PROPOSAL SKRIPSI
Oleh :
ARI YANTO
NIM : 10193941
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 BANYUWANGI
2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diajukan Oleh :
ARI YANTO
NIM : 10193941
Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi
ARI YANTO
NIM : 10193941
DAFTAR ISI
Pasal 10 ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan
Pasal 17 UUPA telah diundangkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Untuk melaksanakan
redistribusi tanah sebagaimana diamanatkan Pasal 17 ayat (3) UUPA jo
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah ditetapkan
Peratuaran Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah ini
kemudian telah diubah dan ditambah dengan peraturan Pemeritan Nomor 41
Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peratuaran Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA telah ditetapkan
Pertuaran Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Peratuaran Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai
(Absente) bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Mengingat ketentuan Pasal
10 ayat (1) UUPA diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Pertuaran
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menentukan bahwa : “ Pemilik
tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya,
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya
kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pendah ke
kecamatan letak tanah tersebut “.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara
absente/guntai menurut Peratuaran Perundang-undangan tidak
diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10
UUPA. Tanah absente adalah tanah pertanian yang terletak di luar tempat
tinggal pemilik tanah.
Ketentuan mengalihkan tanahnya kepada orang lain yang bertempat
tinggal diluar kecamatan tanah terletak merupakan pengaturan tentang
pemilikan tanah secara absente. Pemilikan tanah absente dilarang dengan
tujuan untuk mencegah penguasaan dan pemilikan tanah hanya pada
sebagian orang. Pemilikan tanah pertanian diutamakan dimiliki oleh petani
karena dapat menjalankan fungsi tanah dengan baik dan optimal serta
memberikan keseimbangan dan keserasian untuk berbagai macam keperluan
manusia. Jangka waktu pemindahan hak milik atas tanah pertanian tersebut
perlu dibatasi agar pemilik tanah yang bersangktuan tidak mengulur-ulur
waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran
terhadap larangan tersebut maka tanah yang bersangkutan akan diambil
alaih oleh Pemerintah untuk kemudahan diredistribusikan dalam rangka
program Reforma Agraria dan kepada bekas pemilik diberikan ganti rugi.
Program Reforma Agraria ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf (k)
Peratuaran Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria
bahwa : “ Tanah kelebihan maksimum, tanah absente dan tanah
swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan
perundang-undangan sebagai obyek redistrbusi tanah “, maka sudha dapat
dipastikan bahwa tanah absente menjadi salah satu obyek redstribusi tanah
dalam Program Reforma Agraria.
Seseorang boleh memiliki tanah pertanian dengan batasan tertentu
sesuai dengan daerah kepadatan penduduknya sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Keadaan masyarakat Indonesia
yang sebagian besar sebagai petani namun tidak mempunyai tanah akhirnya
mengerjakan tanah pertanian milik orang lain untuk mempertahankan
hidupnya. Keadaan ini bertentangan dengan asas mengerjakan dan
mengusahakan tanah secara aktif.
Pemilikan tanah secara absente pada dasarnya dilarang, karena tidak
sesuai dengan asas mengerjakan sendiri tanah pertanian, tetapi larangan ini
di kecualikan kepada pegarai negeri, ataran mengenai hal ini ada dai dalam
Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 untuk
selanjutnya disebut dengan PP No. 224/1961 menentkan bahwa :
“ Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (3) Pasal ini tidak berlaku bagi
mereka, yang mempunyai tanah dikecamatan tempat tinggalnya atau
dikecamatan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat (2) pasal ini,
yang sedasng menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban
agama, atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima
oleh Menteri Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-
pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang
menjalankan tugas negara, perkecualian tersebut pada ayat ini
terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas
maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan
menurut Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 “.
Hak milik dibatasi oleh Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial tanah berarti hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Hal
ini penting sekali untuk selalu mengingatkan para pemilik atau yang
mempunyai tanah dan siapa saja yang mempunyai hak lainnya atas tanah,
bahwa apabila tanah itu diterlantarkan, maka negara berhak
memproduktifkan tanah itu berdsarkan hak menguasai yang ada di tangan
negara.
Hak milik ini berbeda dengan hak eigendom barat yang bersifat
mutlak, sehingga pemilik atas tanah tersebut harus mengusahakan dan
mengelola tanahnya dengan optimal dan secara efisien oleh karena itu
diperlukan kedekatan fisik antara tanah dengan pemiliknya.
j. Tanah bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas
eigendom yang luasnya lebih dari 10 (sepuluh) bahwa yang
masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan
sebagai objek redistribusi; dan
k. Tanah kelebihan maksimum, tanah absente dan tanah
swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi
ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi tanah.