Dosen Pengampu :
Femmy Silaswaty Faried, SH.,MH.,M.Kn.CTI.
Oleh :
Elysa Diah Pramesti (2021010023)
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Hukum Agraria Tentang Sengketa Tanah Dalam
Masyarakat.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1
kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki
dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat
menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa
tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang
salah 1 pihak melakukan wanprestasi.
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini,
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan,
bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala
nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu
tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil,
jumlahnya lebih besar lagi. Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan
hukum atau kaedah hukum yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang
bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertibdalam
masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa hukum yang jelas demi
memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari tanah-tanah
tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk
meminimalisasi konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah
yang dilator belakangi oleh sengketa tanah.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari Hukum Agraria.
2. Mengetahui pengertian dari Sengketa Tanah.
3. Mengetahui contoh dalam masyarakat secara nyata mengenai
Sengketa Tanah.
2
BAB II. PEMBAHASAN
3
2.2 Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau
lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan
kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara
yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu
sengketa tanah antara lain :
1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas
tanah yang belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang atau tidak benar.
4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
4
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan
keras dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural
misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa
dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan
tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan
setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang
terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah.
Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak
sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah
adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi
tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap
status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta
permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan,
kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan
Landerform
3. Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum
Adat.
5
permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan
beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam
kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa
Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata
tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah,
Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan
adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1
ayat (3) UUP. Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat
bertani, lalu lintas, perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur.
Akan tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia
tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju
penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju penduduk tersebut,
maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk
pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun
pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak
bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan
konflik-konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab
terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah,
ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai
makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan
ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai
kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka
pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah
dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk
peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk
6
kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara
dan/atau atas tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu
masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas
adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat
lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan
terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang
pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak
dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat
ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain,
atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi
tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960
yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di
Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat
pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan
sektoral. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat
memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga
secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu
misalnya sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat,
misalnya antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI
adalah ijin latihan dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka
juga menjalankan tugas negara maka mereka sangat kuat untuk
mengambil tanah itu tetapi dari masyarakat juga dikuatkan dari faktor
sejarah yang dari turun-temurun keluarganya sudah memakai tanah
tersebut.
7
yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah
antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa
Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V
Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumber
Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media
sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan
tersebut milik warga setempat, sementara TNI menyatakan milik negara.
Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5
personel TNI AD mengalami luka di kepala. Sengketa warga Harjokuncaran
dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah
memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut
awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu
Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas
sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan
masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran
resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur
Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari
tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang
selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar
hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang
menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara
Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar
uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi
warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam
cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah
lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria
1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland
reform dengan verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang
seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini
memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
8
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah
Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem
pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan
sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah
potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat
digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya
alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan
untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran,
tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun
2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara
mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen
pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara
adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk
melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan
adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan
kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya
nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan
kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan
sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam,
dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum
optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta
ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah.
Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan
pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan
istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum
pertanahan nasional. Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak
9
masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama
yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan
penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik
tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk
menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat
umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih
dahulu dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas
tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan
tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas
tanah yang digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas
yaitu antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat,
Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah
seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar
Pangkalanbun. Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012
setelah bupati ujang diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah
sengketa ini akan dibangun sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata
sudah ada yang memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun
1980an serta terdapat beberapa patok tanah yang masih menancap milik
Lanud. Karena keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu
kebanyakan tanah bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang
tidak ada yang mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa
menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT
dan mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat
secara langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada
masalah ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah
yang tidak serta merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke
lapangan secara langsung. Dengan kelalaian tersebut maka terjadilah
pemilik ganda dari tanah tersebut. Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk
menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah. Dengan
10
diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka fihak-fihak yang
bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan
hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas dan batas-
batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa yang ada diatas
tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar
yaitu melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat
tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam
pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada
yang punya atau belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta
dengan merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah
yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi
sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang
bertugas. Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan
digunakan sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga
melaksanakan tugas negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya
karena merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan
wilayah Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk
memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan
oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai,
yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Hak pakai dapat diberikan selama
jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau
11
pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai
syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu :
• Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak
pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat
yang berwenang.
• Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
• TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen
Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan
TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah
ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan
memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“
memakai sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan
tetapi sekedar buat keperluan sendiri.
12
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap
permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu
tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya.
Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum
yang berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini
tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan
Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini
jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh
mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara
Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah.
Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai
atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI.
Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri dalam
setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya
hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa
tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1 Undang-
Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan
bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara.
Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan
hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan
para pihak yang bersengketa. Tanah milik negara digunakan demi
kepentingan negara, begitu juga dengan kasus diatas yang merupakan
sengketa dengan masyarakat tetapi hukum itu milik negara dan
haruslah kembali pada negara dengan berlandaskan untuk
kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.
13
DAFTAR PUSTAKA
14