MAKALAH
OLEH:
442010129
BEKASI
2022
KATA PENGANTAR
Makalah ini disusun guna melengkapi salah satu tugas dalam dalam
makalah ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan
dan dukungan yang sangat besar sekali sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan lancar. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya saran
masyarakat umum.
1.1. Pendahuluan
Dalam perkembangan manusia, reformasi agraria mempunyai sejarah yang panjang.
Sebagaimana yang disadari bersama, bahwa permasalahan dibidang pertanahan merupakan
masalah yang sulit, rumit dan sensitif. Reforma agraria muncul pertama kalinya di Yunani
Kuno, ketika Pemerintahan Solon (594 SM) berupaya membentuk pemerintahan demokrasi
dan berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siessachtheia, yang bertujuan
untuk membebaskan para hektamor dari hutang sekaligus membebaskan mereka dari status
sebagai budak di bidang pertanian. Tapi, Undangundang Siessachtheia sayangnya tidak
sampai pada proses distribusi. Tiberus Gracchus (134 SM), salah seorang anggota legislator
di Romawi Kuno berhasil menggolkan Undang-Undang Agraria (lex agrarian). Inti dari UU
ini adalah penetapan batas maksimum penguasaan tanah, tanah diberikan kepada Negara lalu
dibagikan kepada petani kecil. Berbeda dengan yang terjadi di Inggris, gerakan “enclosure
movement” adalah proses pengaplingan tanahtanah pertanian dan padang pengembalaan yang
dulunya adalah tanah yang disewakan oleh umum, menjadi tanah-tanah individual.1
Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik
dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta
simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji
tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai
terbentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan wacana
untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini
disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturanperaturan di bidang ke-agraria-
an yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan
bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang
bagaimana rangkaian sejarah hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap
perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu
1
https://indoprogress.com/2017/09/pengantar -politik-agraria-memahami-peta-jalan-menujukeadilan-agraria.
dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum)
terhadap hukum agraria.
3
Urip Santoso, Hukum Agrarian, Kajian Komprehensif, Cetakan ke 6, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.11
4
I b i d, hlm. 5
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.5
E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, menyatakan: “hukum Agraria dalam arti
sempit sama dengan hukum tanah. Hukum agraria dan hukum tanaah menjadi bagian dari
Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang
diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang
agrarian, serta melakukan tugas tersebut”.
Hubungan hukum yang menyangkut pertaanahan dalam Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan dengan istilah “dikuasai” dapat dinyatakan secara normative sebagai hubungan
bersifat “Hukum Publik”. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA memuat
rincian kewenangan hak menguasai Negara, berupa kegiatan:
1. mengatur menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa.
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi,
air, dan ruang angkasa.
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukun antara orangorang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruangangkasa.
Rincian kewenangan mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan
dalam pasal 2 UUPA dapat dianggap kepastian hukum interpretasi aautentik mengenai hak
menguasai negara yang dimaksudkan oleh Undang-Undang dasar 1945 sebagai hukum yang
bersifat publik semata-mata. Dengan demikian tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai
pengartian dikuasai dalam pasal Undang-Undang dasar 1945.
Hukum tanah nasional, di samping siakui hak perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-
hak induvidual juga diakui unsur kebersamaan atas hak-hak atas tanah. Sifat pribadi hak-hak
individual dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat (2) UUPA menyatakan bahwa:
Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnyaa
baik bagi diri sendiri maupunkeluarganya.
Rumusan kata untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya menunjukkan sifat pribadi hak-hak atastana dalam kosepsi Hukum Tanah
Nasional. Oleh karena itu, Konsepsi Hukum TanahNasional, hak-hak atas tanah yang
indivisual berunsur pribadi juga mengandung norma unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan
5
Boedi Harsono, Hukum Agraia Indonesia, Jambatan, Jakarta, 2008, hlm.5
yang bersifat kemasyarakatan tersebut ada paada tiap hak atastanah, karena semua hak atas
tanah secara langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama.
6
Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif Penyelesaian konflik
Pertanahan di Luar Kodifikasi Huku Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 26
yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut undang- undang ini dan peraturan-peraturan hukum
lain yang lebih tinggi.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan
kepada perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga segara asing,
sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun
badan hukum publik. Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Wewenang Umum Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air
danruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain.
2. Wewenang Khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan
pertanian dan atau mendirikan bangunan, HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk
kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang dikelompokkkan
menjadi 3 bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA
masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU,
HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang Hak atas tanah yang akan
lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam
waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal
dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Dari segi asal tanahnya,
hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara.
Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah Negara, HP Atas Tanah Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Contoh: HGB Atas Tanah Hak Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah
Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh
UUPA untuk digunakan dan dimanfaatkan. Menurut Wantjik Saleh, dengan diberikannya hak
atas tanah, maka antara orang atau badan hukum itu telah tcrjalin suatu hubungan hukum,
dimana dapat dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah
kepada pihak lain.7
Pasal 22 ayat (2), Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA mengatur bahwa terjadinya hak atas tanah
salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah. Penetapan Pemerintah tersebut selain
dilakukan terhadap obyek tanah yang bukti haknya merupakan hak-hak lama (baik bekas hak
Barat maupun bekas Hak Adat) juga dilakukan terhadap obyek tanah yang statusnya berasal
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah
pemberian atau penetapan hak atas tanah kepada subyek hak baik perseorangan maupun
badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu.
BAB III
METODE PENELITIAN
9
Philipus M. Hadjon et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian
Administration Law), Gadjah Mada University Press, Cetakan Kesembilan, Yogyakarta, 2005
3.1. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan ialah penelitian hukum normatif, yaitu Yaitu metode yang
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan
dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet, studi pustaka ini juga dilakukan
untuk mencari informasi - informasi tentang teori, metode dan konsep yang relevan dengan
permasalahan. Sehingga dengan informasi-informasi tersebut dapat digunakan sebagai acuan
dalam penyelesaian masalah. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan mengunakan metode deskriptif, yaitu metode yang memusatkan dan fokus
pada penguraian permasalahan, pemaparan, penafsiran, dan juga analisa sehingga diharapkan
akan menghasilkan kesimpulan berdasarkan bahan-bahan hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Agraria
4.1.1. Pengertian Agraria
Kata “Agraria” menurut Boedi Harsono, berasal dari kata agrarius, ager (Latin) atau agros
(Yunani), Akker (Belanda) yang artinya tanah pertanian.
Boedi Harsono sendiri membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti
agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria.10 Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari
bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan,
persawahan, pertanian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,11 Agraria berarti urusan pertanian atau tanah
pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris
agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan
agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-
peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka
lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Hukum Agraria (dalam arti luas), yaitu bidang hukum positif yang mengatur unsur-unsur
sumber alam adan masing-masing unsur dijabarkan lebih lanjut dalam bidang hukum tertentu,
yang meliputi hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum
kehutanan dan hukum ruang angkasa (bukan dalam arti “space law”).
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti
tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum
Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan
kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari
hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada departemen Van
Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht, bagian agraria
pada kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian agraria, departemen agraria,
menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan agraria, direktur jenderal agraria,
direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian
demikian.Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang
10
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi Ketiga, 2005
angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang
dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan
dengan itu.Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat(1)). Dengan
demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan
bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.
12
H. Ali Achmad Chomzah, Op. Cit., Hlm. 3.
13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.
8.
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi bagian dari
hukum tata usaha negara karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi,
air dan ruang angkasa yang melibatkan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
lazimnya disebut sumber daya alam (SDA). Oleh karenanya pengertian hukum agraria
menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu
kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya
alam.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum
Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang
dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah,
yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang
angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-
perturan hukum lain yang lebih tinggi.
15
Arie Sukanti Sumantri, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Pidato Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai
Sidang Universitas Indonesia Depok, Rabu 17 September 2003, Hal 7. Lihat Konsideran UUPA butir a dan c.
Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal
53 (UUPA).
1. Wakaf tanah hak milik.
2. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan).
3. Hak milik atas satuan rumah susun.
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri
populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang cenderung pro-kapital
yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi; yang pada suatu saat lebih
cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah pertumbuhan
ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.16
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan9 mengemukakan bahwa sejak berlakunya
KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang
berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam
hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali
tentang hipotik. Dengan demikian, pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah
merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja
yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5
UUPA).17
16
Maria S.W. Sumardjono Loc. Cit.
17
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada
Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996, hlm. 67.
18
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005.
1. Contingenten. Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni
tanpa dibayar sepeser pun.
2. Verplichte leveranten. Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para
raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang
harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-
benar tidak bisa berbuat apaapa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten. Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
4. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811), Awal dari
perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga
menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat
Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri.
Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah
eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah
eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :
1. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-
kepala kampung/desa.
2. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk.
3. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk.
4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar.
5. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan. Hak untuk mengharuskan
penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam
seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Pada masa Rafles
semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom
government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak bumi.
Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa
disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai
akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula
kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat
itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan
pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka
sendiri. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai
berikut :19
1. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa
yang wajib dibayar oleh tiap petani.
2. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan
tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah.
Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani yang bersangkutan
tidak mauatau tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang
bersangkutan akan dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
3. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang
menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak
tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang
menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.
Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch. Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal
van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa
atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu
yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu
itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan
tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu
tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian
telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar.
Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup
luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu
yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah
menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanahtanah negara nyang
19
Ibid.
masih kosong.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat kita simpulkan hal – hal berikut :
Hukum Agraria dan Hukum Tanah mempunyai sifat yang sama yakni samasama mengatur
tentang hak penguasaan (tenure) yakni hak untuk berbuat sesuatu. Perbedaan hanya berada
pada lingkup objek yang diaturnya itu. Hukum Agraria mengatur hak penguasaan atas bumi,
air, dan ruang angkasa yang terkandung di dalamnya; sedangkan Hukum Tanah mengatur
Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Di dalam kenyataan pengajaran pendidikan tinggi
hukum di Indonesia, meskipun digunakan nama Mata Kuliah Hukum Agraria, namun isi dari
perkuliahan adalah Hukum Tanah. Hukum Agraria - yang utamanya bersumber pada UUPA -
sarat dengan ketentuan yang diarahkan untuk mentransformasikan masyarakat ke dalam suatu
“kehidupan baru”, yakni masyarakat yang lebih adil dan sejahtera melalui
penguasaan/pemilikan dan penggunaan tanah. Harapan tersebut masih belum terwujud
sepenuhnya mengingat banyak ketentuan pelaksanaan dari UUPA belum ditetapkan
Bahwa reformasi agraria saat ini berjalan sudah berjalan walaupun terkesan lambat. Hal
ini dibuktikan dengan masih jauhnya target penerbitan sertifikat hak atas tanah dibanding
dengan luas tanah yang ada di Republik Indonesia.Bahwa, masih tumpang tindihnya
peraturan hukum yang mengakibatkan pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun
tingkat kota/kabupaten tidak dapat berbuat apapun dalam hal bidang pertanahan didaerah
administrasinya masing – masing. Pemerintah pusat masih terkesan belum rela sepenuhnya
menyerahkan urusan dibidang pertanahan kepada pemerintah daerah.
5.2. Saran
Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena
terebatasan referisensi, dan keterbatsan ilmu yang di miliki. Untuk itu dari penulis menerima
kritik yang akan datang.dan saran dari peserta diskusi maupun dosen pembimbing untuk demi
baiknyaya tulisan kami di masa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal, dan Karya Ilmiah Ali, Mitra. Chidir. (1979). Yurisprudensi Yogyakarta.
Indonesia tentang Hukum Agraria. Binacipta. Bandung.
https://www.jurnalhukum.com/pengertian-hukum-agraria/
https://agbsosek.blogspot.com/2018/10/pengertian-agraria-menurut-ahli-dan.html
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/1b763d83146b7454cf32c0bac035c744.pdf
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996.
Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dalam Rangka Menyukseskan Pelita V,
Makalah Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989.
John Gilissen† , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994.
Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta , LP3ES, 2006. Suardi,
Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005.
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet.
Ke-2 2005.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan
II),
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Undang-undang Nomr 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-
pokok Agraria.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi
Ketiga, 2005
https://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/136022-T+28042-Pembaruan+hukum-Pendahuluan.pdf
https://lawofficeindonesia.com/2018/04/10/pengertian-hukum-agraria-dan-hukum-tanah/
Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005.
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9/1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.