Anda di halaman 1dari 22

Konsepsi Hukum Tanah dan Sejarah Pembentukan Undang -

Undang Pokok Agraria


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Hukum Agraria Dosen
Pengampu : M. Yasir, SH., MH

Disusun Oleh Kelompok II :


Desta Putri Setia Amanda ( 11200480000008)
Nurhanifa Azzani Zahra ( 11200480000013 )
Dyva Rahmalia (11200480000018 )

PROGRAMSTUDIILMUHUKUM FAKULTASSYARIAHDANHUKUM
UNIVERSITASISLAMNEGERISYARIFHIDAYATULLAHJAKARTA
2021
KATAPENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah yang telah memberikan banyak nikmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsepsi Hukum
Tanah dan Sejarah Pembentukan Undang - Undang Pokok Agraria”.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak M. Yasir SH., MH selaku dosen pengampu
mata kuliah Hukum Agraria yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman kami selama proses pembuatan makalah.

Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami sampaikan banyak terima kasih kepada segenap
pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Dengan makalah ini kami berharap dapat membantu para pembaca dalam menambah
pengetahuan tentang memahami bidang kajian Konsepsi Hukum Tanah dan Sejarah
Pembentukan Undang - Undang Pokok Agraria ini menjadi lebih baik lagi.

Di luar hal itu, kami sebagai penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh
sebab itu, dengan segala kerendahan hati, kami selaku penyusun menerima segala kritik dan
saran kepada pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di
kemudian hari. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Ciputat, 6 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR.................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar
Belakang.......................................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah..................................................................................................................2
C. Tujuan Penulis.......................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................................................3
A. Konsepsi Hukum Tanah........................................................................................................3
B. Bagaimanakah pembentukan sejarah Undang - Undang Pokok Agraria Indonesia.............8
C. Apa Fungsi Undang - Undang Pokok Agraria....................................................................13
D. Apa Tujuan Undang - Undang Pokok Agraria...................................................................14
BAB III
PENUTUP..................................................................................................................17
A. Kesimpulan..........................................................................................................................1
7
B. Saran....................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................18
ii
BABI PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah ialah salah satu sumber kehidupan yang penting bagi manusia, yang mana
fungsinya bisa sebagai sarana untuk mencari penghidupan seperti pertanian, peternakan,
perkebunan, industri, perikanan, dan selain itu bisa digunakan sebagai tempat tinggal
bagi manusia.

Adapun konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional ialah hukum konsepsi
hukum tanah adat, yang dirumuskan dengan kata-kata:

Komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual,


dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan.
Sifat komunalistik religious Konsepsi Hukum Tanah Nasional berkaitan dengan pasal 1
ayat 2, yang menyatakan bahwa: Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalam nya dalam wilayah Republik Indonesia,
sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.1

Dalam sejarah pembentukan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) di


Indonesia ini membentuk beberapa panitia dalam menyusun UUPA diantaranya
ada Panitia Agraria Yogya yang dibentuk dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia
tanggal 21 Mei 1948 no. 16, yang diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo. Kemudian
dibentuk nya Panitia Agraria Jakarta atas pertimbangan bahwa “Panitia Agraria Yogya”
tidak sesuai lagi dengan keadaan Negara, maka dengan keputusan Presiden Republik
Indonesia tanggal 19 Maret 1951 no. 36/1951 panitia tersebut dibubarkan dan dibentuk
Panitia Agraria baru, yang berkedudukan di Jakarta “Panitia Agraria Jakarta”. Sesuai
dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Pada tanggal 14 Januari 1956 no. 1/1956
Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan diganti dengan Panitia Soewahjo.

Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan


judul “Konsepsi Hukum Tanah dan Sejarah Pembentukan UUPA di Indonesia”

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah kami adalah:

1 Boedi Harsono (a) Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Cetakan Kedua, (Jakarta, April 2015), hal. 228.

1
1. Apa Konsepsi Hukum Tanah

2. Bagaimanakah pembentukan sejarah Undang - Undang Pokok Agraria

3. Apa Fungsi Undang - Undang Pokok Agraria

4. Apa Tujuan Undang - Undang Pokok Agraria

C. Tujuan Penulis
1. Mengetahui Konsepsi Hukum Tanah

2. Mengetahui pembentukan sejarah Undang - Undang Pokok Agraria

3. Mengetahui Fungsi Undang - Undang Pokok Agraria

4. Mengetahui Tujuan Undang - Undang Pokok Agraria

2
BABII PEMBAHASAN

A. Konsepsi Hukum Tanah

Semenjak berlakunya UUPA, telah terjadi perubahan mendasar dalam pengaturan


mengenai pertanahan di Indonesia. Hukum tanah warisan penjajah Belanda yang
diberlakuan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersusun atas dasar
tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan sehingga bertentangan dengan kepentingan
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Hukum pertanahan tersebut juga
mempunyai sifat dualisme karena di samping berlakunya peraturan-peraturan dari
hukum adat juga berlaku peraturan-peraturan dari dan berdasarkan hukum barat
mengenai masalah pertanahan. Keadaan demikian menimbulkan permasalahan antar
golongan dan tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. UUPA sebagai produk
hukum bangsa Indonesia merdeka bertekad mewujudkan penjelmaan Pancasila dan
tujuan negara yang tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. UUPA juga
merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) yang mewajibkan negara memimpin
penguasaan dan penggunaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk mencapai kesejahteraan rakyat. UUPA yang mempunyai sifat unifikasi
hukum, sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. UUPA
sebagai hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat yang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara serta mengindahkan unsur-unsur yang
berdasarkan hukum agama.

Menurut Boedi Harsono falsafah atau konsepsi Hukum Tanah Nasional adalah
Hukum Adat yang dirumuskan bersifat komunalistik-religius, namun
memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang
bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan2. Sifat “komunalistik” dapat
dilihat pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara
nomor 104 tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara nomor 2043) tentang Peraturan
Dasar PokokPokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa semua
tanah dalam wilayah Negara Indonesia adalah tanah bersama dari seluruh rakyat
Indonesia. Selanjutnya, watak “religius“ tampak pada Pasal 1 butir 2 UUPA yang

2 Boedi Harsono (a), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Cetakan Kesembilan, Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 228

3
menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa.

Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional ditunjukkan oleh Pasal 1
ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah
air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan sifat
religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa seluruh bumi,
air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan
ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan naional.3

Falsafah atau konsepsi hukum yang mengkristal sebagai nilai-nilai hukum melandasi
pembentukan asas, lembaga, dan sistem pengaturan hukum itu disebut sebagai derivasi
nilai. Falsafah Hukum Tanah Nasional yang komunalistikreligius sebagaimana tersirat
dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 UUPA diturunkan ke dalam beberapa asas Hukum Tanah
Nasional. Beberapa asas hukum yang lahir dari falsafah/konsepsi komunalistik
religius ini, seperti: (a) asas nasionalitas ubyek hak atas tanah, (b) asas pemerataan dan
keadilan, (c) asas penggunaan tanah dan pemeliharaan lingkungan hidup, (d) asas
kekeluargaan dan kegotongroyongan dalam penggunaan tanah, (e) asas pemisahan
horizontal dalam hubungannya dengan bangunan dan tanah di atasnya, (f) asas hubungan
yang berkarakter publik antara negara dengan tanah. Salah satu asas tersebut adalah asas
fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana tertulis di dalam Pasal 6 UUPA dengan kata-
kata “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Asas hukum ini adalah alasan
bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio logis dari peraturan hukum. Asas
hukum tidak akan berubah, melainkan akan tetap saja dan akan melahirkan peraturan-
peraturan.

Pengadaan tanah merupakan perbuatan Pemerintah untuk memperoleh tanah untuk


berbagai kegiatan pembangunan, khususnya bagi kepentingan umum. Pada prinsipnya
pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak yang memerlukan
tanah dan pemegang hak atas tanah yang diperlukan untuk kegiatan
pembangunan.4Pengadaan tanah untuk kepentingan umum menjadi kata kunci dalam

3 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

4
pembangunan. Mengacu pada Pasal 6 UUPA, semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial, serta
Penjelasan Umum UUPA menegaskan hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hak itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan Negara. Tetapi tidak
berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah
saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran,
keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.5

Pasal 18 UUPA yang menyatakan “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan


bangsa dan Negara, serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut,” kata-kata “kepentingan umum dan pembangunan” telah menjadi alat efektif
untuk melegitimasi penyediaan tanah seluas-luasnya oleh Negara untuk kepentingan
investasi.6 Hampir semua sektor pembangunan memerlukan tanah, namun ketersediaan
yang terbatas menyebabkan penyediaan tanah tidak selalu mudah dilakukan. Apalagi
dalam pemahaman Bangsa Indonesia, tanah mempunyai kedudukan yang strategis bagi
kehidupan dan penghidupannya sehingga pemutusan “hubungan” antara masyarakat
dengan tanah yang dikuasainya akan menimbulkan kegoncangan. Akibat dari hal ini
setiap kegiatan pengadaan tanah hampir selalu menghadapi sikap resistensi dari
masyarakat yang menguasai tanah tersebut.7

Konsepsi hukum tanah barat/Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme


dan liberalisme,8 tidak sesuai dengan sikap hidup bangsa Indonesia yang komunal dan
religius. Begitu pula dengan konsepsi hukum tanah feodal yang meletakkan penguasaan

4 Maria S.W. Sumardjono (a) Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Cetakan Pertama,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hal.280.
5 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
LN No. 104 tahun 1960, TLN. No. 2043, Penjelasan Umum II angka 4
6 Syaiful Bahari, “Negara dan Hak Rakyat Atas Tanah,” Harian Kompas, tanggal 13 Mei 2005.
7 Sanusi, “Kebijakan Pemerintah di Bidang Pertanahan,” Makalah disampaikan pada Seminar Kajian Kebijakan
dan Kajian Hukum Berkaitan Dengan Perpres No. 36 Tahun 2005, Bandung 5 Desember 2005.
8 Konsep individualisme liberal tersebut tidak membawa kemakmuran yang merata pada rakyat. Kemakmuran
hanya dinkmati sebagian kecil rakyat yaitu pemilik tanah dan alat-alat produksi. Maka timbullah pemikiran baru
yaitu negara turut campur tangan dalam kehidupan ekonomi dan sosial yang dikenal dengan konsep welfare
state. Lihat dalam Soehino, Ilmu Negara, Cetakan Ketiga, (Yogyakarta : Liberty), hlm 146-223.

5
tanah yang tertinggi pada raja. Semua tanah di seluruh wilayah kekuasaan raja adalah
milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Konsepsi hukum tanah yang
berdasarkan hukum adat merupakan konsepsi yang sesuai dengan falsafah dan
budaya bangsa Indonesia. Norma-norma hukum adat dalam penggunaannya menurut
Pasal 5 UUPA akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsur-unsurnya yang tidak
asli. Hukum adat tersebut dibersihkan cela-celanya serta ditambal kekurangannya agar
dapat berlaku umum diseluruh wilayah Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum adat yang
diangkat menjadi hukum agraria nasional disaring melalui syarat-syarat tertentu. Syarat-
syarat tertentu tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 5 UUPA adalah hukum adat
yang :

1. tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara;

2. tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia; dan

3. tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri.

Pembentukan hukum tanah nasional dengan dasar hukum adat yang digunakan adalah
konsepsi dan asas-asasnya. Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum
tanah nasional antara lain :

1. asas religiusitas (Pasal 1 UUPA);

2. asas kebangsaan (Pasal 1, 2 dan 9 UUPA);

3. asas demokrasi (Pasal 9 UUPA);

4. asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 dan 13


UUPA);

5. asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan 15


UUPA); dan

6. asas pemisahan horisontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di
atasnya.

UUPA juga mengambil lembaga-lembaga hukum adat sebagai dasar pembentukan


hukum agraria nasional. Lembaga hukum adat yang dimaksudkan di sini adalah

6
susunan macam-macam hak atas tanah. Macam-macam hak atas tanah dalam hukum adat
seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak
menikmati hasil hutan ini kemudian diangkat dan dijadikan dasar dalam penyusunan hak-
hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA.

Seperti yang kita ketahui bahwa menurut hukum adat, tanah adalah hak semua
orang (masyarakat) hal ini dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat mengandung dua unsur,
yaitu kepunyaan, artinya semua anggota masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan
dan unsur kewenangan, yaitu unsur untuk mengatur, merencanakan dan memimpin
penggunaannya. Kewenangan pelaksanaan hak ulayat dapat dilimpahkan kepada kepala
adat. Atas dasar kewenangan tersebut, kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah
kepada perseorangan seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa dan sebagainya.
Sistem ini diangkat sebagai sistem hukum agraria nasional dan dimuat dalam Pasal 2,
Pasal 4 dan Pasal 16 UUPA. Namun, macam – macam hak tanah atas tanah dalam hukum
adat tersebut masih perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat Indonesia. Penyempurnaan tersebut dengan adanya tambahan hak baru yaitu
hak guna usaha dan hak guna bangunan. Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional
dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang lahir dan digali dari akar budaya
bangsa Indonesia tanpa menutup diri terhadap perubahan yang terjadi dewasa ini. UUPA
juga mengharuskan adanya pendaftaran tanah terhadap macammacam hak atas tanah
tersebut.9

UUPA memberi wewenang untuk berlakunya hukum adat selama peraturan


pelaksanaan UUPA terbentuk. Hal ini agar tidak terjadi kekosongan hukum sehingga
hukum adat diperlukan untuk pelengkap hukum agrarian nasional. Penunjukkan hukum
adat sebagai hukum pelengkap dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 5 UUPA yang
menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturanperaturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

9 Muchsin, et.al, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah ,Cetakan Kedua (Bandung : Refika
Aditama, 2010), hlm. 69.

7
pada hukum agama. Adanya persyaratan yang menyertai hukum adat tersebut
menunjukkan bahwa hukum adat berkedudukan sebagai hukum pelengkap.10

Hukum tanah nasional yang diatur dalam UUPA merupakan dasar mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan di bidang hukum pertanahan. UUPA yang disusun sesuai
dengan jiwa dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, mencabut beberapa peraturan hukum
agraria warisan penjajah Belanda. UUPA juga mengatur berbagai hak-hak yang dapat
dipunyai oleh orang-orang, badan maupun persekutuan yang ada di Indonesia. Negara
yang merupakan organisasi kekuasaan seluruh rakyat mempunyai hubungan dengan
tanah berupa hak menguasai negara. Keberadaan hak ulayat tetap diakui sepanjang masih
ada dan sesuai dengan kepentingan nasional dan negara. UUPA memberikan kewenangan
kepada orang atau badan hukum untuk menguasai tanah dengan diberikan hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai.11

B. Bagaimanakah pembentukan sejarah Undang - Undang Pokok Agraria Indonesia

Dalam pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria di Indonesia ini ada beberapa


tahap mulai dari penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria, kemudian rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria, pembahasan dan persetujuan oleh DPR-GR sampai
kepada pengesahan dan pengundangan.

1. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria


Dalam menyusun Undang-Undang Pokok Agraria dibentuknya berbagai panitia antara
lain:
(1) Panitia Agraria Yogya
Pada tahun 1948 dimulai uaaha-usaha yang konkret untuk menyusun
dasar-dasar Hukum Agrarian/Hukum Tanah baru yang akan menggantikan
Hukum Agraria warisan pemerintah jajahan. Usaha tersebut dimulai dengan
pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Yogyakarta, sebagai ibu
kota pada waktu itu. “Panitia Agraria Yogya” dibentuk dengan penetapan
Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 no. 16, diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam

10 Ibid., hlm 70.


11 Lihat Penjelasan Umum III Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.

8
Negeri) dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai Kementrian dan
jawatan, anggotaanggota Badan Pekerja KNIP yang mewakili organisasi-
organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari Serikat
Buruh Perkebunan.

Panitia bertugas memberi pertimbangan kepada Pemerintah


tentang soal-soal mengenai hukum tanah seumumnya., merancang dasar-
dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik
Indonesia., merancang perubahan, penggatian, pencabutan peraturan-
peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktik dan
menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.
Dalam Majalah Agraria tahun ke-I no. 3 dapat diketahui hasil pekerjaan
“Panitia Agraria Yogya” tersebut, sebagai yang dilaporkan kepada Pemangku
Jabatan Presiden Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 3 Februari 1950
no. 22/PA. mengenai asas-asas yang akan merupakan dasar hukum agrarian atau
hukum tanah yang baru, panitia mengusulkan:
1. Dilepaskanya asas domein dan pengakuan hak ulayat:
2. Di adakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan
yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
3. Supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan negara-negara
lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menentukan apakah
orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.,
4. Perlunya diadakan penetapan luas minimum tanah untuk
menghindarkan pauperisme diantara petani kecil dan memberi tanah
yang cukup untuk hidup yang patut, sekalipun sederhana.
5. Perlunya ada penetapan luas maksimum.
6. Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan
oleh Sarimin Reksodihardjo (dimuat juga didalam majalah agraria,
yang disebutkan di atas, halaman 78).
7. Perlunya diadakan registrasi tanah milik da hak-hak menumpang yang
penting(annex kadaster).

(2) Panitia Agraria Jakarta

9
Atas pertimbagan bahwa “Panitia Agraria Yogya” tidak sesuai
lagi dengan keadaan Negara terutama ssudah terbentuknya kembali
Negara kesatuan maka dengan Keputusan Presiden Indonesia Tanggal 9
Maret 95 No.36/95 pantia tersebut dibubarkan dan dibentuk panitia
agrarian baru, berkedudukan di Jakarta “Panitia Agraria Jakarta”
diketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo dan wakil ketuanya Sadjarwo. Kemudian ditahun
953, berhubung dengan pengangkatanya menjadi Gubernur Nusa Tenggara,
Sarimin diganti oleh Singgih Pratodihardjo, Wakil Kepala Bagian Agraria Kementrian
Dalam Negeri.
Tugas Panitia hampir sama dengan sebelumnya karna berbagai
hal, terutama karena Ketua dan Wakil Ketuanya sering mendapat tugas-
tugas khusus dari Pemerintah, maka belum banyak yang dapat di
putuskan dan diajukan kepada Pemerintah oleh Panitia ini. Dalam
Laporan Ketuanya, tertanggal 9 Juni 1955 ( Majalah Agraria tahun ke-I no. 3
halaman 80), dikemukakan kesimpulan-kesimpulan Panitia mengenai soal
tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu:
1. Mengadakan batas minimum sebagai ide. Luas minimum umum di
tentukan 2 hektar. Mengenai hubungan pembatasan minimum tersebut
dengan hukum adat, terutama hukm waris, perlu diadakan tinjauan
lebih lanjut.
2. Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.
3. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk
warga Negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga
Negara “asli” dan “bukan asli” badan hukum tidak diberi kesempatan
untuk mengerjakan pertanian kecil.
4. Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik,
hak usaha, hak sewa dan hak pakai.
5. Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang
sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara.

(3) Panitia Soewahjo

10
Karena melihat susunan dan cara kerjanya, “Panitia Agraria
Jakarta” tidak dapat diharapkan dapat menyusun rancangan Undang-
Undang Pokok Agraria tersebut dalam waktu singkat, maka dalam masa
jabatan Menteri Agraria Goenawan dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia tanggal 14 Januari 1956 no. 1/1956, Panitia Agraria
Jakarta dibubarkan dan dibentuk suatu panitia baru: Panitia Negara
Urusan Agraria, berkedudukan di Jakarta. Diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo. Tugas utama “Panitia Soewahjo” tersebut ialah:
mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria yang nasional,
sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.

Dalam tahun 1957, Panitia berhasil menyelesaikan tugasnya


berupa naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria,yang
disampaikan kepada Pemerintah, d.h.i. Menteri Agraria, dengan suratnya
tanggal 6 Februari 1958 no. 1/PA 1958. Karena tugas utamanya sudah
diselesaikan, maka dengan Keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1958
no.97/1958 “Soewahjo” dibubarkan. Adapun pokok-pokok penting Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria hasil karya Panitia tersebut ialah:
1. Dihapuskanya asas domain dan di akuinya Hak Ulayat, yang harus
ditundukan pada kepentingan umum (Negara).,
2. Asas domain diganti dengan Hak Kekuasaan Negara atas dasar
ketentuan Pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara.,
3. Dualisme hukum agrarian dihapuskan.
4. Hak-hak atas tanah: Hak Milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi
sosial. Kemudian ada Hak Usaha, Hak Bangunan dan Hak
Pakai.,
5. Hak Milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara
Indonesia.
6. Perlu diadakan penetapan batas maximum dan minimum luas tanah
yang boleh menjadi milik seseorag tau badan hukum.,
7. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri
oleh pemiliknya.,
8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencarnaan penggunaan tanah.

11
2. Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria
1. Rancangan Soenarjo
Rancangan Soenarjo disetujui oleh Dewan Menteri dalam
sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden tanggal 24
April 1958 no. 1307/HK. Rancangan Soenarjo telah dibicarakan dalam siding
pleno DPR pada tingkat Pemandangan Umum babak pertama. Jawaban
Pemerintah atas Pemandangan Umum babak pertama tersebut disampaikan
oleh Menteri Soenarjo dalam siding pleno DPR 16 Desember 1958. Untuk
melanjutkan pembahasanya, DPR memandang perlu mengumpulkan bahan-
bahan yang lebih lengkap. Untuk itu oleh Panitia Permusyawaratan DPR
dibentuk suatu Panitia ad-hoc yang diketuai Mr.A.M Tambunan. Universitas
Gajah Mada (Seksi Agraria yang diketuai oleh Prof.Notonagoro), demikian
pula Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro banyak memberikan
bahan kepada Panitia ad-hoch tersebut. Sejak itu pembicaraan RUU-UUPA
dalam sidang pleno menjadi tertunda, hingga akhirya rancangan Soenarjo
tersebut ditarik kembali oleh kabinet.
2. Rancangan Sadjarwo
Berhubung dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945,
maka “Rancangan Soenarjo” yang masih memakai dasar Undang-Undang
Dasar Sementar ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23
Mei 1960 no. 1532/HK/1960.
Setelah disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Manisvesto Politik repulik Indonesia (yaitu Pidato Presiden Soekarno
pada tangal 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih sempurna dan
lengkap diajukanlah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru
oleh Menterin Agraria Sadjarwo. “rancangan sadjarwo” tersebut disetujui
oleh Kabinet-Inti dalam sidangnya tangal 22 juli 1960 dan oleh Kabinet-
Pleno dalam sidangnya tanggal 1 Agustus 1960. Dengan Amanat
Presiden tanggal 1 Agustus 1960 no.2 584/HK/60. Rancangan tersebut
diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
3. Pembahasan dan persetujuan oleh DPR-GR

12
Dari pidato Pengantar Acting Ketua DPR-GR Haji Zaenul Arifin dalam
siding pleno pada tanggal 12 september 1960, pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pokok Agraria dalam sidang Pleno hanya memerlukan tiga
kali siding, yaitu tanggal 12, 13, dan 14 september 1960 pagi, sedang
pemandangan umumnya dilakukan dlam satu babak saja.
Menteri Agraria Sadjarwo dalam Pidato Pengantarnya dam siding
Pleno tanggal 12 Septermber 1960: “Dua minggu persis rancangan
undagundang ini melewati jalan prosedur baru dari DPR-GR yang penuh
dengan rintangan dan kesukaran-kesukaran yang kadang-kadang sampai
mencapai klimaks-nya, tetapi selalu dijiwai oleh semangat gotong royong dan
toleransi yang sebesar-besarnya, yang membuktikan kebesaran jiwa Saudara-
saudara yang terhormat, yang mewakili Golongan masing-masing, yaitu
Golongan
Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Kristem-Katolik, Golongan Komunis
dan Golongan Karia. Berkat itu semua maka pemeriksaan pendahuluan telah
selesai dengan selamat.
Setelah itu dengan suara bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong menerima Rancangan UUPA. Dan siding Pleno DPR-GR ditutup
dengan Sambutan Achting Ketuanya, Haji Zainil Arifin.
4. Pengesahan dan Pengundangan
DPR-GR tersebut disahkan Presiden Soekarno menjadi Undangundang
No. 5 Tahun 1960 Tentang Praturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UUPA
diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1960 no. 104, sedang
penjelasanya dimuat dalam tambahan Lembaran Negara no. 2043. Menurut
Diktumklima, UUPA mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada
tanggal 24 September 1960.

C. Apa Fungsi Undang - Undang Pokok Agraria

1. Menghapuskan dualisme hukum tanah yang lama dan menciptakan unifikasi serta
kodifikasi Hukum Agraria Tanah Nasional yang didasarkan pada Hukum Tanah Adat,
yakni mencabut;

13
a) Penghapusan dualisme Hukum Tanah yang lama tersebut dilakukan dengan cara
sebagaimana yang tertuang di dalam diktum “Memutuskan” dari UUPA, yakni
mencabut.

b) Seluruh pasal 51 Indische Staatsregeling yang didalamnya termasuk juga


ayatayat yang merupakan Agrarische Wet stbl. 1870-55;

c) Semua Domein Veklaring dari pemerintah Hindia Belanda baik yang umum
maupun yang khusus;

d) Peraturan mengenai Agrarische Eigendom yang dituangkan ke dalam Koninklijk


Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 Stbl. 1872- 117 jo. Stbl. 1873-38;

e) Buku Kedua KUH-Perdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan- ketentuan mengenai
hipotik.

f) Dalam hal ini secara implisit ikut terhapus juga ketentuan-ketentuan tentang
larangan pengasingan tanah Grond Vervreemding Verbod Stbl. 1875-179.

2. Mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah dan hak-hak jaminan atas tanah melalui
ketentuan-ketentuan konversi Diktum ke-2 UUPA.

a) Tanah-tanah hak barat maupun tanah hak Indonesia mulai tgl 24-9-1960 dikonversi
menjadi hak-hak menurut UUPA

b) Hak- hak jaminan atas tanah, yakni hipotek & crediet verband diubah menjadi hak
tanggungan atas tanah berdasarakn UU No. 4 Th. 1996 dan UU No. 12 Th. 199912
3. Meletakkan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Agraria Tanah Nasional,
misalnya pasal 17 UUPA mengenai Landreform.

D. Apa Tujuan Undang - Undang Pokok Agraria

Untuk mewujudkan hukum agraria nasional yang sesuai dengan cita-cita bangsa
Indonesia, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA merupakan undang-undang yang bersifat
formal, yaitu hanya berisi asas-asas dan pokok-pokok saja. Sedangkan peraturan

12 Urip Santoso.HUKUM AGRARIA DAN HAK-HAK ATAS TANAH cet-4.Jakarta: Kencana.2008 hlmn 55

14
pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan-perundang-undangan yang lain. Adapun
tujuan pokok dari UUPA adalah:

a. Meletakkan dasar - dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi
negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur.

Dalam kenasionalan Hukum Agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA, adalah :

1) Wilayah indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan tanah air dari rakyat
indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia ( Pasal 1 UUPA )

2) Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus dipelihara dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ( Pasal 1,2,14 dan 15
UUPA )

3) Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumu, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi, sehinga tidak dapat
diputuskan oleh siapapun ( Pasal 1 UUPA )

4) Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia diberi
wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ( Pasal 2
UUPA )

5) Hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui keberadaanya. Pengakuan
tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dalam peraturan perundangundangan yang lebih
tinggi ( Pasal 3 UUPA )

6) Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dnegan bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah warga negara
indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada prinsipnya

15
tidak mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ( Pasal 9. 21, dan 49 UUPA )

Tujuan yang pertama diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri
Hukum Agraria kolonial, yaitu Hukum Agraria Kolonial disusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari Pemerintahan Jajahan (Hindia Belanda) yang ditunjukan untuk
kepentingan, keuntungan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi Pemerintah Hindia
Belanda, orang-orang Belanda, dan Eropa lainnya.

b. Meletakkan dasar - dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam


hukum pertahanan.

Dalam rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah semestinya


sistem hukum yang akan diberlakukan harus sesuai dengan kesadaran hukum
masyarakat.

Oleh karena sebagian besar masyarakat indonesia tunduk pada hukum adat,
amak pembentukan Hukum Agraria nasional didasarkan pada hukum adat. Hukum
adat yang dijadikan dasar adalah asas - asas/konsepsi - konsepsi, lembaga adat
sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria nasional, Hukum Agraria nasional
tersebut mudah dipahami oleh masyarakat dan kemudian dilaksankan. Hukum adat
sebagai dasar pembentukan Hukum Agraria nasional disebutkan dalam Pasal 5
UUPA.

Tujuan yang kedua diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri hukum
Agraria kolonial, yaitu Hukum Agraria Kolonial mempunyai sifat dualisme hukum
artinya, pada saat yang sama berlaku dua Hukum Agraria berbeda, di satu pihak berlaku
Hukum Agraria barat yang diatur dalam KUH Perdata dan Agrarische Wet Stb. 1870 No.
55, dan di pihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah
masing - masing.

c. Meletakkan dasar - dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak - hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Upanya untuk mewujudkan tujuan ini adalah dengan membuat peraturan


perundang - undangan yang diperintahkan oleh UUPA yang sesuai dengan asas dan
jiwa UUPA. Selain itu, dengan melaksanakan pendaftaran tanah atas bidang bidang
tanah yang ada di seluruh wilayah indonesia yang bersifat Rechts Cadaster, yaitu

16
pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
hak - hak atas tanah.

Tujuan yang ketiga diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum
Agraria Kolonial, yaitu Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian
hukum terhadap hak - hak rakyat indonesia atas tanah, dikarenakan pada waktu itu hanya
hak - hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat yang didaftar oleh Pemerintah Hindia
Belanda dnegan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum ( Rechts Cadaster ),
sedangkan bagi tanah - tanah yang tunduk pada hukum adat tidak dilakukan pendaftaran
tanah. Kalau pun didaftar tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum
melainkan menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah ( Fiscaal
Cadaster ).

BABIII PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsepsi Hukum Tanah Nasional menurut Boedi Harsono adalah Hukum Adat
yang dirumuskan bersifat komunalistik - religius, namun memungkinkan penguasaan tanah
secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung
unsur kebersamaan. Di dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA sifat komunalistik adalah konsepsi
hukum tanah nasional yang membentuk kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia,
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan sifat religius terdapat dalam Pasal 1 ayat
(2) UUPA yang menyebutkan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan naional.
Serta dalam penyusunan UUPA sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan
dibentuknya kepanitian yang diberi tugas merancang dan menyusun Undang -Undang
Agraria. Setelah mengalami beberapa perggantian kepanitian yang berlangsung selama 12
tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang, maka baru pada tanggal 24
september 1960 Pemerintah berhasil membentuk dalam Undang - Undang No. 5 Tahun
1960 tentang peraturan dasar pokok - pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan sebutan
Undang - Undang Pokok Agraria ( UUPA ).

17
Selanjutnya salah satu tujuan dan fungsi UUPA yaitu; Meletakkan dasar - dasar bagi
penyusunan Hukum Agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur.

B. Saran
Pemakalah menyadari bahwasanya makalah di atas masih memiliki banyak
kesalahan dan kekurangan, baik kesalahan penulisan maupun kekurangan referensi. Oleh
karena itu, pemakalah berharap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran demi
menjadikan makalah ini menjadi lebih baik. Sehingga untuk pembaca jadikan sebagai
penunjang suatu penelitian dan kembali untuk dipahami tentang subtansi makalah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 2015. HUKUM AGRARIA INDONESIA: Sejarah Pembentukan


UndangUndang Pokok Agrarian, Isi Dan Pelaksanaanya. Jakarta: Universitas
Trisakti.
Muchsin. 2010. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Bandung : Refika
Aditama
Urip Santoso. Hukum Agraria & Hak - hak Atas Tanah, Prenada media. Jakarta : Edisi
Pertama Cet. Ke-2 2005.

Urip Santoso. Hukum Agraria & Hak - hak Atas Tanah, Kencana. Jakarta : Edisi Pertama Cet.
Ke-6 2010.
Sumardjono, Maria. 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas

https://www.jurnalhukum.com/dasar-dasar-hukum-agraria-yang-diamanatkan-dalam-uupa/
Diakses pada pukul 20.23 WIB Tanggal 6 September 8, 2021

https://fungsi-undang-undang-pokok-agraria-uupa-tujuan-undang-undang-pokok-agraria.html
Diakses pada pukul 16. 50 WIB Tanggal 8 September 8, 2021

18

Anda mungkin juga menyukai