DI SUSUN OLEH:
MOHAMAD IKROM 1809112464
MARJUANSYAH 1809111697
M. ZAKHRI ANDIKA 1809113392
PUTRI AZURA F. 1809111488
RANI RINALDI 1809110664
SABRENA SUKMA 1809110268
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
2018/2019
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas Hukum Adat dengan judul
“TEORI PENGUASAAN TANAH”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen Ibu Meriza SH., MH yang telah membimbing kami dalam menulis
makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Kelompok Empat
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3
BAB III PENUTUP
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
Disamping 2 (dua) hal diatas, I.Gede A.B Wiranata menambahkan satu
aspek lagi yang menggambarkan pentingnya kedudukan tanah yaitu aspek magis-
religius tanah, dimana tanah merupakan suatu kesatuan dimana nanti pemiliknya
akan dikubur setelah meninggal sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan
selama beberapa generasi sebelumnya.
Tanah adat kepunyaan masyarakat adat diatur dalam hokum adat mereka
masing-masing. Tanah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga dan harus
dipertahankan oleh masyarakat adatnya. Tanah adat merupakan tanah milik dari
kesatuan masyarakat hukum adat.
Meskipun di pasal 3 UUPA terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang
serupa denganitu”, namun pada dasarnya keberadaan UUPA tidak secara terperinci
mendefisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat.
Menurut Van Vollenhoven yang dinamakan hak ulayat sebagai
beschikkingensreacht yang kemudian diterima oleh umum dan dipakai sampai
sekarang. Menurut Boedi Harsono hak ulayat merupakan wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hokum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
6
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini sesuai dari rumusan masalah yang telah
disampaikan. Hal tersebut untuk memudahkan hal yang harus dilakukan
berdasarkan masalah yang akan dibahas. Berikut tujuan dari permasalahan dari
makalah ini.
1. Menjelaskan Teori Penguasaan Tanah.
2. Menjelaskan Hubungan Manusia dengan Tanah.
3. Mendeskripsikan Pengertian Tanah Adat.
4. Mendeskripsikan Pengertian Tanah Ulayat.
5. Menjelaskan Ciri-ciri Tanah Ulayat.
6. Menjelaskan Subjek dan Objek Hak Ulayat.
7. Menjelaskan Hubungan Hukum Adat dengan Hak Ulayat.
7
BAB II
PEMBAHASAN
8
3. Tata susunan hukum orangtua atau parentil, yang berdasarkan
pertalian darah maupun garis ibu ataupun garis bapak dan nenek
moyang.
b. Faktor teritorial, yaitu faktor yang mengikat anggota-anggota masyarakat
hukum ialah hubungan bersama terhadap suatu daerah yang sama dan
tertentu (tinggal bersama-sama, mendapat penghidupan dari daerah itu).
Kedaulatan dan kewenangan masyarakat hukum tersebut berdasar atas hak
Ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum itu. Kewenangan untuk mengatur
dan menata hubungan antar warga yang bersangkutan dengan tanah, dituangkan
dalam bentuk peraturan tentang penguasaan dan pemanfaatan tanah ke dalam
kelompok hukum yang bernama hukum tanah adat. Hukum tanah adat itu dipakai
dasar oleh hukum tanah nasional.1
1
Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta¸2012, hlm. 87-88
9
1. Jual Lepas
2. Gadai
3. Jual tahunan
4. Sewa Menyewa
2
Sumitro, Ko9nsep Pertahanan Nasional. Bandung : Alfabeta. Hlm. 62
10
kepada masyarakat karena keberadaan individu berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai eksistensi
seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar
itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena
penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan nilai-nilai kehormatan,
kebanggaan, dan keberhasilan pribadi. Demokrasi politik dapat berkembang lebih
mudah di kalangan mereka yang di samping mempunyai pekerjaan juga
mempunyai akses terhadap sumber daya tanah.3
3
Prof. Dr. S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlmn. 181-182
11
2.5 Kearifan Lokal Masyarakat Adat tentang Tanah
A. Kearifan Lokal Masyarakat Adat tentang Tanah
Sistem kearifan lingkungan lokal berakar dari sistem pengetahuan
dan pengelolaan masyarakat adat. Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan
dengan lingkungan dan sumber daya alam.
Kondisi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat diatur
daerah dengan daerah lainnya di Indonesia berbeda-beda. Namun demikian
ada beberapa adat yang ideologi, sistem sosial budaya, dan sosial politik
yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun atas kesamaan
wilayah hidup bersama secara turun-temurun maupun nenek moyang.
Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal
dengan “hak ulayat”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau
mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang
bersifat komunal ini, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk
menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Hak ulayat
tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut.
Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu
a. Hak persekutuan atau hak pertuanan
Maksudnya adalah bahwa ada persekutuan antar etnik, sub etnik, atau
fam untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di
atasnya. Misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun ternak. Izin
hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri
sendiri, bukan diperdagangkan. Arinya bahwa tanah ulayat tidak boleh
dijual belikan kecuali sudah mendapat izin
b. Hap perorangan
Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat, dimana yang
bersangkutan tenaga dan ushanya telah terus-menerus diinvestasikan
pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui
oleh anggota lainnya. Hak ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan
lagi, pemilik meninggalkan tanah tersebut, atau tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban yang dibibankan.
c. Hak memungut hasil tanah
12
Hak memungut hasil tanah adalah tanah yang digunakan untuk
kepentingan fasilitas umum atau untuk basis politik, sosial budaya dan
spritual. Contohnya seperti di Minangkabau yang ada tanah yang
dipungut hasil yang dikelola oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau
kepala suku di dalam suatu adat tersebut.
Konsep pola penguasaan tanah ini digunakan oleh banyak suku di Indonesia
seperti Melayu, Minangkabau, Dayak, Bali, Batak, dan lain-lain.
13
kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan
lembaga politik setingkat negara.
2. Objek hak, yang berupa persil tanah atau juga benda-benda yang
tumbuh di atas tanah. Objek hak termaksud harus dibedakan dengan
alat tertentu, dengan objek lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil
tanah, batas-batas biasanya diberi suatu simbol. Objek hak bisa bersifat
total juga bisa parsial. Misalnya, seseorang mempunyai hak atas pohon
tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah di mana
pohon itu berdiri.
3. Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak
tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Untuk jenis-jenis
hak merentang dari hak milik, hak pakai, hak sewa, dan lain-lain. Setiap
jenis hak ini memiliki hubungan khusus yang dilekatkan oleh pihak lain
dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.
Selain land tenure, ada juga tree tenure yang terdiri dari sebundel hak
terhadap hasil hutan yang berkait dengan tumbuh-tumbuhan di atas
tanah yang dapat melekat pada berbagai subjek pada berbagai waktu
yang berbada. Ada 4 kategori utama, yakni :
1. Hak untuk memiliki atau mewarisi
2. Hak untuk menanam
3. Hak untuk memanfaatkan pepohonan dan hasil pepohonan
4. Hak untuk melepaskan haknya atas pohon.
14
2. Signifikansi Tenurial Security bagi Masyarakat Adat
Tenurial security bisa diartikan sebagai kepastian penguasaan dan
pemanfaatan tanah dan segala hasil olahan diatas tanah. Jadi, tiadanya
pengakuan sistem penguasaan dan pemanfaatan tanah berserta hukum
adatnya. Ketika suatu hak baru diberikan oleh pemerintah pada
kelebagaan ekonomi dan politik modern untuk menguasai tanah,
mengeksploitasi hasilnya atau membangun segala sesuatu yang di atas
teritorial tenurial komunitas adat. Pemberian hak misalnya Hak Guna
Usaha akan mengubah susunan dari tata guna tanah dari kawasan
tersebut.
Penataan guna tanah dabat di bedakan dyaitu :
a. Penataan guna tanah yang berasal dari dan dimiliki oleh masyarakat
langsung yang dibuat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan setempat
dan digunakan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari
b. Penataan guna tanah yang berasal dari pemerintah atau negara yang
dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan
sosial yang bersifat makro dan dibuat lebih banyak berdasarkan pada
perhitungan-perhitungan teknis ekonomi.
4
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Raja Grafindo Persada, Depok: 2016, hlm. 57
15
Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan “hak
ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun
sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam
bahasa hukum maupun ilmiah, istilah “tanah ulayat” selalu digunakan untuk
menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.
Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk
berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakikatnya terdapat pula
hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat
tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai
sebagian tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat
atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau
mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali
bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah
ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai
sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang
yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.5
5
Ibid., hlm. 76
6
Ibid., hlm. 55
7
Hayatul Ismi, Hukum Adat Indonesia, Universitas Riau press, Pekanbaru: 2015, hlm. 134
16
berpindah tangan kepemilikannya, sedangkan pengaturan atau pemanfaatan
dari hak ulayat berada di bawah kewenangan penghulu.
b. Merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk
memanfaatkan sumber daya alam, termasuk tanah.
Hak ulayat diberikan oleh hukum untuk memanfaatkan sumber daya
alam. Jadi hak ulayat ini merupakan hak yang benar di mata hukum. Tentang
pelaksanaan hak ulayat dijelaskan dalam pasal 5 UUPA yaitu “Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama.”.8 Pada daerah Kampar,
terdapat peraturan daerah nomor 12 tahun 1999 yang mengatur tentang hak
tanah ulayat.
c. Hak tersebut memiliki wilayah (yuridiksi) di tempat hidup para warga
masyarakat pada umumnya.
Hak ulayat berwilayah di tempat warga masyarakat tersebut hidup dan
atau bertempat tinggal.
d. Hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun masyarakat
pada umumnya.
Penguasaan atas tanah ulayat bersifat inklusif. Hak ulayat berlaku tidak
hanya terhadap masyarakat hukum adat, tetapi juga pada masyarakat pada
umumnya. Anggota suku lain dapat mengambil manfaat dari daerah hak
ulayat tetapi harus dengan izin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan
dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu.
Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen,
namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut.
e. Terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah.
Ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah seperti
pengelolaan hak ulayat yang dimaksudkan untuk menjaga kepentingan
8
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta: 1978, hlm. 5
17
antara warga. Hak ulayat juga termasuk hukum perdata, dan mengandung
tugas kewajiban mengelola, mengatur penguasaan, pemeliharaan,
peruntukan, dan penggunaannya termasuk dalam bidang hukum.
f. Mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antar masyarakat.
Hak ulayat mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antar
masyarakat karena kepemilikan dari hak ulayat merupakan hak komunal
atau kepemilikan bersama. Tanah bersama tersebut bukan hanya
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan suatu generasi, tetapi
diperuntukan bagi unsur utama dalam kehidupan dan penghidupan generasi
terdahulu, sekarang, dan yang akan datang.
g. Memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan pemanfaatan
tanah ulayat.
Hak ulayat tidak dimanfaatkan secara asal-asalan, tetapi ada
pengawasan tehadap pemanfaatan dari tanah ulayat tersebut. Pemanfaatan
tanah ulayat diawasi oleh institusi/lembaga. Seperti pada peraturan daerah
Kampar nomor 12 tahun 1999 tentang hak tanah ulayat bagian keempat
(pengawasan) pasal 8 berisi bahwa “Setiap pemangku adat dan warga
masyarakat adat, berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap
penggunaan dan kepemilikan tanah ulayatnya.”.9
9
Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat
18
terhadap alam kebendaan, maka mererka bertingkah laku sedemikian rupa,
sehingga untuk mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya, gerombolan
tadi dapat disebut mayarakat masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen).
C. Roestandi Ardiwilaga menyebut “persekutuan hukum” yaitu, lingkungan
lingkungan teratur yang bersifat kekal, yang mempunyai kekuasaan sendiri
dan kekayaan sendiri baik berupa kejasmanian dan kerohanian.
D. Kusumawadi Pudjosewojo juga memberi nama “masyarakat hukum” yaitu
suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya sendiri bahi masyarakat
itu sendiri ; dan oleh sebab itu turut serta sendiri dalam berlakunya tata
hukum itu,artinya tunduk sendiri kepada tata hukum itu.
19
b. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan peraturan daerah
c. Ketentuan lebih lanjut sebgaimana yang dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
diatur dengan peraturan pemerintah dalam penjelasan pasal demi pasal
dijelaskan :
Ayat 1
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya ,jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).
2) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
3) Ada wilayah hukum adat yang jelas.
4) Ada pranata dan perangkat hukum ,khususnya peradilan adat ,yang
masih ditaati.
5) Masih menagadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan dan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari.
Ayat 2
Peraruran daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para
pakar hukum adat ,aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat
yang ada di daerah bersangkutan ,serta instansi atau pihak yang terkait.
Ayat 3
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain :
a. tata cara penelitian
b. pihak pihak yang diikut sertakan
c. materi penelitian
d. kriteria penelitian keberadaan masyarakat hukum adat
Menurut pasal 67 ayat (2) undang undang nomor 41 tahun 1999 tersebut,
pengukuhan keberadaan dan dihapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan peraturan daerah . Contoh peraturan daerah yang mengukuhkan keberadaan
20
hukum adat adalah peraturan daerah provinsi Sumatra Barat nomor 9 tahun 2000
tentang : ketentuana pokok pemerintahan nagari.
Pasal 3 megatur tentang wilayah nagari sebagai berikut :”wilayah nagari
,meliputi kesatuan wilayah hukum adat dengan batas batas tertentu yang sudah
berlaku secara turun temurun.
Selanjutnya pasal 7 mengatur tentang harta kekayaan nagari.harta kekayaan
nagari :
a. pasar nagari
b. tanah lapang
c. balai masjid atau sungai nagari
d. tanah ,hutan ,batang air,tebat ,danau atau laut yang menjadi ulayat nagari
e. bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum
f. harta benda dan kekayaan lainnya
Contoh peraturan daerah yang mengukuhkan hak tanah ulayat adalah
Peraturan daerah kabupaten Kampar nomor 12 tahun 1999 tentang “hak tanah
ulayat”.
Hak tanah ulayat juga diatur dalam pasal 2 Peraturan Daerah tersebut yaitu
sebagai berikut:
a. hak tanah ulayat dan hak hak serupa dari masyarakat masyarakat hukum
adat sepanjang hak tersebut menurut kenyataannyamasih ada ,harus
sedemikian rupa menurut ketentuan hukum
b. fungsi hak tanah ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota
persekutuan dan masyarakat yang bersifat social dan ekonomis
Kepemilikan tanah ulayat diatur dalam pasal 6 yang berbunyi sebagai
berikut :
a. hak penguasaan hak tanah ulayat dibuat atas nama gelar pemangku adat
yang berha untukitu sesuai dengan ketentuan ketentuan hukum adat
setempat
b. sertifikasi hak kepemilikan tanah ulayat di proses sesuai denganketentuan
yang berlaku.
c. Objek pendaftaran tanah meliputi :
21
a. bidang bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik ,hak guna usaha ,hak
guna bangunan dan hak pakai
b. tanah hak pengelolaan
c. tanah wakaf
d. hak milik atas satuan rumah susun
e. hak tanggungan
f. tanah negara
Objek tanah ulayat adalah semua tanah seisinya yang ada di wilayah
kekuasaan masyarakat hukum adat. 10
10
Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta¸2012, hlmn 99-104
11
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 311.
22
2.11 Hak Persekutuan Atas Tanah
Mengingat akan fakta sebagaimana tersebut diatas, maka antara persekutuan
dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan
yang mempunyai sumber serta yang bersifat relegio-magis. Hubungan yang erat
dan bersifat relegio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk
menguasai tanah dimaksud, memanfaatkannya tanah itu, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan dan atau pohon-pohonan yang hidup di atas tanah tersebut serta
juga berburu binatang-binatang yang hidup di situ.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut sebagai Hak Pertuanan Atau Hak
Ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut sebagai “Beschikkingsrecht”. Istilah
ini dalam Bahasa Indonesia adalah merupakan sutau pengertian baru, satu dan yang
lain dikarenakan dalam Bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-bahasa daerah) istilah
yang dipergunakan semua pengertiannya adalah sebagai “Lingkungan Kekuasaan”
sedangkan “Beshchikkingsrecht” itu menggambarkan tentang hubungan antara
persekutuan dengan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah Hak
Ulayat sebagai terjemahan dari “Beshchikkingsrecht”.12
12
Ibid., hlm. 312-313
13
Pasal 1 angka 8 Perda Sumbar 16/2008
23
penghulu suku berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai
dengan hukum adat minangkabau.14
c. Tanah ulayat kaum
Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber
daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota
kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur
oleh mamak jurai/mamak kepala waris.15
d. Tanah ulayat rajo
Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya
alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur
oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian
Nagari.Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status
ganggam bauntuk pagang bamansinag oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo
yang pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo.16
14
Pasal 1 angka 9 Perda Sumbar 16/2008
15
Pasal 1 angka 10 Perda Sumbar 16/2008
16
Pasal 7 ayat (3) Perda Sumbar 16/2008
24
memasuki persekutuan maka mereka terlebih dahulu harus mendapat ijin dari
Kepala Persekutuan.
Di dalam persekutuan kemungkinan terjadi perkawinan antara anggota-
anggota persekutuan dengan pendatang tadi.Dalam keadaan ini mungkin
orang-orang pendatang mendapat tanah sebagai hadiah perkawinan.Apabila
terjadi hal seperti ini maka kedudukan orang pendatang yang kawin itu atas
tanah yang dihadiahkan maka kedudukannya lebih kuat dari hak semula yang
diberikannya (hanya sebagai Hak Menikmati) setelah perkawinan menjadi Hak
Milik.
Disamping hal-hal tersebut di atas persekutuan juga harus bertanggung
jawab atas pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan yang telah terjadi
Lingkungan Ulayat yang dilakukan oleh siapapun baik oleh anggota
persekutuan maupun oleh orang lain yang tidak dikenal.
Dengan demikian maka dapatlah disimpulkan bahwa isi dari Hak Ulayat itu
terdiri dari:
a) Hak dan Kewajiban atas tanah sendiri (pribadi)
b) Hak dan Kewajiban terhadap orang luar
c) Hak dan Kewajiban terhadap warga persekutuan17
17
Ibid.,hlm. 313-315.
25
fungsi tanah ulayat secara rinci dapat dibagi tiga aspek, yaitu dari aspek sosial
budaya, dari aspek sosial ekonomi, dan dari aspek jaminan sosial.18
1. Dari aspek sosial budaya
Fungsi atau penataan tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat terkait
erat dengan sistem kekerabatan, dimana tanah ulayat dapat dianggap sebagai
unsur perekat anatar warga masyarakat hukum adat dan antar warga
masyarakat hukum adat dengan pemimpinnya.
2. Aspek sosial ekonomi
Fungsi atau penataan tanah ulayat untuk menjadikan warganya
sejahtera lahir dan batin. Sehubungan dengan ini, seluruh warga masyarakat
hukum atau secara individual didorong untuk membangun hubungan ekinomi
dengan tanah ulayat, dengan ketentuan “yang lereng dijadikan tempat
berladang, yang berair dijadikan sawah, dan yang tunggang dijadikan hutan”.
Tanah ulayat dijadikan sebagai social asset artinya, tanah ulayat dapat didaya
gunakan untuk pemenuhan kebutuhan warga masyarakat hukuma adat untuk
menjalankan aktifitas perekonomiannya.
3. Aspek jaminan sosial
Sebagai representasi dari sebuah model jaminan sosial tradisional.
Konsep tanah ulayat sebagai sebuah model jaminan sosial tradisional akan
semakin efektif pada saat dimana pemerintah tidak memberikan jaminan sosial
dan ekonomi kepada warganya.19
18
Helmy Panuh,Pengelolaan Tanah Ulayat,Rajawali Pers,Jakarta,2012,hlm.125.
19
Helmy Panuh, Ibid,hlm.126-127.
26
Mempunyai kekuatan berlaku ke dalam terdiri atas:
a. masyarakat hukum itu dalam arti anggota anggota nyasecara bersama sama
dapat memungut hasil dari tanah dan darri binatang binatang dan tanaman
tanaman yang terdapat disitu dengan tidak terpelihara
b. masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak anggota
anggotanya atas tanah untuk kepentingan sendiri
c. anggota masyarakatnya dapat berburu dan mengambil hasil hutan untuk
dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa yang yang diperolehnya
dll.
20
Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta¸2012, hlmn 180-183
27
2.16 Sistematika Berlakunya Hak Ulayat
Sistematika berlakunya hak ulayat menurut Ter Haar adalah sebagai berikut:
a. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas
tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
b. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu,
mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik
bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon
itu dipelihara olehnya.
c. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan
kepala suku atau kepala masyarakat hukum.
d. Berdasarkan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan bagian-bagian
wilayah yang dapat digunakan untuk tempat pemukiman, makam,
penggembalaan umum, dan lain-lain.
e. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat,
kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan
memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu.
f. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau
dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau
masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk
mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda. 21
21
Laksanto Utomo, Op.Cit., hlm 56-57
28
yang ada di bawahnya22 di pakai sebagai sumber hukum atas hak kebendaan
masyarakat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat serta segala tertib
hukum di indionesia.
Pelaksanaan pancasila bersifat subjektif adalah pelaksanaan didalam diri
setiap orang, yaitu penguasa, warga Negara, dan setiap orang yang berhubungan
dengan Indonesia, artinya belum dapat dijabarkan, secra langsung dalam kehidupan
sehari-hari. Penjalasan UUD 1945 menunjuk UU sebagai pelaksanaan hukm tertulis
(hukum positif).
Hukum adat yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
Indonesia merupakan suatu cerminaan isi pancasila untuk mendukung lebih lanjut
teori dasar yang digunakan dalam tulisan disertai ini adalah teori Keadilan
berdasarkan Pancasila23yang memiliki sudut pandang bahwa negara RI memiliki
tugas dan tanggung jawab memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia
sesua dengan tujuan pembentukan negara RI yaitu membentuk Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah indonseia.24
Pengakuan hak atas tanah masyarakat hukum adat, yaitu hak ulayat yang
diamanat kan oleh pancasila dan UUD 1945 serta pasal 3 UU nomor 5 tahun 1960
tetntang Pertauran Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kriteria penentu keberadaan hak
ulayat terdiri tiga unsur, yakni adanya masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat
tertentu menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil kebutuhan hidup
masyarakat hukum adat dan tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat
hukum adat.keberadaan hak ulyat dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah
dan batas-batasn yang ditentukan menurut tata cara pendaftaran tanah, digambarkan
pada peta dasar pendaftaran tanah dan dicatat dalam datar buku tanah. Pengaturan
lebih lanjut tetang keberadaan hak ulayat diatur dengan peraturan daerah (perda)25.
Sebelum terbit perda terdapat bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai
oleh perseorangan atau badan hukum dengan hak UUPA atau sudah diperoleh atau
22
Ferry Aries Suranta, Penggunaan Lahan Hak Ulayat dalam Investasi Sumber Daya Alam
Pertambangan di Indonesia, Penerbit Gramata Publishing, Jakarta, hlm. 45
23
Ferry Aries Suranta, Ibid, hlm. 51
24
Alenia ke-empat Mukadimah UUD 1945.
25
Ferry Aries Sukanta, loc,it, hlm. 47
29
dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan menurut
ketentuan dan tata cara yang berlaku. Bagi instansi pemerintah, badan hukum, atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat, sesuai ketentuan UUPA
penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah, diberikan setelah tanah dilepaskan
oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya dengan letetntuan dan tatacara
hukum adat yang berlaku26.
Ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada para
pemegang hak atau yang memeroleh tanah dan yang menguasainya secara sah.
Perolehan tanah sah apabila memenuhi syarat material, yakni diperoleh dengan
itikat baik menurut cara yang disepakati para pihak dan syarat formal, yakni
dilakukan menurut ketentuandan tatacara pendaftaran tanah pasal 16 UU no.5 1960
tentang pertauran dasar pokok-pokok agrarian27.
Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran, tetapi tanh
ulayat tidak diterbitkan sertifikat, karena hak ulayat bukan objek pendaftaran tanah,
karena sifatnya dinamis yang memungkinkan, terjadi individualisasi secra alamaiah
karena factor sosial ekonomis akan membawa pengaruh terhadap perubahan
internal dikalangan masyarakat hukum adat sendiri.
Terbitnya peraturan, seogianya mempertegas komitmen terhadap
pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan (UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan hidup, UU Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 15 tahun 1997 tentang Transmigrasi).
Kedudukan tanah ulayat berdasarkan ordansi bahwa ketentuan tertulis
mengenai pertanahan adalah ordnisasi pertanahan, yaitu agrarischie wet (stb nomor
55 tahun 1870). Keduduakan tanah ulayat diakui eksistensi UUPA, tetapi
direalisasikan secara formal haruslah memnuhi persyaratan tertentu, yaitu
“sepenjang masyarakat hukum adat masih adat”28. Adapun hak ulayat dan peraturan
perundang-undangan :
1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960
Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis dalam hukum
agraria didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat, yaitu hukum yang sesuai
26
Feri Aries Sunanata, Loc.cit, hlm 47.
27
Boedi Hrsono, Hukum Agraria Indonesia, Pasal 16 UUPA. hlm. 10.
28
Feri Aries Sunanta, Ibid, hlm 48
30
dengan kepribadian serta merupakan hukum rakyat bangsa Indonesia yang asli29.
Hukum adat sebagai dasar hukum agrarian yang baru,yaitu hukum adat yang sudah
disadur dimana hukum adat berlaku bbagi golongan rakyat pribumi dan selanjutnya
merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis serta mengandung unsur-
unsur nasional yang asli,yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan30.
Yang mengakomodasikan tanah ulayat dalam UUPA nomor 5 tahun 1960
pasal 3 sebagai berikut :
Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan
masih ada sesui dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan UU dan PP
yang lebih tinggi, pasal 3 UUPA tidak menyebutkan secara langsung dengan “tanah
ulayat”31 melainkan “masyarakat hukum adat” yang erat dengan pengertian “tanah
ulayat” dalam pasal 3 UUPA. Kata-kata “masyarakat-masyarakat hukum adat”
dalam UUPA pasal 2 ayat 4 adalah sebgai berikut32.
Didalam konsideren UUPA bagian berpendapat huruf a dan Pasal 5 serta
penjelasannya, hukum tanah nasional berdasar hukum adat. Berhubung dengan apa
yang termaksud dalam pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu adanya hukum
agraria nasional yang berdasar ata hukum adat tentang tanah, yang sesderhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Ketentuan ini
dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 55 UUPA yang berbunyi:
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepastian nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, serta segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama.
29
Boedi Hrsono, Op.cit., hlm. 65.
30
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Loc.cit.,hlm. 174.
31
Budi Harsono, Hukum Agrarian, Penerbit Djembatan, Jakarta, 2006. Hlm. 28.
32
Ibid,hlm. 33.
31
Dalam penjelasan pasal demi pasal dikemukakan bahwa, “Penegasan bahwa
hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat
penjelasan umum (III angka 1)”. Dalam Penjelasan Umum III angka 1 disebutkan:
“Sebagaimana telah diterangkan diatas, hukum agraria sekarang ini
mempunyai sifat “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak
tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat, yang
berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud
menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan
hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai
pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria
baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh
karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka
hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-
ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan
dalam hubungannya dengan dunia Internasional, serta disesuaikan dengan
sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat
kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal”.
Menurut Penjelasan Umum tersebut, dalam pertumbuhan hukum adat tidak
terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan
masyarakat swapraja yang feodal. Oleh karena itu, hukum adat yang berlaku
sekarang ini mengandung cacat dan cacat ini harus dihilangkan sehingga hukum
adat menjadi bersih dari cacat-cacatnya. Hukum adat yang dipakai sebagai dasar
hukum agraria nasional adalah hukum adat yang sudah di-saneer.
Perubahan dari hukum adat menjadi dasar hukum agraria yang baru harus
memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan asas persatuan bangsa.33
33
Boedi Hrsono,Ibid.,hlm. 199.
32
2. Tidak boleh bertentangan dengan nasionalisme Indonesia.34
3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
UUPA.35
4. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.36
5. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersndar pada hukum agama.37
Dalam hubungan ini, perlu ditegaskan bahwa fungsi hukum adat dalam
rangka pembangunan hukum tanah nasional adalah:
a. Sebagai sumber utama pembangunan hukum tanah nasional yang
materinya diambil dari hukum adat, terdiri dari:
Asas
Konsepsi
Sistem
Lembaga
b. Sebagai pelengkap hukum tanah positif yang tertulis (contoh: Pasal 50
ayat 1 jo Pasal 56 UUPA).38
34
Bedi Harson, Ibid.,hlm. 200-201.
35
Boedi Harsono, Ibid.,hlm. 202.
36
Boedi Harsono, Ibid., hlm. 203.
37
Boedi Harsono, Ibid.,hlm, 160.
38
Hasni, S.H., M.H., Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA-
UUPR-UUPLH, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlmn. 36-38
39
Ferry Aries Suranta, Ibid,hlm. 114.
33
DPR RI atas rancangan UU tentang perubahan UU nomor 22 tahun 1999 tanggal
29 september 2004 RUU yang disepakati bersama telah diupayakan sedemikian
rupa untuk menjadi dasar penyelesaian dan pemecahan masalah dalah pelaksanaan
otonomi daerah.
40
Ferry Aries Suranta, Ibid, hlm 69
34
8. Penerapan hukum merupakan proses kelanjutan dari pembentukan hukum
dalam meliputi lembaga dan prosedur hukum;
9. Evaluasi hukum merupakan proses pengujian kesesuaian antarhukum
dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam konsep hukum, ataupun peraturan perundang-undangan
Apabila memahami system hukum adalah sebagai refleksi sistemmatik dari
asa dan kabidah pada masyarakat hukum adat termasuk juga hak ulayat karena hak
ulayat sendiri memberikan penjelasan tentang arti yang dimaksud dari hak ulayat
adalah beshikkingrecht41ada dalam kepustakaan hukum adat. Pasal 3 UUPA
menyebutkan tentang adanya masyarakat hukum adat, tetapi tidak memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian hak ulayat.
Hak ulayat dalam masyarakat hukumadat sebenarnya tidak mempunyai
nama, yang ada menunjuk pada tanah (objek) merupakan wilayah lingkungan
masyarakat hukum. Ulayat artinya wilayah, merupakan istilah dari Minangkabau.42
41
Ferry Aries Suranta, Ibid, hlm 70.
42
Budi Harsono,Hukum Agraria, Djambatan, Jakarta, 2006, hlm 31.
43
Baca UUPA Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 3 s/d pasal 6.
35
ada diwilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan di taati masyarakat.
d. Sifat manusia dan hasil kerjanya lebih bernilai daripada tanah secara tidak
langsung.
Sesungguhnya aspek manusia serta kerja dan hasil kerja manusia tersebut
merupakan hal yang jauh lebih bernilai dibandingkan persoalna tanah . Apabila ia
meniggalkan tanah ulayat tersebut maka tanah tersebut lepas darinya, dan kembali
menjadi tanah komunal.44
44
Dr.St. Laksanto Utomo,hukum adat, Rajawali Pres,Depok :2017,hlm 58
36
2.21 Cara Persekutuan Memelihara Serta Mempertahankan Hak Ulayat
Pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling
wilayah kekuasaannya.Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan
secara sempurna lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut tempat
tinggalnya tersebar dalam Pedukuhan-pedukuhan kecil ataupun apabila daerah-
daerah persekutuan tersebut meliputi tanah-tanah kosong.45
45
Ibid., hlm. 317.
46
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta, 2007. hlm,
200.
37
menguat maka hak pertuanan menjadi lemah. Begitu pula sebaliknya,
apabila hak perorangan melemah maka hak pertuanan menguat.
3. Anggota masyarakat dapat berburu dan mengambil hasil hutan untukl
dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa yang diperolehnya.
4. Anggota masyarakat dapat mengambil pohon-pohon yang tumbuh sendiri
dihutan dengan menempelkan suatu tanda dan melakukan pemujaan.47
5. Anggota masyarakatnya berhak membuka tanahnya itu menyelenggarakan
hubungan sendiri terhadap sebidang tanah dengan memberi tanda dan
melakukan pemujaan (upacara adat).
6. Masyarakat hukum dapat menentukan tanah untuk melakukan kepentungan
bersama misalnya untuk makan, pengembalaan umum, dan lain-lain.
47
Budi Harsono, Op Cit, hlm. 46.
48
Muhammad Bakri, Ibid, hlm,201.
49
Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 8 UUPA.
38
atau mengambil sumber daya alam yang ada diilayah suatu masyarakat hukum adat,
tanpa persetujuan lebih dulu dari masyarakat hukum adat setempat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa, kedudukan hak ulayat
masyarakat hukum adat berada dibawah hak ulayat negara (hak menguasa tanah
oleh negara). Oleh karena itu, hak ulayat masyarakat hukum adat harus tunduk pada
kepentingan yang lebih luas (kepentingan noasional) yang dipegang oleh negara.
Atas dasar inilah, apabila tidak dicapai persetujuan (sepakat) antara masyarakat
hukum adat setempat dengan investor yang diberi hak untuk melakukan
ekspoloitasi sumber daya alam, tentang bentuk dan besarnya bagian hasil
eksploitasi sumber daya alam yang diterima oleh masyarakat hukum adat, maka
dapat dilakukan pencabutan ha katas tanah sebagiamana diataur dalam UU nomor
20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya.50
Bentuk dan besarnya bagian yang diterima oleh masyarakat hukumadat dan
bagian yang diterima oleh investor, hasir mencerminkan rasa keadilan dan asas
keseimbangan sehingga tidak saling merugikan. Artinya, kegiatan eksploitasi
sumber daya alam itu tidak merugikan masyarakat hukum ada setempat, dan juga
tidak merigikan investor.
Pencabutan hakatas tanah, merupakan upaya terakhir setelah terlebih dahulu
diusahakan upaya lain melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam
musyawarah tersebut, tertutup kemungkinan untuk mencapai mufakatkarena
masing-masing pihak berpegang teguh pada pendiriannya, dan apabila eksploitasi
sumber daya alam itu benar-benar untuk kepentingan umum (menambah devisa
negara), bearulah dapat dilakukan pencabutan hakatas tanah.51
50
Ferry Aries, penggunaan Lahan Hak Ulayat Dalam Investasi Sumber Daya Alam Pertambangan
Di Indonesia, Gramata Publishing, Jakarta, 2012. hlm210.
51
Ferry Aries, Loc it, hlm 212.
39
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penulis membahas secara rinci dalam setiap poin pada makalah ini. hal
tersebut berdasarkan dari pendapat ahli, buku, maupun penelitian sebagai dasar
pemikiran dalam penjelasan maupun pembahasan. Penulis berharap penjelasan dari
pendapat ahli bisa meyakinkan pembaca mengenai apa yang penulis jelaskan serta
bisa dipahami dengan baik. Setelah melakukan pembahasan mengenai Hukum
Tanah Adat “PENGUASAAN TANAH ADAT” penulis menyimpulkan dari temuan
dan pembahasan. Berikut simpulan dari makalah ini.
1. Masyarakat hukum mempunyai kedaulatan penuh (sovereign) atas wilayah
kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai
kewenangan (authority) penuh untuk mengatur dan menata hubungan-
hubungan di antara sesama warga serta hubungan antara warga dengan alam
sekitar. Pengaturan dan penataan hubungan-hubungan tersebut bertujuan untuk
mencari keseimbangan hubungan, sehingga tercipta ketentraman dan
kedamaian dalam masyarakat
2. Pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka
kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat
individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan
tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan.
3. Tanah ulayat merupakan hak milik bersama bukan perseorangan, tanah ulayat
dapat dikatakan berfungsi sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat
dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.
4. Ciri-ciri hak ulayat yaitu merupakan hak komunal dari suatu komunitas
masyarakat hukum adat, merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh
hukum untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk tanah, hak tersebut
memiliki wilayah (yuridiksi) di tempat hidup para warga masyarakat pada
umumnya, hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun
masyarakat pada umumnya, terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum
adat dengan tanah, mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antar
40
masyarakat, memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan
pemanfaatan tanah ulayat.
5. Subjek hak ulayat berupa masyarakat atau individu dan badan hukum . Objek
tanah ulayat adalah semua tanah seisinya yang ada di wilayah kekuasaan
masyarakat hukum adat.
6. Tanah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam hukumadat karena sifat
dan faktanya.
7. Antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan
yang erat sekali, hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak
untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkannya tanah itu, memungut
hasil dari tumbuh-tumbuhan dan atau pohon-pohonan yang hidup di atas tanah
tersebut serta juga berburu binatang-binatang yang hidup di situ. Hak
persekutuan atas tanah ini disebut sebagai Hak Pertuanan Atau Hak Ulayat.
8. Jenis-jenis hak ulayat yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat
kaum, tanah ulayat rajo.
9. Sifat-sifat dari tanah ulayat ada yang berlaku ke dalam maupun keluar.
10. Fungsi tanah ulayat secara rinci dapat dibagi tiga aspek, yaitu dari aspek sosial
budaya, dari aspek sosial ekonomi, dan dari aspek jaminan sosial. Dari aspek
sosial budaya tanah ulayat dapat dianggap sebagai unsur perekat anatar warga
masyarakat hukum adat dan antar warga masyarakat hukum adat dengan
pemimpinnya. Aspek sosial ekonomi berfungsi atau penataan tanah ulayat
untuk menjadikan warganya sejahtera lahir dan batin. Aspek jaminan sosial
berfungsi sebagai representasi dari sebuah model jaminan sosial tradisional.
Konsep tanah ulayat sebagai sebuah model jaminan sosial tradisional akan
semakin efektif pada saat dimana pemerintah tidak memberikan jaminan sosial
dan ekonomi kepada warganya.
11. Mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam dan keluar.mempunyai kekuatan
yang berlaku kedalam artinya,berlaku bagi anggota masyarakat hukumnya
sendiri ,sedang mempunyai kekuatan berlaku keluar artinya,berlaku bagi selain
anggota masyarakat hukumya.
12. Sistematika berlakunya hak ulayat menurut Ter Haar adalah anggota
masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta
41
tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya, anggota
masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan
hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki
beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya, mereka
mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau
kepala masyarakat hukum, berdasarkan masyarakat hukum setempat, dapat
ditetapkan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat
pemukiman, makam, penggembalaan umum, dan lain-lain., anggota suku lain
tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin
pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan memberi semacam hadiah
kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu, apabila ada anggota suku bangsa lain
ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu
suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan
bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.
13. Kedudukan tanah ulayat berdasarkan ordansi bahwa ketentuan tertulis
mengenai pertanahan adalah ordnisasi pertanahan, yaitu agrarischie wet (stb
nomor 55 tahun 1870). Keduduakan tanah ulayat diakui eksistensi UUPA,
tetapi direalisasikan secara formal haruslah memnuhi persyaratan tertentu,
yaitu “sepenjang masyarakat hukum adat masih adat.”.
14. Apabila memahami system hukum adalah sebagai refleksi sistemmatik dari asa
dan kabidah pada masyarakat hukum adat termasuk juga hak ulayat karena hak
ulayat sendiri memberikan penjelasan tentang arti yang dimaksud dari hak
ulayat adalah beshikkingrecht ada dalam kepustakaan hukum adat. Pasal 3
UUPA menyebutkan tentang adanya masyarakat hukum adat.
15. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah, perairan, tanaman, dan binatang
dalam wilayahnya menjadi sumber kehidupan dan mata pencarian diakui,
dihormati, dan dilindungi sesuai dinamika perkembangan masyarakat hukum
adat, kepentingan nasional dan negara sesuai prinsip negara kestuan republik
Indonesia serta pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
16. Cara persekutuan memelihara dan mempertahankan hak ulayat adalah dengan
pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling
42
wilayah kekuasaannya.Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan
secara sempurna lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut tempat
tinggalnya tersebar dalam Pedukuhan-pedukuhan kecil ataupun apabila
daerah-daerah persekutuan tersebut meliputi tanah-tanah kosong.
17. Negara tidak dapat memberikan suatu ha katas tanah atau hak-hak lainnya
kepada suatu subjek hukum, atau mengambil sumber daya alam yang ada
diilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa persetujuan lebih dulu dari
masyarakat hukum adat setempat.
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada makalah ini, ada
beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan masukkan bagi pembaca maupun
penulis selanjutnya. Hal ini diharapkan bisa menjadi saran yang tepat untuk
nantinya bisa dilakukan oleh pembaca. Penulis memiliki beberapa saran untuk
penulis selanjutnya agar makalah ini bisa terus berlanjut sehingga memberikan
banyak manfaat bagi dunia Hukum Tanah Adat. Berikut beberapa saran dari
masalah yang bisa dilakukan untuk penulis selanjutnya.
1. Peran kepala adat dalam pemanfaatan hak tanah ulayat di suatu wilayah.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pengelolaan, pengawasan serta
pemanfaatan hak tanah ulayat.
3. Membahas sengketa atau masalah hukum tanah adat yang berkaitan dengan hak
tanah ulayat.
43
DAFTAR PUSTAKA
Panuh, Helmy. 2012. Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sumardjono. 2007. Kebijakan Pertahanan Antara Regulasi dan Implementasi.
Buku Kompas: Jakarta.
Utomo, Laksanto. 2016. Hukum Adat. Raja Grafindo Persada: Depok.
Hasni. 2008. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks
UUPR-UUPLH. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ismi, Hayatul. 2015. Hukum Adat Indonesia. Riau Press: Pekanbaru.
Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah
Ulayat.
Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta: 2008.
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008.
Suranta, Ferry Aries. 2012. Penggunaan Lahan Hak Ulayat dalam Investasi
Sumber Daya Alam Pertambangan di Indonesia. Gratama Publishing:
Jakarta.
Harsono, Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA.
Djembatan: Jakarta.
Bakri, Muhammad. 2007. Hak Menguasai Tanah oleh Negara. Citra Media:
Yogyakarta.
44