SOSIOLOGI HUKUM
DOSEN PENGAMPU
M.H
KELOMPOK 6
FAKULTAS HUKUM
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " kasus sengketa tanah ” dengan tepat
waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi hukum. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan mengenai hukum sengketa tanah dalam perspektif
sosiologi yang ada di Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Latifah Amir, S.H., M.H. selaku
dosen mata kuliah sosiologi hukum. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................3
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta
melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan
tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung
maupuntidak langsung selalu memerlukan tanah.Pemilikan tanah diawali dengan menduduki
suatu wilayah yang oleh masyarakat adat disebutsebagai tanah komunal (milik bersama).
Khususnya diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik
berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah.
Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik
bersama masyarakat adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui
penggarapanyang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam
sistem pemilikan komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan
kesultanansejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada
abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat
penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat
berdiam juga tempat bertani, lalulintas, perjanjian dan padaakhirnya tempat manusia
berkubur. Sebagaimana diketahuisebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria
berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada
hukum adat disebut hukum tanahadat dan yang lainbersumber pada hukum barat disebut
hukum tanah Barat.Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5
Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak
adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA.
1
Untuk dapat masuk kedalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga
konversi. Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hak atas
tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelas dan mengikat mengenai
hak atas tanah.Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dan
diundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hukum
kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.
1.3 TUJUAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik kepentingan atas
tanah. Hal tidak dapat dihindari dizaman sekarang yang menuntut perbaikan dalam bidang
penataan dan penggunaan tanah untuk kesejahteraan masyarakat, terutama kepastian hukum
didalamnya. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk penyelesaian sengketa tanah
dengan cepat guna menghindari penumpukan sengketa tanah.
Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses.
melalui litigasi di dalam pengadilan, dan proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama
(koopratif) diluar pengadilan. Proses litigasi biasanya mengasilkan kesepakan yang bersifat
advirsial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menambah
masalah baru, lamban dalam penyelesainnya. Sebaliknya, melalui proses diluar pengadilan
menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win - win solution”, menyelesaikan koprehensif
dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Secara ekonomis, sengketa ini
memaksa pihak yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian
sengketa, maka makin besar pula biaya yang dikeluarkan dan biaya yang dikeluarkan tidak
sebanding dengan harga objek tanah yang disengketakan. Namun oleh sebagian orang atau
golongan tertentu tanah sebagai harga diri yang harus dipegang teguh dan akan dipertahankan
sampai mati. Upaya penyelesaian hukum mengenai perselisihan atau sengketa tanah diatur
dalam Perpres No. 20/2015 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasal 3 angka 3 dan 4
tersebut menyatakan bahwa Kepala BPN mempunyai tugas melakukan kebijakan di bidang
penetapan hak tanah, pendaftaan tanah, dan pemberdayaan masyarakat serta di bidang
pengaturan, penataan, dan pengendalian kebijakan pertanahan.
3
2.2 LATAR BELAKANG TERJADINYA SENGKETA TANAH
(1) Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk kasus Mesuji. Deskripsi kasus
dibangun atas interpretasi dari laporan TGPF yang sebenarnya amat kabur dalam
menggambarkan substansi perselisihan.
(2) Tabel Konflik yang bersumber dari Direktorat Konflik, Badan Pertanahan
Nasional. Pada beberapa kasus, tabel tidak secara lengkap menyebutkan deskripsi
klaim pihak berselisih serta dasar kepemilikan yang dimiliki masing-masing pihak.
Dengan kata lain, informasi tidak berimbang.
Berdasarkan laporan TGPF, terdapat tiga lokasi yang terlibat dalam permasalahan
tersebut dengan penjelasan sebagai berikut. Kasus Pertanahan di Register 45, Kabupaten
Mesuji (Lampung). Permasalahan pada Register 45 mencuat pada tanggal 6 November 2010,
saat terjadi kontak kekerasan pada demo yang dilakukan atas penggusuran lahan yang
melibatkan masyarakat dari lima desa di Kabupaten Tulang Bawang. Kekerasan terjadi antara
masyarakat dan aparat polisi yang mengakibatkan satu orang tewas dan satu orang luka
tembak. Permasalahan ini dipicu oleh penambahan luasan Hak Penguasaan Hutan Industri
(HPHI) kepada PT Silva Inhutani Lampung (SIL) seluas 9.600 Ha pada tahun 1997. Namun,
hingga tahun 1997 belum dilakukan penyerahan lahan seluas 7.000 Ha kepada masyakarat
untuk digarap sesuai dengan kesepakatan.
Selain itu, PT BSMI juga belum membayark ganti rugi seluas 5.000 Ha kepada
masyarakat penggarap yang telah ada sebelumnya. Kasus Pertanahan di Desa Sungai Sodong,
(Sumatera Selatan) Permasalahan lahan diawali dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU)
seluas 3.193,90 Ha untuk perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Sodong kepada PT
Sumber Wangi Abadi (SWA) pada tahun 2001. HGU tersebut diberikan dengan syarat PT
SWA mendirikan perkebunan plasma seluas 1.068 Ha dari total luas yang diberikan HGU.
Namun, hingga tahun 2002 PT SWA tidak mampu melaksanakan kewajibannya sehingga
pada tahun 2010 masyarakat menduduki lahan PT SWA. Pendudukan lahan tersebut
mengakibatkan terjadinya bentrokan antara pihak pengamanan swakarsa perusahaan dan
masyarakat yang menewaskan tujuh orang.
4
2.3 KASUS PERTANAHAN DI INDONESIA
Fenomena ini sering terjadi atas tanah yang dimiliki warga namun dipergunakan
untuk membangun gedung-gedung pemerintah tanpa izin dari si pemilik sertifikat yang pada
akhirnya menimbulkan sengketa. Salah satu contoh kasus terdapat pada perkara putusan negri
kupang pada 25 september 2015, dimana Jhoni Joohan Pah sebagai penggugat. Permasalahan
ini terjadi karena pemerintah kota kupang membeli setengah dari tanah namun membangun di
atas seluruh bagian tanah, meskipun warga memiliki bukti otentik tetap saja si pemilik
setifikat seringkali tidak mendapat keadilan,yeng berujung menjadi sengketa antara warga
dan pemerintah Dan masih banyak kasus serupa antara warga dan pemerintahan di indonesia
yang berakhir tidak mendapat keadilan.
Contoh kasus lainnya dapat dilihat dari kasus penyelesaian sengketa tanah melalui
pengadilan bisa dilihat pada kasus sengketa pulau pari. Sengketa ini terjadi antara warga dan
perusahaan swasta PT Bumi Pari Asri. Berawal pada tahun 2014, PT Bumi Pari Asri
mendatangi warga setempat dna mengklaim bahwa tanah tersebut telah menjadi milik
perusahaan mereka dengan menunjukkan sertifikat hak milik. Sengketa tersebut telah
melibatkan hukum dan pengadilan hingga berujung pada dijebloskannya beberapa warga
Pulau Pari ke penjara.Setelah diusut, ternyata SHM dan SHGB yang dimiliki oleh PT Bumi
Pari Asri merupakan tindakan maladministrasi, sehingga beberapa warga yang dipenjara
dibebaskan dari tuduhan. Namun, sengketa ini masih berlarut hingga saat ini.
5
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka masalah
tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting
dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga
tempat bertani, lalulintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Namun
oleh sebagian orang atau golongan tertentu tanah sebagai harga diri yang harus dipegang
teguh dan akan dipertahankan sampai mati yang akhirnya menciptakan sengketa dan konflik
itu sendiri. Meskipun telah ada hukum dan undang-undang yang mendasari perkara sengketa
tanah namun kasus ini masih tetap terjadi hingga sekarang.
6
DAFTAR PUSTAKA
SEKRETARIS%20KPID/Downloads/Bab%2520I.pdf
SEKRETARIS%20KPID/Downloads/201410115066_Dinda%2520Sifa%2520Fauziah_BAB%252
0I.pdf
SEKRETARIS%20KPID/Downloads/BAB%2520I%20(1).pdf