Anda di halaman 1dari 32

SEJARAH dan PROSES LAHIRNYA HUKUM AGRARIA

MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM AGRARIA

( DOSEN : HENDRA RAZAK, S,.H, MH. )

OLEH:

VIVIAN DHEA SALSABILA

442010129

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS PELITA BANGSA

BEKASI

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Azza wa Jalla sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “sejarah dan proses

lahirnya hukum agraria” dengan baik.

Makalah ini disusun guna melengkapi salah satu tugas dalam dalam

matakuliah Hukum Agraria Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu

Pendidikan dan Humaniora Universitas Pelita Bangsa. Tentunya penulisan

makalah ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan

dan dukungan yang sangat besar sekali sehingga penulis dapat menyelesaikan

makalah ini dengan lancar. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih kepada Bapak Hendra Razak, SH.,MH., sehingga

penulisan makalah ini dapat diselesaikan.

Mengingat keterbatasan kemampuan diri penulis, penulis sadar bahwa

penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya saran

dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata penulis berharap semoga penulisan makalah ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua yang membaca, terutama untuk

perkembangan hasanah ilmu pengetahuan dikalangan akademisi, praktisi, serta

masyarakat umum.

Bekasi, 06 Juni 2022

Vivian Dhea Salsabila


442010129
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Dalam perkembangan manusia, reformasi agraria mempunyai sejarah yang panjang.
Sebagaimana yang disadari bersama, bahwa permasalahan dibidang pertanahan merupakan
masalah yang sulit, rumit dan sensitif. Reforma agraria muncul pertama kalinya di Yunani
Kuno, ketika Pemerintahan Solon (594 SM) berupaya membentuk pemerintahan demokrasi
dan berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siessachtheia, yang bertujuan
untuk membebaskan para hektamor dari hutang sekaligus membebaskan mereka dari status
sebagai budak di bidang pertanian. Tapi, Undangundang Siessachtheia sayangnya tidak
sampai pada proses distribusi. Tiberus Gracchus (134 SM), salah seorang anggota legislator
di Romawi Kuno berhasil menggolkan Undang-Undang Agraria (lex agrarian). Inti dari UU
ini adalah penetapan batas maksimum penguasaan tanah, tanah diberikan kepada Negara lalu
dibagikan kepada petani kecil. Berbeda dengan yang terjadi di Inggris, gerakan “enclosure
movement” adalah proses pengaplingan tanahtanah pertanian dan padang pengembalaan yang
dulunya adalah tanah yang disewakan oleh umum, menjadi tanah-tanah individual.1
Kajian terhadap Hukum Agraria sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan, baik
dalam bentuk buku-buku referensi, jurnal ilmiah dan di dalam seminar-seminar serta
simposium yang bertajuk Agraria. Tetapi kajian-kajian tersebut tidak begitu fokus mengkaji
tentang sejarah hukum agraria, bagaimana lahirnya hukum agraria di Indonesia sampai
terbentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Bahkan wacana
untuk mengamandemen Undang-undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dalam makalah ini
disebut UUPA, terus dilakukan guna menyesuaikan peraturanperaturan di bidang ke-agraria-
an yang sudah dianggap tidak mengakomodir perkembangan masyarakat. Ini membuktikan
bahwa hukum – khususnya hukum agararia – terus berkembang seiring dengan
perkembangan dan kebutuhan masayarakat, untuk itu diperlukan suatu kajian ilmiah tentang
bagaimana rangkaian sejarah hukum agraria Indonesia guna mengetahui setiap
perkembangan yang terjadi di bidang agraria. Dengan demikian setidaknya dari kajian itu

1
https://indoprogress.com/2017/09/pengantar -politik-agraria-memahami-peta-jalan-menujukeadilan-agraria.
dapat diperoleh bahan untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pembaharuan (hukum)
terhadap hukum agraria.

1.2. Latar Belakang Masalah


Substansi yang akan dibahas di dalam makalah singkat ini terfokus kepada sejarah hukum
agraria sebagai salah satu bagian yang integral dari sistem hukum Indonesia yang memiliki
peranan penting dalam upaya pembangunan masyarakat guna mewujudkan cita-cita dan
tujuan negara. perkembangan hukum agraria kedepan tidak akan terlepas dari proses dan
pergelutan yang melatarbelakangi lahirnya hukum agraria ini. Lebih lanjut kenapa
pendekatan sejarah hukum ini diperlukan, disebabkan beberapa alasan sebagai berikut :2
1. CFDR Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak, melainkan juga dalam
lintasan kala dan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil, yakni bentuk-
bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi norma-norma hukum itu sendiri
(sumber-sumber hukum materil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini seringkali hanya dapat dimengerti melalui sejarah
hukum. Henri De Page penulis sebuah karya penting perihal Traite Elementaire de Droit
Civil yang diterbitkan pada tahun-tahun 1930-1950, mengemukakan bahwa semakin ia
memperdalam studi hukum perdata, semakin ia berkeyakinan bahwa sejarah hukum, lebih
dahulu daripada logika dan ajaran hukum sendiri mampu menjelaskan mengapa dan
bagaimana lembaga-lembaga hukum kita mucul ke permukaan seperti keberadaannya
sekarang ini.
3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada hakikatnya
merupakan suatu pegangan penting bagi para yuris pemula untuk mengenal budaya dan
pranata umum.
4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi manusia terhadap
perbuatan semena-mena, bahwa hukum diletakkan dalam perkembangan sejarahnya serta
diakui sepenuhnya sebagai suatu gejala historis.

1.3. Identifikasi Masalah


Dari latar belakang masalah dapat disimpulkan identifikasi masalahnya adalah:
1. Pengertian agrarian dan hukum agrarian
2. Hukum tanah
2
John Gilissen† , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005,
3. Sejarah dari hukum agrarian sebelum tahun 1870 serta sesudah 1870
4. Sumber-sumber dari hukum agrarian

1.4. Batasan Masalah


1. Pembatasan suatu masalah digunakan untuk menghindari adanya penyimpangan maupun
pelebaran pokok masalah agar penelitian agar tercapai. Beberapa Batasan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
2. Ruang lingkup meliputi pengertian dari agrarian serta hukum agrarian, hukum tanah, dan
sejarah dari hukum agrarian Serta informasi yang disajikan yaitu mengenai sumber-
sumber dari hukum agrarian.
1.5. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam makalah ini
adalah :
1. Bagaimana proses lahirnya sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan terbentuknya
UUPA 1960 ?
2. Apa pengertian dari agrarian serta hukum agrarian?
3. Apa saja sumber-sumber dari hukum agrarian?
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Tanah
2.1.1. Pengertian Hukum Tanah
Konsepsi hukum tanah nasional dengan mengacu untuk mengembangkan pengertian yang
berssumber dari hak ulayat sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (2), serta memperhatikan Pasal
rumusan Pasal 1 Ayat (1) UUPA mengakui dan menempatkan hak bangsa sebagai hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi atas seluruh wilayah Indonesia yang sudah bersatu
sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain,
termasuk hak ulaayat dan hak-hak individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh
penjelasan umum secara langusng atau pun tidak langsung semuanya bersumber pada hak
bangsa. Hak bangsa yang meliputi semua tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia, di
samping mengandung unsur hukum public juga mengandung unssur privat.
Kendati demikian, dalam pengertian unsur public bahwa sumber-sumber alam yang
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu unsure pendukun utama dbagi
kelangsungan hidup dan peningkataan kemakmuran bangsa sepanjang masa dan potensi
sumber-sumber alam tersebut dianggap sebagai modal dasar pembangunan nasional.
Menurut Urip Santoso, hukum tanah adalah: keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis, yang semuanya mempunyai obyek pengaturan yang sama yaitu
hak penguasaan atas tanah lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang
konkret, beraspek public dan privat yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,
hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system.3
Ketetuan-ketentuan hukum tertulis hukum tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan
peraturan pelaksanannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai sumber hukum
utamanya, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum hukum tanah yang tidak tertulis bersumber
pada hukum adapt tentang tanah dan yuriprudensi tentang tanah sebagai sumber hukum
pelengkapnya.
Menurut Sudikno yang dikutip oleh Urip Santoso, hukum Agraria adalah kesluruhan
kadah-kaedaah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agrarian.4
Begitu juga pendapat Budi Harsono, hukum Agraria ialah “kaidah-kaidah hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air, dan dalam batas-batas

3
Urip Santoso, Hukum Agrarian, Kajian Komprehensif, Cetakan ke 6, Kencana, Jakarta, 2017, hlm.11
4
I b i d, hlm. 5
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.5
E. Utrecht yang dikutip oleh Boedi Harsono, menyatakan: “hukum Agraria dalam arti
sempit sama dengan hukum tanah. Hukum agraria dan hukum tanaah menjadi bagian dari
Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang
diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal tentang
agrarian, serta melakukan tugas tersebut”.
Hubungan hukum yang menyangkut pertaanahan dalam Undang-Undang Dasar 1945
dirumuskan dengan istilah “dikuasai” dapat dinyatakan secara normative sebagai hubungan
bersifat “Hukum Publik”. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA memuat
rincian kewenangan hak menguasai Negara, berupa kegiatan:
1. mengatur menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan
bumi, air, dan ruang angkasa.
2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi,
air, dan ruang angkasa.
3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukun antara orangorang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruangangkasa.
Rincian kewenangan mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan
dalam pasal 2 UUPA dapat dianggap kepastian hukum interpretasi aautentik mengenai hak
menguasai negara yang dimaksudkan oleh Undang-Undang dasar 1945 sebagai hukum yang
bersifat publik semata-mata. Dengan demikian tidak akan ada lagi tafsiran lain mengenai
pengartian dikuasai dalam pasal Undang-Undang dasar 1945.
Hukum tanah nasional, di samping siakui hak perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-
hak induvidual juga diakui unsur kebersamaan atas hak-hak atas tanah. Sifat pribadi hak-hak
individual dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan
keluarganya, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat (2) UUPA menyatakan bahwa:
Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang
sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnyaa
baik bagi diri sendiri maupunkeluarganya.
Rumusan kata untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya menunjukkan sifat pribadi hak-hak atastana dalam kosepsi Hukum Tanah
Nasional. Oleh karena itu, Konsepsi Hukum TanahNasional, hak-hak atas tanah yang
indivisual berunsur pribadi juga mengandung norma unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan
5
Boedi Harsono, Hukum Agraia Indonesia, Jambatan, Jakarta, 2008, hlm.5
yang bersifat kemasyarakatan tersebut ada paada tiap hak atastanah, karena semua hak atas
tanah secara langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama.

2.1.2. Pengertian Tanah


Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspekmya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tyanah sebagai bagian dariu bumi disebut dalam Pasaal 4 Ayat (1) UUPA, yaiu
atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasaal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orangorang lain sedrta badan-badan hukum. Demikian, jelaslah bahwa tanah dalam
pengertian yuridis adalah permukaan bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1)
UUPA. Hak tanah mencakup hak atas sebagian tertentu yang terbatas di permukaan bumi.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hakhak yang disediakan ole UUPA
untuk digunakan dan dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyai tanah dengan hak-hak
tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas pad tanah sebagai permukaan
bumi saja.6
Menurut Parlidungan yang dikutip oleh Hambaali Thalib, tanah hanya merupakan salah
satu bagian dari bumi.
Pembatan pengertian tanaah dengan permukaan bumi diatur dalam penjelasan pasal
UUPA sebagaimanaa tertuang dalam Pasal 1 bagian II angka 1 bahwa yang dimaksud dengan
tanah ialah permukaan bumi. Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan tanah ialah bagian permukaan bumi termasuk tubuh bumi di bawahnya
sedrta yang berada di bawah air yang langsung dikuasai oleh Negara atau dipunyai dengan
sesuatu hak oleh perorangan atau badan hukum.
2.1.3. Subjek Hak Milik Atas Tanah
Pasal 4 ayat (1) UUPA Menjelaskan bahwa Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam- macam hak atas permukaan
bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang- orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain serta badan- badan hukum. Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah

6
Hambali Thalib, Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif Penyelesaian konflik
Pertanahan di Luar Kodifikasi Huku Pidana, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 26
yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut undang- undang ini dan peraturan-peraturan hukum
lain yang lebih tinggi.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan
kepada perseorangan baik warga negara Indonesia mapupun warga segara asing,
sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun
badan hukum publik. Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Wewenang Umum Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air
danruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan
peraturan-peraturan hukum lain.
2. Wewenang Khusus Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas
tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan
pertanian dan atau mendirikan bangunan, HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk
kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang dikelompokkkan
menjadi 3 bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA
masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU,
HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang Hak atas tanah yang akan
lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam
waktu yang singkat akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal
dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Dari segi asal tanahnya,
hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara.
Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah Negara, HP Atas Tanah Negara.
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain.
Contoh: HGB Atas Tanah Hak Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah
Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh
UUPA untuk digunakan dan dimanfaatkan. Menurut Wantjik Saleh, dengan diberikannya hak
atas tanah, maka antara orang atau badan hukum itu telah tcrjalin suatu hubungan hukum,
dimana dapat dilakukan perbuatan hukum oleh yang mempunyai hak itu terhadap tanah
kepada pihak lain.7
Pasal 22 ayat (2), Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA mengatur bahwa terjadinya hak atas tanah
salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah. Penetapan Pemerintah tersebut selain
dilakukan terhadap obyek tanah yang bukti haknya merupakan hak-hak lama (baik bekas hak
Barat maupun bekas Hak Adat) juga dilakukan terhadap obyek tanah yang statusnya berasal
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah
pemberian atau penetapan hak atas tanah kepada subyek hak baik perseorangan maupun
badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu.

2.1.4. Kegiatan Pendaftaran Tanah


Menurut Pasal 19 Ayat (2) UUPA, kegiatan pendaftaran taanah yang dilakukan oleh
pemerintah , meliputi: Pengukuran , perpetaan, dan pembukuan tanah, Pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peraalihan hak-hak tersebut, Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat.
Kegiatan pendaftaran tanah dalam Pasal 19 Ayat (2) UUPA didasarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu: Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali, Yang dimaksud pendaftaran untuk pertama kali adalaah kegiataan pendaftaran tanah
yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yangbelu didaftar berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Pasaal 1 angka
9.
A. Pendaftaran tanah pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara
sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanda untuk pertaama
kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang
belum didaftarkan dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997). Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan
7
Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, op. cit, hlm. 15.
pada suatu rencanakerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri
Negera Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik. Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dibantu oleh Panitia Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pendaftaran tanah
secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan
secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintaaah No. 24 Tahun 1997).
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi:
1. Pengumpulan dan Penolahan data fisik Untuk keperluan pengumpulan dan pengolahan
data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan. Kegiatannya meliputi: Pembuatan
peta dasar pendaftaran, Penetapan batas bidang-bidang tanah, Pengukuran dan pemetaan
bidang-bidang tanah dan pembuatan petaa pendaftaran, Pembuatan daftar tanah, dan
Pembuatan surat ukur.
2. Pembuktian Hak dan Pembukuannya. Kegiatannya, meliputi: Pembuktian hak baru,
Pembuktian hak lama, Pembukuan hak, penerbitan sertifikat, Penyajian data fisik dan data
yuridis, dan Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
B. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah
Yang dimaksud dengan pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, data tanah,
daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi
kemudian (Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997).
Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakuakn apabila terjadi perubahan pada data fisik
atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. Pemegang yanag bersangkutan
wajib mendaftarkan perubahan data fisik dan data yuridis tersebut kepada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Buku tanah adalah dokumen
dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah
yang sudah ada haknya (Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997).
Kegiatan pemeliharaan dan pendaftaran tanah terdiri atas:
1. Pendaftaran peralihan dan pendaftaran tanah, terdiri atas:
a. pemindahan hak.
b. pemindahan hak dengan lelang.
c. peralihan hak karena pewarisan.
d. peralihak hak karena penggabungan atas peleburan perseroan atau koperasi.
e. pembebasan hak.
f. penolakan pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.
g. Pendaftaaraan perubahan data pendaftaran tanah, meliputi:
h. perpajangan jangka waktu hak atastanah.
i. pemecahan, pemisahan, daan penggabungan bidang tanah.
j. pembagian hak bersama.
k. hapusnya atau tanah dan hak milik atau satuan rumah susun’.
l. peralihan dan hapusnya hak tanggungan.
m. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan stsu penetapan pengadilan
n. peruahan nama.
Perubahan data yuridis dapat berupa:
1. peralihan hak karena juala beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan
perbuatan hukum pemindaahan hak lainnya.
2. peralihan hak karena pewarisan.
3. peralihak hak karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi.
4. pembebanan hak tanggungan; e. peralihak hak tanggungan.
5. hapusnya hak atas tanah, hak pengelolaan, hak milik atas satuan rumah sussun dan hak
tanggungan.
6. pembagian hak bersama; h. perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan
pengadilan atau penetapan Ketua Pengadilan.
7. perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama.
8. perpanjangan jangka waktu hak atau tanah.
Perubahan data fisik dapat berupa:
1. pemecahan bidang tanah.
2. pemisahan sebagian atau beberapa bagian dari bidang taanah.
3. penggabungan dua atau lebih bidang tanah.

2.2. Perlindungan Hukum


2.2.1. Dasar Hukum Hak Atas Tanah
Hak menguasai dari Negara adalah sebutan yang diberikan oleh UUPA lembaga hukum konkret
antara Negara dan tanah imdonesia , yang isi dan tujuanyna dalam pasal 2 ayat 1,2,3 dan 4 sebagai
berikut :
1. Atas dasar kesatuan dalam pasal 33 ayat 3 undang-undang dasar 1945 dan hal-hal
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 , bumi , air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu , pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi,
air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi air dan luar angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara terssebut pada ayat 2 pasal ini,
digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan ,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-
daerah swantara dan masyarakat-masyarakat hokum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan
pemerintah.
Pengaturan tentang penggunaan tanah ini, pertama kali dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 ayat (2)
UUPA menentukan sebagai berikut: “Hak menguasai negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
perbuatan-perbuatan hukum yang menganai bumi, air dan ruang angkasa.

2.2.2. Konsep Perlindungan Hukum


Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku
antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.8
Konsep perlindungan hukum sangat erat kaitannya dengan konsep negara hukum dan juga
konsep pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Konsep pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia memberikan isinya dan konsep rechtstaat dan
8
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung , 2000, hlm..53
rule of law memberikan sarananya.9
Menurut Phillipus M Hadjon, prinsip perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia adalah
prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber
pada Pancasila dan prinsip-prinsip negara hukum Pancasila.
Dalam negara yang menganut prinsip negara hukum salah satu cirinya adalah adanya
jaminan secara konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia, dimana perlindungan hukum
atas warga negara juga termasuk di dalamnya. Jadi perlindungan hukum dalam hal ini suatu
aturan yang menjamin agar suatu hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum
lainnya dan atau obyek hukumnya berjalan berdasarkan peraturan dalam kehidupan bersama.

BAB III
METODE PENELITIAN
9
Philipus M. Hadjon et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction To The Indonesian
Administration Law), Gadjah Mada University Press, Cetakan Kesembilan, Yogyakarta, 2005
3.1. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan ialah penelitian hukum normatif, yaitu Yaitu metode yang
dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan
dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet, studi pustaka ini juga dilakukan
untuk mencari informasi - informasi tentang teori, metode dan konsep yang relevan dengan
permasalahan. Sehingga dengan informasi-informasi tersebut dapat digunakan sebagai acuan
dalam penyelesaian masalah. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan mengunakan metode deskriptif, yaitu metode yang memusatkan dan fokus
pada penguraian permasalahan, pemaparan, penafsiran, dan juga analisa sehingga diharapkan
akan menghasilkan kesimpulan berdasarkan bahan-bahan hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Agraria
4.1.1. Pengertian Agraria
Kata “Agraria” menurut Boedi Harsono, berasal dari kata agrarius, ager (Latin) atau agros
(Yunani), Akker (Belanda) yang artinya tanah pertanian.
Boedi Harsono sendiri membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti
agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria.10 Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal dari
bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan,
persawahan, pertanian.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,11 Agraria berarti urusan pertanian atau tanah
pertanian, juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris
agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian. Sebutan
agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-
peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka
lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Hukum Agraria (dalam arti luas), yaitu bidang hukum positif yang mengatur unsur-unsur
sumber alam adan masing-masing unsur dijabarkan lebih lanjut dalam bidang hukum tertentu,
yang meliputi hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, hukum
kehutanan dan hukum ruang angkasa (bukan dalam arti “space law”).
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti
tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum
Agraria di lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan
perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan
kebijakannya di bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari
hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada departemen Van
Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan Engelbrecht, bagian agraria
pada kementerian dalam negeri, menteri agraria, kementerian agraria, departemen agraria,
menteri pertanian dan agraria, departemen pertanian dan agraria, direktur jenderal agraria,
direktorat jenderal agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian
demikian.Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang

10
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
11
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi Ketiga, 2005
angkasa. Yaitu ruang di atas bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang
dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan
dengan itu.Pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat(1)). Dengan
demikian pengertian tanah meliputi permukaan bumi yang ada di daratan dan permukaan
bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut.

4.1.2. Pengertian Hukum Agraria


Pengertian agraria secara luas dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, meliputi
bumi, air dan ruang angkasa. Bumi meliputi permukaan bumi, tubuh bumi di bawahnya, dan
yang berada di bawah air (Pasal 1 ayat (4) UUPA).Air meliputi perairan pedalaman maupun
laut wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5) UUPA).Ruang angkasa adalah ruang di atas bumi
dan air (Pasal 1 ayat (6) UUPA).
Pengertian agraria secara sempit dapat kita temukan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu
tanah.12 Menurut Boedi Harsono, pengertian Hukum Agraria dalam UUPA bukan hanya satu
perangkat bidang hukum, melainkan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-
masing mengatur hak penguasaan atas sumber1sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian ‘agraria’ sebagai yang 1 diuraikan dalam UUPA. Kelompok bidang hukum
tersebut meliputi:13
Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;
1. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
2. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahanbahan galian yang
dimaksudkan oleh UU Pokok Pertambangan.
3. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang
terkandung di dalam air.
4. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa (bukan “Space
Law”), yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang
angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA.
5. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan.

12
H. Ali Achmad Chomzah, Op. Cit., Hlm. 3.
13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kesembilan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.
8.
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadi bagian dari
hukum tata usaha negara karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi,
air dan ruang angkasa yang melibatkan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria.
Daripada itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana
lazimnya disebut sumber daya alam (SDA). Oleh karenanya pengertian hukum agraria
menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu
kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya
alam.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum
Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang
dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah,
yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang
angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-
perturan hukum lain yang lebih tinggi.

4.1.3. Hukum Tanah


Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Penegasan lebih
lanjut tentang hal tersebut diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).14 Sesuai dengan
sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan
sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran
tentang pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan
masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial
budaya.
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling luar berdimensi
dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya
yang disebut dengan hak-hak penguasaan atas tanah. Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jakarta: Penerbit
14

Kompas, 2008, Hal vii.


yang nyata yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia
yang disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu,
melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek
perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki
dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Yang dimaksud dengan hak atas tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau
mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA,
kepada pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya sekedar diperlukan
untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-
batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria
(UUPA) yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945, merupakan undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas)
tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan
perwujudan dari sila-sila Pancasila.2 Kebutuhan suatu hukum agraria yang menjamin
kepastian dan perlindungan hukum hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak sehingga
pada tanggal 24 September 1960 ditetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Undang-undang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut
unifikasi hukum dan berdasarkan hukum adat. UUPA secara tegas merumuskan falsafah yang
mendasari adalahnya falsafah hukum adat dan falsafah Pancasila. 15 Sedangkan konsepsi
UUPA yang mendasari pembentukannya dapat ditelusuri melalui perumusan konsideran,
pasal-pasal dan penjelasan serta riwayat pembentukannya.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
Hak bangsa Indonesia atas tanah,Hak menguasai negara atas tanah, Hak ulayat masyarakat
hukum adat, Hak-hak perseorangan, Hak-hak atas tanah, Hak milik atas Hak guna usaha, Hak
guna bangunan, Hak pakai, Hak sewa, Hak membuka tanah, dan Hak memungut hasil hutan.

15
Arie Sukanti Sumantri, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Pidato Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai
Sidang Universitas Indonesia Depok, Rabu 17 September 2003, Hal 7. Lihat Konsideran UUPA butir a dan c.
Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal
53 (UUPA).
1. Wakaf tanah hak milik.
2. Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan).
3. Hak milik atas satuan rumah susun.
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri
populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang cenderung pro-kapital
yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi; yang pada suatu saat lebih
cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah pertumbuhan
ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.16
Dalam bukunya, Djuhaendah Hasan9 mengemukakan bahwa sejak berlakunya
KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang
berlaku dewasa itu (masih dualistis) pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam
hukum pertanahan yaitu sebelum UUPA. Sejak berlakunya UUPA, maka ketentuan Buku II
KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan di dalamnya telah dicabut, kecuali
tentang hipotik. Dengan demikian, pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah
merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja
yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat (lihat Pasal 5
UUPA).17

4.2. Sejarah Hukum Agraria


4.2.1. Sebelum Tahun 1870 (pada masa VOC “Vernigde Oost Indische Campagnie”
VOC didirikan pada tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna
menghindari persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang
ditetapkan oleh VOC, antara lain :18

16
Maria S.W. Sumardjono Loc. Cit.
17
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat Pada
Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996, hlm. 67.
18
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2, 2005.
1. Contingenten. Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni
tanpa dibayar sepeser pun.
2. Verplichte leveranten. Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para
raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang
harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-
benar tidak bisa berbuat apaapa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten. Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
4. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811), Awal dari
perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga
menimbulkan tanah partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat
Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri.
Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah
eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah
eigendom lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :
1. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-
kepala kampung/desa.
2. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk.
3. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk.
4. Hak untuk mendirikan pasar-pasar.
5. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan. Hak untuk mengharuskan
penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam
seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.
Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Pada masa Rafles
semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom
government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak bumi.
Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa
disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar memakai dan
menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai
akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya beralih pula
kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat
itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan
pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka
sendiri. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai
berikut :19
1. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa
yang wajib dibayar oleh tiap petani.
2. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan
tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah.
Dapat dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani yang bersangkutan
tidak mauatau tidak mempu membayar pajak tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang
bersangkutan akan dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.
3. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang
menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak
tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang sanggup dibayarlah yang
menentukan luas tanah yang boleh dikuasai seseorang.
Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch. Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal
van den Bosch menetapkan kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa
atau Cultuur Stelsel.
Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu
yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu
itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan
apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan
tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu
tahun. Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian
telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar.
Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup
luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu
yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah
menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa adalah tanahtanah negara nyang

19
Ibid.
masih kosong.

4.2.2. Sesudah tahun 1870 (Hukum tanah administrasi Belanda)


1. Agrarische Wet (AW)
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok penting dari hukum
agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai
permulaan hukum agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah
sebagai respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang
pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya harus
dijamin.
AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870,
dengan di undangkan dalam S.1870-55. dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan
Pasal 62 RR, yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut
sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8. pada akhirnya
Pasal62 RR ini menjadi Pasal 51 IS. Pasal 51 IS ini memuat :
Ayat (1) : Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
Ayat (2) : Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang
diperuntukan perluasan kota dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/industri.
Ayat (3) : Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dnegan ketentuan yang ditetpakan
dengan ordonansi. Ada pun tanah-tanah yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli, atau yang dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan umum
atau atas dasar lainnya tidak boleh dipersewakan.
Ayat (4) : Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi diberikan tanah
dengan Hak Erfacht selama waktu tidak lebih dari 75 tahun.
Ayat (5) : Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai ada penberian Hak yang melanggar
Hak penduduk asli.
Ayat (6) : Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanahtanah yang telah dibuka oleh
orang-orang Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri, atau tanah-tanah
kepunyaan desa sebagai tempatpengembalaan umum atas dasar lainnya, kecuali
untuk kepentingan umum berdasrkan Pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan
tanaman yang diselenggarakan atas perintah atasan dengan pemberian ganti rugi
atas tanah.
Ayat (7) : Tanah yang dipunyai oleh orang-orang Indonesia asli dengan Hak Milik (hak
pakai perseorangan yang turun temurun) atas permintaan pemiliknya yang syah
diberikan kepadanya dengan hak eigendom dengan pembatasan-pembatasan
seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat
eigendomnya, yakni mengenai kewajibankewajiban terhadap negara dan desa
serta wewenang untuk menjualnya kepada bukan orang Indonesia asli.
Ayat (8) : Menyewakan tanah-tanah atau menyerahkan tanah untuk dipakai oleh orang-orang
Indonesia asli, kepada bukan orang Indonesia asli dilakukan menurut peraturan-
peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi.
Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri
Belanda yang karenan keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya
memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan
tana hutan di jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya
kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Sejalan dengan semangat
liberalisme yang sedang berkembang dituntut pengantian sisten monopoli negara dan kerja
paksa dalam melaksanakan cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja
bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa dengan tujuan bisnis
tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein
di negeri Belanda, yang mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani
Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan cuktuur stelsel oleh
para pejabat yang bersangkutan.
Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kmeungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindi
Belanda.
Selain itu AW juga bertujuan untuk : Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal
besar dengan jalan, Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yangberjangka
waktu lama, sampai 75 tahun, Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk
menyewakan tanah adat/rakyat, Melindungi hak-hak tanah rakyat asli, Memberikan kepada
rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru (Agrarische eigendom). Untuk pelaksanaan AW
tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam
Agrarische Besluit.
2. Agrarische Besluit (AB)
Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjutan dalam peraturan dan
keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam
Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB),
S.1870-118.
AB terdiri dari tiga bab, yaitu:
1. Pasal 1-7 tentang hak atas tanah.
2. Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah.
3. Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.
Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang sangat penting bagi
perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah administratif Hindi Belanda. Asas tersebut
dinilai sebagai kurang menghargai , bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas tanah yang
bersumber pada hukum adat.
Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut:20 “Behoudens opvolging van de tweede en derde
bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet
anderen reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is”.
AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB
tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku
untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga
untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang
diundangkan dalam S.1875-119a. Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk
memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satusatunya penguasa yang
berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan
adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi Belanda dibagi menjadi dua jenis,
yaitu:
1. Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak
penduduk bumi putera.
2. Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak
penduduk maupun desa.
3. Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :
4. Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat seperti yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal,
dan hak erfacht.
5. Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara
tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi piha lainlah yang wajib
20
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8, 1999, hlm. 41 dst.
membuktikan haknya.
Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum
adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570
BW, maka denga sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara
(domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda,
adalah tanah-tanah seperti Tanah-tanah daerah swapraja, Tanah-tanah yang menjadi
eigendom orang lain, Tanah-tanah partikulir, Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische
eigendom).
3. Erfacht Ordonantie
Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut, menurut AW harus
diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan
mengenai hak erfacht, yaitu :
1. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : Agrarische Besluit (S.1870-
118) Pasal 9 sampai dengan17, dan Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa
kali mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali dan diundangkan
dalam S.1913-699.
2. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula ada beberapa
ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian hak erfacht yang berlaku di daerah-
daerah tertentu, S.1874f untuk Sumatera, S.1877-55 untuk keresidenan Manado, dan
S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo. Dalam tahun 1914 diundangkan
satu ordonansi utnuk semua daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam
S.1914-367 Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan “Erfachtordonantie
Buitengewesten”. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali Pasal 1-nya
masing-masing.
3. Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa : Diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan
erfachtordonantie Zelfbesturende Landschappen Buitengewesten. Berlakunya di
masingmasing swapraja menurut petunjuk Gubernur Jenderal. Sebelum adanya ordonansi
itu di daerah-daerah swapraja di luar Jawa tidak diberikan hak erfacht, melainkan hak
konsesi untuk perusahaan kebun besar. Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun
besar diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami perubahan-perubahan menjadi :
Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta
dan Yogyakarta, dan Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku di
daerah swapraja Surakarta dan Yogyakarta.
4. Agrarische Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16 April 1872, Nomor :
29, mengenai hak agrarische eigendom. Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah
suatu hak yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu
hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik untuk
membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih lanjut dalam Pasal 4
AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117)
dan S. 1837-38. berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom
dijelaskan di bawah ini, yaitu:
1. Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak milik atas
tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka pemohonannya harus
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, agar ia ditetapkan sebagai
pemiliknya. Inilah yang disebut : uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini
hanya mungkin apabila tanahnya di lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak
lain.
2. Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang bersangkutan untuk
memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang merasa berkepentigan akan mengajukan
keberatan-keberatan terhadap permohonan uitwijzing van erfelijk individucel
gebbruikrecht di atas.
3. Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka agrarische
eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang bersangkutan bertindak
untuk dan atas nama pemberian gubernur jenderal.
4. Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka Agrarische
eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan sebagaimana dimuat dalam
S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan mendapat surat tanda bukti hak.
5. Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan di Kantor
Pengadilan Negeri.
Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk memberikan kepada
orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan
haknya dapat dibebani dengan hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk
menggantikan hak miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak
dipergunakan.
4.3. Sumber-Sumber Hukum Agraria
4.3.1. Sumber Hukum Tertulis
1. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Dalam Pasal 33 ayat (3)
ditentukan : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
2. Undang-undang Pokok Agraria. Undang-undangg ini dimuat dalam Undang-undang
Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, tertanggal 24
September 1960 diundangkan dan dimuat dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
3. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria : Peraturan pelaksanaan UUPA,
Pertauran yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan tetapi diperlukan dalam praktik.
4. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan peraturan/Pasal Peralihan, masih
berlaku.

4.3.2. Sumber-sumber Hukum Tidak Tertulis


1. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya : Yurisprudensi, Praktik
agraria.
2. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-cacatnya telah
dibersihkan.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat kita simpulkan hal – hal berikut :
Hukum Agraria dan Hukum Tanah mempunyai sifat yang sama yakni samasama mengatur
tentang hak penguasaan (tenure) yakni hak untuk berbuat sesuatu. Perbedaan hanya berada
pada lingkup objek yang diaturnya itu. Hukum Agraria mengatur hak penguasaan atas bumi,
air, dan ruang angkasa yang terkandung di dalamnya; sedangkan Hukum Tanah mengatur
Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT). Di dalam kenyataan pengajaran pendidikan tinggi
hukum di Indonesia, meskipun digunakan nama Mata Kuliah Hukum Agraria, namun isi dari
perkuliahan adalah Hukum Tanah. Hukum Agraria - yang utamanya bersumber pada UUPA -
sarat dengan ketentuan yang diarahkan untuk mentransformasikan masyarakat ke dalam suatu
“kehidupan baru”, yakni masyarakat yang lebih adil dan sejahtera melalui
penguasaan/pemilikan dan penggunaan tanah. Harapan tersebut masih belum terwujud
sepenuhnya mengingat banyak ketentuan pelaksanaan dari UUPA belum ditetapkan
Bahwa reformasi agraria saat ini berjalan sudah berjalan walaupun terkesan lambat. Hal
ini dibuktikan dengan masih jauhnya target penerbitan sertifikat hak atas tanah dibanding
dengan luas tanah yang ada di Republik Indonesia.Bahwa, masih tumpang tindihnya
peraturan hukum yang mengakibatkan pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun
tingkat kota/kabupaten tidak dapat berbuat apapun dalam hal bidang pertanahan didaerah
administrasinya masing – masing. Pemerintah pusat masih terkesan belum rela sepenuhnya
menyerahkan urusan dibidang pertanahan kepada pemerintah daerah.
5.2. Saran
Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena
terebatasan referisensi, dan keterbatsan ilmu yang di miliki. Untuk itu dari penulis menerima
kritik yang akan datang.dan saran dari peserta diskusi maupun dosen pembimbing untuk demi
baiknyaya tulisan kami di masa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Karya Ilmiah Ali, Mitra. Chidir. (1979). Yurisprudensi Yogyakarta.
Indonesia tentang Hukum Agraria. Binacipta. Bandung.

https://www.jurnalhukum.com/pengertian-hukum-agraria/
https://agbsosek.blogspot.com/2018/10/pengertian-agraria-menurut-ahli-dan.html
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/1b763d83146b7454cf32c0bac035c744.pdf
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996.
Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dalam Rangka Menyukseskan Pelita V,
Makalah Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989.
John Gilissen† , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994.
Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta , LP3ES, 2006. Suardi,
Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005.
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet.
Ke-2 2005.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan
II),
Raja Grafindo Persada, Jakarta. Undang-undang Nomr 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-
pokok Agraria.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi
Ketiga, 2005
https://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/136022-T+28042-Pembaruan+hukum-Pendahuluan.pdf
https://lawofficeindonesia.com/2018/04/10/pengertian-hukum-agraria-dan-hukum-tanah/
Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005.

Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet. Ke-2 2005.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.9/1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Anda mungkin juga menyukai