Anda di halaman 1dari 44

Tugas kelompok: Dosen Pengampu:

Hukum Adat MERIZA SH., MH

HUKUM TANAH ADAT


“PENGUASAAN TANAH ATAS”

DI SUSUN OLEH:
MOHAMAD IKROM 1809112464
MARJUANSYAH 1809111697
M. ZAKHRI ANDIKA 1809113392
PUTRI AZURA F. 1809111488
RANI RINALDI 1809110664
SABRENA SUKMA 1809110268

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
2018/2019

1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas Hukum Adat dengan judul
“TEORI PENGUASAAN TANAH”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada dosen Ibu Meriza SH., MH yang telah membimbing kami dalam menulis
makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Pekanbaru, April 2019

Kelompok Empat

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar isi ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hak Ulayat ................................................................... 4


2.2 Teori Penguasaan Tanah ........................................................... 5
2.3 Hubungan Manusia Dengan Tanah ........................................... 6
2.4 Hak Perseorangan Atas Tanah .................................................. 7
2.5 Kearifan Lokal Masyarakat Adat tentang Tanah ...................... 8
2.6 Sistem Pengeloaan Tanah ......................................................... 9
2.7 Pengertian Tanah Ulayat ........................................................... 11
2.8 Ciri-Ciri Hak Ulayat ................................................................. 12
2.9 Subjek dan Objek Hak Ulayat................................................... 14
2.10 Kedudukan Tanah Dalam Hukum Adat .................................... 18
2.11 Hak Persekutuan Atas Tanah .................................................... 19
2.12 Jenis-Jenis Hak Ulayat .............................................................. 19
2.13 Sifat-Sifat Hak Ulayat ............................................................... 20
2.14 Fungsi Hak Ulayat .................................................................... 21
2.15 Kekuatan Berlakunya Hak Ulayat ............................................ 22
2.16 Sistematika Berlakunya Hak Ulayat ......................................... 24
2.17 Hak Ulayat Dalam Hukum Pertahanan Indonesia
Beradasarkan Pancasila ............................................................. 24
2.18 Hak Ulayat Dalam Hukum Pertahanan ..................................... 30
2.19 Hubungan Hukum Adat dengan Tanah Adat ............................ 31
2.20 Tata Cara Penggunaan Tanah Ulayat ........................................ 32
2.21 Pembatasan Mengenai Tanah Adat dan Tanah Ulayat ............. 33

3
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan .............................................................................. 38


3.2. Saran ........................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… ... 40

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai salah satu esensial pembentukan negara, tanah memegang peranan
fital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang
bersangkutan lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang
rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan
tanahuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua
non. Untuk mencapai tujuan ini diperlukan campur tangan penguasa yang
berkompeten dalam urusan tanah khususnya mengenai lahirnya, berpindah
berakhirnya hak milik atas tanah.
Ada 2 (dua) hal yang menyebabkan tanah memiliki kedudukan penting
dalam kehidupan, khususnya dalam hokum adat, yaitu:
1. Karena Sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimana pun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya,
bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih menguntungkan. Contohnya,
sebidang tanah dibakar, diatasnya dijatuhkan bom misalnya, tanah tersebut
tidak akan lenyap; setelah api padam atau pemboman selesai sebidang tanah
tersebut akan muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Kalau
dilanda banjir misalnya, malahan setelah airnya surut muncul kembali sebagai
sebidang tanah yang lebih subur dari semula.
2. Karena Fakta
Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu:
 Merupakan tempat tinggal persekutuan
 Memberikan penghidupan kepada persekutuan
 Merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal
dunia dikebumikan
 Merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh leluhur persekutuan.

5
Disamping 2 (dua) hal diatas, I.Gede A.B Wiranata menambahkan satu
aspek lagi yang menggambarkan pentingnya kedudukan tanah yaitu aspek magis-
religius tanah, dimana tanah merupakan suatu kesatuan dimana nanti pemiliknya
akan dikubur setelah meninggal sekaligus merupakan tempat leluhur persekutuan
selama beberapa generasi sebelumnya.
Tanah adat kepunyaan masyarakat adat diatur dalam hokum adat mereka
masing-masing. Tanah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga dan harus
dipertahankan oleh masyarakat adatnya. Tanah adat merupakan tanah milik dari
kesatuan masyarakat hukum adat.
Meskipun di pasal 3 UUPA terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang
serupa denganitu”, namun pada dasarnya keberadaan UUPA tidak secara terperinci
mendefisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat.
Menurut Van Vollenhoven yang dinamakan hak ulayat sebagai
beschikkingensreacht yang kemudian diterima oleh umum dan dipakai sampai
sekarang. Menurut Boedi Harsono hak ulayat merupakan wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hokum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya, yang merupakan pendukung utama penghidupan dan
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.

1.2 Rumusan Masalah


Topik yang penulis bahas pada makalah ini perlu diberikan rumusan
masalah agar lebih memudahkan dan tidak terjadi kesalah pahaman dalam
menjawab permasalahannya. Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis
berikan ada beberapa rumusan sebagai pertanyaan dalam makalah ini. Berikut
rumusan masalah dari makalah ini yaitu.
1. Bagaimana Teori Penguasaan Tanah?
2. Bagaimana Hubungan Manusia dengan Tanah?
3. Apa Pengertian Tanah Adat
4. Apa Pengertian Tanah Ulayat
5. Apa saja Ciri-ciri Tanah Ulayat?
6. Apa Subjek dan Objek Hak Ulayat?
7. Bagaimana Hubungan Hukum Adat dengan Hak Ulayat?

6
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini sesuai dari rumusan masalah yang telah
disampaikan. Hal tersebut untuk memudahkan hal yang harus dilakukan
berdasarkan masalah yang akan dibahas. Berikut tujuan dari permasalahan dari
makalah ini.
1. Menjelaskan Teori Penguasaan Tanah.
2. Menjelaskan Hubungan Manusia dengan Tanah.
3. Mendeskripsikan Pengertian Tanah Adat.
4. Mendeskripsikan Pengertian Tanah Ulayat.
5. Menjelaskan Ciri-ciri Tanah Ulayat.
6. Menjelaskan Subjek dan Objek Hak Ulayat.
7. Menjelaskan Hubungan Hukum Adat dengan Hak Ulayat.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hak Ulayat


Jauh sebelum masuknya penjajah di Indonesia, Kepulauan Indonesia telah
dihuni oleh berbagai persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) yang mempunyai
warga yang teratur, mempunyai pemerintahan sendiri (kepala persekutuan hukum
dan pembantu-pembantunya), dan mempunyai harta material maupun immaterial.
Persekutuan hukum ini juga dinamakan “masyarakat hukum”, yaitu: sekelompok
manusia yang teratur dan bersifat tetap, mempunyai pemerintahan/pimpinan serta
mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang kelihatan (materiil) dan
benda yang tidak kelihatan mata (immateriil).
Masyarakat hukum juga dipimpin oleh seorang pimpinan (ketua adat) yang
dibantu oleh para pembantunya. Masyarakat hukum mempunyai kedaulatan penuh
(sovereign) atas wilayah kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga
mempunyai kewenangan (authority) penuh untuk mengatur dan menata hubungan-
hubungan di antara sesama warga serta hubungan antara warga dengan alam sekitar.
Pengaturan dan penataan hubungan-hubungan tersebut bertujuan untuk mencari
keseimbangan hubungan, sehingga tercipta ketentraman dan kedamaian dalam
masyarakat. Perikatan manusia yang mempunyai anggota-anggotanya, yang merasa
dirinya terikat dalam kesatuan yang bersatu padu penuh solidaritas (sama rata-sama
rasa) dalam mana anggota-anggotanya mempunyai kepentingan bersama, yang
bertindak dalam pergaulan hukum sebagai kesatuan masyarakat. Faktor-faktor yang
mengikat dan menjadi dasar pokok untuk kesatuan masyarakat tersebut ada dua
faktor, yaitu:
a. Faktor Genealogi, yaitu faktor yang mengikat orang-orang menurut
keturunan bersama, pancaran nenek moyang yang sama.
Faktor Ganeologi ini terdiri dari 3 tipe, yaitu:
1. Tipe susunan hukum ayah atau patrilineal, berdasarkan pertalian
darah menurut garis bapak.
2. Tata susunan hukum ibu atau matrilineal, berdasarkan pada turunan
ibu asal yang sama.

8
3. Tata susunan hukum orangtua atau parentil, yang berdasarkan
pertalian darah maupun garis ibu ataupun garis bapak dan nenek
moyang.
b. Faktor teritorial, yaitu faktor yang mengikat anggota-anggota masyarakat
hukum ialah hubungan bersama terhadap suatu daerah yang sama dan
tertentu (tinggal bersama-sama, mendapat penghidupan dari daerah itu).
Kedaulatan dan kewenangan masyarakat hukum tersebut berdasar atas hak
Ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum itu. Kewenangan untuk mengatur
dan menata hubungan antar warga yang bersangkutan dengan tanah, dituangkan
dalam bentuk peraturan tentang penguasaan dan pemanfaatan tanah ke dalam
kelompok hukum yang bernama hukum tanah adat. Hukum tanah adat itu dipakai
dasar oleh hukum tanah nasional.1

2.2 Teori Penguasaan Tanah


Tanah merupakan sumber daya material dan sumber terpenting. Tanah
merupakan lapisan teratas dan dari lapisan inilah hidup beraneka ragam makhluk
termasuk manusia. Tanah dianggap sebagai satu-satunya sumber untuk
mendapatkan pendapatan dan kekayaan, dan sektor pertanian merupakan kegiatan
produktif. Tanah juga diyakini mengandung kemampuan untuk menghasilkan
produksi dalam jumlah dan mutu yang melebihi bahan mentah dan pertalan yang
digunakan dalam menghasilkan produk bersih. Faktor tanah apakah dimasukkan
dalam harga perolehan atau bagian yang harus dinikmati oleh pemilik tanah
(Residu).
Menurut David Ricardo (1722-1823) bahwa sewa tanah timbul karena
kekurangan tanah, dan terbatasnya kesuburan tanah. Sewa tanah merupakan ganti
kerugian yang harus dibayar kepada pemilik tanah untuk pemakaian. Harga dari
hasil-hasil pertanian akan tergantung pada jumlah kerja yang dipergunakan untuk
memproduksi hasil tersebut. Dalam mendapatkan hak tanah maka terdapat
beberapa cara yaitu:

1
Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta¸2012, hlm. 87-88

9
1. Jual Lepas
2. Gadai
3. Jual tahunan
4. Sewa Menyewa

2.3 Hubungan Manusia dengan Tanah


Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah
menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak terpisahkan
(“kedwitunggalan”) bahwa pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah
diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya
tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap
memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan2.
Dalam kerangka berfikir ini, hak-hak perorangan atas tanah tidak bersifat
mutlak, tetapi selalu ada batasnya, yakni kepentingan orang lain, masyarakat atau
negara. Dengan demikian dituntut penguasaan dan penggunaan tanah secara wajar
dan bertanggungjawab, disamping bahwa dalam setiap hak atas tanah yang
dipunyai seseorang diletakkan pula kewajiban tertentu. Ada pertanggungjawaban
individu terhadap masyarakat melalui terpenuhinya kepentingan
bersama/kepentingan umum, karena manusia tidak dapat berkembang sepenuhnya
apabila berada diluar keanggotaan suatu masyarakat. Konsep hubungan ini
diterjemahkan dalam Pasal 6 UUPA yang menyebut bahwa “semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”.
Cara berfikir yang serba berpasangan ini belakangan mulai diperkenalkan
di Amerika Serikat. Gregory Alexander dari Cornell University pada tahun 1991
mengemukakan pemikirannya yang disebut sebagai post-modern dialectic of
property yang berusaha menepis pandangan dualistik semata dalam hubungan
manusia dengan tanah (self regarding vision), dengan menawarkan comunitarian
vision of property sebagai alternatif.
Tampak adanya pergeseran pandangan, setidaknya dari segi teori, dengan
adanya penekanan yang lebih terhadap kedudukan individu sebagai bagian suatu
masyarakat, dimana ada kewajiban/tanggungjawab moral dan sosial dari individu

2
Sumitro, Ko9nsep Pertahanan Nasional. Bandung : Alfabeta. Hlm. 62

10
kepada masyarakat karena keberadaan individu berpengaruh terhadap
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai eksistensi
seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar
itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena
penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan nilai-nilai kehormatan,
kebanggaan, dan keberhasilan pribadi. Demokrasi politik dapat berkembang lebih
mudah di kalangan mereka yang di samping mempunyai pekerjaan juga
mempunyai akses terhadap sumber daya tanah.3

2.4 Hak-Hak Perseorangan Atas Tanah.


Hak perorangan atas tanah ialah suatu hak yang diberikan kepada wargas-warga
desa ataupun kepada orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak
ulayat. Hak perorangan atas tanah dalam hukum adat ada enam macam, yaitu:
Hak milik merupakan hak tekuat diantara hak-hak perorangan yang lain, namun hak
ini tidak bersifat mutlak. Pemilik tanah tidak diperbolehkan berlaku sewenang-
wenang terhadap kepentingan pemilik lain. hak Ulayat, peraturan hukum (indusit),
adat. Hak milik atas tanah dapat dipilih dengan membuka tanah yaitu membuka
tanah yang masih berbentuk hutan rimba yang nantinya ditujukan untuk
dimanfaatkan dan bila tanah itu tidak dimanfaatkan maka ketua adat atau kepala
ulayat berhak untuk menyerahkan tanah tersebut kepada orang lain untuk
dimanfaatkan atau pemilik lama berjanji untuk mengolah tanah tersebut, mewarisi
tanah adalah hak ulayat yang ditinggal mati oleh pemiliknya maka dapat diberikan
kepada ahli waris dari sipemilik tanah untuk dimanfaatkan, pembalian tanah

3
Prof. Dr. S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlmn. 181-182

11
2.5 Kearifan Lokal Masyarakat Adat tentang Tanah
A. Kearifan Lokal Masyarakat Adat tentang Tanah
Sistem kearifan lingkungan lokal berakar dari sistem pengetahuan
dan pengelolaan masyarakat adat. Hal ini dikarenakan kedekatan hubungan
dengan lingkungan dan sumber daya alam.
Kondisi dan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat diatur
daerah dengan daerah lainnya di Indonesia berbeda-beda. Namun demikian
ada beberapa adat yang ideologi, sistem sosial budaya, dan sosial politik
yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun atas kesamaan
wilayah hidup bersama secara turun-temurun maupun nenek moyang.
Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal
dengan “hak ulayat”. Hak ulayat merupakan hak meramu atau
mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk berburu. Pada hak ulayat yang
bersifat komunal ini, pada hakikatnya terdapat pula hak perorangan untuk
menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut. Hak ulayat
tetap melapisi atau mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut.
Van Dijk membagi tiga bentuk hak-hak atas tanah adat yaitu
a. Hak persekutuan atau hak pertuanan
Maksudnya adalah bahwa ada persekutuan antar etnik, sub etnik, atau
fam untuk menarik keuntungan dari tanah dengan segala yang ada di
atasnya. Misalnya mendirikan rumah, berburu, maupun ternak. Izin
hanya sekedar dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga dan diri
sendiri, bukan diperdagangkan. Arinya bahwa tanah ulayat tidak boleh
dijual belikan kecuali sudah mendapat izin
b. Hap perorangan
Hak perorangan atas tanah adat terdiri dari hak milik adat, dimana yang
bersangkutan tenaga dan ushanya telah terus-menerus diinvestasikan
pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui
oleh anggota lainnya. Hak ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan
lagi, pemilik meninggalkan tanah tersebut, atau tidak memenuhi
kewajiban-kewajiban yang dibibankan.
c. Hak memungut hasil tanah

12
Hak memungut hasil tanah adalah tanah yang digunakan untuk
kepentingan fasilitas umum atau untuk basis politik, sosial budaya dan
spritual. Contohnya seperti di Minangkabau yang ada tanah yang
dipungut hasil yang dikelola oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau
kepala suku di dalam suatu adat tersebut.

Di Indonesia masyarakatnya menerapkan sistem pola penguasaan tanah


yang berjenjang apalagi hukum adat di daerah tertentu. Biasanya beberapa
daerah adat pola penguasaan tanah adat terdiri atas
1. Kepemilikan perseorangan
2. Kepemilikan tanah warisan yang dengan segala isinya menjadi milik
dari beberapa keluarga dalam satu garis keturunan
3. Kepemilikan satu kampung
4. Kepemilkan tanah atas beberapa kampung

Konsep pola penguasaan tanah ini digunakan oleh banyak suku di Indonesia
seperti Melayu, Minangkabau, Dayak, Bali, Batak, dan lain-lain.

2.6 Sistem Pengelolaan Tanah Adat


1. Konsep-konsep Pokok
 Land Tenure
Land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas
masalah pokok-pokok umumnya adalah mengenaui status hukum dari
penguasaan tanah seperti hak milik, erpacht, gadai, bagi hasil, sewa
menyewa, dan juga kedudukan buruh tanah.
Land tenure sebagai “a bundle of rights”, di mana masing-masing hak
dapat dilekatkan pada individu, kelompok atau entitas ekonomi, politik,
bahkan agama. Masing-masing hak dapat dipisahkan dari ikatannya
lalu diletakkan tidak lagi dalam ikatan asalnya atau diletakkan dalam
kontes yang berbeda. Komponen land tenure system yaitu :
1. Subjek Hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu
dilekatkan. Subjek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga,

13
kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan
lembaga politik setingkat negara.
2. Objek hak, yang berupa persil tanah atau juga benda-benda yang
tumbuh di atas tanah. Objek hak termaksud harus dibedakan dengan
alat tertentu, dengan objek lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil
tanah, batas-batas biasanya diberi suatu simbol. Objek hak bisa bersifat
total juga bisa parsial. Misalnya, seseorang mempunyai hak atas pohon
tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah di mana
pohon itu berdiri.
3. Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak
tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Untuk jenis-jenis
hak merentang dari hak milik, hak pakai, hak sewa, dan lain-lain. Setiap
jenis hak ini memiliki hubungan khusus yang dilekatkan oleh pihak lain
dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.

Selain land tenure, ada juga tree tenure yang terdiri dari sebundel hak
terhadap hasil hutan yang berkait dengan tumbuh-tumbuhan di atas
tanah yang dapat melekat pada berbagai subjek pada berbagai waktu
yang berbada. Ada 4 kategori utama, yakni :
1. Hak untuk memiliki atau mewarisi
2. Hak untuk menanam
3. Hak untuk memanfaatkan pepohonan dan hasil pepohonan
4. Hak untuk melepaskan haknya atas pohon.

 Costumary Tenure Systems


Hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal atas sumber-sumber
agraria adalah seluk beluk yang tidak populer. Tenure systems (aturan
memelihara) di Indonesia sendiri sangat beragam. Costumary Tenure
Systems adalah aturan khusus untuk memelihara tanah yang biasanya
ada dalam hukum adat di suatu daerah itu. Fungsi tanah khusus ini bisa
beragam tergantung dari adat daerahnya seperti tanah ulayat, waris,
tanah adat bersama, dan lain-lain.

14
2. Signifikansi Tenurial Security bagi Masyarakat Adat
Tenurial security bisa diartikan sebagai kepastian penguasaan dan
pemanfaatan tanah dan segala hasil olahan diatas tanah. Jadi, tiadanya
pengakuan sistem penguasaan dan pemanfaatan tanah berserta hukum
adatnya. Ketika suatu hak baru diberikan oleh pemerintah pada
kelebagaan ekonomi dan politik modern untuk menguasai tanah,
mengeksploitasi hasilnya atau membangun segala sesuatu yang di atas
teritorial tenurial komunitas adat. Pemberian hak misalnya Hak Guna
Usaha akan mengubah susunan dari tata guna tanah dari kawasan
tersebut.
Penataan guna tanah dabat di bedakan dyaitu :
a. Penataan guna tanah yang berasal dari dan dimiliki oleh masyarakat
langsung yang dibuat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan setempat
dan digunakan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari
b. Penataan guna tanah yang berasal dari pemerintah atau negara yang
dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan
sosial yang bersifat makro dan dibuat lebih banyak berdasarkan pada
perhitungan-perhitungan teknis ekonomi.

2.7 Pengertian Tanah Ulayat


Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat
didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Penguasaan dan pengelolaan
tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta
keberadaan masyarakat (eksistensi kultural), menciptakan tata kehidupan, termasuk
produksi dan distribusi sumber daya agraria yang berkeadilan sosial. Selain itu,
tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis
serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya.4 Tanah ulayat tersebut berarti
merupakan hak milik bersama bukan perseorangan, tanah ulayat dapat dikatakan
berfungsi sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat dengan memanfaatkan
sumber daya alam yang tersedia.

4
Laksanto Utomo, Hukum Adat, Raja Grafindo Persada, Depok: 2016, hlm. 57

15
Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan “hak
ulayat”. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun
sesungguhnya pada setiap etnik istilah yang digunakan berbeda-beda. Dalam
bahasa hukum maupun ilmiah, istilah “tanah ulayat” selalu digunakan untuk
menyebut tanah-tanah yang dikuasai menurut hukum adat pada suatu etnik tertentu.
Hak ulayat merupakan hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan serta hak untuk
berburu. Pada hak ulayat yang bersifat komunal ini, pada hakikatnya terdapat pula
hak perorangan untuk menguasai sebagian dari objek penguasaan hak ulayat
tersebut. Untuk sementara waktu, seseorang berhak mengolah serta menguasai
sebagian tanah dengan mengambil hasilnya, tetapi bukan berarti bahwa hak ulayat
atas tanah tersebut menjadi terhapus karenanya. Hak ulayat tetap melapisi atau
mengatasi hak pribadi atau perseorangan tersebut. Hak ulayat baru pulih kembali
bila orang yang bersangkutan telah melepaskan hak penguasaannya atas tanah
ulayat tersebut. Sementara hak pakai membolehkan seseorang untuk memakai
sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya terhadap tanah sawah dan ladang
yang telah dibuka dan dikerjakan terus-menerus dalam waktu yang lama.5

2.8 Ciri-ciri Hak Ulayat


Hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana
sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal mempertahankan hidup
tempat berlindung yang sifatnya magis-religius. Masyarakat yang hidup di dalam
hak ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat dapat
memperoleh bagian tanah dengan batasan-batasan tertentu.6 Hak ulayat memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 7
a. Merupakan hak komunal dari suatu komunitas masyarakat hukum adat.
Hak komunal yang dimaksud dalam hak ulayat memiliki arti sebagai
hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat atau hak milik
masyarakat di suatu kawasan tertentu. Jadi, dapat diartikan hak ulayat
merupakan hak kepemilikannya dipegang bersama bukan oleh perseorangan
atau kelompok, dan tanah ulayat tidak dapat dikuasai secara mutlak atau

5
Ibid., hlm. 76
6
Ibid., hlm. 55
7
Hayatul Ismi, Hukum Adat Indonesia, Universitas Riau press, Pekanbaru: 2015, hlm. 134

16
berpindah tangan kepemilikannya, sedangkan pengaturan atau pemanfaatan
dari hak ulayat berada di bawah kewenangan penghulu.
b. Merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk
memanfaatkan sumber daya alam, termasuk tanah.
Hak ulayat diberikan oleh hukum untuk memanfaatkan sumber daya
alam. Jadi hak ulayat ini merupakan hak yang benar di mata hukum. Tentang
pelaksanaan hak ulayat dijelaskan dalam pasal 5 UUPA yaitu “Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah Hukum Adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama.”.8 Pada daerah Kampar,
terdapat peraturan daerah nomor 12 tahun 1999 yang mengatur tentang hak
tanah ulayat.
c. Hak tersebut memiliki wilayah (yuridiksi) di tempat hidup para warga
masyarakat pada umumnya.
Hak ulayat berwilayah di tempat warga masyarakat tersebut hidup dan
atau bertempat tinggal.
d. Hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun masyarakat
pada umumnya.
Penguasaan atas tanah ulayat bersifat inklusif. Hak ulayat berlaku tidak
hanya terhadap masyarakat hukum adat, tetapi juga pada masyarakat pada
umumnya. Anggota suku lain dapat mengambil manfaat dari daerah hak
ulayat tetapi harus dengan izin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan
dengan memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu.
Izin tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen,
namun suku lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut.
e. Terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah.
Ikatan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah seperti
pengelolaan hak ulayat yang dimaksudkan untuk menjaga kepentingan

8
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta: 1978, hlm. 5

17
antara warga. Hak ulayat juga termasuk hukum perdata, dan mengandung
tugas kewajiban mengelola, mengatur penguasaan, pemeliharaan,
peruntukan, dan penggunaannya termasuk dalam bidang hukum.
f. Mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antar masyarakat.
Hak ulayat mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antar
masyarakat karena kepemilikan dari hak ulayat merupakan hak komunal
atau kepemilikan bersama. Tanah bersama tersebut bukan hanya
diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan suatu generasi, tetapi
diperuntukan bagi unsur utama dalam kehidupan dan penghidupan generasi
terdahulu, sekarang, dan yang akan datang.
g. Memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan pemanfaatan
tanah ulayat.
Hak ulayat tidak dimanfaatkan secara asal-asalan, tetapi ada
pengawasan tehadap pemanfaatan dari tanah ulayat tersebut. Pemanfaatan
tanah ulayat diawasi oleh institusi/lembaga. Seperti pada peraturan daerah
Kampar nomor 12 tahun 1999 tentang hak tanah ulayat bagian keempat
(pengawasan) pasal 8 berisi bahwa “Setiap pemangku adat dan warga
masyarakat adat, berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap
penggunaan dan kepemilikan tanah ulayatnya.”.9

2.9 Subjek dan objek hak ulayat


Pendapat para ahli hukum tentang istilah dan penegrtian subjek hak ulayat
yaitu:
A. Van dijk menyebut “persekutuan hukum yang territorial”, karna corak sifat
persekutuan ialah dasar kesatuan anggota anggota nya adalah bersama sama
berhubungan di suatu daerah tertentu yakni daerah wilayah dari suatu
persekutuan desa atau daerah.

B. Ter Haar memakai istilah “masyarakat hukum”, dan mengartikan


masyarakat hukum adalah ,gerombolan gerombolan yang bertalian satu
sama lain terhadap alam yang tak keliatan mata, terhadap dunia luar dan

9
Pasal 8 Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat

18
terhadap alam kebendaan, maka mererka bertingkah laku sedemikian rupa,
sehingga untuk mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya, gerombolan
tadi dapat disebut mayarakat masyarakat hukum (rechtsgemeenchappen).
C. Roestandi Ardiwilaga menyebut “persekutuan hukum” yaitu, lingkungan
lingkungan teratur yang bersifat kekal, yang mempunyai kekuasaan sendiri
dan kekayaan sendiri baik berupa kejasmanian dan kerohanian.
D. Kusumawadi Pudjosewojo juga memberi nama “masyarakat hukum” yaitu
suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya sendiri bahi masyarakat
itu sendiri ; dan oleh sebab itu turut serta sendiri dalam berlakunya tata
hukum itu,artinya tunduk sendiri kepada tata hukum itu.

Pengertian masyarakat hukum adat dijelaskan dalam pasal 1 angka 3


peraturan menteri negara agrarian /kepala badan pertahanan nasional nomor 5 tahun
1999 tentaang “pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakathukum
adat”,yaitu :sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga negara bersama suatu persekutuan hukum karna persamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa , masyarakat hukum adat
adalah sekelompok orang yang hidup secara teratur, tundu pada hukumnya sendiri
mempunyai pemerintahan (kepala/ketua masyarakat hukum adat dan pembantu
pembantunya),dan mempunyai harta materiel dan immaterial.
Keberadaan masyarakat hukum adat ini juga diatur dalam pasal 67 Undang
undang Nomor 41 tahun 1999 tentang “ketuhanan”, yang berbunyi :
a. Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaan nya berhak:
1) Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari hari masyarakat adat yang bersangkutan
2) Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan dengan undang undang
3) Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya

19
b. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditetapkan dengan peraturan daerah
c. Ketentuan lebih lanjut sebgaimana yang dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
diatur dengan peraturan pemerintah dalam penjelasan pasal demi pasal
dijelaskan :

Ayat 1
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya ,jika menurut kenyataannya
memenuhi unsur antara lain :
1) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).
2) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.
3) Ada wilayah hukum adat yang jelas.
4) Ada pranata dan perangkat hukum ,khususnya peradilan adat ,yang
masih ditaati.
5) Masih menagadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan dan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari hari.

Ayat 2
Peraruran daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para
pakar hukum adat ,aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat
yang ada di daerah bersangkutan ,serta instansi atau pihak yang terkait.

Ayat 3
Peraturan pemerintah memuat aturan antara lain :
a. tata cara penelitian
b. pihak pihak yang diikut sertakan
c. materi penelitian
d. kriteria penelitian keberadaan masyarakat hukum adat
Menurut pasal 67 ayat (2) undang undang nomor 41 tahun 1999 tersebut,
pengukuhan keberadaan dan dihapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan
dengan peraturan daerah . Contoh peraturan daerah yang mengukuhkan keberadaan

20
hukum adat adalah peraturan daerah provinsi Sumatra Barat nomor 9 tahun 2000
tentang : ketentuana pokok pemerintahan nagari.
Pasal 3 megatur tentang wilayah nagari sebagai berikut :”wilayah nagari
,meliputi kesatuan wilayah hukum adat dengan batas batas tertentu yang sudah
berlaku secara turun temurun.
Selanjutnya pasal 7 mengatur tentang harta kekayaan nagari.harta kekayaan
nagari :
a. pasar nagari
b. tanah lapang
c. balai masjid atau sungai nagari
d. tanah ,hutan ,batang air,tebat ,danau atau laut yang menjadi ulayat nagari
e. bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum
f. harta benda dan kekayaan lainnya
Contoh peraturan daerah yang mengukuhkan hak tanah ulayat adalah
Peraturan daerah kabupaten Kampar nomor 12 tahun 1999 tentang “hak tanah
ulayat”.
Hak tanah ulayat juga diatur dalam pasal 2 Peraturan Daerah tersebut yaitu
sebagai berikut:
a. hak tanah ulayat dan hak hak serupa dari masyarakat masyarakat hukum
adat sepanjang hak tersebut menurut kenyataannyamasih ada ,harus
sedemikian rupa menurut ketentuan hukum
b. fungsi hak tanah ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anggota
persekutuan dan masyarakat yang bersifat social dan ekonomis
Kepemilikan tanah ulayat diatur dalam pasal 6 yang berbunyi sebagai
berikut :
a. hak penguasaan hak tanah ulayat dibuat atas nama gelar pemangku adat
yang berha untukitu sesuai dengan ketentuan ketentuan hukum adat
setempat
b. sertifikasi hak kepemilikan tanah ulayat di proses sesuai denganketentuan
yang berlaku.
c. Objek pendaftaran tanah meliputi :

21
a. bidang bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik ,hak guna usaha ,hak
guna bangunan dan hak pakai
b. tanah hak pengelolaan
c. tanah wakaf
d. hak milik atas satuan rumah susun
e. hak tanggungan
f. tanah negara
Objek tanah ulayat adalah semua tanah seisinya yang ada di wilayah
kekuasaan masyarakat hukum adat. 10

2.10 Kedudukan Tanah Dalam Hukum Adat


Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat
penting di dalam Hukum Adat, yaitu disebabkan:
a. Karena Sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun juga akan tetapi tokh akan masih bersifat tetap
dalam keadaannya bahkan kadang-kadang malahan menjadi lebih
menguntungkan.
b. Karena Faktanya
Yaitu kenyataannya bahwa tanah itu adalah:
1. Merupakan tempat tinggal persekutuan (masyarakat)
2. Memberikan penghidupan kepada persekutuan (masyarakat)
3. Merupakan tempat dimana para warga persekutuan (masyarakat) yang
meninggal dunia dikuburkan
4. Merupakan pula tempat tinggal bagi danyang-danyang pelindung
persekutuan (masyarakat) dan roh-roh para leluhur persekutuan
(masyarakat)11

10
Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta¸2012, hlmn 99-104
11
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm. 311.

22
2.11 Hak Persekutuan Atas Tanah
Mengingat akan fakta sebagaimana tersebut diatas, maka antara persekutuan
dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan
yang mempunyai sumber serta yang bersifat relegio-magis. Hubungan yang erat
dan bersifat relegio-magis ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk
menguasai tanah dimaksud, memanfaatkannya tanah itu, memungut hasil dari
tumbuh-tumbuhan dan atau pohon-pohonan yang hidup di atas tanah tersebut serta
juga berburu binatang-binatang yang hidup di situ.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut sebagai Hak Pertuanan Atau Hak
Ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut sebagai “Beschikkingsrecht”. Istilah
ini dalam Bahasa Indonesia adalah merupakan sutau pengertian baru, satu dan yang
lain dikarenakan dalam Bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-bahasa daerah) istilah
yang dipergunakan semua pengertiannya adalah sebagai “Lingkungan Kekuasaan”
sedangkan “Beshchikkingsrecht” itu menggambarkan tentang hubungan antara
persekutuan dengan tanah itu sendiri. Kini lazimnya dipergunakan istilah Hak
Ulayat sebagai terjemahan dari “Beshchikkingsrecht”.12

2.12 Jenis-Jenis Hak Ulayat


a. Tanah ulayat nagari
Tanah ulayat nagari adalah tanah ulayat beserta sumber daya alam yang ada
di atas dan di dalamnya merupakan hak penguasaan oleh ninik mamak kerapatan
adat nagari (“KAN”) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan
masyarakat nagari, sedangkan pemerintahan nagari bertindak sebagai pihak yang
mengatur untuk pemanfaatannya.13
b. Tanah ulayat suku
Tanah ulayat suku adalah hak milik atas sebidang tanah berserta sumber
daya alam yang berada diatasnya dan didalamnya merupakan hak milik kolektif
semua anggota suku tertentu yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur oleh
penghulu-penghulu suku. Tanah ulayat suku berkedudukan sebagai tanah cadangan
bagi anggota suku tertentu di nagari, penguasaan dan pengaturannya dilakukan oleh

12
Ibid., hlm. 312-313
13
Pasal 1 angka 8 Perda Sumbar 16/2008

23
penghulu suku berdasarkan musyawarah mufakat dengan anggota suku sesuai
dengan hukum adat minangkabau.14
c. Tanah ulayat kaum
Tanah ulayat kaum adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber
daya alam yang ada diatas dan didalamnya merupakan hak milik semua anggota
kaum yang terdiri dari jurai/paruik yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur
oleh mamak jurai/mamak kepala waris.15
d. Tanah ulayat rajo
Tanah ulayat rajo adalah hak milik atas sebidang tanah beserta sumber daya
alam yang ada diatas dan didalamnya yang penguasaan dan pemanfaatannya diatur
oleh laki-laki tertua dari garis keturunan ibu yang saat ini masih hidup disebagian
Nagari.Tanah ulayat rajo berkedudukan sebagai tanah garapan dengan status
ganggam bauntuk pagang bamansinag oleh anggota kaum kerabat pewaris rajo
yang pengaturannya dilakukan oleh laki-laki tertua pewaris rajo.16

2.13 Sifat-Sifat Hak Ulayat


1) Sifat (berlaku) ke dalam
Hak Ulayat menjamin kehidupan daripada anggota-anggotanya yang
ada dalam Lingkungan Ulayat tersebut, karena itu tiap-tiap anggotanya berhak
untuk mengambil hasil dari tanah dan binatang serta tumbuh-tumbuhan atau
pohon-pohonan yang ada di atas Ulayat tersebut.
Terhadap kepentingan persekutuan juga Hak Ulayat dapat berlaku
misalnya Persekutuan dapat menentukan dari tanha-tanah yang digunakan
untuk buat pekuburan, sawah-sawah desa, dan untuk Tanah Bengkok.Tanah
Bengkok ini berbeda dengan tanah yang dihadiahkan oleh raja kepada pegawai
bawahannya yang berjasa.Berlakunya Hak Ulayat ke dalam semuanya adalah
dibawah pengawasan kepala-kepala adat.
2) Sifat (berlaku) ke luar
“Beschikkingsrecht” dapat juga berlaku terhadap orang-orang luar
yaitu orang-orang yang bukan anggota persekutuan.Apabila orang luar hendak

14
Pasal 1 angka 9 Perda Sumbar 16/2008
15
Pasal 1 angka 10 Perda Sumbar 16/2008
16
Pasal 7 ayat (3) Perda Sumbar 16/2008

24
memasuki persekutuan maka mereka terlebih dahulu harus mendapat ijin dari
Kepala Persekutuan.
Di dalam persekutuan kemungkinan terjadi perkawinan antara anggota-
anggota persekutuan dengan pendatang tadi.Dalam keadaan ini mungkin
orang-orang pendatang mendapat tanah sebagai hadiah perkawinan.Apabila
terjadi hal seperti ini maka kedudukan orang pendatang yang kawin itu atas
tanah yang dihadiahkan maka kedudukannya lebih kuat dari hak semula yang
diberikannya (hanya sebagai Hak Menikmati) setelah perkawinan menjadi Hak
Milik.
Disamping hal-hal tersebut di atas persekutuan juga harus bertanggung
jawab atas pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan yang telah terjadi
Lingkungan Ulayat yang dilakukan oleh siapapun baik oleh anggota
persekutuan maupun oleh orang lain yang tidak dikenal.
Dengan demikian maka dapatlah disimpulkan bahwa isi dari Hak Ulayat itu
terdiri dari:
a) Hak dan Kewajiban atas tanah sendiri (pribadi)
b) Hak dan Kewajiban terhadap orang luar
c) Hak dan Kewajiban terhadap warga persekutuan17

2.14 Fungsi Hak Ulayat


Dalam kehidupan masyarakat hukum adat diperlukan penataan penggunaan,
pemanfaatnan dan percadangan lahan secra politis trsisional yang bertjuan untuk
menjaga keadilan (justice), keserasian dan keseimbangan (equilibrium). Adapun
yang dimaksudkan dengan keadilandisinia adalah dimna setiap warga masyarakat
hukum adat, tanpa terkecuali mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapatkan sebidangan lahan sesuai dengan kebutuhannya. Sehinnga dengan ini,
diperlukan wewenang dalam sebuah masyarakat hukum adat untuk menata
penggunaan, pemanfaatan dan pencadangan hak ulayat. Kewenang tersebut barada
pada pimpinan masyarakat adat tersebut dan melaksanakannya secra adil bagi
anggotanya.berdasarkan penatagunaan tanah ulayat sebagaimana disebutkan,

17
Ibid.,hlm. 313-315.

25
fungsi tanah ulayat secara rinci dapat dibagi tiga aspek, yaitu dari aspek sosial
budaya, dari aspek sosial ekonomi, dan dari aspek jaminan sosial.18
1. Dari aspek sosial budaya
Fungsi atau penataan tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat terkait
erat dengan sistem kekerabatan, dimana tanah ulayat dapat dianggap sebagai
unsur perekat anatar warga masyarakat hukum adat dan antar warga
masyarakat hukum adat dengan pemimpinnya.
2. Aspek sosial ekonomi
Fungsi atau penataan tanah ulayat untuk menjadikan warganya
sejahtera lahir dan batin. Sehubungan dengan ini, seluruh warga masyarakat
hukum atau secara individual didorong untuk membangun hubungan ekinomi
dengan tanah ulayat, dengan ketentuan “yang lereng dijadikan tempat
berladang, yang berair dijadikan sawah, dan yang tunggang dijadikan hutan”.
Tanah ulayat dijadikan sebagai social asset artinya, tanah ulayat dapat didaya
gunakan untuk pemenuhan kebutuhan warga masyarakat hukuma adat untuk
menjalankan aktifitas perekonomiannya.
3. Aspek jaminan sosial
Sebagai representasi dari sebuah model jaminan sosial tradisional.
Konsep tanah ulayat sebagai sebuah model jaminan sosial tradisional akan
semakin efektif pada saat dimana pemerintah tidak memberikan jaminan sosial
dan ekonomi kepada warganya.19

2.15 Kekuatan Berlakunya Hak Ulayat


Disamping hak ulayat mempunyai objek dan subjek,juga mempunyai
kekuatan yang berlaku ke dalam dan keluar.mempunyai kekuatan yang berlaku
kedalam artinya,berlaku bagi anggota masyarakat hukumnya sendiri ,sedang
mempunyai kekuatan berlaku keluar artinya,berlaku bagi selain anggota
masyarakat hukumya.

18
Helmy Panuh,Pengelolaan Tanah Ulayat,Rajawali Pers,Jakarta,2012,hlm.125.
19
Helmy Panuh, Ibid,hlm.126-127.

26
Mempunyai kekuatan berlaku ke dalam terdiri atas:
a. masyarakat hukum itu dalam arti anggota anggota nyasecara bersama sama
dapat memungut hasil dari tanah dan darri binatang binatang dan tanaman
tanaman yang terdapat disitu dengan tidak terpelihara
b. masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak anggota
anggotanya atas tanah untuk kepentingan sendiri
c. anggota masyarakatnya dapat berburu dan mengambil hasil hutan untuk
dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa yang yang diperolehnya
dll.

Mempunyai kekuatan berlaku ke luar terdiri atas :


a. orang orang luar hanya dapat mengambil hasil dari tanah setelah mendapat
izinuntuk itu dari masyarakat setempat dengan membayar uang pengakuan
dimuka dan uang pengganti dibelakang
b. orsng luar tidak boleh mewaris,membeli,atau membeli gadai tanah
pertanian
c. masyarakat hukum setempat bertanggung jawab terhaadap kejahatan yang
terjadi di wilayah nya yang tidak diketahui pelakunya
Pada asasnya hak ulayat tidak dapat dipindah tangankan,walaupun ada
beberapa pengecualiannya, yaitu:
a. Penyerahan sebidang tanah dimana mayat terbunuh terdapat sedang
membunuhnya tidak ditemukan ,sebagai pembebasan tanggung jawab
masyarakat hukum setempat kepada masyarakat hukum yang terbunuh
b. Karena tekanan pemerintah pusat acap kali terjadi penyerahan tanah ulayat
secara besar besaran ,hal ini menyebabkan terlepasnya tanahulayat dari
masyarakat hukumnya. 20

20
Dr. Helmy Panuh, S.H., M.Kn, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, Raja Grafindo Persada, Jakarta¸2012, hlmn 180-183

27
2.16 Sistematika Berlakunya Hak Ulayat
Sistematika berlakunya hak ulayat menurut Ter Haar adalah sebagai berikut:
a. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas
tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
b. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu,
mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik
bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon
itu dipelihara olehnya.
c. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan
kepala suku atau kepala masyarakat hukum.
d. Berdasarkan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan bagian-bagian
wilayah yang dapat digunakan untuk tempat pemukiman, makam,
penggembalaan umum, dan lain-lain.
e. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat,
kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan
memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu.
f. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau
dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau
masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk
mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda. 21

2.17 Hak Ulayat Dalam Hukum Pertahanan Indonesia Berdasarkan


Pancasila
Pancasila sebagai idiologi terbuka dan perumusannya dalam pembukaan
UUD 1945 alenia ke-4 dinyatakan sebgai nilai dasar dan penjabarannya sebagi nilai
instrumental. Nilai dasar tidak berubah dan tidak boleh diubah lagi sebgai mana
tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sifatnya belum oprasional. Pancasila
sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia adalah bersifat obejktif dan subjektif.
Pelaksanaan pancasila bersifat objektif adalah semua peraturan dari yang
tertinggi sampai yang terendah, yaitu UUD 1945 dan peraturan-peraturan hukum

21
Laksanto Utomo, Op.Cit., hlm 56-57

28
yang ada di bawahnya22 di pakai sebagai sumber hukum atas hak kebendaan
masyarakat dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat serta segala tertib
hukum di indionesia.
Pelaksanaan pancasila bersifat subjektif adalah pelaksanaan didalam diri
setiap orang, yaitu penguasa, warga Negara, dan setiap orang yang berhubungan
dengan Indonesia, artinya belum dapat dijabarkan, secra langsung dalam kehidupan
sehari-hari. Penjalasan UUD 1945 menunjuk UU sebagai pelaksanaan hukm tertulis
(hukum positif).
Hukum adat yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
Indonesia merupakan suatu cerminaan isi pancasila untuk mendukung lebih lanjut
teori dasar yang digunakan dalam tulisan disertai ini adalah teori Keadilan
berdasarkan Pancasila23yang memiliki sudut pandang bahwa negara RI memiliki
tugas dan tanggung jawab memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia
sesua dengan tujuan pembentukan negara RI yaitu membentuk Pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah indonseia.24
Pengakuan hak atas tanah masyarakat hukum adat, yaitu hak ulayat yang
diamanat kan oleh pancasila dan UUD 1945 serta pasal 3 UU nomor 5 tahun 1960
tetntang Pertauran Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kriteria penentu keberadaan hak
ulayat terdiri tiga unsur, yakni adanya masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat
tertentu menjadi lingkungan hidup dan tempat mengambil kebutuhan hidup
masyarakat hukum adat dan tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat
hukum adat.keberadaan hak ulyat dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah
dan batas-batasn yang ditentukan menurut tata cara pendaftaran tanah, digambarkan
pada peta dasar pendaftaran tanah dan dicatat dalam datar buku tanah. Pengaturan
lebih lanjut tetang keberadaan hak ulayat diatur dengan peraturan daerah (perda)25.
Sebelum terbit perda terdapat bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai
oleh perseorangan atau badan hukum dengan hak UUPA atau sudah diperoleh atau

22
Ferry Aries Suranta, Penggunaan Lahan Hak Ulayat dalam Investasi Sumber Daya Alam
Pertambangan di Indonesia, Penerbit Gramata Publishing, Jakarta, hlm. 45
23
Ferry Aries Suranta, Ibid, hlm. 51
24
Alenia ke-empat Mukadimah UUD 1945.
25
Ferry Aries Sukanta, loc,it, hlm. 47

29
dibebaskan oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan menurut
ketentuan dan tata cara yang berlaku. Bagi instansi pemerintah, badan hukum, atau
perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat, sesuai ketentuan UUPA
penguasaan bidang tanah dengan hak atas tanah, diberikan setelah tanah dilepaskan
oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya dengan letetntuan dan tatacara
hukum adat yang berlaku26.
Ketentuan tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada para
pemegang hak atau yang memeroleh tanah dan yang menguasainya secara sah.
Perolehan tanah sah apabila memenuhi syarat material, yakni diperoleh dengan
itikat baik menurut cara yang disepakati para pihak dan syarat formal, yakni
dilakukan menurut ketentuandan tatacara pendaftaran tanah pasal 16 UU no.5 1960
tentang pertauran dasar pokok-pokok agrarian27.
Keberadaan hak ulayat dinyatakan dalam peta pendaftaran, tetapi tanh
ulayat tidak diterbitkan sertifikat, karena hak ulayat bukan objek pendaftaran tanah,
karena sifatnya dinamis yang memungkinkan, terjadi individualisasi secra alamaiah
karena factor sosial ekonomis akan membawa pengaruh terhadap perubahan
internal dikalangan masyarakat hukum adat sendiri.
Terbitnya peraturan, seogianya mempertegas komitmen terhadap
pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan (UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan hidup, UU Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 15 tahun 1997 tentang Transmigrasi).
Kedudukan tanah ulayat berdasarkan ordansi bahwa ketentuan tertulis
mengenai pertanahan adalah ordnisasi pertanahan, yaitu agrarischie wet (stb nomor
55 tahun 1870). Keduduakan tanah ulayat diakui eksistensi UUPA, tetapi
direalisasikan secara formal haruslah memnuhi persyaratan tertentu, yaitu
“sepenjang masyarakat hukum adat masih adat”28. Adapun hak ulayat dan peraturan
perundang-undangan :
1) UUPA Nomor 5 Tahun 1960
Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis dalam hukum
agraria didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat, yaitu hukum yang sesuai

26
Feri Aries Sunanata, Loc.cit, hlm 47.
27
Boedi Hrsono, Hukum Agraria Indonesia, Pasal 16 UUPA. hlm. 10.
28
Feri Aries Sunanta, Ibid, hlm 48

30
dengan kepribadian serta merupakan hukum rakyat bangsa Indonesia yang asli29.
Hukum adat sebagai dasar hukum agrarian yang baru,yaitu hukum adat yang sudah
disadur dimana hukum adat berlaku bbagi golongan rakyat pribumi dan selanjutnya
merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis serta mengandung unsur-
unsur nasional yang asli,yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan berasaskan
keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan30.
Yang mengakomodasikan tanah ulayat dalam UUPA nomor 5 tahun 1960
pasal 3 sebagai berikut :
Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan
masih ada sesui dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan UU dan PP
yang lebih tinggi, pasal 3 UUPA tidak menyebutkan secara langsung dengan “tanah
ulayat”31 melainkan “masyarakat hukum adat” yang erat dengan pengertian “tanah
ulayat” dalam pasal 3 UUPA. Kata-kata “masyarakat-masyarakat hukum adat”
dalam UUPA pasal 2 ayat 4 adalah sebgai berikut32.
Didalam konsideren UUPA bagian berpendapat huruf a dan Pasal 5 serta
penjelasannya, hukum tanah nasional berdasar hukum adat. Berhubung dengan apa
yang termaksud dalam pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu adanya hukum
agraria nasional yang berdasar ata hukum adat tentang tanah, yang sesderhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Ketentuan ini
dijabarkan lebih lanjut dalam pasal 55 UUPA yang berbunyi:
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepastian nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan perundangan lainnya, serta segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama.

29
Boedi Hrsono, Op.cit., hlm. 65.
30
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Loc.cit.,hlm. 174.
31
Budi Harsono, Hukum Agrarian, Penerbit Djembatan, Jakarta, 2006. Hlm. 28.
32
Ibid,hlm. 33.

31
Dalam penjelasan pasal demi pasal dikemukakan bahwa, “Penegasan bahwa
hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat
penjelasan umum (III angka 1)”. Dalam Penjelasan Umum III angka 1 disebutkan:
“Sebagaimana telah diterangkan diatas, hukum agraria sekarang ini
mempunyai sifat “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak
tanah menurut hukum adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat, yang
berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud
menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan
hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai
pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria
baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh
karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka
hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-
ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan
dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan
dalam hubungannya dengan dunia Internasional, serta disesuaikan dengan
sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam
pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat
kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal”.
Menurut Penjelasan Umum tersebut, dalam pertumbuhan hukum adat tidak
terlepas dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan
masyarakat swapraja yang feodal. Oleh karena itu, hukum adat yang berlaku
sekarang ini mengandung cacat dan cacat ini harus dihilangkan sehingga hukum
adat menjadi bersih dari cacat-cacatnya. Hukum adat yang dipakai sebagai dasar
hukum agraria nasional adalah hukum adat yang sudah di-saneer.
Perubahan dari hukum adat menjadi dasar hukum agraria yang baru harus
memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang
berdasarkan asas persatuan bangsa.33

33
Boedi Hrsono,Ibid.,hlm. 199.

32
2. Tidak boleh bertentangan dengan nasionalisme Indonesia.34
3. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
UUPA.35
4. Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.36
5. Harus mengindahkan unsur-unsur yang bersndar pada hukum agama.37

Dalam hubungan ini, perlu ditegaskan bahwa fungsi hukum adat dalam
rangka pembangunan hukum tanah nasional adalah:
a. Sebagai sumber utama pembangunan hukum tanah nasional yang
materinya diambil dari hukum adat, terdiri dari:
 Asas
 Konsepsi
 Sistem
 Lembaga
b. Sebagai pelengkap hukum tanah positif yang tertulis (contoh: Pasal 50
ayat 1 jo Pasal 56 UUPA).38

2) Kedudukan Tanah Ulayat Berdasarkan UUPA dan UU Nomor 32 Tahun


2004
Hasil penelitian yang dilakukan oleh KPPOD TAHUN 2003 terhadap 200
Kabupaten dsn Kota, faktor kelembagaan yang meliputi peraturan dan pelayanaan
publik menjadi faktor pertimbangan utama investor dalam menanamkan model
kedaerah.39 Mencermati berbagai kendala dalam pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun
1999 Pemerintah bersama DPR-RI mencabut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
Alasan pembagian UU pemerintahan daerah tahun 1999 dari sudut pandang
pemerintah diwakili oleh mentri dalam negri disampaikan pada rapat paripurna

34
Bedi Harson, Ibid.,hlm. 200-201.
35
Boedi Harsono, Ibid.,hlm. 202.
36
Boedi Harsono, Ibid., hlm. 203.
37
Boedi Harsono, Ibid.,hlm, 160.
38
Hasni, S.H., M.H., Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam Konteks UUPA-
UUPR-UUPLH, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlmn. 36-38
39
Ferry Aries Suranta, Ibid,hlm. 114.

33
DPR RI atas rancangan UU tentang perubahan UU nomor 22 tahun 1999 tanggal
29 september 2004 RUU yang disepakati bersama telah diupayakan sedemikian
rupa untuk menjadi dasar penyelesaian dan pemecahan masalah dalah pelaksanaan
otonomi daerah.

2.18 Hak Ulayat Dalam Hukum Adat Pertanahan


Secara yuridis hak ulayat merupakan suatu hak yang melekat sebagai
kompetensi ciri khas yang ada pada masyarakat hukum adat berupa kewenangan
maupun kekuasaan untuk mengurus dan mengatur tentang tanah dan tanamannya
dengan berlaku kedalam maupun keluar masyarakat hukum adat dan merupakan
hak mutlak (absolut).40
Menurut Lili Ras jidi dan IB Wyasa Putra system hukum terdapat beberapa
elemen-elemen dan sub elemen yang terdiri dari sembebilan elemen, yaitu :
1. Masyarakat hukum merupakan himpunan kesatuan-kesatuan hukum, baik
individual ataupun kelompok yang struturnya ditentukan oleh tipe masing-
masing negara atau masyarakat internasional;
2. Budaya hukum yaitu budaya tertulis, tidak tertulis dan kombinatif;
3. Filsafat hukum merupakan formulasi niali tentang cara mengatur kehidupan
manusia dapat bersifat umum (universal) dan dapat bersifat khusus (milik
masyrakat hukum tertentu);
4. Ilmu atau pendidikan hukum merupakan pengembangan teori hukum,
desain-desain dan konsephukum;
5. Konsep hukum merupaka formulasi kebijakan hukum yang ditetapkan suatu
masyarakat berisi tentang budaya hukum dalam pembentukan, penerapan
dan pengembangan serta pembangunan hukum yang hendak dilaksanakan;
6. Pembentukan hukum merupakan proses pembentukan lembaga-lembaga
hukum, aparatur dan sarana menurut konsep hukum yang dilaluinya;
7. Bentuk hukum merupakan hasil pembentukan peraturan dan perundang-
undangan yang melalui lembaga legislative serta keputusan hakim;

40
Ferry Aries Suranta, Ibid, hlm 69

34
8. Penerapan hukum merupakan proses kelanjutan dari pembentukan hukum
dalam meliputi lembaga dan prosedur hukum;
9. Evaluasi hukum merupakan proses pengujian kesesuaian antarhukum
dengan undang-undang dan tujuan hukum yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam konsep hukum, ataupun peraturan perundang-undangan
Apabila memahami system hukum adalah sebagai refleksi sistemmatik dari
asa dan kabidah pada masyarakat hukum adat termasuk juga hak ulayat karena hak
ulayat sendiri memberikan penjelasan tentang arti yang dimaksud dari hak ulayat
adalah beshikkingrecht41ada dalam kepustakaan hukum adat. Pasal 3 UUPA
menyebutkan tentang adanya masyarakat hukum adat, tetapi tidak memberi
penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian hak ulayat.
Hak ulayat dalam masyarakat hukumadat sebenarnya tidak mempunyai
nama, yang ada menunjuk pada tanah (objek) merupakan wilayah lingkungan
masyarakat hukum. Ulayat artinya wilayah, merupakan istilah dari Minangkabau.42

2.19 Hubungan Hukum Adat Dengan Hak Ulayat


Hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah, perairan, tanaman, dan
binatang dalam wilayahnya menjadi sumber kehidupan dan mata pencarian diakui,
dihormati, dan dilindungi sesuai dinamika perkembangan masyarakat hukum adat,
kepentingan nasional dan negara sesuai prinsip negara kestuan republik Indonesia
serta pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. 43
Menurut ketentuan dari UUPA masih ada masyarakat adat dan masih
berlangsung hak ulayat meliputi unsur-unsur :
1. Masyarakat hukum adat;
2. Wilayah tempat hak ulayat berlangsung;
3. Hubungan keterkaitan dan tergantungan masyarakat hukum adat
dengan wilayanya;
4. Adanya kewenangan untuk mengatur secara bersama-sama
kemanfaatan tanah, perairan, tanaman serta binatang-binatang yang

41
Ferry Aries Suranta, Ibid, hlm 70.
42
Budi Harsono,Hukum Agraria, Djambatan, Jakarta, 2006, hlm 31.
43
Baca UUPA Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 3 s/d pasal 6.

35
ada diwilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan di taati masyarakat.

2.20 Tata cara penggunaan tanah ulayat


Tanah ulayat merupakan tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak
dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Karena jumlahnya yang
sangat terbatas maka tanah harus digunakan secara adil bagi seluruh orang yang
berhak memilikinya. Maka secara umum tanah ulayat memiliki sifat tentang
penggunaannya yaitu:
a. Sifat tanah yang tidak dapat dimiliki secara mutlak
Yang dimaksud disini tanah ulayat tidak dimiliki secara penuh oleh
seseorang maupun tanah tersebut dikuasai dan manfaatnya didapatkan secara
bersama tetatpi bisa jadi tanah dibagi-bagi agar mengetahui tugas masing-masing
pengelolanya.
b. Sifat penguasaan tanah bersifat inklusif
Dalam pengertian ini bukan hanya kepemilikan atau manfaatnya saja yang
diperolehsecara bersama, tentunya dengan ketentuan tertentu.contohnya dengan
isin persekutuan umum.
c. Sifat tanah tidak boleh diperjual belikan
Tanah yang dikuasai oleh masyarakat tidak dapat dijual (not salable),
bahkan Negara sekalipun tidak berhak menjualnnya. Tanah ini dikembangkan dan
ditanami,tanpa seorangpun boleh membeli atau menjualnya.

d. Sifat manusia dan hasil kerjanya lebih bernilai daripada tanah secara tidak
langsung.
Sesungguhnya aspek manusia serta kerja dan hasil kerja manusia tersebut
merupakan hal yang jauh lebih bernilai dibandingkan persoalna tanah . Apabila ia
meniggalkan tanah ulayat tersebut maka tanah tersebut lepas darinya, dan kembali
menjadi tanah komunal.44

44
Dr.St. Laksanto Utomo,hukum adat, Rajawali Pres,Depok :2017,hlm 58

36
2.21 Cara Persekutuan Memelihara Serta Mempertahankan Hak Ulayat
Pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling
wilayah kekuasaannya.Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan
secara sempurna lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut tempat
tinggalnya tersebar dalam Pedukuhan-pedukuhan kecil ataupun apabila daerah-
daerah persekutuan tersebut meliputi tanah-tanah kosong.45

2.22 Pembatasan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Hubungannya Dengan


Hak Ulayat
Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat untuk menguasai semua
tanah seisinya yang ada diwilayah kekuasaannya. Dari defenisi tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa, subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat dan
objek hak ulayat adalah semua tanah seisinya yang ada diwilayah suatu masyarakat
hukum adat, selain tanah seisinya juga (kekayaan yang terkandung dalam tanah),
objek hak ulayat juga termasuk air sungai, danau, dan laut disekitar pantai, binatang
liar yang hidup dihutan dan pohon-pohon yang ada dihutan yang beluam dipunyai
oleh perorangan.
Hak-hak masyarakat hukum adat yang bersumber pada hak ulayat tampak
pada kekuatan berlaku hak ulayat baik kedalam maupun keluar, yaitu :

Mempunyai kekuatan berlaku kedalam terdiri atas :46


1. Masyarakat hukum itu dalam arti anggota-anggotanya secara bersama-sama
dapat memungut hasil dari tanah dan dari binatang-binatang dan tanaman-
tanaman yang terdapat disitu dengan tidak terpelihara.
2. Masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak anggota-
anggotanya atas tanah untuk kepentingannya sendiri. Hubungan hak
pertuanan dengan hak perorangan bersifat menguncup mengembang,
bertimbal balik dengan tiada hentinya. Artinya apabila hak perorangan

45
Ibid., hlm. 317.
46
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta, 2007. hlm,
200.

37
menguat maka hak pertuanan menjadi lemah. Begitu pula sebaliknya,
apabila hak perorangan melemah maka hak pertuanan menguat.
3. Anggota masyarakat dapat berburu dan mengambil hasil hutan untukl
dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa yang diperolehnya.
4. Anggota masyarakat dapat mengambil pohon-pohon yang tumbuh sendiri
dihutan dengan menempelkan suatu tanda dan melakukan pemujaan.47
5. Anggota masyarakatnya berhak membuka tanahnya itu menyelenggarakan
hubungan sendiri terhadap sebidang tanah dengan memberi tanda dan
melakukan pemujaan (upacara adat).
6. Masyarakat hukum dapat menentukan tanah untuk melakukan kepentungan
bersama misalnya untuk makan, pengembalaan umum, dan lain-lain.

Mempunyai kekuatan berlaku keluar terdiri atas :48


1. Orang-orang luar hanya dapat mengambil hasil dari tanah setelah mendapat
izin untuk itu dari masyarakat setempat dengan membayar uang pengakuan
dimuka an uang pengganti dibelakang. Uang pengakuan (wang pemsugan
di Aceh, / mesi di jawa) dibayarkan pada permulaan pemakain tanah.
Disamping itu setelah panen membayar uang pengganti yang besarnya
sangat kecil yaitu 10%.
2. Orang luar tidak boleh, mewaris, membeli, atau membeli gadai tanah
pertanian.
3. Masyarakat hukum setempat bertanggung jawab terhadap kejahatan yang
terjadi di wilayahnya yang tidak di ketahui.
Sebagian wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh
negara adalah, memberikan suatu hak atas tanah (misalnya hak guna usaha) atau
hak-hak lainnya (mislanya hak pengusahaan hutan), dan mengatur pengambilan
kekeayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan luar angkasa (pasal 8
UUPA).49 Penggunaan wewenang negara ini dibatasi hak-hak masyarakat hukum
adat yang bersifat paada hak ulayatnya tersebut. Artinya, negara tidak dapat
memberikan suatu ha katas tanah atau hak-hak lainnya kepada suatu subjek hukum,

47
Budi Harsono, Op Cit, hlm. 46.
48
Muhammad Bakri, Ibid, hlm,201.
49
Nomor 5 Tahun 1960 Pasal 8 UUPA.

38
atau mengambil sumber daya alam yang ada diilayah suatu masyarakat hukum adat,
tanpa persetujuan lebih dulu dari masyarakat hukum adat setempat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa, kedudukan hak ulayat
masyarakat hukum adat berada dibawah hak ulayat negara (hak menguasa tanah
oleh negara). Oleh karena itu, hak ulayat masyarakat hukum adat harus tunduk pada
kepentingan yang lebih luas (kepentingan noasional) yang dipegang oleh negara.
Atas dasar inilah, apabila tidak dicapai persetujuan (sepakat) antara masyarakat
hukum adat setempat dengan investor yang diberi hak untuk melakukan
ekspoloitasi sumber daya alam, tentang bentuk dan besarnya bagian hasil
eksploitasi sumber daya alam yang diterima oleh masyarakat hukum adat, maka
dapat dilakukan pencabutan ha katas tanah sebagiamana diataur dalam UU nomor
20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada
diatasnya.50
Bentuk dan besarnya bagian yang diterima oleh masyarakat hukumadat dan
bagian yang diterima oleh investor, hasir mencerminkan rasa keadilan dan asas
keseimbangan sehingga tidak saling merugikan. Artinya, kegiatan eksploitasi
sumber daya alam itu tidak merugikan masyarakat hukum ada setempat, dan juga
tidak merigikan investor.
Pencabutan hakatas tanah, merupakan upaya terakhir setelah terlebih dahulu
diusahakan upaya lain melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila dalam
musyawarah tersebut, tertutup kemungkinan untuk mencapai mufakatkarena
masing-masing pihak berpegang teguh pada pendiriannya, dan apabila eksploitasi
sumber daya alam itu benar-benar untuk kepentingan umum (menambah devisa
negara), bearulah dapat dilakukan pencabutan hakatas tanah.51

50
Ferry Aries, penggunaan Lahan Hak Ulayat Dalam Investasi Sumber Daya Alam Pertambangan
Di Indonesia, Gramata Publishing, Jakarta, 2012. hlm210.
51
Ferry Aries, Loc it, hlm 212.

39
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penulis membahas secara rinci dalam setiap poin pada makalah ini. hal
tersebut berdasarkan dari pendapat ahli, buku, maupun penelitian sebagai dasar
pemikiran dalam penjelasan maupun pembahasan. Penulis berharap penjelasan dari
pendapat ahli bisa meyakinkan pembaca mengenai apa yang penulis jelaskan serta
bisa dipahami dengan baik. Setelah melakukan pembahasan mengenai Hukum
Tanah Adat “PENGUASAAN TANAH ADAT” penulis menyimpulkan dari temuan
dan pembahasan. Berikut simpulan dari makalah ini.
1. Masyarakat hukum mempunyai kedaulatan penuh (sovereign) atas wilayah
kekuasaannya (tanah ulayat) dan melalui ketua adat juga mempunyai
kewenangan (authority) penuh untuk mengatur dan menata hubungan-
hubungan di antara sesama warga serta hubungan antara warga dengan alam
sekitar. Pengaturan dan penataan hubungan-hubungan tersebut bertujuan untuk
mencari keseimbangan hubungan, sehingga tercipta ketentraman dan
kedamaian dalam masyarakat
2. Pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka
kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat
individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan
tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan.
3. Tanah ulayat merupakan hak milik bersama bukan perseorangan, tanah ulayat
dapat dikatakan berfungsi sebagai sarana untuk mensejahterakan masyarakat
dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.
4. Ciri-ciri hak ulayat yaitu merupakan hak komunal dari suatu komunitas
masyarakat hukum adat, merupakan hak atau wewenang yang diberikan oleh
hukum untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk tanah, hak tersebut
memiliki wilayah (yuridiksi) di tempat hidup para warga masyarakat pada
umumnya, hak tersebut berlaku terhadap masyarakat hukum adat maupun
masyarakat pada umumnya, terdapat ikatan hukum antara masyarakat hukum
adat dengan tanah, mempunyai norma hukum yang mengatur hubungan antar

40
masyarakat, memiliki institusi/lembaga yang melakukan pengawasan
pemanfaatan tanah ulayat.
5. Subjek hak ulayat berupa masyarakat atau individu dan badan hukum . Objek
tanah ulayat adalah semua tanah seisinya yang ada di wilayah kekuasaan
masyarakat hukum adat.
6. Tanah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam hukumadat karena sifat
dan faktanya.
7. Antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan
yang erat sekali, hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak
untuk menguasai tanah dimaksud, memanfaatkannya tanah itu, memungut
hasil dari tumbuh-tumbuhan dan atau pohon-pohonan yang hidup di atas tanah
tersebut serta juga berburu binatang-binatang yang hidup di situ. Hak
persekutuan atas tanah ini disebut sebagai Hak Pertuanan Atau Hak Ulayat.
8. Jenis-jenis hak ulayat yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah ulayat
kaum, tanah ulayat rajo.
9. Sifat-sifat dari tanah ulayat ada yang berlaku ke dalam maupun keluar.
10. Fungsi tanah ulayat secara rinci dapat dibagi tiga aspek, yaitu dari aspek sosial
budaya, dari aspek sosial ekonomi, dan dari aspek jaminan sosial. Dari aspek
sosial budaya tanah ulayat dapat dianggap sebagai unsur perekat anatar warga
masyarakat hukum adat dan antar warga masyarakat hukum adat dengan
pemimpinnya. Aspek sosial ekonomi berfungsi atau penataan tanah ulayat
untuk menjadikan warganya sejahtera lahir dan batin. Aspek jaminan sosial
berfungsi sebagai representasi dari sebuah model jaminan sosial tradisional.
Konsep tanah ulayat sebagai sebuah model jaminan sosial tradisional akan
semakin efektif pada saat dimana pemerintah tidak memberikan jaminan sosial
dan ekonomi kepada warganya.
11. Mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam dan keluar.mempunyai kekuatan
yang berlaku kedalam artinya,berlaku bagi anggota masyarakat hukumnya
sendiri ,sedang mempunyai kekuatan berlaku keluar artinya,berlaku bagi selain
anggota masyarakat hukumya.
12. Sistematika berlakunya hak ulayat menurut Ter Haar adalah anggota
masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas tanah serta

41
tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya, anggota
masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu, mengumpulkan
hasil hutan yang kemudian dimiliki dengan hak milik bahkan berhak memiliki
beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu dipelihara olehnya, mereka
mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan kepala suku atau
kepala masyarakat hukum, berdasarkan masyarakat hukum setempat, dapat
ditetapkan bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat
pemukiman, makam, penggembalaan umum, dan lain-lain., anggota suku lain
tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat, kecuali dengan seizin
pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan memberi semacam hadiah
kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu, apabila ada anggota suku bangsa lain
ditemukan meninggal dunia atau dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu
suku bangsa, maka suku atau masyarakat hukum di wilayah bersangkutan
bertanggung jawab untuk mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.
13. Kedudukan tanah ulayat berdasarkan ordansi bahwa ketentuan tertulis
mengenai pertanahan adalah ordnisasi pertanahan, yaitu agrarischie wet (stb
nomor 55 tahun 1870). Keduduakan tanah ulayat diakui eksistensi UUPA,
tetapi direalisasikan secara formal haruslah memnuhi persyaratan tertentu,
yaitu “sepenjang masyarakat hukum adat masih adat.”.
14. Apabila memahami system hukum adalah sebagai refleksi sistemmatik dari asa
dan kabidah pada masyarakat hukum adat termasuk juga hak ulayat karena hak
ulayat sendiri memberikan penjelasan tentang arti yang dimaksud dari hak
ulayat adalah beshikkingrecht ada dalam kepustakaan hukum adat. Pasal 3
UUPA menyebutkan tentang adanya masyarakat hukum adat.
15. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas tanah, perairan, tanaman, dan binatang
dalam wilayahnya menjadi sumber kehidupan dan mata pencarian diakui,
dihormati, dan dilindungi sesuai dinamika perkembangan masyarakat hukum
adat, kepentingan nasional dan negara sesuai prinsip negara kestuan republik
Indonesia serta pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
16. Cara persekutuan memelihara dan mempertahankan hak ulayat adalah dengan
pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling

42
wilayah kekuasaannya.Tetapi usaha ini lazimnya tidak dapat diselenggarakan
secara sempurna lebih-lebih apabila masyarakat persekutuan tersebut tempat
tinggalnya tersebar dalam Pedukuhan-pedukuhan kecil ataupun apabila
daerah-daerah persekutuan tersebut meliputi tanah-tanah kosong.
17. Negara tidak dapat memberikan suatu ha katas tanah atau hak-hak lainnya
kepada suatu subjek hukum, atau mengambil sumber daya alam yang ada
diilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa persetujuan lebih dulu dari
masyarakat hukum adat setempat.

3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada makalah ini, ada
beberapa rekomendasi yang dapat dijadikan masukkan bagi pembaca maupun
penulis selanjutnya. Hal ini diharapkan bisa menjadi saran yang tepat untuk
nantinya bisa dilakukan oleh pembaca. Penulis memiliki beberapa saran untuk
penulis selanjutnya agar makalah ini bisa terus berlanjut sehingga memberikan
banyak manfaat bagi dunia Hukum Tanah Adat. Berikut beberapa saran dari
masalah yang bisa dilakukan untuk penulis selanjutnya.
1. Peran kepala adat dalam pemanfaatan hak tanah ulayat di suatu wilayah.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pengelolaan, pengawasan serta
pemanfaatan hak tanah ulayat.
3. Membahas sengketa atau masalah hukum tanah adat yang berkaitan dengan hak
tanah ulayat.

43
DAFTAR PUSTAKA

Panuh, Helmy. 2012. Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sumardjono. 2007. Kebijakan Pertahanan Antara Regulasi dan Implementasi.
Buku Kompas: Jakarta.
Utomo, Laksanto. 2016. Hukum Adat. Raja Grafindo Persada: Depok.
Hasni. 2008. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks
UUPR-UUPLH. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ismi, Hayatul. 2015. Hukum Adat Indonesia. Riau Press: Pekanbaru.
Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah
Ulayat.
Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta: 2008.
Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008.
Suranta, Ferry Aries. 2012. Penggunaan Lahan Hak Ulayat dalam Investasi
Sumber Daya Alam Pertambangan di Indonesia. Gratama Publishing:
Jakarta.
Harsono, Boedi. 2006. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA.
Djembatan: Jakarta.
Bakri, Muhammad. 2007. Hak Menguasai Tanah oleh Negara. Citra Media:
Yogyakarta.

44

Anda mungkin juga menyukai