Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN YURIDIS PENGECUALIAN KEPEMILIKAN TANAH

ABSENTE BAGI APARATUR SIPIL NEGARA BERDASARKAN


PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 224 TAHUN 1961

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh :

ARI YANTO
NIM : 10193941

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 BANYUWANGI
2022
PERSETUJUAN PEMBIMBING

“ TINJAUAN YURIDIS PENGECUALIAN KEPEMILIKAN TANAH


ABSENTE BAGI APARATUR SIPIL NEGARA BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 224 TAHUN 1961 “

Diajukan Oleh :

ARI YANTO
NIM : 10193941

Disesujui untuk Ujian Proposal

Dosen Pembimbing Utama, Dosen Pembimbing Anggota,

RUDI MULYANTO, S.H., M.Kn. WISNU ARDITYA, S.H., M.Kn.


NIDN. 0716116801 NIDN. 0707078106

Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi

RUDI MULYANTO, S.H., M.Kn.


NIDN. 0716116801
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah Azza Wajalla, dengan


ucapan “ Alhamdulillahi Robbil ‘Alamien “ karena dengan petunjuk dan karunia-
Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian
dengan judul : “ TINJAUAN YURIDIS PENGECUALIAN KEPEMILIKAN
TANAH ABSENTE BAGI APARATUR SIPIL NEGARA BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 224 TAHUN 1961 ”

Bahwa penyusunan proposal penelitian ini dilakukan guna memenuhi


tahapan agar Penulis dapat mengikuti Sidang Proposal dalam rangka penyusunan
penulisan skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum (Strata 1) pada jurusan Ilmu Hukum di Universitas 17 Agustus 1945
Banyuwangi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal penelitian ini
masih banyak kekurangan dan keterbatasan, sehingga Penulis senantiasa berharap
bimbingan dan arahan dari berbagai pihak terkait. Oleh karenanya dalam
kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :

1. Bapak Drs. Andang Subaharianto, M.Hum selaku Rektor Universitas 17


Agustus 1945 Banyuwangi;
2. Bapak Rudi Mulyanto, S.H., M.Kn., selak Dekan Fakultas Hukum universitas
17 Agustus 1945 Banyuwangi, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Utama
yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan penyusunan proposal penelitian ini;
3. Bapak Wisnu Arditya, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing Anggota yang
telah banyak memberikan masukan untuk memudahkan dalam penentuan
judul hingga pada tahapan penyusunan proposal penelitian ini;
4. Para dosen, civitas akademika, serta seluruh karyawan Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, atas segala ilmu dan pengetahuan
yang diberikan;
5. Orang tuaku, saudara-saudaraku, semua keluarga dan kerabat atas doa dan
dukungan yang telah diberikan dengan setulus hati;
6. Semua pihak dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu
yang telah memberikan bantuannya dalam penyusunan tesis ini.

Sebagaimana Sabda Rosululloh SAW. : “ Bahwa setiap anak cucu Adam


pasti memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang memiliki kesalahan adalah
segera bertaubat dan memperbaiki kesalahan tersebut “.

Begitu pula dengan penulisan proposal ini, Penulis menyadari bahwasanya


dalam penyusunan proposal penelitian ini masih banyak kekurangan-kekurangan
dan keterbatasan sehingga jauh dari sempurna. Menyadari sepenuhnya akan
keterbatasan penulis baik dari segi kemampuan maupun bekal ilmu saat menulis
proposal penelitian ini. Oleh karena itu, penulis senantiasa siap menerima segala
bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap agar


penyusunan proposal penelitian ini dapat disetujui sehingga Penulis dapat
mengikuti tahapan selanjutnya dalam rangka menyelesaikan tugas akhir sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata 1) periode tahun 2023.

Banyuwangi, 16 Desember 2022


Penyusun,

ARI YANTO
NIM : 10193941
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................
1.2. Rumusan Masalah ...........................................................
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................
1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................
1.5. Metode Penelitian ...........................................................
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................
2.1. Pengertian Hak Milik ......................................................
2.2. Tinjauan Umum Peraturan Tanah Pertanian secara
Absente ...........................................................................
2.3. Larangan Kepemilikan Tanah Absente ..........................
2.4. Pengecualian Kepemilikan Tanah Absente ....................
2.5. Tinjauan Umum Landreform ..........................................
2.6. Aparatur Sipil Negara .....................................................
2.7. Teori Keadilan Hukum ...................................................
BAB III EVALUASI & ANALISIS PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN TERKAIT ......................................................... 7
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS & YURIDIS ........ 10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bahwa keberadaan tanah sebagai permukaan bumi merupakan faktor
yang sangat penting untuk menunjang kesejahteraan rakyat dan merupakan
sumber utama bagi kelangsungan hidup dalam mencapai kemakmuran
rakyat. Tanah juga merupakan salah satu sumber kehidupan manusia dan
pembangunan suatu bangsa, khususnya petani. Petani yang memerlukan
tanah pertanian sebagai sarana produksi pertanian dan tanah pertanian juga
berarti penting dalam suatu bangsa sebagai salah satu penopang ketahanan
pangan disuatu negara. Berdasarkan hal tersebut tanah pertanian perlu diatur
keberadaannya agar tidak dikuasai secara besar-besaran oleh sebagian pihak
saja.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
untuk selanjutnya disebut dengan UUD 1945 menentukan bahwa : “ Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat “.

Untuk merealisasikan Pasal 33 ayatu (3) UUD 1945 maka ditetapkan


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria yang untuk selanjutnya disebut dengan UUPA. Pemerintah
juga mengadakan Program Reforma Agraria yang terdiri dari 2 (dua)
kegiatan yaitu Landreform (berupa asset reform) dan access reform, dua
kegiatan ini pada dasarnya harus seimbang untuk menciptakan tujuan
Reforma Agraria yang sebenarnya. Program Landreform di Indonesia
meliputi :
1.1.1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
1.1.2. Larangan pemilikan tanah secara absente/guntai;
1.1.3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum,
tanah-tanah yang terkenan larangan absente/guntai, tanah-tanah
bekas Swapraja dan tanah-tanah negara;
1.1.4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian
yang digadaikan.
1.1.5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
1.1.6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah petanian, disertai larangan
untuk melakukan perbuata-perbuatan yang mengakibatkan
pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi baigan yang
terlampau kecil.

Tujuan Landreform di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua


bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara umum
Landreform diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945 bertujuan untuk
mewujudkan keadilan dan pemrataan dalam penguasaaan dan kepemilikan
tanah untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap
warga Indonesia yang memiliki fungsi sosial. Sedangkan secara khusus
Landreform menaikkan taraf hidup dan penghasilan petani penggarap,
sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur. Tujuan Landreform secara garis besar adalah untuk menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur dalam penguasaan dan kepemilikan tanah
di Indonesia.
Reforma Agraria secara yhuridis diataur dalam UUPA pasal 7, Pasal
10 ayat (1) dan Pasa 17. Pengaturan tentang pemilikan tanah pertanian
dalam UUPA dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu Pasal 10 ayat
(1) dan Pasal 7 dengan pasal 17 UUPA. Pasal 10 ayat (1) UUPA
menentukan bahwa : “ Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai
sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan “
Bagian kedua yaitu Pasal 7 UUPA menentukan bahwa pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampuai batas tidak diperkenankan. Untuk
menghindari praktek tuan tanah dan untuk menjamin kemakmuran rakyat
perlu diatur batas maksimum pemilikan tanah. Pasal 17 UUPA menentukan
bahwa : “ Tanah yang merupakan kelebihan batas maksimum diambil oleh
pemerintah dengan ganti kerugian, selanjutnya dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan. Kelebihan luas maksimum perlu diataur agar
tercapaianya pemerataan pemilikan tanah oleh masyarakat “.

Pasal 10 ayat (1), Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Perundang-undangan, sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan
Pasal 17 UUPA telah diundangkan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Untuk melaksanakan
redistribusi tanah sebagaimana diamanatkan Pasal 17 ayat (3) UUPA jo
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah ditetapkan
Peratuaran Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah ini
kemudian telah diubah dan ditambah dengan peraturan Pemeritan Nomor 41
Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peratuaran Pemerintah
Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA telah ditetapkan
Pertuaran Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Peratuaran Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai
(Absente) bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Mengingat ketentuan Pasal
10 ayat (1) UUPA diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Pertuaran
Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yang menentukan bahwa : “ Pemilik
tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya,
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya
kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pendah ke
kecamatan letak tanah tersebut “.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pemilikan tanah pertanian secara
absente/guntai menurut Peratuaran Perundang-undangan tidak
diperbolehkan, karena pada prinsipnya melanggar asas dalam Pasal 10
UUPA. Tanah absente adalah tanah pertanian yang terletak di luar tempat
tinggal pemilik tanah.
Ketentuan mengalihkan tanahnya kepada orang lain yang bertempat
tinggal diluar kecamatan tanah terletak merupakan pengaturan tentang
pemilikan tanah secara absente. Pemilikan tanah absente dilarang dengan
tujuan untuk mencegah penguasaan dan pemilikan tanah hanya pada
sebagian orang. Pemilikan tanah pertanian diutamakan dimiliki oleh petani
karena dapat menjalankan fungsi tanah dengan baik dan optimal serta
memberikan keseimbangan dan keserasian untuk berbagai macam keperluan
manusia. Jangka waktu pemindahan hak milik atas tanah pertanian tersebut
perlu dibatasi agar pemilik tanah yang bersangktuan tidak mengulur-ulur
waktu dalam usahanya untuk memindahkan hak miliknya tersebut.
Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran
terhadap larangan tersebut maka tanah yang bersangkutan akan diambil
alaih oleh Pemerintah untuk kemudahan diredistribusikan dalam rangka
program Reforma Agraria dan kepada bekas pemilik diberikan ganti rugi.
Program Reforma Agraria ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf (k)
Peratuaran Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria
bahwa : “ Tanah kelebihan maksimum, tanah absente dan tanah
swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi ketentuan
perundang-undangan sebagai obyek redistrbusi tanah “, maka sudha dapat
dipastikan bahwa tanah absente menjadi salah satu obyek redstribusi tanah
dalam Program Reforma Agraria.
Seseorang boleh memiliki tanah pertanian dengan batasan tertentu
sesuai dengan daerah kepadatan penduduknya sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Keadaan masyarakat Indonesia
yang sebagian besar sebagai petani namun tidak mempunyai tanah akhirnya
mengerjakan tanah pertanian milik orang lain untuk mempertahankan
hidupnya. Keadaan ini bertentangan dengan asas mengerjakan dan
mengusahakan tanah secara aktif.
Pemilikan tanah secara absente pada dasarnya dilarang, karena tidak
sesuai dengan asas mengerjakan sendiri tanah pertanian, tetapi larangan ini
di kecualikan kepada pegarai negeri, ataran mengenai hal ini ada dai dalam
Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 untuk
selanjutnya disebut dengan PP No. 224/1961 menentkan bahwa :
“ Ketentuan dalam ayat (1) dan ayat (3) Pasal ini tidak berlaku bagi
mereka, yang mempunyai tanah dikecamatan tempat tinggalnya atau
dikecamatan sebagai yang dimaksudkan dalam ayat (2) pasal ini,
yang sedasng menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban
agama, atau mempunyai alasan khusus lainnya yang dapat diterima
oleh Menteri Agraria. Bagi pegawai-pegawai negeri dan pejabat-
pejabat militer serta yang dipersamakan dengan mereka, yang sedang
menjalankan tugas negara, perkecualian tersebut pada ayat ini
terbatas pada pemilikan tanah pertanian sampai seluas 2/5 dari luas
maksimum yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan
menurut Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 “.

Pengecualian terhadap pemilikan tanah secara absente diatur lebih


lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977
yang menentukan bahwa sejak mulai berlakunya Perturan Pemerintah ini,
pengecualian dari ketentuan-ketentuan mengenai larangan untuk memiliki
tanah pertanian secara guntai (absente) yang berlaku bagi para pegawai
negeri dan diperlakukan juga bagi pensiunan pegawai negeri dan janda
pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah
lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri.
Berdasarkan perkembangan zaman saat ini istilah Pegawai Negeri Sipil
telah diperbaharui sebagaimana diundangkan dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Pengertian Pegawai Aparatur Sipil Negera dalam Pasal 1 butir 2,
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negera
menentukan bahwa :
“ Pegawai Aparatur Sipil Negera yang selanjutnya disebut Pegawai
ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan
perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian
dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi
tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan perturan perundang-
undangan “.

Penelitian ini difokuskan pada “ Kepemilikan Tanah Absente Oleh


Aparatur Sipil Negara “ yang pada dasarnya kepemilikan tanah secara
absente telah dilarang oleh UUPA yang berlaku di Indonesia akan tetapi
terdapat pengecualian bagi Pegawai Negeri Sipil karena itu peneliti ingin
mengetahui apa yang menjadi pertimbangan adanya peraturan pengecualian
kepemilikan tanah secara absente oleh Pegawai Negeri Sipil dan apakah
pengecualian ini juga berlaku bagi Aparatur Sipil Negara mengingat
Undang-undang pokok kepegawaian telah diganti dengan Undang-undang
Aparatur Sipil Negara, sedangkan jika melihat Pasal 33 UUD 1945, tanah
digunakan sebagai kemakmuran rakyat, tanah persawahan atau pertanian
dimana pemiliknya bukan warga sekitar tidak diperkenankan oleh UUPA,
maka apakah pengecualian yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Pasal 3
ayat (4) Peratuaran Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 sudah sesuai
dengan prinsip kepemilikan tanah.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apakah pertimbangan hukum yang digunakan atas pengecualian
terhadap Pegawai Negeri Sipil untuk memiliki tanah absente ?
1.2.2. Apakah Aparatur Sipil Negera termasuk dalam pengecualian
pemilikan tanah absente ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Untuk mengkaji dan memahami perkembangan regulasi terkait
pelarangan kepemilikan tanah absente.
1.3.2. Untuk mengkaji dan memahami terhadap batasan atau kriteria
aparatur sipil negara yang termasuk dalam pengecualian pemilikan
tanah absente.
1.3.3. Untuk mengkaji dan memahami prinsip hukum yang digunakan atas
pengecualian terhadap aparatur sipil negara untuk memiliki tanah
absente.

1.4. Manfaat Penelitian


Setiap penulisan yang dilakukan pasti diharapkan dapat memberikan
manfaat. Manfaat tersebut baik secara teoritis maupun praktis diperuntukkan
bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan uraian sebagai berikut :
1.4.1. Manfaat Teroritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dibidang
hukum perdata khususnya di bidang pertanahan dan ilmu
kenotariatan, memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk
kajian kritis, asas-asas, teori-teori serta kajian teoritis yang lebih
menitikberatkan kepada “ Kepemilikan Tanah Absente Oleh
Pegawai Negeri Sipil “ yang pada dasarnya kepemilikan tanah
secara absente telah dilarang oleh UUPA yang berlaku di Indonesia
akan tetapi terdapat pengecualian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan jika melihat Pasal 33 UUD 1945 tanah digunakan sebagai
kemakmuran rakyat dan tanah persawahan atau pertanian dimana
pemiliknya bukan warga sekitar tidak diperkenankan oleh UUPA,
maka apakah pengecualian yang diatur oleh Pertuaran Pemerintah
Pasal 3 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 sudah
sesuai dengan Prinsip Kepemilikan Tanah dan Tujuan Hukum yang
sebenarnya. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu
pengembangan teori-teori yang terkait.

1.4.2. Manfaat Praktis


a. Penelitian ini dapat memberikan masukan yang sangat berharga
bagi Notaris sebagai pejabat umum;
b. Penelitian ini dapat memberikan masukan yang sangat
bermanfaat bagi para pemegang hak milik atas tanah sawah serta
instansi terkait baik dari aparat penegak hukum yaitu Aparatur
Sipil Negara maupun Badan Pertanahan Negara;
c. Penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi diri sendiri;
d. Penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
masyarakat luas pada umumnya mengenai “ Kepemilikan Tanah
Absente oleh Aparatur Sipil Negara “, yang pada dasarnya
kepemilikan tanah secara absente telah dilarang oleh UUPA;
e. Penelitian ini dapat memberikan jalan keluar terhadap
permasalahan yang dihadapi dalam hal terjadinya kepemilikan
tanah absente bagi seluruh masyarakat Indonesia;

1.5. Metode Penelitian


Metode penelitian merupakan suatu syarat mutlak yang dilakukan
dalam suatu penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah agar analisa yang
dilakukan terhadap objek studi dapat dilakukan dengan benar, sehingga
kesimpulan akhir yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Fungsi penelitian hukum adalah untuk memperoleh kebenaran yang
dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu
metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya.
Kebenaran dalam hal ini bukan kebenaran secara religius dan metafisis
melainkan dari segi epistimologis, artinya kebenaran harus diliahat dari segi
epistimologis.
Metodologi penelitian pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan
ilmiah yang didasarkan kepada suatu metode, sistematika, dan pemikiran
terntentu yang bertujuan mempelajari suatu gejala tertentu dengan jalan
menganalisisnya, karena penelitian didalam ilmu-ilmu sosial merupakan
suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk
memperoleh pemecahan masalah dan memberikan kesimpulan-kesimpulan
yang tidak merugikan. Penelitian adalah merupakan sarana pokok dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertjuan untuk
mengungkap kebenaran sistematis, metodologis dan konsisten.

1.5.1. Obyek Penelitian


Obyek penelitian ini adalah :
a. Implementasi larangan kepemilikan tanah secara absente
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 di
Kabupaten Banyuwangi.
b. Penerapan hukum pengecualian kepemilikan tanah secara
absente bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1977.

1.5.2. Subyek Penelitian


Subyek dalam penelitian ini meliputi :
a. Kepala Kantor ATR/BPN Kabupaten Banyuwangi;
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang ada di Kabupaten
Banyuwangi.

Dalam metode penelitian normatif ada beberapa pendekatan


yang dapat digunakan untuk menyelsaikan masalah, yaitu
pendekatan filsafat, pendekatan perundang-undangan, pendekatan
konsep, pendekatan perbandingan dan pendekatan historis. Dengan
beberapa pendekatan tersebut penulis mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu hukum yang diangkat dalam
permasalahan untuk kemudian dicari jawabannya. Adapun dalam
penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan 2 (dua) macam
pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)


pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
dilakukan dengan menelaah semua undan-undang dan regulasi
yang besangkut paut dengan isu hukum yang sedang teliti. Hasil
dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk
memecahkan isu yang diteliti.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)


Pendekatan konseptual (Conceptual Approach) beranjak
dari pendangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang bekembang
dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, penelitian akan
menemkan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan, dengan isu yang dihadapi. Pendekatan konseptual
dalam penelitian ini merujuk pada prinsip-prinsip hukm. Prinsi-
prinsip ini dapat ditemukan dalam penadangan-pandangan
sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum.
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar
belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan
mengenai isu yang dihadapi. Pendekatan historis bertujuan
untuk mencari aturan hukum dari waktu ke waktu dalam rangka
memahami filosofi dari aturan hukum tersebut dan mempelajari
perkembangan aturan hukum tersebut.

1.5.3. Sumber Data


a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini akan diperoleh dengan
melakukan observasi atau penelitian secara langsung dilokasi
yakni terhadap subyek penelitian.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data pelengkap yang dapat
dikorelasikan dengan data primer, data sekunder merupakan
sumber bahan hukum yang dapat menguraikan isu hukum
sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
selayaknya, dan sumber bahan hukum ini diperoleh dari sumber
yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan,
antara lain :
1). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2). Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Perturan
Dasar Pokok-pokok Agraria;
3). Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara;
4). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian;
5). Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absente) Bagi
Pensiunan Pegawai Negeri;
6). Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentan Reforma
Agraria.

Sumber bahan bahan yang dapat pula memberikan


informasi dan dapat membantu menganalisis serta memahami
bahan dari sumber yang mengikat, diantaranya dapat berupa :
1). Buku-buku literatur;
2). Jurnal hukum dan majalah hukum;
3). Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan koran;
4). Tesis, artikel ilmiah dan disertasi;
5). Pendapat praktisi hukum;
6). Berbagai buku yang relevan dengan kode etik profesi
notaris.

1.5.4. Metode Pengumpulan Data


a. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan observasi.
Wawancara yaitu proses mendapatkan informasi dengan cara
bertanya langsung kepada narasuber yang telah ditentukan.
b. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan, yaitu
pengumpulan data-data dengan cara mencari, menemukan dan
menelaah peraturan perundang-undangan atau literatur lain yang
berkaitan dengan obyek penelitian.

1.5.5. Metode Pengolahan Data


Data dalam penelitian ini diolah dengan metode Non-Statistik
disebabakan karena penelitian dilakukan dengan metode kualitatif.

1.5.6. Pendekatan Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan,
yaitu mengkaji peraturan-peraturan yang berlaku kemudian
dihubungkan dengan fakta-fakta yang terjadi dalam penerapan
peraturan-peraturan tersebut dalam masyarakat.

1.5.7. Anasilis Bahan Hukum


Cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang
sudah terkumpul dipergunakan metode analisa bahan hukum
deduktif, yaitu suatu metode penelitian berdasarkan konsep atau
teori yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang
seperangkat data yang lain dengan sistematis berdasarkan kumpulan
bahan hukum yang diperoleh, ditambahkan pendapat para sarjana
yang mempunyai hubungan dengan bahan kajian sebagai bahan
komparatif. Langkah-langkah selanjutnya yang dipergunakan dalam
melakukan suatu penelitian hukum, yaitu :
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang
tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak
dipecahkan;
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan non hukum;
c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
d. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab
isu hukum.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hak Milik


Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah. Sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1)
UUPA yang berbunyi :
“ Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan
Pasal 6 “.

Hak milik dibatasi oleh Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial tanah berarti hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Hal
ini penting sekali untuk selalu mengingatkan para pemilik atau yang
mempunyai tanah dan siapa saja yang mempunyai hak lainnya atas tanah,
bahwa apabila tanah itu diterlantarkan, maka negara berhak
memproduktifkan tanah itu berdsarkan hak menguasai yang ada di tangan
negara.
Hak milik ini berbeda dengan hak eigendom barat yang bersifat
mutlak, sehingga pemilik atas tanah tersebut harus mengusahakan dan
mengelola tanahnya dengan optimal dan secara efisien oleh karena itu
diperlukan kedekatan fisik antara tanah dengan pemiliknya.

2.2. Tinjauan Umum Peraturan Tanah Pertanian secara Absente


2.2.1. Pengertian Tanah Pertanian
Pengertian tanah pertanian menurut Instruksi Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria
Nomor Sekra 9/1/2, adalah semua tanah perkebunan, tambak atau
perikana, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas
ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang
berhak/ pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang
menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan
perusahaan. Bila atas sebidang tanah yang luas berdiri sebuah tempat
tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan
berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa yang
merupakan tanah pertanian.
Kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian yang
melampuai bata tidak diperkenankan karena dengan pengusaan
tersebut akan merugikan kepentingan umum. Upaya untuk
mencegah kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian yang
melampaui batas tersebut, maka diaturlah batas maksimum
kepemilikan atau penguasaan tanah pertanian dalam Undang-undang
Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah 20 hektar.
Apabila seseorang memiliki atau menguasai tanah pertanian
melebihi dari batas meksimum yang ditentukan, maka kelebihan
tersebut akan diambil oleh negera menjadi obyek landreform
kemudian didistribusikan kepda petani yang berdomisili di
kecamatan letak tanah tersebut. Berkaitan dengan adanya batasan
kepemilikan dan penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA telah
memperjelas bahwa kepemilikan tanah tidak boleh merugikan
kepentingan umum, maka seseorang yang mempunyai tanah yang
luas tinggal di daerah pertaniannya.

2.2.2. Tanah Absente


Tanah absente/guntai merupakan suatu istilah apabila, tanah
pertanian dimiliki oleh orang yang berada diluar kecamatan letak
tanahnya tersebut berada. Adapun pengertiannya, sebagai berikut :
kata absente berasal dari kata latin “ absente “ atau “ absentis “, yang
berarti tidak hadir. Dalam kamus Bahasa Inggris absente adalah yang
tidak ada atau tidak hadir ditempatnya, atau landlord yaitu pemilik
tanah bukan penduduk daerah itu, tuan tanah yang bertempat tinggal
di lain tempat.
Menurut Budi Harsono pengertian tanah absente adalah
Absente dalam bahasa Sunda “ Guntai “ yaitu kepemilikan tanah
yang letaknya di luar daerah tempat tinggal yang empunya. Absen
berarti tidak hadir atau tidak di tempat tersebut. Kedekatan secara
fisik antara pemilik dengan tanah di dalam masyarakat adat telah lam
dikenal, dan hal ini ditetapkan sebagai kaidah-kaidah di dalam
hukum adat.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
tanahpertanian absente adalah suatu tanah pertanian yang letaknya
jauh dari pemiliknya, sehingga karena tidak ada kedekatan fisik
antara tanah dan pemiliknya menyebabkan kepengelolaan tanah
tersebut tidak maksimal dan tidak efisien. Beberapa penyebab
terjadinya pemilikan tanah perania secara absente adalah :
a. Peristiwa hukum yaitu pewarisan tanah pertanian, apabila tanah
yang diwariskan tersebut terletak di luar kecamatan tempat
tinggalnya.
b. Pemilik tanah pertanian sudah pindah dan berdomilili di luar
kecamatan letak tanah pertaniannya.
c. Perbuatan hukum yaitu jual beli tanah pertanian, apabila tanah
pertanian yang menjadi obyek jual beli tersebut terletak diluar
kecamatan tempat tinggal seseorang yang menjadi pembeli.

2.3. Larangan Kepemilikan Tanah Absente


Berdasarkan pada definisi diatas, maka disimpulkan bahwa tanah
absente adalah suatu tanah pertanian yang letaknya jauh dari pemilknya,
sehingga karena tidak ada kedekatan fisik antara tanah dan pemiliknya
menyebabkan kepengleolaan tanah tersebut tidak maksimal dan tidak
efisien.
Larangan kepemilikan tanah absente ini bertujuan agar
kepengelolaan tanah pertanian dapat menjadi lebih maksimal. Tujuan
larangan kepemilikan tanah absente juga untuk mencegah kepemilikan tanah
dalam skala besar yang dalam hal ini adalah kepemilikan dan penguasaan
tanah oleh para tuan tanah. Pasal 7 UUPA adlaah dasar untuk melakukan
pencegahan agar kepemilikan tanah pertanian tidak domonopoli oleh
kalangan atau golongan tertentu, maka penguaswaan tanah pertanian yang
melampaui batas dilarang.
Ada suatu asas yang terkandung dalam makna Pasal 10 UUPA,
bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah
pertanian diwajibkan untuk mengerjakan atau mengusahakannya sendiri
secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Pelarangan tersebut
dimaksudkan supata tidak merugikan kepentingan umum dan untuk
menghapus sistem tuan tanah. Pertuaran Pemerintah No. 224 Tahun 1961
menentukan bahwa pemilik tanah absente harus memeindahkan haknya
kepada penduduk dalam hal ini adalah petani yang berdomisili di kecamatan
letak tanah pertanian tersebut. Penyerahan tersebut harus dilaksanakan
paling lambat dalam jangka waktu 6 bulan, apabila pemilik tidak
melaksanakan atura tersebut maka tanah akan diambil oleh Negara dan
dijadikan objek landreform.
Larang pemilkan tanahsecara absente diatur lebihh lanjut Pasal 3b
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 yang menentukan bahwa :
“ Pegawai Ngeri dan anggota Angkatan Bersenjata serta orang lain
yang dipersamakan dengan mereka, yang telah berhenti dalam
menunaikan tugas negara dan yang mempunyai hak milik atas tanah
pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya dalam waktu satu
tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut diwajibkan
pindah ke kecamatan letak tanah itu terletak “.

Pasal 3b diatas mempunyai pengertian bahwa pegawai negari atau


anggota angkatan bersenjata atau orang yang dipersamakan dengan mereka
mempunyai tanah absente, maka wajib pindah ke kecamatan tempat
tanahnya terletak atau memindahkannya kepada orang lain setelah satu
tahun berhenti menunaikan tugasnya. pelaksanaan Pasal tersebut juga di
dukung dengan adanya PP No. 86 Tahun 2018 tentang Regormasi Agraria
bahwa salah satu Tanah Obyek Reformasi Agraria (TORA) yang akan
dikenakan program ini adalah tanah absente.

2.4. Pengecualian Kepemilikan Tanah Absente


Beberapa pihak yang dikecualikan dari ketentuan larangan
kepemilikan tanah pertanian secara absente adalah sebagai berikut :

2.4.1. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di kecamatan yang


berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah.
2.4.2. Pegawai negeri sipil dan Tentara Nasional Indonesia, pensiunan
janda pegawai negeri sipil, janda pensiunan mereka ini tidak kawin
lagi dengan bukan pegawai negeri sipil atau pensiunan, istri dan
anak-amak pegawai negeri sipil dan Tentara Nasional Indonesia
yang masih menjadi tanggungan.
2.4.3. Sedang menjalankan tugas negara;
2.4.4. Sedang menjalankan kewajiban agama;

Larangan kepemilikan tanah absente dikecualikan bagi PNS dan


ABRI dengan alasan kepentingan sosial dan perlindungan tanah karena
kekhawatiran pemerintah akan tanah absente akan menjadi tanah terlantar
atau kurang produktif sebab pemiliknya jauh dari tanah yang dimiliki.
Pengecualian lain juga berlaku bagi pensiunan pegawai negeri, janda
pegawai negeri ataupun yang dipersamakan dengannya, mengingat
kenyataannya para pensiunan pegawai negeri susah untuk kembali
bertempat tinggal dimana letak tanah mereka, namun mengingat istilah
Pegawai Negeri Sipil telah diubah sebagaimana Undang-undang nomor 5
Tahun 2014 menjadi Aparatur Sipil Negara yang mana istilah ini diperluas
sehingga Aparatur Sipil Negara terdiri dari Pegawai Negeri Sipil dan
Pegawai yang dikontrak sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal 10 UUPA tanah absente tidak boleh dimiliki dan
dalam Undang-undang nomor 56 Prp Tahun 1960 diatur mengenai batas
kepemilikan tanah untuk mencegah kepemilikan tanah dalam skala besar
dan penguasaan tanah oleh para tuan tanah. Oleh karena itu pemerintah
mengadakan Program Reforma Agraria melalui Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Pasal 3 PP Nomor 86 Tahun 2018 bahwa Reforma Agraria
dibagi dalam dua program yaitu perencanaan Reforma Agraria yang dikenal
dengan Landreform dan pelaksanaan Reforma Agraria.
Reforma agraria merupakan penataan kembali (atau pembaruan)
struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi
kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Inilah
upaya yang dilakukan oleh pemerintah secara sistematis untuk melakukan
perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian
penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam
yang menyertainya dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi
melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode
bertani, hingga infrastruktur lainnya.

2.5. Tinjauan Umum Landreform


Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA
adalah dicanangkannya “ Program Landreform “ di Indonesia yang
bertujuan untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani
penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan
pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila.

2.5.1. Pengertian Landreform


Landreform berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata
“ Land “ dan “ Reform “ artinya perubahan dasar atau perombakan
untuk membantuk/membangun/menata kembali struktur pertanian.
Jadi arti landreform adalah perombakan struktur pertanian lama dan
pembangunan struktur pertanian lama menjju struktur pertanian
baru.
Landreform meliputi pembaharuan mengenai kepemilikan
dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan
dengan penguasaan tanah. Ini berarti bahwa selama belum
dilaksanakannya Landreform keadaan pemilikan dan penguasaan
tanah di Indonesia dipandang perlu dirubah strkturnya. Pada dsarnya
Landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk
keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam
hak-hak individu atas sumber-sumber tanah.
Palaksanaan Landreform merupakan kebutuhan dan
keharusan yang tidak dapat dihindari guna mewujudkan keadilan
sosial dan demi pemanfaatan sebesar-besarnya dan tanah untuk
kemakmuran bersama. Dengan demikian pelaksanaan Landreform
dapat diartikan membantu mewujudkan tujuan nasional negara yaitu
masyarakat yang adil dan makmur. UUPA merupakan induk
Landreform Indonesia. Hal ini berarti bahwa berbagai Undang-
undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
Landreform tidak boleh keluar dari sistematikan yang telah
dikembangkan oleh UUPA.

2.5.2. Tujuan Landreform


Suprapto dalam bukunya menyatakan bahwa tujuan
landreform di Indonesia yaitu :
a. Pemerataan penguasaan/pemilikan tanah pertanian untuk
meratakan hasil produksinya;
b. Mengakhiri sistem kapitalisme dan feodalisme dalam
penguasaan di bidang kagrarisan;
c. Meningkatkan produksi pertanian;
d. Meningkatkan taraf hidup petani dan rakyat pada umumnya;
e. Meningkatkan harga diri para penggarap dan meningkatkan
gairah kerja;
f. Menghilangkan jurang pemisah antara golongan (petani) kaya
dan miskin.

Landreform merupakan perombakan pemilikan dan


penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang berkaitan
dengan pengusaan tanah, tujuan yang hendak dicapai dengan
dilaksanakan landreform, yaitu : Untuk mengadakan pembagian
yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah
dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil dan berkeadilan
sosial, diantaranya adalah :
a. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi
lagi tanah sebagai alat pemerasan;
b. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi
setiap warga negara Indonesia yang berfungsi sosial. Suatu
pengakuan dan perlindungan terhadap Privat Bezit yaitu hak
milik sebagai hak yang terkuat bersifat perseorangan, turun
temurun tetapi memiliki fungsi sosial.
c. Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan tanah dan menghapuskan
pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan
tak terbatas dengan penyelenggaraan batas maksimum dan batas
minimum untuk tiap keluarganya. Dengan demikian mengikis
pula sistem liberarisme dan kapitalisme atas tanah, memberikan
perlindungan terhadap golongan masyarakat ekonomi lemah.
d. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong
dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk
mencapai kesejahteraan yang merata dan adil, diberengi dengan
sistem pekreditan yang khusus ditujukan kepada golongan tani.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa tujuan
landreform adalah untuk mempertinggi kesejahteraan para petani.
Peningkatan penghasilan dan taraf hidup dari para petani digunakan
sebagai landasan untuk penyelenggaraan pembangunan untuk
menuju masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur.

2.5.3. Obyek dan Program Landreform


Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2018 tentang
Reforma Agraria menentukan bahwa tanahtanah yang akan
dibagikan dalam rangka Redistribusi Tanah atau yang dikenal
dengan istilah Landrform adalah :
a. Tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta
tidak dimohon perpanjangan dan/atau tidak dimohon pembaruan
haknya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah haknya
berakhir;
b. Tanah yang diperoleh dari kewajiban pemegang HGU untuk
menyerahkan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas
bidang tanah HGU yang berubah menjadi HGB karena
perubahan p eruntukan rencana tata ruang;
c. Tanah yang diperoleh dari kewajiban menyediakan paling
sedikit 20% (dua puluh persen) dari luas Tanah Negara yang
diberikan kepada pemegang HGU dalam proses pemberian,
perpanjangan atau pembaruan haknya;
d. Tanah yang bersal dari pelepasan kawasan hutan negara
dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan
oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai sumber
TORA, dan meliputi :
1). Tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepasskan sesuai
peraturan perundang-undangan menjadi TORA, dan
2). Tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh
masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e. Tanah Negara bekas tanah terlantar yang didayagunakan untuk


kepentingan masyarakat dan negara melalui Reforma Agraria;
f. Tanah hasil penyelesaian Sengketa dan Konflik Agraria;
g. Tanah bekas tambang yang berada di luara kawasan hutan;
h. Tanah timbul;
i. Tanah yang memenuhi persyaratan penguatan hak rakyat atas
tanah, meliputi :
1). Tanah yang dihibahkan oleh perusahaan dalam bentuk
tanggung jawab sosial dan/atau lingkungan;
2). Tanah hasil konsolidasi yang subjeknya memenuhi kriteria
Reforma Agraria;
3). Sisa tanah sumbangan tanah untuk pembangunan dan tanah
pengganti biaya pelaksanaan Konsolidasi Tanah yang telah
disepakati untuk diberikan kepada pemerintah sebagai
TORA, atau
4). Tanah Negara yang sudah dikuasai masyarakat.

j. Tanah bekas hak erpacht, tanah bekas partikelir dan tanah bekas
eigendom yang luasnya lebih dari 10 (sepuluh) bahwa yang
masih tersedia dan memenuhi ketentuan perundang-undangan
sebagai objek redistribusi; dan
k. Tanah kelebihan maksimum, tanah absente dan tanah
swapraja/bekas swapraja yang masih tersedia dan memenuhi
ketentuan perundang-undangan sebagai objek redistribusi tanah.

Sesuai dengan tujuan Landreform dalam Pasal 3 UU Nomor


86 Tahun 2018 menyatakan program Penyelenggaraan Reforma
Agrari dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan Reforma Agraria dilakkukan terhadap TORA
melalui beberapa tahapan yaitu pertama perencanaan Reforma
Agraria dan kedua pelaksanaan Reforma Agraria.

2.6. Aparatur Sipil Negara


2.6.1. Pengertian Aparatur Sipil Negara
Pengertian Aparatur Sipil Negara diatur dalam Pasal 1 angka
1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara yang selanjutnya disebut dengan UU ASN menentukan
bahwa :
“ Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN
adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada
instansi pemerintah “.

Dalam Undang-undang ASN tersebut pasal 6 Undang-undang


Nomor 5 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pegawai ASN terdiri atas
dua profesi yaitu PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja), jika melihat ketentuan Pasal 6
UU ASN maka dapat kita simpulkan bahwa setiap PNS adalah ASN,
akan tetapi tidak setiap ASN adalah PNS. Dapat difahami bahwa
ASN adalah sebutan untuk semua pegawai yang bekerja pada
instansi pemerintah dan mendapatkan gaji yang diatur dalam
Undang-undang, selain itu pegawai ASN ini ada yang sudah
ditetapkan sebagai pegawai tetap yang kemudian disebut PNS dan
ada pegawai yang bekerja dengan perjanjian kontrak yang kemudian
disebut PPPK.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia pegawai negeri
adalah orang yang bekerja pada pemerintah, berada diluar politik,
bertugas melaksanakan administrasi pemerintah berdasarkan
perundang-undangan yang sudah ditetapkan. Sipil diartikan sebagai
rakyat atau penduduk yang bukan merupakan bagian dari militer.
Pengertian pegawai negeri sipil atau PNS diatur dalam Pasal 1 angka
3 Undang-Undang ASN yang menentukan bahwa :
“ Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS
adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat
tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh
pejabat pembina kepegawaiaan untuk menduduki jabatan
pemerintahan “.

Definisi PNS di atas tidak banyak berbeda dari definisi yang


lama, hanya beberapa kata dan susunan bagian-bagian kalimat yang
diubah, tapi pokoknya adalah sama. Pegawai Negeri sebagai unsur
Aparatur Negara mengandung pengertian, bahwa Pegawai Negeri
salah satu unsur aparatur negara diantara unsur-unsur aparatur
negara lainnya. Pegawai Negeri sebagai unsur Abdi Negara,
mengandung pengertian bahwa Pegawai Negeri harus selalu
melaksanakan tugas-tugas negara dan mendahulukan kepentingan
negara di atas segala-galanya.

2.6.2. Penggolongan Aparatur Sipil Negara


Penggolongan pegawai negeri menurut Undang-undang ASN
adalah sebagai berikut :
a. Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a merupakan pegawai ASN yang diangkat sebagai
pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan memiliki
nomor induk pegawai secara nasional, termasuk di dalamnya
anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
b. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b merupakan
pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian
kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan
kebutuhan instansi baik di pusat maupun di daerah.

2.6.3. Hak dan Kewajiban Aparatur Sipil Negara


Hak-hak Aparatur Sipil Negara sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 21 Undang-undang ASN, diantaranya pegawai sipil
negara berhak memperoleh :
a. Gaji, tunjangan dan fasilitas;
b. Cuti;
c. Jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
d. Perlindungan, dan
e. Pengembangan kompetensi.
Sedangkan hak Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja
(PPPK) diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Gaji dan tunjangan;
b. Cuti;
c. Perlindungan, dan
d. Pengembangan kompetensi.

Kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilakukan atau tidak


dilakukan oleh seorang Pegawai Negeri berdasar sesuatu peraturan
perundang-undangan. Dengan kata lain kewajiban PNS adalah
segala sesuatu yang wajib dikerjakan atauboleh dilakukan oleh setiap
PNS berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewajiban-kewajiban Aparatur Sipil Negara dalam Pasal 23
Undang-undang ASN adalah sebagai berikut :
a. Setia dan taat pada Pancasila, Undang-undang Dasar Negara
Rpublik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan pemerintah yang sah;
b. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
c. Melaksanaskan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah
yang berwenang;
d. Mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian,
kejujuran, kesadaran dan tanggung jawab;
f. Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku,
ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun
di luar kedinasan;
g. Menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan
rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dan
h. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Kewajiban juga dapat dibagi dalam 3 (tiga) golongan sesuai


dengan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Tugas-
tugas dan fungsi Pokok Pegawwai Negeri, yaitu :
a. Kewajiban-kewajiban yang ada hubungannya dengan tugas dan
jabatan;
Dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974
tentang Tugas dan Fungsi Pokok Pegawai Negeri, ditetapkan
tugas pokok dan fungsi-fungsi dari kesatuan-kesatuan organisasi
dari departemen-departemen, seperti Sekretaris Jenderal,
Direktorat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Badan atau Pusat dan
satuan organisasi lain. Tugas pokok dan fungsi-fungsi yang
dimaksud diatas peraturan yang sekarang sudah ditetapkan
secara terperinci oleh kementerian masing-masing, aturan dari
instansi itulah yang merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh para pegawai negeri sebagai abdi negara.
b. Kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan tugas
jabatan.
Kewajiban-kewajiban ini tidak langsung berhubungan
dengan tugas dalam jabatan, tetapi lebih banyak berhubungan
dengan kedudukan pegawai negeri, sebagai unsur Aparatur
Negara, Abdi Negara dan Abdi Masyarakat. Diatur dalam Pasal-
pasal 4 dan 6 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999
kewajiban-kewajiban yang erat hubungannya dengan kedudukan
Pegawai Negeri sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara
dan Abdi Masyarakat.
c. Kewajiban-kewajiban lain.
Kewajiban-kewajiban lain adalah kewajiban yang tidak
ditertapkan dalam sesuatu peraturan dan yang bedasar adat
kebiasaan dalam hal sikap dan tingkah laku yang baik maupun
yang buruk, baik dalam jabatan negeri maupun dalam
masyarakat umum. Kewajiban-kewajiban yang dimaksud pada a
dan b ditetapkan dalam peraturan-peraturan, sedang kewajiban-
kewajiban yang dimaksud pada nomor C tidak ditetapkan dalam
peraturan-peraturan.

2.7. Teori Keadilan Hukum


Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “ adil “ yang berarti :
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari bebarapa definisi dapat dipahami
bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap
dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah
tuntutan agar orang mempelakukan sesamanya sesuai dengan hak dan
kewajibannya, perlakuan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih,
melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan
kewajibannya.
Sejak zaman kkuno sampai saat ini, keadilan merupakan tujuan dari
hukum yang paling pokok dan paling mendasar dan menjadi suatu
pembhasan yang sangat penting dan menarik karena keadilan adalah awal
dari seubah perjalanan panjang menuju yang lebih utama yaitu
kesejahteraan umat manusia. Para filisuf dan para cendikiawan telah banyak
membahas keadilan dengan mengemukakan pendapat dan teori-teori
keadilan untuk menggali sifat dasar, maksud dan pengertian dari kata
keadilan tersebut. Keadilan bersifat normatif, karena setiap individu
memiliki ukuran yang berbeda mengenai keadilan karena tergantung dari
mana sudut pandang dari mereka masing-masing, diantaranya adalah :

2.7.1. Teori Keadilan Aristoteles


Aristoteles mengatakan bahwa unicuique suum tribuere
(memberikan kepada setiap orang suatu yang menjadi haknya) dan
neminem laedere (janganlah merugikan orang lain). Pejuang
keadilan dalam hal ini sedang berusaha untuk mewujudkan keadilan
agar negara memberikan keadilan kepada yang berhak
memperolehnya, hak tersebut bisa dimiliki secara alamiah sejak lahir
dan hak yang laihi dikarenakan ada hukum yang mengaturnya.
Pandangan Aristoteles mengenai keadilan hukum didasarkan kepada
filsafat umum Aristoteles yang dianggap sebagai inti dari filsafat
hukumnya, “ karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya
dengan keadilan. Pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan
harus dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles
membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan
kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan bahwa
setiap manusia atau semua warga adalah sama di depatan hukum.
Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi
haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan
distributif dan keadilan komutatif, Keadilan Komutatif (justitia
commutative) adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak
melihat jasa yang dilakukannya, yaitu setiap orang mendapat
haknya. Keadilan Distributif (justitia distributive) adalah perlakuan
terhadap seseorang sesuai dengan jasanya yang telah dibuat, yaitu
setiap orang mendapat kapasitas dengan potensi masing-masing.
Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikanatas pencapaian yang sama rata.
Selain itu keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan dan barang-barang lain yang sama-sama
bisa didapatkan dalam masyarakat. Aristoteles mengesampingkan
“ Pembuktian “ matematis, jelaslah bahwa apa yang dimaksud ialah
distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang
berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya bagi masyarakat.
Adil pada hakikatnya bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya. Keadilan berarti tidak berat sebelah,
menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak memihak masyarakat
memperoleh apa yang menjadi haknya, sehingga dapat
melaksanakan kewajibannya.

2.7.2. Teori Keadilan John Rawls


John Rawls menjelaskan teori keadilan sebagai keadilan
sosial yaitu “ Teha difference principle and the principle of fair
equality of opportunity “ inti the difference principle “ adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan
manfaat yang peling besar bagi masyarakat yang paling kurang
beruntung, sehingga perbedaan sosial-ekonomi menjadi perbedaan
dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur yang
kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Sementara itu, The principle of
fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling
kurang mempunyai peluang untuk mencapai kesejahteraan, pendapat
dan otoritas, masyarakat inilah yang harus diberi perlindungan
khusus supaya memiliki kedudukan yang sama, oleh karena itu
hukum harus menjadi hakim yang tidak netral melainkan selalu
berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Keadilan menurut John Rawls merupakan pengertian
keadilan yang paling mutakhir, John Rawls mengerjakan teori
prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme
sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls
berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-
prinsip utulitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi
pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap.
Artinya, boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum
tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama
diminta dari masyarakat yang lemah. Menurut Rawls, situasi
ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa
sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling
lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi
ketidaksamaan menjamin maxmum minimum bagi golonga orang
yang paling lemah. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-
jabatan yang terbukat bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada
semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidupnya.
Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang yang
bersifat primordial, harus ditolak.

Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidak adilan


adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali maan prinsip
keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat
yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara
mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli
(people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian
dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota
masyarakat secara sederajat. Teori keadilan ini dipergunakan untuk
mebahas, menganalisis dan menarik kesimpulan tentang apakah
penerapan peraturan tentang kepemilikan tanah pertanian absente
terutama yang dimiliki PNS sudah berkeadilan dan berlakunay PP
Nomor 44 Tahun 1977 terhadap Aparatur Sipil Negara.

Program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan


haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang
paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua,
mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi
sehingga dapat memberik keuntungan yang bersifat timbal balik.
Dengan demikian keadilan tersebut tidak tergantung dari apa itu
distribusi melainkan hasil dari distribusi itu sendiri. Pendistribusian
sumber daya dapat dinyatakan adil apabila pelaksanaannya
didasarkan pada mekanisme atau prosedur yang baik atau yang
standar. Persamaan kedudukan bermakna bahwa dalam prosedur
pendistribusian sumber daya telah menempatkan setiap orang dalam
kedudukan dan akses yang sama untuk mendapatkan sumber daya.
Jika dalam prosedur orang-orang tertentu diberi kedudukan dan
akses yang lebih dibandingkan dengan yang lain, maka prosedur
tersebut harus dinyatakan tidak adil.

Anda mungkin juga menyukai