluruhan baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam Penjelasan Pasal 49 UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara disebutkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan
Bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat bersama dan atau
kepentingan pembangunan. Kemudian UU No. 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia dalam penjelasan huruf c menyebutkan pula
bahwa kepentingan umum adalah kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas. Menurut Arie Sukanti, kepentingan umum
adalah BPHN kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
berfungsi melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat.30
Karena pengadaan tanah merupakan perbuatan hukum publik maka
kegiatan pengadaan tanah pada prinsipnya ditujukan untuk kepentingan
umum, bukan kepentingan swasta. Oleh karena itu, setiap hukum pengadaan

Arie Sukanti, makalah tentang “Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan
30

Umum”, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Narasumber di BPHN Tanggal 29 Mei 2013.

27
tanah selalu berjudul tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum.
Pengertian kepentingan umum merupakan salah satu isu sentral dalam
pengadaan tanah, karenanya hukum harus memberikan batasan yang tegas
supaya tidak ditafsirkan oleh pemerintah untuk kepentingan lain. Pada masa
lalu baik masa Orde Lama maupun Orde Baru, istilah kepentingan umum
sering dijadikan tameng bagi pengusaha dengan menggunakan corong
pemerintah agar kepentingannya dalam perolehan tanah lancar. 31 Hal inilah
yang pertama kali diterobos oleh Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Keppres No.55 Tahun 1993 memberikan garisan yang tegas terhadap
kepentingan umum. Kepentingan Umum adalah seluruh kepentingan lapisan
masyarakat.32 Keppres ini memberi kriteria setiap pembangunan dapat
dikatakan sebagai kepentingan umum. Ada 3 (tiga) kriteria pembangunan
sebagai kepentingan umum : (1) pembangunan itu dilakukan oleh pemerintah;
(2) selanjutnya dimiliki oleh pemerintah; serta (3) tidak digunakan untuk
mencari keuntungan.33 Dalam Keppres ini disebutkan ada 14 (empat belas)
bentuk kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.34 Keppres ini
31
Kurnia Warman, makalah tentang “Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum”
disampaikan sebagai pemberi keterangan ahli pada persidangan Pengujian UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 14 Agustus 2012.
32
Pasal 1 angka 3 Keppres No. 55 Tahun 1993.
33
Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun 1993.
34
Kegiatan pembangunan kepentingan umum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55 Tahun
1993, meliputi :
a. Jalan umum, saluran pembangunan air;
b. Waduk, , bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi;
c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan masyarakat;
d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolahan;
g. Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas Keselamatan umum seperi antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar
dan lain-lain
bencana;
j. Pos dan telekomunikasi;
k. Sarana olahraga
l. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah;

28
memberikan solusi jika kemudian terdapat pembangunan yang secara
substansi sebagai kepentingan umum tetapi tidak tercantum kedalam daftar
yang 14 tersebut, Presiden dapat mengeluarkan keputusan (beschikking) yang
menyatakan pembangunan tersebut adalah kepentingan umum.35 Jika
pemerintah menganggap perlu ada kegiatan pembangunan yang sangat penting
(kepentingan umum) tetapi tidak terdapat di dalam daftar yang 14 tersebut,
seperti jalan tol, maka tidak perlu dengan cara mengganti Keppres No. 55
Tahun 1993. Namun tawaran ini tidak ditempuh oleh pemerintah, sehingga
untuk mengakomodasi jalan tol saja misalnya pemerintah harus mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, dengan mencabut Keppres No. 55
Tahun 1993.36
Penentuan kepentingan umum di dalam Keppres ini sejalan dengan
metode temuan Michael G. Kitay, yang mengatakan ada 2(dua) cara untuk
penentuan kepentingan umum : pertama General guidelines, yaitu dengan cara
memberikan ketentuan umum terhadap kepentingan umum seperti
kepentingan sosial, kepentingan umum, kepentingan kolektif atau bersama.
General guidelines ini diberikan oleh legislative, lalu dalam pelaksanaannya
eksekutiflah yang menentukan apa saja bentuk kepentingan umum dimaksud
seperti rumah sakit. Kedua List provisions yaitu penentuan kepentingan umum
secara eksplisit. Namun, Katay menyatakan selanjutnya bahwa kebanyakan
negara-negara sekarang menggabungkan kedua cara tersebut dalam
pengaturan pengadaan tanah. Disamping membuat pernyataan umum
kepentingan umum juga sudah diturunkan ke dalam daftar kegiatan secara
limitatif.37
Dalam penentuan pengertian kepentingan umum Perpres No. 36 Tahun
2005, sebagai pengganti Keppres No. 55 Tahun 1993, memakai metode yang
sama dengan Keppres. Perbedaan di antara keduanya adalah isi ketentuan

n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.


35
Pasal 5 ayat (2) Keppres No. 55 Tahun 1993.
36
Kurnia Warman, op cit. , hal. 6
37
Michael G Kitay,., “Land Acquisition in Developing Countrie”s, Policies and procedures of
public sector, with survey and case studies from Korea, India, Thailand, and Equador,
Oelgeschlager. Gunn&Hain, Boston : Publishers, Inc, 1985, hlm. 39-41

29
tersebut. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat.38 Perpres ini tetap menentukan kriteria kepentingan umum,
walaupun hanya satu, yaitu pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah. Perpres tersebut juga menentukan daftar kegiatan
kepentingan umum.39Perpres No. 36 diubah dengan Perpres No. 65 Tahun
2006 termasuk yang salah satu diubah adalah tentang penentuan kepentingan
umum. Adapun perubahan tentang kepentingan umum dalam Perpres ini
meliputi kriteria dan daftar kegiatan kepentingan umum. Pembangunan
kepentingan umum ada 2 (dua) kriteria yaitu, (1) yang dilaksanakan
Pemerintah atau Pemerintah Daerah; (2) yang selanjutnya dimiliki atau ”akan
dimiliki”40 oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.41 . Perpres No. 65 Tahun
2006 juga memuat daftar kegiatan pembangunan kepentingan umum yang
terbagi atas 7 (tujuh) kegiatan, termasuk juga jalan umum dan jalan tol.
Pengertian kepentingan umum tersebut relatif lebih tegas dan berkepastian
hukum sebagaimana ditegaskan lebih lanjut pada Pasal 1 angka 6 UU No.2
Tahun 2012 dan Peraturan Presiden No 71 Tahun 2012 Pasal 1 angka 6 yaitu
Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, Negara dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. UU tersebut juga mengubah pengertian dan ruang
lingkup kepentingan umum, pembangunan kepentingan umum meliputi 18
(delapan belas) kegiatan.42 Kriteria kepentingan umum ditentukan : (1)
38
Pasal 1 angka 5 Perpres No. 36 Tahun 2005.
39
Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 2006, bahwa pembangunan untuk kepentingan yang dilaksanakan
Pemerintah atau Pemerintah Daerah yaitu sebanyak 21 (dua puluh satu) kegiatan mulai dari jalan
umum dan jalan tol sampai kepada pembangkit listrik.
40
Jalan tol yang dibangun dengan sistem BOT (built, operate, and transfer) atau ”bangun guna
serah terima” dapat memenuhi kriteria sebagai pembangunan kepentingan umum.
41
Pasal 1 angka 4 Perpres 65 Tahun 2006
42
Pasal 10 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan Tanah untuk Kepentingan Umum yang digunakan
untuk
pembangunan meliputi :
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi
kereta api;
c. waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan
bangunan
pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;

30
diselenggarakan oleh Pemerintah dan (2) tanahnya selanjutnya dimiliki
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.43
Melihat kepada beberapa kali perubahan pengertian, kriteria, dan kegiatan
pembangunan kepentingan umum tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian kepentingan umum menjadi isu sentral dalam pengadaan tanah.

Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. UU Nomor 2 Tahun 2012. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5280.
3. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
5. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 156.

f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;


g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/ desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk
masyarakat
berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olah raga Pemerintah/ Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
43
Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012.

31
6. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah.

C. Pertimbangan Hakim dan Penemuan Hukum


Legal Reasoning adalah penalaran tentang hukum yaitu pencarian
“reason” tentang hukum atau pencarian dasar tentang bagaimana seorang
hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara
mengargumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar
hukum.44
Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan
untuk memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal
reasoning ini berguna untuk mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan
hukum dengan tujuan untuk menghindari terjadinya pelanggaran hukum di
kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila terjadi sengketa
mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut.45

Dalam kepustakaan Anglosaxon, terdapat dua tipe legal reasoning, yang satu
berdasarkan preseden (based on precedent), dan yang berdasarkan aturan hukum
(based on rules)

1. Reasoning basaed on precedent


Ada 3 langkah:
a. Identifikasi landasan yang tepat atau preseden.
b. Identifikasi kesamaan dan perbedaan yang didasarkan kepada preseden
dengan kasus yang dihadapi atau dengan menganalisis fakta dibandingkan
atau dipertentangkan dengan preseden.
c. Tentukan apakah dari kesamaan – kesamaan ataupun perbedaan factual lalu
memutuskan apakah mengikuti preseden atau tidak.

44
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Jakarta, 1993, h.
45
Ibid

32
2. Reasoning based on rules
Pola ini pada dasarnya adalah deduksi. Perbedaannya dengan pola pertama:

a. pengundangan atau aturan lazimnya mendahului kasus. Titik tolaknya adalah


rules bukan case.

b. asas supremasi legislative, sehingga hakim memainkan peran yang sub-


ordinasi, hakim tidak boleh merubah bahasa aturan.

Note: Reasoning based on precedent disebut juga analogical legal


reasoning. Namun perlu diingat analogi ini berbeda dengan analogi dalam
civil law system.46

Langkah – langkah Analisis Hukum (pemecahan masalah hukum)

1. Pengumpulan Fakta
Fakta hukum bias berupa perbuatan, peristiwa, atau keadaan
2. Klasifikasi Hakekat Permasalahan Hukum
Hukum positif diklasifikasikan atas hukum public dan hukum
privat yang masing – masingnya terdiri atas berbagai disiplin, misalnya
hukum publik terdiri atas hukum tata Negara, hukum administrasi
Negara, dan hukum international publik, sedangkan hukum privat terdiri
atas hukum dagang, hukum perdata, disamping itu ada disiplin
fungsional yang memiliki karakter campuran, misalnya hukum
perburuhan.
3. Identifikasi dan pemilihan isu hukum yang relevan
Isu tentang hukum dalam civil law system, diawali dengan statute
approach, yang kemudian diikuti dengan conceptual approach.dengan
demikian identifikasi isu hukum berkaitan dengan konsep hukum. Dari

46
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada Universit
Press, Yogyakarta, 2005, hlm 36-37

33
konsep hukum yang menjadi dasar, dipilah – pilah elemen – elemen
pokoknya.
4. Penemuan hukum yang berkaitan dengan isu hukum
Dalam pola civil law hukum utamanya adalah legislasi. Oleh
karena itu langkah dasar pola nalar yang dikenal sebagai reasoning
based on rules adalah penelusuran peraturan perundang – undangan
(berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 1 angka 2:
peraturan per undang – undangan adalah produk hukum tertulis yang
dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang, yang isinya
mengikat umum).
5. Penerapan hukum
Setelah menemukan norma konkrit langkah berikutnya adalah penerapan
pada fakta hukum.47 Penerapan hukum tidak lain berarti menerapkan
(peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Menerapkan
(peraturan) hukum pada peristiea konkrit secara langsung tidak mungkin.
Peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu
agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Di waktu yang lampau
dikatakan bahwa hakim adalah corong undang – undang, ia adalah
subsumptie automaat.48

Untuk dapat menjelaskan bagaimana dasar pertimbangan hakim maka penulis


akan menuliskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Tugas Hakim. Tugas
hakim adalah memberi keputusan dalam setiap perkara atau konflik yang
dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum, nilai hukum
dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik secara
imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri dan

47
Ibid, hal 40-44
48
Sudikno Mertokusumo, “penemuan hukum sebuah pengantar”, (Yogyakarta: Liberty,2004), hlm
36

34
bebas dari pengaruh pihak mana pun, terutama dalam mengambil suatu
keputusan.49
Menurut Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
kewenangan hakim dalam memutuskan suatu perkara terdapat tiga aspek
yaitu:a.) Menerima, laporan yang telah diajukan kepada hakim, mencari
keterangan dan barang bukti. b.) Memeriksa, melihat dengan teliti berkas
perkara terdakwa.c.) memutuskan, hukuman suatu perkara yang sedang
diperiksa dan diadili hakim tersebut. Ketika dalam melakukan kewenangan
itu terutama dalam mengadili suatu putusan hakim merupakan mahkota dan
puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili hakim
tersebut.50.

Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam menjatuhkan putusan harus
memperhatikan segala aspek didalamnya yaitu, surat dakwaan, fakta-fakta hakim
dalam persidangan, keadaan masyarakat dalam persidangan. Dengan alasan-alasan
atau pertimbangan sebagaimana Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab
hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara.51

Dalam rangka menegakkan aturan – aturan hokum, maka di Negara hokum


seperti Indonesia, diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan
kehakiman (Judicative Power). Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk
menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan perundang – undangan yang
berlaku (ius constitutum).52

Hakim merupakan salah satu anggota dari catur wangsa penegak hokum di
Indonesia. Sebagai penegak hokum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang

49
Wildan Suyuthi Mustofa, “Kode Etik Hakim, Edisi Kedua”, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2013), hlm 74
50
imdan, “kekuasaan kehakiman”, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm 36
51
Bambang Waluyo, “Pidana dan Pemidanaan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm 80
52
Dr. Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum, “Metode Penemuan Hukum, upaya mewujudkan hokum
yang pasti dan berkeadilan”, (Yogyakarta: UII Press, 2015), hlm 2

35
judicial, yaiutu menerima memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Dengan tugas seperti itu, maka dapat dikatakan
bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu keberadaannya sangat penting dan
determinan dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan –
putusannya. Para pencari keadilan(Justiciabelen) tentu sangat mendambakan
perkara – perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim – hakim
yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat
melahirkan putusan – putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi
juga berdimensikan moral justice dan social justice.53

Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena idealnya
putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi tiga unsur yaitu keadilan
(gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsichereit) dan kemanfaatan
(zwechtmassigkeit).54 Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus
dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya
dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari
keadilan.55
Sudikno Merokusumo dalam bukunya “penemuan Hukum Sebuah Pengantar”
mengemukakan hal yang senada, sebagai berikut:

“ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proporsional,
yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
dan keadilan (Gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Akan tetapi di dalam
prakteknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara
proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional
maka aling tidak ketiga factor itu seyogyanya ada dalam putusan. Tidak jarang
terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya demikian
53
Dr. Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum, “Metode Penemuan Hukum, upaya mewujudkan hokum
yang pasti dan berkeadilan”, (Yogyakarta: UII Press, 2015), hlm 6
54
Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu
Pengantar”, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm 15
55
Dr. Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum, Op. Cit, hlm 7

36
bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum)”, tetapi kalau dijalankan
dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta :
hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). Kalau dalam pilihan putusan
sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta
kemanfaatan, maka keadilannyalah yang harus di dahulukan”.56

Kalau dicermati kepala putusan hakim itu sendiri bunyinya “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh karena itu pertimbangan keadilan
sesungguhnya lebih dikedepankan dalam memutus suatu perkara. Dalam hal ini
memang sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim yang menanganiperkara
tersebut.57

D. Analisis Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor:


049/G/2015/PTUN.Smg. Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor: 02
K/TUN/2016.

a. Posisi kasus
Mengacu pada gugatan yang dijelaskan dalam putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Nomor 049/G/2015/PTUN.Smg. Penggugat Adalah Karomat,
seorang Warga Negara Indonesia yang memiliki sebidang tanah seluas ± 5.075
m2 (lima ribu tujuh puluh lima meter persegi) yang tercatat dalam sertifikat
hak milik (SHM) nomor M.62 atas nama Karomat, dengan batas – batas:

 Sebelah utara : Bekas Yasan Teguh Widodo


 Sebelah timur : Bekas Yasan Suyudi
 Sebelah selatan : Bekas Yasan Khasran dan Tanah Negara
 Sebelah barat : Jalan kampong

56
Sudikno MErtokusumo, “Penemuan Hukum Sebuah Pengantar”, (Yogyakarta: Liberty, 1996),
hlm 79
57
Dr. Bambang Sutiyoso, SH., M.Hum, Op. Cit, hlm 12-13

37
Tergugat adalah Gubernur Jawa Tengah a quo yang memiliki wewenang
dalam menerbitkan objek perkara ini yaitu Keputusan Gubernur jawa tengah
Nomor: 590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan penetapan Lokasi Pengadaan
Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M2 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah
diperuntukan kepada Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero),
tertanggal 30 Juni 2015 dan PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai
tergugat II Intervensi yang memiliki kepentingan dalam Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten
Batang Provinsi Jawa Tengah dan kepentingan terhadap Pengadaan Tanah
Sisa Lahan Seluas 125.146 M2 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Jawa Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah.

Bermula dari Keputusan Bupati Batang Nomor : 460/06/2012 tentang


Pemberian Izin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Power Block untuk PLTU
2 X 1000 MW Kepada PT.Bhimasena Power Indonesia pada tanggal 27 Agustus
2012. PT. Bhimasena Power Indonesia (selanjutnya di singkat PT. BPI)
merupakan perusahaan gabungan (join venture) dari tiga perusahaan diantaranya
J-Power (Electric Power Development Co., Ltd.) perusahaan yang berbasis di
Jepang, PT. Adaro Power, anak perusahaan dari PT. Adaro Energy, dan Ithocu
Coorporation, perusahaan yang berbasis di Jepang berdasarkan perjanjian jual beli
tenaga listrik (Power Purchase Agreement) antara PT. Bhimasena Power
Indonesia dengan PT. PLN (Persero) yang telah ditandatangani pada tanggal 6
Oktober 2011 ( telah diamandemen beberapa kali dan yang terakhir diamandemen
pada tanggal 16 Februari 2015), dimana dalam perjanjian itu PT. Bhimasena
Power Indonesia wajib membebaskan tanah yang diperlukan untuk pembangunan
tersebut.

Dalam proses pembebasan lahan, PT. Bhimasena Power Indonesia


menyatakan ada kendala sehingga besar kemungkinan untuk tidak dapat
menyelesaikan pembebasan lahan hingga tenggang waktu yang disepakati dalam
perjanjian sehingga memerlukan bantuan PLN dalam proses pengadaan tanah

38
mengingat kemungkinan besar pengadaan tanah untuk proyek Coal Java Power
Plan (CJPP) atau proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Batang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati.

Atas dasar kendala tersebut dan PT. BPI telah menyerahkan penanganan
masalah pembebasan lahan yang terkendala tersebut kepada PLN berdasarkan
amandemen Akta Jual Beli antara Pihak PT. BPI dan PLN tertanggal 16 Februari
2015, maka PLN wajib mengadakan tanah dengan usaha terbaiknya sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Kepentingan Umum terhadap sisa lahan untuk pembangunan PLTU Batang
2x1000 MW seluas 125.146 M2 yang masih dalam sengeketa dengan
menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012.

Mengacu pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012


tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dalam upaya menjalankan
subtansinya yang meliputi: Pasal 10 Huruf f: “Tanah untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasa14 ayat (1) digunakan untuk pembangunan
pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik.”; dan Pasal
11 Ayat (1) dan Ayat (2): “(I)Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib diselenggarakan oleh Pemerintah
dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah.;(2) Dalam
hal Instansi yang memerlukan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah Badan Usaha Milik Negara,
tanahnya menjadi milik Badan Usaha Milik Negara.” serta Pasal 21: ”(1) Apabila
dalam Konsultasi Publik ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)
masih terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana lokasi pembangunan,
Instansi yang memerlukan tanah melaporkan keberatan dimaksud kepada
gubernur setempat. (2) Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian atas
keberatan rencana lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

PLN sebagai instansi yang memiliki kepentingan dalam pengadaan tanah


untuk kepentingan umum yaitu berdirinya PLTU Batang dan kemudian ditindak

39
lanjuti oleh Pemerintah Daerah Jawa Tengah sebagai pihak yang memiliki
kewajiban dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum menerbitkan Surat
Keputusan Gubernur jawa Tengah Nomor 590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan
penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M2 Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten
Batang Provinsi Jawa Tengah diperuntukan kepada Unit Induk
Pembangunan VIII PT. PLN (Persero), tertanggal 30 Juni 2015.

Kemudian, Karomat sebagai salah satu pemilik tanah yang terdampak dengan
adanya proyek pembangunan PLTU Batang merasa semakin dirugikan dengan
terbitnya surat keputusan tersebut, sehingga ia mengajukan gugatan ke PTUN
Semarang dengan obyek perkara Surat keputusan Gubernur jawa Tengah Nomor
590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa
Lahan Seluas 125.146 M2 Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa
Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah
diperuntukan kepada Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero),
tertanggal 30 Juni 2015. Dasar hukum Pengajuan gugatan yang dilakukan oleh
karomat didasarkan atas bunyi Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang No. 9 Tahun
2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan; “Orang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi”

b. Pertimbangan Hukum dan Argumentasi Hakim dalam Putusan


Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor Nomor: 049/G/2015/PTUN.Smg. Jo
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 02 K/TUN/2016.
Berikut ini penulis uraikan terlebih dahulu putusan akhir dari perkara PLTU
Batang yang mana pada tahap kasasi dengan nomor perkara 02K/TUN/2016
menyatakan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Karomat tidak dapat

40
diterima dengan argumentasi hukum dari hakim yaitu secara formil tenggang
waktu pengajuan kasasi dari pemohon kasasi Karomat telah lewat tenggang
waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan Pasal 46 Ayat (1) Undang-undang
nomor 5 tahun 1985 yang berbunyi: ” Permohonan kasasi dalam perkara perdata
disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan
kepada pemohon.”

Dengan adanya putusan kasasi tersebut maka penulis mengacu pada putusan
awal Nomor 049/G/2015/PTUN.Smg yang pada intinya Menolak gugatan
Karomat terhadap pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara dengan obyek
sengketa yang berupa Surat keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35
Tahun 2015 Tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan
Seluas 125.146 M² Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah
2x1.000 MW di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah diperuntukan kepada
Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero), tertanggal 30 Juni 2015. Disisi
lain majelis hakim juga menolak eksepsi dari tergugat seluruhnya.

Berikut ini penulis uraikan beberapa dasar pertimbangan hukum dari hakim
dalam menolak eksepsi dari tergugat terlebih dahulu:

 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang tidak berwenang


mengadili (exceptie Van Onbeveogheid)/(kompetensi absolut)

Dikarenakan obyek sengketa TUN merupakan keputusan yang dikecualikan


dari kewenangan PTUN berdasarkan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986.

41
Hakim berpendapat bahwa PTUN Semarang berwenang memeriksa
dan mengadili sengketa dalam perkara ini. Hal tersebut didasarkan pada
ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang nomor 2 Tahun 2012 yang
berbunyi: “Dalam hal setelah penetapan lokasi pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) masih terdapat
keberatan, Pihak yang Berhak terhadap penetapan lokasi dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan lokasi.”
Berdasarkan bunyi pasal diatas maka ketentuan pasal 49 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi: “Pengadilan tidak
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; b. dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Mengacu pada asas Lex Posteriori derogate lex apriori ( dimana
ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama) maka menurut hakim
Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah tidak relevan lagi
karena telah digantikan dengan Pasal 23 Ayat (1) Undang-undang nomor 2
Tahun 2012.

 Gugatan penggugat kurang pihak (Exception Plurium Litis


Consortium)
Hakim berpendapat bahwa tidak ada relevansinya memasukan
Bupati sebagai salah satu pihak tergugat dalam perkara ini dikarenakan
objek perkara dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Yang diterbitkan
oleh Gubernur yaitu Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor

42
590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan
Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M2. Sehingga dengan kata lain, menurut
hakim, sudah tetap atau cukup penggugat menggugat Gubernur Jawa
Tengah dan tidak perlu menggugat bupati Batang.

 Gugatan yang diajukan oleh penggugat bersifat premature (Exceptio


Dilatoria)

Hakim berpendapat bahwa mengacu pada Undang-undang yang


bersangkutan, dalam hal ini Pasal 20 Undang-undang Nomor 2 Tahun
2012 keberatan mengenai rencana lokasi Pembangunan merupakan
rangkain prosses dalam Tahapan Konsultasi Publik rencana
pembangunan untuk mencapai suatu kesepakan dari pihak yang berhak,
sehingga upaya kebaratan hanya merupakan tahapan prosedur/ tahap
persiapan untuk diterbitkanya keputusan final yang berupa Keputusan
persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah dengan demikian upaya
keberatan tersebut tidak bisa dikatakan merupakan Upaya
Administrasi. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tidak
ada ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme Upaya Administrasi
sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Seperti halnya pembahasan penolakan eksepsi yang pertama,


dalam eksepsi yang ketiga ini juga berlaku asas Lex Posteriori derogate
lex apriori (dimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru
mengesampingkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama)
yaitu Pasal 20 Ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yang
berbunyi “Apabila sampai dengan jangka waktu 60 (enam puluh)hari kerja
pelaksanaan Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana
lokasi pembangunan, dilaksanakan Konsultasi Publik ulang dengan pihak
yang keberatan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.” Sebagai Lex
Posteriori mengesampingkan Pasal 48 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5

43
Tahun 1986 yang berbunyi “mensyaratkan sebelum mengajukan gugatan
Tata Usaha Negara diwajibkan menempuh upaya Administrati terlebih
dahulu karena penggugat belum menempuh Upaya administrasi tersebut
gugatan penggugat menjadi premature.” Sebagai Lex Apriori.

 Gugatan yang diajukan oleh Penggugat tidak jelas atau kabur


(obscuur libel) / Tidak Berdasarkan Hukum (ONRECGHMATIGE)

Hakim berpendapat bahwa gugatan penggugat sudah cukup jelas


dan tidak kabur (Obscuur libel) dikarenakan:

a. Penggugat telah menguraikan dalam gugatannya peraturan


perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik
yang menjadi alasan-alasan gugatannya
b. Dari petitum gugatannya, Penggugat telah memohon kepada
pengadilan dengan tuntutan pokok berupa pernyataan batal atau
tidak sah keputusan objek sengketa dan tuntutan tambahan berupa
pencabutan keputusan objek sengketa, dengan demikian tidak
merubah substansi uraian pokok dalil gugatan Penggugat yaitu
untuk memohon pembatalan objek sengketa sebagaimana diuraikan
dalam petitumnya. Maka hal tersebut telah sesuai dengan dengan
ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 97 ayat (8), ayat (9), dan
ayat (10) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang- Undang
No. 9 Tahun 2004.

Selanjutnya berikut ini pertimbangan hakim dalam menolak pokok perkara


dari gugatan penggugat terhadap obyek sengketa yaitu Surat Keputusan Gubernur
Jawa Tengah Nomor 590/35 Tahun 2015 tidak melanggar asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik
dari:

1. Segi kewenangan

44
Hakim berpendapat bahwa dari segi materi (bevoegdheid ratio
materiale) maupun dari segi tempat (bevoegdheid ratioloci) masih dalam
ranah kewenangan Tergugat untuk menerbitkan obyek sengketa tersebut
berdasarkan apa yang telah tertuang dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor
2 Tahun 2012 yang berbunyi “Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
diselenggarakan oleh pemerintah.” Serta Pasal 19 Ayat (6) telah
menetapkan bahwa: “Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh
Instansi yang memerlukan tanah.” dan Pasal 22 ayat (1) yang berbunyi:
“Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6), gubernur menetapkan
lokasi pembangunan.”

2. Formal procedural
Menurut pendapat hakim dengan mempertimbangkan seluruh
uraian melalui saksi dan bukti-bukti yang ada,serta mengacu pada
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 jo Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 yang mana di dalam keduanya telah
mengatur secara terperinci tahapan-tahapan dalam proses pengadaan
tanah, maka prosedur pengadaan tanah yang dilakukan tergugat tidak
mengandung cacat prosedur dikarenakan tahapan pelaksanaan pengadaan
tanah telah sesuai dengan peraturan yang ada, kemudian Hakim juga
berpendapat bahwa undangan sosialisasi dan undangan konsultasi publik
telah memenuhi sarat formal maupun substansinya disamping itu seluruh
undangan tersebut telah disampaikan kerumah Penggugat akan tetapi
pengugat tidak menghadirinya , dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa yang bersangkutan telah kehilangan haknya atau
tidak mengunakan haknya dengan sebaik-baiknya.

3. Substansi atau materiil

45
Hakim berpendapat bahwa penunjukan PT. PLN (Persero) pada
obyek sengketa a quo adalah dalam rangka Pengadaan Tanah Sisa Lahan
seluas 125.146 M² Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa
Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten Batang berdasarkan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum dan berkaitan dengan lokasi obyek
sengketa yang terletak di Desa Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman,
Kabupaten Batang adalah telah sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah yang tercantum dalam Pasal 27 Ayat (2) Huruf d Peraturan
Daerah Jawa Tengah. Nomor 6 Tahun 2010 yang berbuyi: “Rencana
pengembangan prasarana kelistrikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di
Kabupaten Cilacap, Kabupaten Rembang, Kabupaten Jepara, Kabupaten
Kendal, Kabupaten Batang, Kota Semarang.” maupun Peraturan Daerah
Kabupaten Batang Nomor 07 Tahun 2011. Pasal 19 ayat (4) huruf a :
“Rencana pengembangan energi alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, meliputi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap di
kawasan peruntukan industri Ujungnegoro Kecamatan Kandeman” dan
Pasal 49: “Kawasan strategis untuk pendayagunaan sumber daya alam dan
teknologi tinggi sebagaimana dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b, meliputi
kawasan peruntukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Ujungnegoro di
Kecamatan Kandeman.”

c. Analisis Terhadap Argumentasi Hakim


Sebagaimana telah dideskripsikan di atas bahwa Hakim menolak gugatan
Penggugat, yang berbunyi:

1. Mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan ini mendasarkan pada pasal 23


ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum. Bahwa dalam hal setelah penetapan lokasi
pembangunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (6) dan pasal 22
ayat (1) masih terdapat keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan
lokasi dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara setempat

46
paling lambat 30 (tiga Puluh) hari kerja sejak dikeluarkannya penetapan
lokasi. Maka pengajuan gugatan ini masih dalam tenggang waktu tiga puluh
hari sejak saat diterimanya atau diumumkannya surat keputusan Tergugat;
2. Penggugat mengetahui penerbitan keputusan a quo tertanggal 30 Juni 2015
dari Pengumuman Nomor 590/008987 tentang Pengumuman Keputusan
Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun 2015 Tentang Persetujuan
Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M2
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di
Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah yang telah tersebar luas di
masyarakat
3. Penggugat pada tanggal 6 Agustus 2015, telah mengajukan keberatan dalam
bentuk Somasi kepada Tergugat namun tidak mendapat respon;
4. Dengan demikian, gugatan ini masih dalam tenggang waktu yang
dipersyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum

Yang artinya bahwa Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35
Tahun 2015 Tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan
Seluas 125.146 M² Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah
2x1.000 MW di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah yang diperuntukan
kepada Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero) tetap dinyatakan sah,
sehingga dengan demikian Majelis Hakim memandang tidak perlu
mempertimbangkan pokok sengketanya. Untuk mengetahui ketepatan amar
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara perlu dikemukakan ketentuan Pasal 97 ayat
(7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa “Putusan
Pengadilan dapat berupa: (1) Gugatan ditolak; (2) Gugatan dikabulkan; (3)
Gugatan tidak diterima; (4) Gugatan gugur.”

Berdasarkan gugatan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha


Negara Semarang memutuskan menolak gugatan penggugat. Putusan berupa
gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata

47
Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau sah. Surat Keputusan Surat
keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun 2015 Tentang
Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M²
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di
Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah diperuntukan kepada Unit Induk
Pembangunan VIII PT. PLN (Persero) dalam perkara a quo sudah sesuai dengan
perundang-undangan, peraturan presiden ataupun asas-asas yang berlaku sehingga
dalam hal ini gugatan Penggugat ditolak dan Surat Keputusan objek sengketa tetap
dinyatakan sah.

Dalam ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang


Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan : ”Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara
tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan butir b
menyatakan : Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari rumusan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1986


tersebut, dan dihubungkan dengan kriteria keadaan mendesak dan kepentingan
umum yang didalilkan pihak Tergugat dan pihak Tergugat II Intervensi dalam
eksepsinya Nomor 7 dan 8 yang berbunyi:

7. “Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, diatur
sengketa tata usaha negara yantidak menjadi kewenangan Pengadilan
Tata Usaha Negara yaitu sebagai berikut:
Pasal 49
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana
alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”;
Lebih lanjut, penjelasannya menegaskan bahwa:

48
“Yang dimaksud dengan"kepentingan umum" adalah
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat
bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” (Penebalan dari
Tergugat);
8. Berdasarkan penjelasan-penjelasan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, telah terbukti bahwa
pembangunan Proyek PLTU Batang telah memenuhi unsur-unsur
adanya kebutuhan mendesak (darurat) dan untuk kepentingan umum.
Selain itu, pembangunan Proyek PLTU Batang tersebut juga
dilakukan dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional untuk
meningkatkan perekenomian dan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu, telah cukup alasan bagi Majelis Hakim Yang Mulia untuk
menilai bahwa Penetapan Lokasi yang diterbitkan PT. PLN (Persero)
dalam rangka pembangunan Proyek PLTU Batang dikeluarkan dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Maka Majelis Hakim memandang perlu untuk menentukan tolok ukur dari keadaan
mendesak. Untuk hal ini dapat dilihat perbandingan ketentuan yang terdapat dalam
lapangan hukum Tata Negara, yakni ketentuan Pasal 22 ayat (1) UndangUndang
Dasar Tahun 1945. Pada pasal ini ditemukan rumusan keadaan mendesak dalam arti
noodverordeningsrecht, yang hanya merupakan hak dan wewenang Presiden selaku
kepala pemerintahan untuk menetapkan Peraturan pemerintah Pengganti
UndangUndang (PERPU). Sedangkan keadaan darurat dalam staatsnoodrecht
hanya ada pada Presiden selaku Kepala Negara dan hanya dapat dikeluarkan
apabila negara dalam keadaan bahaya.

Mengenai kriteria kepentingan Umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1


angka 6 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 adalah “kepentingan bangsa,
negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”

Tergugat (Gubenur Jawa Tengah) dalam menerbitkan objek sengketa pada


hakekatnya adalah bersumber dari Ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum:

Pasal 6 yang berbunyi:

49
“Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum diselenggarakan oleh
Pemerintah”
Pasal 19 ayat (6):
“menetapkan bahwa: Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empatbelas)
hari kerja terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan
penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah; “
dan Pasal 22 ayat (1):
“ menetapkan bahwa: Dalam hal ditolaknya keberatan atas rencana
lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6),
gubernur menetapkan lokasi pembangunan;”

Atas dasar ketiga pasal tersebut diatas tindakan Gubernur Jawa Tengah
sebagai pemerintah terkait telah tepat dalam mengeluarkan surat keputusan
penetapan lokasi pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap di
Batang, Jawa Tengah. Yang kemudian diperkuat dengan peraturan yang lebih
terperinci yang terdapat pada Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum pada:

Pasal 1 angka 13
menetapkan bahwa: “Penetapan lokasi adalah penetapan atas lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum yang ditetapkan dengan
keputusan gubernur, yang dipergunakan sebagai izin untuk pengadaan
tanah, perubahan penggunaan tanah, dan peralihan hak atas tanah
dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
Pasal 41
menetapkan bahwa; “Penetapan lokasi pembangunan dilakukan oleh
gubernur berdasarkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 34 ayat (3), “atau ditolaknya keberatan dari
Pihak yang Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(1)”.

Penulis dalam hal ini berpendapat bahwa Hakim sudah tepat menolak gugatan
Penggugat dan Menyatakan eksespi Tergugat tidak diterima. Tindakan Tergugat
dalam menerbitkan Sertipikat Objektum litis adalah telah sesuai dengan prosedur
sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang baik (AUPB).

Dalam rangka Pengadaan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum kehadiran
Undang-undang No. 2 Tahun 2012 memang memiliki kekuatan Hukum yang
mengikat. Namun secara pelaksanaannya masih terdapat kelemahan-kelemahan,

50
antara lain: terlalu luasnya arti Kepentingan Umum, bentuk dan dasar perhitungan
ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah, dan mekanisme Pengadaan Tanah
yang dilakukan oleh Pemerintah.

Dengan demikian majelis hakim juga berpendapat bahwa baik dari segi materi
(bevoegdheid ratio materiale) maupun dari segi tempat (bevoegdheid ratio loci)
adalah menjadi kewenangan Tergugat untuk menerbitkan obyek sengketa.
Mengenai lahan Penggugat yang berada di lokasi yang menjadi obyek persetujuan
penetapan lokasi pengadaan tanah obyek sengketa a-quo, Tergugat dan Tergugat II
Intervensi (Gubernur Jawa Tengah) sudah sesuai Undang-Undang Administrasi,
AUPB dan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dalam
menerbitkan Keputusan Nomor 590/35 Tahun 2015 tentang Persetujuan Penetapan
Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M² Pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2 x 1.000 MW di kabupaten Batang Propinsi Jawa
Tengah diperuntukan Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero) tertanggal
30 juni 2015 .

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan sub bab rumusan masalah dan pembahasan sebelumnya maka
penulis dalam hal ini berpendapat bahwa Hakim sudah tepat menolak gugatan
Penggugat dan Menyatakan eksespi Tergugat tidak diterima. Akhir dari perkara
PLTU Batang yang mana pada tahap kasasi dengan nomor perkara

51
02K/TUN/2016 menyatakan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Karomat
tidak dapat diterima dengan argumentasi hukum dari hakim yaitu secara formil
tenggang waktu pengajuan kasasi dari pemohon kasasi Karomat telah lewat
tenggang waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan Pasal 46 Ayat (1) Undang-
undang nomor 5 tahun 1985. Dengan adanya putusan kasasi tersebut maka penulis
mengacu pada putusan awal Nomor 049/G/2015/PTUN.Smg yang pada intinya
Menolak gugatan Karomat terhadap pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
dengan obyek sengketa yang berupa Surat keputusan Gubernur Jawa Tengah
Nomor: 590/35 Tahun 2015 Tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan
Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 M² Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah yang
diperuntukan kepada Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero),
tertanggal 30 Juni 2015.
Tindakan Tergugat dalam menerapkan Undang-undang nomor 2 Tahun
2012 dalam hal ini salah satunya adalah penerapan prosedur pengadaan tanah bagi
kepentingan umum serta dalam menerbitkan Sertipikat Objektum litis adalah telah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang baik (AUPB). Tergugat (Gubenur Jawa Tengah) dalam
menerbitkan objek sengketa pada hakekatnya adalah bersumber dari Ketentuan
Pasal 6, Pasal 19 ayat (6) dan Pasal 22 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun
2012 jo. Pasal 1 angka 13 dan Pasal 41 Perpres Nomor 71 Tahun 2012, dengan
demikian majelis hakim juga berpendapat bahwa baik dari segi materi
(bevoegdheid ratio materiale) maupun dari segi tempat (bevoegdheid ratio loci)
adalah menjadi kewenangan Tergugat untuk menerbitkan obyek sengketa.
Mengenai lahan Penggugat yang berada di lokasi yang menjadi obyek persetujuan
penetapan lokasi pengadaan tanah obyek sengketa a-quo, Tergugat sudah sesuai
aturan dan sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Maka
Surat Keputusan objek sengketa tetap dinyatakan sah

52
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan beserta kesimpulan, maka
penulis memberikan saran-saran sebagai beriku:
1. Penulis menyarankan kepada masyarakat/penggugat agar lebih tanggap lagi
mengenai peraturan perundang-undangan terkait yang ada di Negara
Republik Indonesia ini terutama dalam hal ini Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012. Agar dapat menggunakan hak nya sebaik mungkin supaya
mendapatkan rasa keadilan sebagai pihak yang terkena imbas dari proyek-
proyek yang dijalankan oleh pemerintah.
2. Saran dari penulis untuk Pemerintah sebagai tergugat dalam konteks
keilmuan Hukum perlu adanya edukasi dan pendekatan kepada masyarakat
mengenai penerapan peraturan perundang-undangan sehimgga dapat tercapai
secara maksimal Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB)
sebagaimana telah tertulis, dan pemerintah harus lebih aktif dalam
memberikan penyuluhan Hukum kepada msayarakat.
3. Serta saran dari penulis kepada pemerintah sebagai legislatif, Dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum masih perlu disesuaikan dengan
UUPA Tahun 1960 dengan menambahkan Undang-Undang mengenai Ganti
Rugi didalam UU No. 2 Tahun 2012 untuk menjaga keseimbangan antar
produk hukum yang sudah disusun oleh pemerintah, Pemerintah juga harus
berusaha secara terus menerus meningkatkan mutu profesionalisme dan
integeritas para penegak hukum berikut pelaksana teknis demi terjaminnya
perlindungan hukum dan hak-hak asasi pemegang tanah dalam kerangka
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dengan demikian panitia
pengadaan tanah mampu menghadirkan rasa keadilan bagi pemegang hak atas
tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

53
DAFTAR PUSTAKA

A. Syafitri, Myrna dkk. Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia. Jakarta:


HuMa, 2010

Alam, Wahyu Candra. Pengadaan Tanah untuk Keoentingan Umum Kurang Dari
Satu Hektar Dan Penetapan Ganti Kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran
Jalan Gatot Subroto Di Kota Tangerang). Semarang: Program Studi

54
Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,
2010.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Amiruddin, Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:


Rajawali Pers, 2010.

Arikunto, Suharsimin. Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.

Asri, Benyamin, Thabrani Asri. Tanya Jawab Pokok-Pokok Hukum Perdata dan
Hukum Agraria. Bandung: CV. ARMICO, 1987.

BPN RI. Pengaadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.


Jakarta: BPN-RI, 2012.

Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia,


2002.

Erwiningsih, Winahyu. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Yogyakarta: Total


Media, 2009

Fratmawati, Dwi. Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan


Umum (Studi Kasus Pelebarab Jalan Raya Ngaliyan-Mijen). Semarang:
Program Pasca Sarjana Universitan Diponegoro, 2006.

Halim, Ridwan. Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan


Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan, 2008.

Harsono, Boedi. Sedjarah Penjusunan isi dan pelaksnaanja Hukum Agraria


Indonesi. Jakarta: Djambatan, 1971.

Iskandar, Mudakir. Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum.


Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010.

55
Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju,
1996.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitan Hukum. Jakarta: Erdana Media Group, 2007.

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2007.

S.W. Sumardjono, Maria. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan


Implementasi. Jakarta: Kompas, 2009.

Salindeho, John. Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika,


1993.

Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada, 2006.

Soesangoben, Herman. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan


Agraria. Yogyakarta: STPN Press, 2012.

Soetrisno. Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri. Jakarta: Rineka Cipta,
2004.

Soimin, Sudharyo. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafia,
2004.

Sunindhia, Y.W. Pembaharuan Hukum Agrari (Beberapa Pemikiran). Jakarta:


Bina Aksara, 1988.

Sutedi, Adrian. Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk


Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Yusriyadi. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial. Yogyakarta: Genta


Publishing, 2010.

Peraturan Perundang – undangan

56
Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasca Amandemen.

Undang – undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

Undang – undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi


Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan


Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Sumber Elektronik:

Greenpeace.org, “Ancaman Maut PLTU Batubara”, Agustus 2015 (diakses 5


Desember 2020)

Deni Muhtarudin, https://www.jitunews.com/read/20206/kebut-proyek-pltu-


batang-pemerintah-gunakan-konsinyasi (diakses 5 Desember 2020))

Danu Ismadi, http://ditjenmiltun.mahkamahagung.go.id (diakses 5 Desember


2020))

AnugerahPerkasa
https://ekonomi.bisnis.com/read/20160229/44/523780/pembangkit-listrik-ma
putuskan-sisa-lahan-untuk-pltu-batang

57

Anda mungkin juga menyukai