Anda di halaman 1dari 23

HUKUM AGRARIA

(PENGERTIAN HUKUM AGRARIA, UPAYA PENYUSUNAN UUPA,


SEJARAH PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA,
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA SEBAGAI POKOK AGRARIA
NASIONAL)

Oleh :
KELOMPOK 1

DITHA AFRIDA
NIM. 2032020010
NUR CHAIRIZA AMANDA LUBIS
NIM. 2032020013

JURUSAN/PRODI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI LANGSA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“HUKUM AGRARIA” ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah pelajaran “Hukum Agraria”.
Selain makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang ruang lingkup
hukum agraria bagi para pembaca dan juga penulis. Kami mengucapkan terima kasih
kepada ibu Nur Anshari, M.H selaku dosen Hukum Agraria yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membagi


sebagian pengetahuanya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami juga
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Oleh
kerena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Langsa, 21 September 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1

1.3 Tujuan Penulisan...........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

2.1 Pengertian Agraria dan Hukum Agraria........................................................................2

2.2 Upaya Penyusunan Hukum Agraria..............................................................................3

2.3 Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria...................................................11

2.4 UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional.....................................................................16

BAB III PENUTUP...........................................................................................................20

1.3 Kesimpulan....................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyak buku dan jurnal yang sudah mengkaji tentang Hukum Agraria,
namun tidak banyak yang mengkaji bagaimana upaya pemerintah Indonesia
dalam membentuk UUPA, di dalam makalah ini disajikan pengertian agraria
kemudian pengertian hukum agraria dari arti yang sempit sampai pengertian
agraria dalam arti yang sangat luas. Dan tidak hanya itu saja, di dalam tulisan ini
juga menyajikan bagaimana sejarah penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria
sehingga terbentuklah UUPA 1960 tersebut.

Dalam makalah ini berfokus kepada bagaimana sejarah terbentuknya Hukum


Agraria sehingga dapat menjadi suatu hukum yang dicita-citakan bangsa dan
negara, karena seiring berkembangnya zaman hal ini sangat penting, karena
walaupun sudah berganti zaman, tetapi sejarah harus tetap kita ingat dan kita
pelajari, mulai dari upaya pembentukan hingga hukum ini terbentuk.

1.2 Permasalahan

1. Bagaimana upaya penyusunan Hukum Agraria sehingga bisa terbentuk aparat


agraria pada masa itu ?

2. Bagaimana sejarah terbentuknya UUPA 1960 ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Sebagai media informasi tentang teori strukturalisme dan fungsional sosiologi
dalam hukum
2. Menambah wawasan bagi para pembaca, dan menjadi rujukan untuk
menyelesaikan tugas bagi para siswa dan mahasiswa.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Agraria Dan Hukum Agraria

Kata agraria itu berasal dari bahasa Belanda yaitu akker, dan dari kata Yunani
yaitu agros yang memiliki arti tanah pertanian. Kemudian juga berasal dari bahasa
Latin yaitu agger yang bermakna tanah atau sebidang tanah, adapun agrarius (Latin)
yaitu berarti persawahan, perladangan, pertanian, dan dari bahasa Inggris adalah
agrarian yang berarti tanah untuk pertanian.1 Dalam Black’s Law Dictionary
disebutkan bahwa arti agrarian adalah relating to land, or to a division or distribution
of land; as an agrarian laws.2

Menurut Andi Hamzah, agraria adalah masalah tanah dan semua yang ada di
dalam dan diatasnya. Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio, agraria adalah urusan
tanah dan segala apa yang ada di dalam dan diatasnya. Segala apa yang ada di
dalamnya semisal, batu, emas, minyak, batu bara, nikel, dan isi bumi lainnya,
sedangkan yang ada di atas tanah semisal bangunan dan tanaman.3

Pengertian agraria dalam arti sempit yaitu hanyalah meliputi permukaan bumi
saja yang dikenal dengan nama tanah, sedangkan agraria dalam arti yang luas itu
meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik itu yang


tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur agraria, menurut Soedikno
Mertokusumo. Bachan Sofyan menjabarkan kaidah hukum yang tertulis adalah
Hukum Agraria dalam bentuk hukum undang-undang dan peraturan-peraturan
tertulis lainnya yang di buat oleh negara, sedangkan kaidah hukum yang tidak tertulis
ialah Hukum Agraria yang berbentuk Hukum Adat Agraria dimana hukum itu dibuat

1 ?
Dr. Urip Santoso, S,H., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana,
Kencana : Jakarta, 2012), h. 1.
2 ?
Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, West Publishing Co., USA. 1991, h. 43,
dikutip oleh Dr. Urip Santoso, S,H., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana,
Kencana : Jakarta, 2012), h. 1.
3 ?
Ibid, h. 1.
2
oleh masyarakat adat setempat dan yang pertumbuhan, perkembangan, serta
berlakunya dipertahannkan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.4

Dalam pengertian UUPA Hukum Agraria ini bukan hanya merupakan satu
perangkat bidang hukum saja. Hukum Agraria ini merupakan sebuah kelompok
dalam berbagai bidang hukum, yang dimana mengatur masing-masing hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu.

Kelompok ini terdiri :

a. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan tanah yang dalam artian
adalah permukaan bumi dan semua yang berkaitan dengan tanah;

b. Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air, segala yang
berkaitan dengan air;

c. Hukum pertambangan, hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas


bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh UU Pokok pertambangan.

d. Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam


yang terkandung di dalam air;

e. Hukum penguasaaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa,


mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.5

2.2 Upaya Penyusunan Hukum Agraria

Pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 merupakan hari yang sangat bersejarah
untuk bangsa Indonesia karena saat itulah Proklamasi Kemerdekaan dibacakan dan
disebarluaskan keseluruh penjuru dunia. Proklamasi merupakan suatu tonggak
sejarah sebagai simbol bahwa pada saat itu terbentuklah Negara Kesatuan Republik

4 ?
Bachsan Musthofa, Hukum Agraria dalam Perspektif, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h.
11, dikutip oleh Dr. Muwahid, SH., M.Hum, Pokok-Pokok Hukum Agraria, (Surabaya : UIN SA
Press, 2016), h. 8.
5 ?
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, cet. Ke-12 (Jakarta: Djamban, 2008), dikutip oleh Rahmat Ramadhani, S.H., M.H, HUKUM
AGRARIA (Suatu Pengantar), (Medan : UMSU Press), 2018, 10. h.
3
Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat. Secara yuridis, proklamasi tersebut
bermakna terputusnya atau tidak lagi berlakunya hukum kolonial dan pada saat mulai
berlakunya hukum nasional, sedangkan secara politis, proklamasi kemerdekaaan
tersebut mengandung arti bahwasannya bangsa Indonesia sudah terlepas dari
penajajahan dan menjadi bangsa yang sudah merdeka.

Proklamasi kemerdekaaan sangat memberi arti penting terhadap upaya


penyusunan hukum agraria nasional. Yang pertama dengan adanya proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia memutuskan hubungannya dengan hukum agraria
kolonial dan sekaligus yang kedua, bangsa Indonesia mengupayakan untuk
membentuk hukum agraria nasional.

Meskipun demikian, dengan adanya proklamir kemerdekaan tersebut ternyata


tidak serta merta pemerintah itu dapat dengan mudah membentuk hukum agraria
nasional, karena hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama sampai
terbentuknya hukum agraria kolonial menjadi hukum agraria nasional. Maka dari itu,
guna mencegah adanya kekosongan hukum (reccht vacuum), maka sembari
menunggu terbentuknya hukum agraria nasional maka diberlakukanlah Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 19456, yaitu : “Segala badan negara dan
peraturan yang masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”.

Dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, maka segala badan
maupun peraturan yang ditetapkan dan merupakan produk kolonial dinyatakan masih
tetap berlaku selama hal tersebut belum di diubah, dicabut ataupun diganti dengan
hukum yang baru.

Dasar politik hukum agraria nasional itu dinyatakan di dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 yang menyebutkan :

6 ?
Yulianta Saputra, Sejarah Undang-undang Dasar Negara
RepublikIndonesia Tahun 1945 Sebagai Konstitusi di Indonesia,”
https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/ (26 Februari 2018)

4
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara,
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Ketentuan tersebut sifatnya imperatif, yang dimana berbentuk perintah


kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang
diletakkan di bawah penguasaan negara itu harus dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat Indonesia.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan


Hukum Agraria kolonial yaitu dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia
merdeka :

1. Menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru.

Dalam pelaksanaan hukum agraria ini didasarkan atas kebijakan baru


dengan menggunakan tafsir yang baru pula yang dimana tafsir itu sesuai
dengan jiwa Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tafsir baru yang
dimaksudkan seperti contohnya mengenai hubungan domein verklaring, yaitu
dimana negara tidak lagi sebagai pemilik tanah, melainkan negara sebagai
organisasi kekuasan seluruh rakyat Indonesia hanya menguasai tanah.

2. Penghapusan hak-hak konversi

Lembaga konversi yang berlaku di karasidenan Surakarta dan


Yogyakarta adalah salah satu warisan feodal yang sangat merugikan rakyat.
Di daerah ini semua tanah dianggap milik raja, sehingga rakyat hanya sekedar
memakainya, dan diwajibkan meyerahkan sebagaian dari hasil tanah itu
kepada raja jika tanah itu tanah pertanian atau melakukan kerja paksa jika
tanahnya tersebut adalah tanah pekarangan. Untuk anggota keluarganya atau
hamba-hambanya yang berjasa atau setia kepadanya itu diberikan tanah
sebagai nafkah, dan pemberian tanah ini juga disertai dengan pelimpahan hak
raja atau sebagian hasil tanah tersebut. Mereka juga berhak menuntut kerja
paksa. Stesel ini dinamakan stesel apanage.7
7 ?
Soedikno Mertokusumo (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo – I), Hukum dan
Politik Agraria, Universitas Terbuka, Karunika, Jakarta, 1988, h. 1.2, dikutip oleh Dr. Urip Santoso,
S,H., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana, Kencana : Jakarta, 2012), h. 5.
5
Tanah-tanah tersebut oleh raja atau pemegang apanage disewakan kepada
pengusaha-pengusaha asing untuk dijadikan usaha pertanian, berikut hak
untuk memungut sebagian dari hasil tanah rakyat yang mengusahakan tanah
itu. Berdasar S.1918, para pengusaha asing tersebut kemudian mendapatkan
hak atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi (beschikking konversi).
Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk
memakai dan mengusahakan tanah tertentu. 8 Berdasrkan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb.1918- 20. dan ditambah dengan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara tegas dinyatakan bahwa
lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta hypotheek
yangmembebaninya menjadi hapus.

3. Pengahapusan tanah pertikelir.

Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan di bidang


pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda berupa tanah partikelir yang di
dalamnya terdapat hak pertuanan. Dengan adanya hak pertuanan ini, seakan-
akan tanah-tanah partikelir tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-
tuan tanah yang mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak
yang menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan
dan kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya. Setelah
Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia melakukan pembelian tanah-tanah
partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan dikarenakan tidak tersedianya
dan yang cukup juga karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan menuntut
harga yang tinggi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958
tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik
partikelir atas tanahnya dan hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas
apartikelir itu karen hukum seluruhnya serentak menjadai tanah negara.
Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya merupakan pencabutan
hak, dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah
partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugian telah sesuai.
8 ?
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, cet. Ke-2 (Jakarta: UT, 2015), h. 91.
6
4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.

Peraturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan


perkebunan bedar khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada
umumnya sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa
dan Madura diatur dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-
88 untuk daerah pemerintahan langsung dan Voerstenlands
Grondhuureglement S.1918- 88 untuk daerah pemerintahan langsung dan
Voerstenlands Grondhuureglement S.1918-20 untuk Surakarta dan
Yogyakarta (daerah-daerah swapraja). Menurut ketentuan ini persawahan
tanah dimungkinkan berjangka waktu paling lama 21,5 tahun.

Setelah Indonesia merdeka, kedua peraturan tersebut diubah dengan


ditambahkan Pasal 8a dan 8b serta Pasal 15a dan 15b oleh Undang-undang
Darurat Nomor 6 Tahun 1951. undang-undang Darurat ini kemudian
ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1952. Dengan
penambahan pasal-pasal tersebut, maka persewaan tanah rakyat untuk tanama
tebu dan lain-lainnya yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian hanya
diperbolehkan paling lama 1 tahun atau 1 tahun tanaman. Adapun besar
sewanya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, kemudian oleh Menteri
Agraria. Dengan demikian, rakyat tidak lagi dirugikan karena besar dan
jumlah sewanya disesuaikan dengan tingkat perkembangan harga pada saat
itu dan waktunya hanya untuk 1 tahun tanaman.

5. Peraturan tambahan untuk mengawasi hak atas tanah

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954 yang


menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang
Pemindahan Tanah-tanah dan Barang-barang tetap lainnya yang Tunduk Pada
Hukum Eropa, dinyatakan bahwa sambil menunggu pengaturan lebih dari 1
tahun dan perbuatan-perbuatan yang berwujud pemindahan hak engenai hak
tanah-tanah dan barang-barang tetap lainnya yang tunduk pada hukum Eropa
hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri Kehakiman

7
(dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 1957 izinnya dari Menteri
Agraria).

6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan.

Atas dasar Undang-undang Nomor 29 Tahun 1956, Menteri Agraria


dan Pertanian berwenanga melakukan tidakan-tindakan agar tanah-tanah
perkebunan yang mempunyai sifat sangat penting dalam perekonomian
negara diusahakan dengan baik. Dalam undang-undan gini juga ditetapkan
bahwa pemegang erfacht, eigendom dan hak kebendaan lainnya yang sudah
mengusahakan kembali perusahaan-perusahaan, wajib melakukan segala
sesuatu yang perlu untuk memulai atau meneruskan usahanya secaa layak
menurut ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.

Jika pemegan hak tersebut belum memenuhi kewajibannya, maka atas


pertimbangan Menteri Pertanian, hak erfacht yang bersanglkutan dapat
dibatalkan oleh Menteri Agraria. Hak erfacht juga dapat dibatalkan, jika
menurut pertimbagnan Menteri Agraria dan Menteri Pertanian sikap
pemegang hak selama waktu yang ditentukan tidak berniat mengusahakan
perusahaan perkebunannya sebagaimana mestinya. Tanaman dan bangunan di
atas tanah tersebut yang menurut keputusan Menteri Pertanian diperlukan
untuk kelangsungan atau memulihkan pengusahaan yang layak dikuasai oleh
negara dengan pemberian ganti kerugian.

7. Kenaikan Canon dan Cijn.

Canon adalah uang yang wajib dibayar oleh pemegang hak erfacht
setiap tahunnya kepada negara, sedangkan cijn adalah uang yang wajib
dibayar oleh pemegang konsesi perusahaan perkebunan besar. Pada
umumnya, canon dan cijn dulu tidak besar jumlahnya, karena terutama

8
dianggap sebagai tanfa pengakuan hak pemilik tanah yang dikuasainya
dengan hak erfacht atau konsesi.

Setelah Indonesia merdeka, sebgaian besar tanah-tanah perkebunan


sudah dibuka dan diusahakan, sehingga uang wajib yang harus dibayar setiap
tahunnya itu fungsi atau sifatnya yang lain, yaitu sebagai sewa pemakaian
tanah. Dalam Undang-undang Nomor 78 Tahun 1957 tentang Perubahan
Canon dan Cijn Atas Hak-hak Erfacht dan Konsesi guna perkebunan besar
ditetpkan bahwa selambat-lambatnya 5 tahun sekali uang wajib tahunan ini
harus ditinjau kembali.

8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaiantanah tanpa izin.

Untuk mencegah meluasnya pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh


rakyat tanpa izin pengusahanya dan untuk menyelesaikan soal pemakaian
tanah yang sudah ada, maka dikeluarkanlah Undang-undang Darurat Nomor
8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh
Rakyat. Undang-undang darurat ini diubah dan ditambah dengan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1961. Ketentuan mengenai larangan pemakaian
tanah ranpa izin yangberhak atau kuasanya diatur oleh Undang-undang
Nomor 51 Prp Tahun 1960. undangundang ini kemudian diganti dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961. Dalam Pasal 2 jo. Pasal 6 Undang-
undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dinyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa
izin yang berhak atau kuasanya yang saha adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan hukuman pidana, tetapi tidak selalu penunutan pidana.
Menurut Psal 3 jo. Pasal 5, dapat dilakukan penyelesaian melalui cara dengan
mengingat kepentingan pihakpihak yang bersangkutan dan rencana
peruntukan dan penggunaan tanah yang dipai itu.

9. Peraturan perjanjian bagi hasil.

Peraturan perjanjian bagi hasil. Perjanjian bagi hasi adalah salah satu
bentuk perjanjian antara pemili tanah dengan pihak lain sebagai penggarap, di
mana penggarap diperkenankan untuk mengusahakan tanah itu dengan

9
pembagaian hasilnya menurut imbagan yang telah disetujui oleh kedua belah
pihak. Perjanjian bagai hasil semula diatur menurut hukum adat setempat.
Imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak.
Pada umumnya, pembagian hasil tersebut tidak menguntungka pihak
penggarap, karena tanah yang tersedia untuk dibagihasilkan tidak seimbang
dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan. Mengingat bahwa
golongan penggarap bagi hasil itu biasanya golongan ekonomi lemah dan
selalu dirugikan, maka dalam rangka melindungi mereka, dikeluarkan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-undanga ini mengharuskan agar pihak-pihak yang membuat
perjanjian bagi hasil dibuat secara tertulis, dengan maksud agar mudah
mengawasi dan mengadakan tindakan-tindakan terhadap mperjanjian bagi
hasil yang merugikan penggarapnya.

10. Peralihan tugas dan wewenang agraria.

Setelah Indonesia merdeka sampai dengan 1955 urusan agraria berada


dalam lingkungan Kementrian Dalam Negeri. Berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 55 Tahun 1955 dibentuk Kementerian Agraria yang berdiri
sendiri yang terpisah dari Kementerian Dalam Negeri. Dalam Keputusna
Presiden Nomor 190 Tahun 1957 ditetapkan bahwa Jawatan Pendafataran
Kehakiman semula masuk dalam lingkungan Kementerian Kehakiman
dialihkan dalam lingkungan Kementrian Agraria. Berdasarka Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1958 ditetapkan pengalihan tugas dan wewenang agraria dari
Menteri Dalam Negeri kepada Menteri Agraria, serta pejabat-pejabat di
daerah. Dengan keluarnya undang-undang tersebut, maka lambat laun
terbentuklah aparat agraria di tingkat provinsi, karasidenan, dan
kabupaten/kotamadya.9

2.3 Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria

9 ?
Dr. Urip Santoso, S,H., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana,
Kencana : Jakarta, 2012), h. 32-38.
10
Dalam upaya perancangan penyusunan UUPA melewati perjalanan yang
sangat panjang yang dilakukaan oleh Lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria
Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan Soewahjo, Panitia
Rancangan Soenarjo dan Panitian Rancangan Sadjarwo.

1. Panitia Rancangan Yogyakarta.

a. Dasar Hukum

Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun


1948 tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria.
Panitia ini bertugas anatara lain :

1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal


mengenai hukum tanah pada umumnya;

2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik


agararia Republik Indonesia;

3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-


peraturan lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan
kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka;

4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.

b. Asas-asas yang Menjadi Dasar Hukum Agraria Indonesia

Panitia ini mengusulkan tentang asas-asas yang akan


merupakan dasar-dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :

1) Meniadakan asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;

2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak


perseorangan yang dapat dibebani hak tanggungan;

3) Mengadakan penyelidikan terutama di negara tetangga tentang


kemungkinan pemberian hak milik atas tanah kepaa orang asing;

11
4) Perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi
apra petani kecil untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;

5) Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang


siusulkan untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang
macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan penelitian
lebih lanjut;

6) Perlu diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak lainnya.

c. Keanggotaan Panitia

Panitia Yogyakarta beranggotakan sebagai berikut :

1) Para pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan;

2) Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;

3) Para ahli hukum, wakil-wakil daerah dan ahli adat;

4) Wakil dari dari sarikat buruh perkebunan;

2. Panitia Jakarta

a. Dasar Hukum.

Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor :


36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia Agraria
Jakarta yang berkedudukan di Jakarta.

b. Keanggotaan.

Panitia Jakarta beranggotakan :

1) Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti


oleh Singgih Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria
Kementrian Agararia);

2) Pejabat-pejabat kementrian;

3) Pejabat-pejabt jawatan; dan


12
4) Wakil-wakil organisasi tani.

c. Usulan kepada Pemerintah

Dalam laporannya panitia ini mengusulkan beberapa hal dalam hal


tanah pertanian, sebagai berikut :

1) Mengadakan batas minimum pemilikan tanah, yaitu 2 hektar dengna


mengadakan peninjauan lebih lanjut sehubungan dengan berlakunya
hukum adat dan hukum waris;

2) Mengadakan ketentuan batas maksimum pemilikan tanah, hak usaha,


hak sewa, dan hak pakai;

3) Pertanian rakyat hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan tidak
dibedakan antara warga negara asli dan bukan asli. Badan hukum
tidak dapat mengerjakan tanah rakyat;

4) Bagunan hukum untuk pertanian rakyat ialah hakl milik, hak usaha,
hak sewa, dan hak pakai;

5) Pengeturan hak ulayat sesuai dengan pokok-pokok dasar negara


dengan suatu undang-undang.

3. Panitia Soewahjo

a. Dasar Hukum.

Guna mempercepat proses pembentukan undang-undang agraria


nasional, maka dengan Keputusan Presiden RI tertanggal 14 Januari 1956
Nomor : 1 Tahun 1956, berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama
panitia ini adalah mepersiapkan rencana undang-undang pokok agararia
yang nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.

13
b. Rancangan Undang-Undang.

Panitia ini berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang


Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang pada berisi :

1) Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus


ditundukkan pada kepentingan mum (negara);

2) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar


ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950;

3) Dualisme hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan


hukum yang akan memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang
baik, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum barat;

4) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang
berfungsi sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak
pakai;

5) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang
tidak diadakan pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli.
Badan-badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik
atas tanah;

6) Perlu diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah


yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum;

7) Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri


oleh pemiliknya;

8) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 97 Tahun 1958 tanggal 6


Mei 1958 Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo) dibubarkan.

14
4. Rancangan Soenarjo

Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal,


Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo eks Dewan
Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu
mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta kepada
Universitas Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad hoc yang terdiri
dari :

Ketua merangkap anggota : A.M. Tambunan

Wakil Ketua merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja

Anggota-anggota : Notosoekardjo

Dr. Sahar glr Sutan Besar

K.H. Muslich

Soepeno

Hadisiwojo

I.J. Kasimo

Selain dari Universitas Gadjah Mada bahan-bahan juga diperoleh dari


Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.

5. Rancangan Sadjarwo

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945.


Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada
tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali. Dalam rangka
menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari
Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959,
Menteri Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr, Boedi
Harsono, Mr. Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengna pihak

15
Universitas Gadjah Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan
Drs. Imam Sutigyo.

Setelah selesai penyusunannya, maka rancangan UUPA diajukan


kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA
sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat
UUPA.10

2.4 UUPA Sebagai Hukum Agraria Nasional

1. Sifat Nasional UUPA.

UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak
memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua, membangun
hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUPA, maka
terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama
hukum di bidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur
perangkat hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya.

UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan agraria


karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca Program Agraria
Reform Indonesia, yang meliputi :

1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi


nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;

2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;

3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.

4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubunganhubungan


hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan
10 ?
Dr. Urip Santoso, S,H., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana,
Kencana : Jakarta, 2012), h. 41-45.
16
pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal dengan
program landreform;

5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan
daya dukung dan kemampuannya.

Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material dan


formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA. Sedangkan
nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.

a. Sifat Nasional Material UUPA

Sifat nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA


yang harus mengandung asas-asas berikut :

1) Berdasarkan hukum tanah adat;

2) Sederhana;

3) Menjamin kepastian hukum;

4) Tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar kepada hukum agama;

5) Memberi kemungkinan suapya bumi, air dan ruang angkasa dapat


mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan
makmur;

6) Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia;

7) Memenuhi keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan zaman dalam


segala soal agraria;

8) Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian negara


dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam undangundang;

9) Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan


Manifesto Politik;
17
10) Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

b. Sifat Nasional Formal UUPA

Sifat nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPA


yang memenuhi sifat sebagai berikut :

1) Dibuat oleh pembentuk undang-undang naisonal Indonesia, yaitu


DPRGR;

2) Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;

3) Dibentuk di Indonesia;

4) Bersumber pada UUD 1945;

5) Berlaku dalam wilayah negara Republik Indonesia.11

2. Peraturan Lama Dicabut oleh UUPA

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960


tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September
1960, sebagaimana yang dalam Dictum tersebut memutuskan UUPA di
bawah perkataan “Dengan Mencabut” dengan demikian Indonesia memiliki
hukum agraria baru yang bersifat nasional yang tentunya lepas dari sifat-sifat
kolonial dan disesuaikan dengan pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai
negara merdeka dan berdaulat.12

11 ?
Aal Lukmanul Hakim, “Sejarah Hukum Agraria”, Acedemia, h. 47-48.
12 ?
Dr. Urip Santoso, S,H., M.H., Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta : Kencana,
Kencana : Jakarta, 2012), h. 49.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Asal kata dari agraria yaitu berasal dari Belanda, Yunani, Latin, dan Inggris.
Agraria memiliki arti sempit dan arti luasnya, yang dimana arti sempitnya agraria
hanyalah meliputi permukaan bumi atau yang kita kenal dengan tanah. Kemudian
agraria dalam arti luasnya yaitu meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Hukum agraria mengatur masing-masing hak-hak atas
penguasaan sumber daya alam tertentu, yaitu ada Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum
Pertambangan, Hukum Perikanan dan Hukum Penguasaan atas tenaga dan unsur-
unsur dalam ruang angkasa.

Beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk


menyesuaikan Hukum Agraria Kolonial Pada saat itu. Yang pertama adalah mereka
menggunakan kebijaksanaan dan penafsiran baru, kemudian menghapus hak-hak
konversi, penghapusan tanah pertikelir dll. Kemudian sejarah penyusunan UUPA
sehingga tersusunlah menjadi UUPA 1950.

19
DAFTAR PUSTAKA

Academia, “Sejarah Hukum Agraria” oleh Aal Lukmanul Hakim.

Black, Henry Campbell, Black Law Dictionary, West Publishing Co, USA, 1991, h.
43. Dikuti oleh Dr. Urip Santoso. Hukum Agraria Kajian Komprehensif,
Jakarta: Kencana : 2012.

Harsono, Budi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria. Cet ke-2 Jakarta: Djamban, 20015.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka,


(Karunika, Jakarta, 1988), h. 1.2. Dikutip oleh Urip Santoso, Hukum Agraria
Kajian Komprehensif, Jakarta : Kencana : Jakarta, 2012.

Mustofa, Bachsan. Hukum Agraria dalam Perspektif, (Bandung: Remaja Karya,


1997), h. 11. Dikutip oleh Muwahid Pokok-Pokok Hukum Agraria. Surabaya:
UIN SA Press, 2016.

Muwahid. Pokok-Pokok Hukum Agraria. Surabaya: UIN SA Press, 2016.

Ramadhani, Rahmat. Hukum Agraria (Suatu Pengantar). Medan: UMSU Press,


2018.

Santoso, Urip. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana, 2012.

Saputra, Yulianta “Sejarah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 Sebagai Konstitusi di Indonesia,”
https://vivajusticia.law.ugm.ac.id/ (26 Februari 2018)

20

Anda mungkin juga menyukai