Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

TINJAUAN YURIDIS KEGIATAN REFORMA AGRARIA DI


INDONESIA

Dosen Pengampu :
Rahmat Ramdhani, S.H., M.H

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Ketua : Eti Sulastri Marbun 2106200463


Anggota : 1. Dhea Audri Susanti 2106200459
2. Fazira Naufa Azhari Dmk 2106200460
3. Bayu Agung Pramudia 2106200462
4. Reffy Widya Citra 2106200464
5. Tasya Nabila Darmanto 2106200465

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA


MEDAN

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Hukum Pertanahan dengan Judul “Tinjauan Yuridis Kegiatan Reforma Di
Indonesia”.
Hadirnya makalah ini merupakan suatu bentuk upaya untuk menggali dan
menganalisis isu yang relevan dan penting dalam konteks yang kita hadapi saat
ini. Reforma agraria, yang telah menjadi perhatian utama di Indonesia, adalah
topik yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam. Melalui
makalah ini, kami berusaha untuk menjelajahi aspek yuridis dari reforma agraria
di Indonesia, menganalisis tantangan yang dihadapi, dan mengidentifikasi potensi
solusi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Makalah ini didasarkan pada tinjauan literatur yang mendalam dan analisis
yang cermat, dengan mempertimbangkan kerangka hukum yang ada dan
kebijakan yang telah diadopsi. Kami berharap makalah ini dapat menjadi
kontribusi yang berharga dalam mendorong diskusi dan pemikiran lebih lanjut
tentang pentingnya reforma agraria dalam mencapai pembangunan berkelanjutan
di Indonesia.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini dan kepada pembaca yang telah
meluangkan waktu untuk membaca makalah ini, terutama kepada dosen
pengampu mata kuliah Hukum Pertanahan Bapak Rahmat Ramadhani, S.H., M.H.
Tanpa bantuan dan dukungan dari semua pihak maka makalah ini tidak dapat
mencapai proses akhir penulisan. Semoga makalah ini dapat memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang isu penting ini dan mendorong langkah-
langkah nyata menuju reforma agraria yang adil dan berkelanjutan di Indonesia.

Medan, 23 Juni 2023


Kelompok 2
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata agraria berasal dari bahasa latin “ager” yang berarti tanah atau
sebidang tanah. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria
berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Sementara dalam bahasa Inggris agrarian yang diartikan tanah untuk usaha
pertanian. Menurut Andi Hamzah (1986), menyatakan bahwa agraria
merupakan masalah tanah dan semua yang ada di dalam dan di atasnya.
Sementara Subekti dan R. Tjitrosoedibio (1986) menyatakan bahwa agraria
ialah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.
Sedangkankan dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 yang selanjutnya di sebut
UUPA tidak di nyatakan secara jelas hanya memberikan ruang lingkup
agrariayang termaktub dalam konsideran berpendapat bahwa bumi, air dan
ruang angkasa yang terkandung di dalamnya (BARAKA).1
Reforma agraria di Indonesia merujuk pada upaya untuk mengatasi
ketidakadilan dalam kepemilikan dan distribusi lahan pertanian. Beberapa
faktor penting yang mencakup tinjauan yuridis terhadap reforma agraria di
Indonesia :
1. Sejarah Kolonialisme: Indonesia mengalami masa kolonialisme selama
berabad-abad, di mana kebijakan tanah yang tidak adil diterapkan oleh
pemerintahan kolonial Belanda. Tanah-tanah diambil alih oleh
perusahaan-perusahaan Belanda dan penduduk pribumi kehilangan akses
terhadap lahan pertanian mereka.
2. Pertumbuhan Penduduk: Populasi Indonesia yang terus meningkat
memberikan tekanan besar pada lahan pertanian. Pertumbuhan penduduk
yang cepat menghasilkan permintaan lahan yang lebih besar untuk
pemukiman, industri, dan infrastruktur, menyebabkan peminggiran
1
Dr. Isnaini, SH, M.Hum dkk,/Hukum Agrari: Kajian Komprehensif/,(Medan: CV. Pustaka Prima
(Anggota Ikapi),2022),hlm.17.
petani dan terjadinya konflik atas kepemilikan lahan.
3. Ketimpangan Pemilikan Lahan: Mayoritas lahan pertanian di Indonesia
dikuasai oleh sejumlah kecil pemilik yang kaya. Sementara itu, sebagian
besar petani kecil hanya memiliki akses terbatas atau bahkan tidak
memiliki lahan sama sekali. Ketimpangan ini menciptakan ketidakadilan
sosial dan ekonomi yang signifikan.
4. Konflik Agraria: Ketidakadilan dalam kepemilikan lahan sering memicu
konflik agraria di Indonesia. Konflik ini melibatkan berbagai pihak,
termasuk petani, perusahaan besar, pemerintah, dan masyarakat adat.
5. Perubahan Kebijakan Agraria: Beberapa upaya reforma agraria telah
dilakukan, seperti program redistribusi tanah, pengakuan hak masyarakat
adat, dan pembentukan badan-badan yang bertanggung jawab atas
regulasi dan pengawasan sektor pertanahan.

Dalam perkembangan manusia, reformasi agraria mempunyai sejarah


yang panjang. Sebagaimana yang disadari bersama, bahwa permasalahan
dibidang pertanahan merupakan masalah yang sulit, rumit dan sensitif.
Reforma agraria muncul pertama kalinya di Yunani Kuno, ketika
Pemerintahan Solon (594 SM) berupaya membentuk pemerintahan demokrasi
dan berhasil melahirkan undang-undang yang dikenal dengan Siessachtheia,
yang bertujuan untuk membebaskan para hektamor dari hutang sekaligus
membebaskan mereka dari status sebagai budak di bidang pertanian. 2 Tapi,
Undang-undang Siessachtheia sayangnya tidak sampai pada proses distribusi.
Tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan salah satu
sumber daya utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam
bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi
kebutuhan rakyat yang makin beragam dan meningkat, baik dalam tingkat
nasional maupun dalam hubunganya dengan dunia Internasional. Di
Indonesia sendiri, yang sebelumnya disebut sebagai Nusantara, reformasi
hukum agraria juga memiliki sejarah yang panjang, dimulai sejak masa Pra
2
Subhan Zein,/Reformasi Agraria Dari Dulu Hingga Sekarang Di Indonesia/,Jurnal Ilmiah
Hukum Dirgantara, Vol. 9 No. 2, 2019, hlm.121.
Kolonial (pengembaraan, masa pertanian tetap sampai kepada masa
kerajaan), masa Kolonial Hindia – Belanda dan pada masa era kemerdekaan.3
Sebelum lahirnya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Ketentuan Pokok – Pokok Agraria, kebanyakan petani di Indonesia hanya
sebagai penyewa lahan yang harus memberikan sejumlah uang atau hasil
pertanian kepada tuan tanah yang mempunyai lahan yang sangat luas. 4
Sehingga, muncul ketidakadilan didalam kehidupan sosial masyarakat, petani
kecil yang tidak mempunyai lahan pertanian harus bersusah payah
mengusahakan tanah sewaan dan serta harus memikirkan untuk membayar
uang sewa yang kadang sangat tinggi kepada pemilik lahan.
Oleh karena itu, lahirnya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Ketentuan Pokok – Pokok Agraria adalah sebagai bentuk reformasi
agraria di Indonesia. Di berbagai belahan dunia, reforma agraria merupakan
jawaban yang muncul terhadap berbagai ketimpangan struktur agraria,
kemiskinan dan secara beragam mengimplementasikan reforma agraria sesuai
dengan struktur dan sistem sosial, politik dan ekonomi yang dianut masing-
masing.5
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menggariskan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sebagai suatu norma kewenangan (bevoegdheidsnorm), Pasal 33 ayat (3)
tersebut telah mengatribusikan kewenangan kepada subjek hukum, dalam hal
ini negara, untuk melakukan perbuatan hukum terhadap sumber daya alam
(bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalam nya.
Implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 kemudian lahir
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria (LNRI Tahun 1960 No. 104-TLN No. 2043) atau dikenal sebagai

3
Subhan Zein, Ibid, hlm.122.
4
Subhan Zein, Ibid, hlm.125.
5
Joyo Winoto,/Reforma Agraria dan Keadilan Sosial/, (Jakarta : UI,2007), hlm.14.
Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). 6 UUPA
disusun berdasarkan delapan prinsip dasar sebagaimana dijelaskan dalam
Penjelasan Umum atas UUPA, yaitu:7
1. asas kenasionalan (Pasal 1 jo. Pasal 9 ayat (1) UUPA).
2. asas hak menguasai negara dan penghapusan pernyataan domain (Pasal 2
UUPA).
3. asas pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan dasar pengakuan hukum
adat sebagai dasar hukum agraria nasional (Pasal 5 UUPA).
4. asas fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 UUPA).
5. asas bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai
hak milik (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA).
6. asas persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan (Pasal 9 ayat (2)
UUPA).
7. asas agrarian reform dan landreform (Pasal 7, 10, dan 17 UUPA).
8. asas perencanaan atas tanah (Pasal 14 UUPA).
Reforma agraria di Indonesia itu sendiri sebenarnya telah dimulai setelah
lahirnya UUPA, pemerintah saat itu memfokuskan kegiatannya pada
penataan dan redistribusi tanah pertanian yang dikenal dengan nama
landreform yang merupakan inti dari agrarian reform. Landreform merupakan
suatu kegiatan penataan kembali secara berkelanjutan, berkesinambungan,
dan teratur mengenai kepemilikan tanah, khususnya tanah pertanian. Objek
dari agrarian reform bukan hanya sekadar pengaturan tanah, tetapi lebih luas
lagi objek agrarian reform menitikberatkan pada pengaturan dan pengelolaan
sumber daya alam di Indonesia.
Reforma agraria secara yuridis dimuat dalam UUPA, yakni dalam Pasal
7, Pasal 10, dan Pasal 17. Namun demikian, makna reforma agraria yang
termuat dalam Pasal 7, 10, dan 17 UUPA tersebut sangat sempit, hanya
sebatas landreform saja. Pasal 7 UUPA mengatur tentang larangan
kepemilikan tanah yang melampaui batas. Kemudian Pasal 10 UUPA
6
Dr. Muhammad Ilham Arisaputra, S.H., M.Kn.,/Reforma Agraria Di Indonesia/,(Jakarta Timur:
Sinar Grafika,2015),hlm.1
7
Dr. Muhammad Ilham Arisaputra, S.H., M.Kn. Ibid. hlm.1-2.
mengatur tentang kewajiban bagi setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian untuk mengerjakan atau
mengusahakannya secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Adapun Pasal 17 mengatur tentang luas maksimum dan/atau minimum tanah
yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak oleh satu keluarga atau badan
hukum.
Aspek land reform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan
pemilikan tanah.8 Hal tersebut sejalan dengan produk yang dihasilkan dalam
masa reformasi dalam konteks Reforma Agraria, yaitu Ketetapan MPR
Nomor IX/MPR/2001. Ketetapan tersebut secara tegas memberikan mandat
untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfataan tanah (land reform) yang berkeadilan.
Undang-Undang No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria
merupakan salah satu undang-undang penting yang mengatur
penyelenggaraan reforma agraria di Indonesia. Dalam UU No.86 Tahun 2018
Tentang Reforma Agraria bertujuan untuk menetapkan tujuan reforma
agraria, yaitu mewujudkan keadilan dan kepastian hukum dalam kepemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam yang terkait.
Tujuan tersebut juga meliputi peningkatan kesejahteraan petani, masyarakat
adat, dan kelompok sosial ekonomi lemah lainnya. Mengatur tentang hak atas
tanah, termasuk hak ulayat, hak guna usaha, hak milik, dan hak pengelolaan.
Undang-undang ini memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-
hak tersebut serta menjelaskan tentang pembatasan dan pengaturan
pengalihan hak atas tanah dalam konteks reforma agraria.
Serta dalam UU No.86 Tahun 2018 juga mengatur tentang pembebasan
lahan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur, proyek
pemerintah, atau investasi tertentu. Undang-undang ini memberikan
ketentuan mengenai proses pembebasan lahan yang adil, ganti rugi yang
layak, serta melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
8
Sulasi Rongiyati,/Land Reform Melalui Penetapan Luas Tanah Pertanian (Kajian Yuridis
Terhadap Uu No. 56/Prp/ Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian)/,Negara
Hukum, Vol.4 No.1,2013, hlm.2.
Undang-undang ini membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA)
sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam melaksanakan reforma
agraria. BPRA memiliki wewenang dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program reforma agraria.9
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Dan Dasar Hukum Reforma Agraria Indonesia ?
2. Pelaksanaan Reforma Agraria Berdasarkan UUPA ?
3. Pelaksanaan Reforma Agraria Berdasarkan Perpres No.86 Tahun 2018 ?
C. Tujuan Penelitian/Makalah
Tujuan penelitian/makalah kami yang berjudul Tinjauan Yuridis Kegiatan
Reforma Agraria Di Indonesia yaitu, untuk menganalisis kerangka hukum
yang mengatur reforma agraria di Indonesia, termasuk undang-undang,
peraturan pemerintah, dan kebijakan terkait. Tujuannya adalah untuk
memahami landasan hukum yang ada dan mengidentifikasi kelemahan,
kekosongan, atau perluasan yang mungkin diperlukan. Serta untuk
menganalisis perlindungan hukum terhadap hak-hak petani, masyarakat adat,
dan kelompok sosial ekonomi lemah lainnya dalam konteks reforma agraria.
Tujuannya adalah untuk mengevaluasi sejauh mana hak-hak tersebut diakui,
dilindungi, dan diimplementasikan dalam kebijakan dan praktik agraria.
D. Manfaat Penelitian/Makalah
Manfaat dalam penelitian/makalah kami yang berjudul Tinjauan Yuridis
Kegiatan Reforma Agraria Di Indonesia yaitu, untuk memberikan informasi
dan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu hukum yang berkaitan
dengan reforma agraria di Indonesia. Ini membantu untuk menggali lebih
dalam tentang kerangka hukum, kebijakan, dan implementasi reforma agraria,
serta implikasi sosial, ekonomi, dan politiknya.
Serta dapat membantu dalam melindungi hak-hak petani, masyarakat adat,
dan kelompok sosial ekonomi lemah lainnya. Dengan menganalisis kerangka
hukum dan implementasinya, penelitian dapat mengidentifikasi pelanggaran
hak dan mencari cara untuk meningkatkan perlindungan hak-hak mereka.

9
Undang-Undang No.86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.
E. Metode Penelitian/Makalah
Metode penelitian yang kami gunakan dalam penelitian/makalah kami
yang berjudul Tinjauan Yuridis Kegiatan Reforma Agraria Di Indonesia
yaitu, metode penelitian kualitatif yang berfokus pada metode normatif yaitu
berdasarkan undang-undang dan peraturan yang sudah ada. Dimana
penelitian kualitatif merupakan sebuah cara atau metode penelitian yang lebih
menekankan analisa atau deskriptif. Dalam sebuah proses penelitian kualitatif
hal hal yang bersifat perspektif subjek lebih ditonjolkan dan andasan teori
dimanfaatkan oleh peneliti sebagai pemandu, agar proses penelitian sesuai
dengan fakta yang ditemui di lapangan ketika melakukan penelitian. Dan
penelitian yang berfokus pada metode normatif karena kami hanya
memperoleh data hanya dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang
ada yang telah di sah kan. Kami tidak melakukan wawancara terhadap
narasumber yang ada atau turun langsung kelapangan demi mendapatkan info
dari narasumber, karna undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada
sudah mencukupi data yang kami butuh kan dalam penyelesaian
penelitian/makalah kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Reforma Agraria Indonesia
1. Pengertian Reforma Agraria
Reforma Agraria telah ada sejak awal kemerdekaan dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-undang tersebut menciptakan
persoalan terkait pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang dijamin dalam konstitusi, di antaranya adalah hak atas tempat
tinggal. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-pokok Agraria ini membawa konsekuensi pada terjadinya
penggusuran paksa yang meniadakan hak atas tempat tinggal dan
karenanya melanggar hak asasi manusia.
Menurut Michael Lipton, reforma agraria atau disebut juga dengan
land reform (dalam beberapa hal istilah ini sering identik) adalah suatu
kegiatan “legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukkan
meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas
tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin
dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut
maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi
tersebut”10
Reforma agraria tidak semata-mata memberdayakan satu pihak
dengan diredistribusikannya tanah pada mereka namun dapat juga berarti
menidakberdayakan pihak lain sebab diambilnya tanah dari tangan
mereka. Sebagaimana dinyatakan, “kebijakan reforma agraria bukan
sekedar memberdayakan petani miskin, melainkan juga pada pihak lain,
menidakberdayakan para penguasa tanah yang aksesnya dikurangi secara
berarti.”

10
Michael Lipton, Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong
(London: Routledge, 2009), hlm. 328.
Karenanya suatu program reforma agraria bukan sekedar memerlukan
political will yang diwujudkan oleh badan-badan pemerintah. Agar
mampu mencapai tujuannya, program reforma agraria sangat memerlukan
kekuatan pemerintah yang sanggup memaksa (government compulsion).
Dalam konteks Indonesia, reforma agraria bertujuan sebagai “suatu
operasi untuk mengubah struktur penguasaan tanah dan kekayaan alam
yang timpang melalui penggunaan kewenangan pemerintahan dalam
membuat legislasi, dan kekuasaan membuat legislasi itu berjalan melalui
suatu program pemerintah, secara terencana untuk mewujudkan cita-cita
konstitusional mewujudkan keadilan sosial bagi mayoritas kaum miskin
pedesaan”.11 Dengan demikian reforma agraria adalah mandat konstitusi
yang memiliki cita-cita keadilan sosial dan penegakan hak asasi manusia
berupa hak sosial dan ekonominya.
Reforma agraria (land reform) adalah penataan ulang struktur
pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang secara
lengkap. Paket penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak
yang diberikan, tersedianya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap
jasa-jasa advokasi, akses terhadap informasi baru dan teknologi,
pendidikan dan latihan, dan adanya akses terhadap bermacam sarana
produksi dan bantuan pemasaran.12
Reforma agraria bukan hanya dipahami sebagai kebijakan yang
digunakan untuk retribusi tanah, tetapi merupakan konsep reforma
evolving yang berkembang menjawab segala kebutuhan dan tuntutan
zaman dari kebutuhan masyarakat. Reforma agraria tampil sebagai
gambaran upaya konseptual dan sistematis dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial. Reforma agraria sekaligus membuka
jalan bagi terbentuknya struktur masyarakat yang berlandaskan demokrasi
dan keadilan.

11
Noer Fauzi Rachman, Land reform dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: STPN, 2012), hlm. 1.
12
Gevisioner, Harapan dan Kenyataan: Implementasi Reformasi Agraria di Provinsi Riau, Unri
Conference Series: Agriculture and Food Security, Vol.1 (2019).
Ketentuan terkait agraria termaktub di dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 yang memiliki tujuan untuk mengatur dan menata ulang
struktur agraria yang tidak adil menjadi lebih berkeadilan, menanggulangi
konflik agraria, memakmurkan rakyat, dan menjadi dasar hadirnya
reforma agraria. Secara yuridis reforma agraria terdapat di dalam Pasal 7,
Pasal 10 dan Pasal 17. Arti dari reforma agraria yang terdapat di dalam
pasal tersebut hanya sampai pada pengaturan terkait land reform saja. Di
dalam Pasal 7 mengatur mengenai larangan kepemilikan tanah yang
melampaui batas. Selanjutnya, dalam Pasal 10 mengatur mengenai
kewajiban yang melekat bagi setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai suatu hak atas tanah pertanian yang bertujuan untuk
mengerjakan secara aktif dengan cara mencegah cara-cara kekerasan. Dan
pada Pasal 17 mengatur terkait luas maksimum dan minimum tanah yang
diperbolehkan untuk dimiliki dengan sesuatu hak oleh suatu keluarga atau
badan hukum.13
Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, pelaksanaan penataan
tanah hanya melayani pembangunan dan industri yang membutuhkan
banyak tanah. Hak menguasai negara tidak dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat akan tetapi dipergunakan untuk memfasilitasi kapital
asing.14 Setelah lengsernya Orde Baru, reforma agraria dilanjutkan
Pemerintahan B.J Habibie dengan menghidupkan isu land reform dengan
menerbitkan Keppres Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian
Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka
Pelaksanaan Landreform dan disusul dengan dikeluarkan TAP MPR
Nomor IX Tahun 2001 Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam.
Tujuan Reforma Agraria dalam TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001

13
Fajar, Habib Ferian dkk./Strategi Kebijakan Reforma Agraria dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Masyarakat yang Berkeadilan Sosial dengan Berasaskan Konstitusi/Jurnal Hukum
Lex Generalis. Vol.3. No.9 (September 2022)
14
Zahril Trinanda Putra, Peran Gugus Tugas Reforma Agraria dalam Pelaksanaan Reforma
Agraria di Kabupaten Lampung Tengah, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,
Yogyakarta, 2020.
antara lain untuk mengurangi kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat
kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, menata ulang
ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah, dan
sumber-sumber agraria, dan mengurangi sengketa dan konflik pertanahan
dan keagrariaan.
Selain itu, untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan
sejahtera, Reforma Agraria Indonesia meliputi lima program, yaitu:15
a. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum
b. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
c. Mengakhiri pengisapan feodal secara berangsur-angsur
d. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan
hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan
e. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana,
sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Untuk mempertegas keseriusan pemerintah dalam menjalankan
reforma agraria, maka lahirlah Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, berbagai pemahaman
dan keinginan dan atau harapan terhadap reforma agraria yang ada selama
ini telah direspons melalui TAP MPR IX tahun 2001 tentang pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam dan berujung pada terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

2. Dasar Hukum Reforma Agraria Indonesia


Kebijakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok -pokok Agraria (UUPA) dipusatkan pada
pelayanan bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, yang merupakan
bagian terbesar rakyat Indonesia dan yang keadaan ekonominya lemah.
15
Nuriyanto, Urgensi Reforma Agraria; Menuju Penataan Penggunaan Tanah yang Berkeadilan
Sosial, Jurnal Rontal Keilmuan PKn, Vol.6, No.1 (April 2020).
Pada masa itu, mulai dilaksanakan ketentuan-ketentuan landreform
mengenai pembatasan penguasaan tanah pertanian, larangan pemilikan
tanah secara guntai (absentee), redis tribusi tanah yang terkena ketentuan
landreform dan absentee, pengaturan bagi-hasil dan gadai tanah pertanian.
Selain itu, dilaksanakan juga penghapusan hak-hak kolonial dan ketentuan
konversi hakhak tanah yang semula diatur dalam perangkat hukum yang
lama, menjadi hak-hak baru menurut UUPA.16
Tujuan diundangkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA)
dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya, yaitu:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan,
dan keadilan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur
b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.17
Tujuan pembaharuan agraria yang terdapat pada TAP MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 memiliki tujuan yaitu mengurangi kemiskinan,
memperbaiki akses masyarakat kepada sumbersumber ekonomi (tanah),
penataan ulang kesenjangan atas penguasaan kepemilikan, penggunaan,
pemanfaatan tanah, dan sumber-sumber agraria dan mengurangi sengketa
pertanahan maupun agraria. TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 menjadi
salah satu kunci penting dalam kebijakan agraria di Indonesia karena
alasan-alasan sebagai berikut:
1. TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001 sebagai arah kebijakan strategis
dimana didalamnya mengandung perubahan atas visi dan misi agraria,
sehingga menghadirkan politik hukum agraria yang lebih
mengutamakan masyarakat.
16
Suwardi, dkk, Pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, Vol. 3. No.2 (November 2019).
17
Dr. Urip Santoso, S.H., M.H. Hukum Agraria Dan Perkembangan Perspektif Politik Hukum.
(Jakarta: Kencana, 2020), hlm. 382.
2. Sebagai dasar hukum peraturan perundangundangan maupun kebijakan
agraria setelahnya. Penerapan TAP MPR RI Nomor IX/MPR/2001
harus diperhatikan dalam penyusunan kebijakankebijakan di bidang
agraria, sehingga tidak meninggalkan visi misi yang telah diubah
menjadi manusiawi di poin pertama.18
Judul Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No.
IX/MPR/2001 adalah pembaruan agraria. Pengertian pembaruan menurut
Boedi Harsono adalah perubahan atau penggantian sesuatu yang dinilai
kurang atau tidak baik. Menurut Boedi Harsono, seharusnya sebutan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. IX/MPR/2001 adalah
penyempurnaan agraria bukan pembaruan agraria. Pengertian
penyempurnaan adalah membuat lebih baik apa yang sudah baik. Hukum
Tanah Nasional yang sudah baik itu akan dibikin menjadi lebih baik.19
Makna pembaruan agraria dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI No. IX/MPR/2001 adalah perubahan secara mendasar atau
fundamental mengenal Hukum Agraria yang tidak baik sebelum
ditetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No.
IX/MPR/2001 menjadi Hukum Agraria yang lebih baik sejak ditetapkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. IX/MPR/2001.
Ruang lingkup pembaruan agraria adalah suatu proses yang
berkelanjutan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang dikenal dengan
sebutan land reform. Tujuan pembaruan agraria adalah mewujudkan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pembaruan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI No. IX/MPR/2001, yaitu:
18
Ni Luh Ariningsih Sari, I Wayan Suwanda. “Kebijakan di Era Pemerintahan Joko Widodo dan
Jusuf Kalla (Perspektif Politik Hukum dan Agraria)”. Jurnal Unmasmataram. Fakultas Hukum
UNMAS Denpasar PSDKU Mataram. Volume 13 Nomor 2 September 2019, hlm. 239.
19
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Penerbit Universitas
Trisakti, 2007), hlm. 24.
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi
keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
d. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia;
e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan
optimalisasi partisipasi rakyat;
f. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya
agraria/sumber daya alam;
g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberikan manfaat yang
optimal, baik untuk generasi sekarang dan generasi mendatang, dengan
tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat;
i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan
antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan
sumber daya alam;
j. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat buku dan
keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;
k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah
(pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat)
masyarakat, dan individu;
l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di singkat
nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber
daya alam.

Salah satu arah kebijakan pembaruan agraria yang ditetapkan oleh


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No. IX/MPR/2001 adalah
melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi
kebijakan antar- sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip pembaruan agraria.
Dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 dan
dengan dasar bahwa seluruh wilayah Republik Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
diterbitkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional di bidang Pertanahan. Dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun
2003 ditetapkan bahwa: "Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan,
dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, dan pelaksanaan
Ketetapan MPR RI No. IX/ MPR/2001, Badan Pertanahan Nasional
melakukan langkah-langkah percepatan, yaitu penyusunan Rancangan
Undang-undang tentang Penyempurnaan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan Rancangan
Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-
undangan lainnya di bidang pertanahan.20
Sedangkan dalam Perpres 86/2018 lebih berfokus pada dilakukannya
legalisasi tanah, redistribusi tanah dan pemberdayaan terhadap
masyarakat. Hal ini seolah menyimpang dari cita reforma agraria itu
sendiri, yang mana salah satu sumber permasalahannya adalah sengketa
kepemilikan tanah. Pengabaian tersebut semakin terlihat jelas dalam Pasal
17 angka (3) Perpres 86/2018 yang mana ditegaskan bahwa “Ketentuan
lebih lanjut mengenai penanganan sengketa dan konflik agraria diatur
dengan Peraturan Menteri”.
Pembentukan kebijakan seolah menjadi setengah-setengah dengan
tidak diaturnya lebih lanjut mengenai konflik agraria dalam Perpres
86/2018, hal ini menjadi asalan terjadinya kekosongan norma. Dalam

20
Ibid
Perpres 86/2018 memang telah mengatur mengenai penyelesaian
pertanahan dalam Bab IV tentang “Penanganan Sengketa dan Konflik
Agraria dengan membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria secara
berjenjang”. Namun dalam ketentuan ini hanya terbatas pada para pihak
yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa atau konflik dan selanjutnya
mendelegasikan pengaturan lebih lanjut kepada Peraturan Menteri. Hal ini
menunjukkan bahwa Perpres 86/2018 belum dapat menyelesaikan
permasalahan secara keseluruhan dan perlu untuk segera dibentuknya
Peraturan Menteri. Hal ini menuntut pemerintah untuk lebih berhati-hati
dalam menyusun kebijakannya, utamanya dalam bidang agraria, sehingga
tidak menimbulkan inkonsistensi ataupun tumpang tindihnya peraturan
perundangundangan sebagai suatu permasalahan yang baru.21

B. Pelaksanaan Reforma Agraria Berdasarkan UUPA


Pemikiran tentang perlunya upaya perbaikan struktur pemilikan di
masyarakat sudah berkembang, jauh sebelum Undang-Unda ng Pokok
Agraria (UUPA) dicanangkan pada tahun 1960. Menurut Tjondronegoro,
para pemikir negara ini setelah masa kemerdekaan telah menyadari
pentingnya memperbaiki struktur pemilikan lahan di masyarakat, selain
berkaitan dengan hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, upaya
ini merupakan dasar untuk mengubah struktur ekonomi agraris menjadi
struktur ekonomi yang berdasarkan perkembangan industri dan pertanian
yang seimbang.
Indonesia merupakan salah satu negara yang melaksanakan pembaharuan
struktur pertanahan pada periode 1960-an. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33
ayat (3) negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang
tertinggi menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dengan semangat perubahan dan pembaharuan secara
mendasar terhadap struktur pertanahan agar dapat memenuhi kepentingan dan
keadilan bagi rakyat maka sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD

21
Retno Sulistyaningsih, Reforma Agraria Di Indonesia, Vol 26. No.1 (Januari, 2021).S
1945 dikeluarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada Tanggal 24 September 1960.22
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa dengan berlakunya Undang-undang
Pokok Agraria (UUPA), hukum Agraria kita telah mengalami suatu
perubahan yang besar, suatu revolusi yang merubah pemikiran dan landasan
politik agraria penja jahan yang dibuat demi kepentingan Modal Besar Asing
di satu pihak, dengan mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia di pihak
lain.
Hak milik adat hanya diakui sebagai Erfelijk individueel gebruiksrecht,
yang kemudian disebut Inlands bezitsrecht hal ini bertentangan dengan
kesadaran rakyat yang pada zaman kolonial disebut golongan Bumiputera.
Berlainan halnya de ngan dasar pemikiran dan landasan politik agraria
nasional yang dianut di dalam UUPA yang didasarkan pada pasal 33 ayat 3
UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut :
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat".
Negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik, seperti te lah dicantumkan
dalam pasal tersebut di atas, Negara cukup bertindak sebagai penguasa untuk
memimpin dan mengatur kekayaan nasional untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat disimpulkan,
bah- wa kekuasaan yang diberikan kepada Negara memberikan ke wajiban
kepada Negara untuk mengatur pemilikan dan me nentukan kegunaannya,
hingga semua tanah di seluruh wilayah Negara dapat dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.23
Sekalipun demikian perubahan dari hukum kolonial ke hukum nasional
tidak terjadi secepat pergantian ke- kuasaan, misalnya pergantian kekuasaan
dari Pemerintah ko- lonial ke Pemerintah nasional Republik Indonesia. Agar
supaya surat fakta historis menjadi dasar hukum yang baru, maka

22
Suwardi dkk,/Pembaharuan Hukum Agraria Di Indonesia/,Jurnal Hukum Bisnis, Vol.3 No.2
2019,hlm.232.
23
Eddy Ruchiyat, S.H./Politik Pertanahan Sebelum Dan Sesudah Berlakunya UUPA/,(Bandung :
Penerbit Alumni, 1992)Cetakan Ketiga, hlm.1.
kehendak/nial (wilsuitingen) yang tersimpul di dalam fakta historis (yang
merupakan manifestasi dari ke hendak atau niat) itu harus dianggap dan
diakui sebagai hukum yang berlaku oleh masyarakat, yang bersangkut Tanpa
pengakuan dan anggapan ini, kekuasaan itu masih tetap merupakan
penggunaan kekuasaan yang se wenang-wenang, jadi melawan hukum, sesuai
dengan pen dapat Logemann dalam Over de theorie van het stellig staat
srecht, 1954, hal. 34, menentukan apa yang berlaku adalah suatu perbuatan
politik hukum, yaitu suatu perbuatan me milih (partij kiezen) antara kaedah-
kaedah hukum yang satu dengan kaedah hukum yang lain, jadi sesungguhnya
juga merupakan perbuatan pilihan hukum (rechtskeuze).
Dengan demikian maka nyatalah bahwa pembentukan hukum baru,
sekalipun di dalam revolusi, merupakan proses yang lebih lambat dari pada
proses penggantian kekuasaan Negara (staatsgezag) sehingga kinipun, setelah
beberapa kali mengalami penggantian kekuasaan, (yaitu pada tahun 1942 dari
Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Balatentara Je pang, pada tahun 1945
kepada Republik Indonesia (Sukarno- Hatta), pada tahun 1966 kepada Jendral
Soeharto, masih juga ada kaedah-kaedah hukum, yang dianggap sebagai sum-
ber hukum positif sekalipun bertentangan dengan Grund- norm kita yang
baru, yaitu Pancasila. Contohnya adalah pasal 131 dan pasal 163 I.S.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 mengatakan bahwa, segala peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-undang Dasar Lebih dijelaskan oleh Peraturan Pemerintah Republik
Indo- nesia No. 2 tahun 1945 yang mengatakan dalam pasal 1:24
"Segala badan-badan Negara dan peraturan-per- aturan yang ada sampai
berdirinya Negara Re publik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama
belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak
bertentangan dengan UUD".
Sebagai contoh, misalnya pasal 131 dan 163 LS. yang oleh Instruksi Ketua
Presidium Kabinet Ampera No. 31/U/In/12/1966 pada satu pihak dinyatakan
harus dianggap udak berlaku, tetapi pada lain pihak ditambahkan, bahwa

24
Ibid, Eddy Ruchiyat, S.H, hlm.2
ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan, warisan dan ke tentuan-ketentuan
hukum perdata lainnya bagi golongan- golongan penduduk yang
bersangkutan (yang notabene ber- sumber pada pasal 131 dan 163 LS.) tidak
berubah. Sehingga sebenarnya instruksi tersebut hanyalah membingungkan
orang saja.
Seperti diketahui pada zaman kolonial di Indonesia terdapat dualisme atau
lebih baik pluralisme di bidang hu- kum agraria. Ada tanah-tanah yang
termasuk dalam suasana hukum Eropah di samping tanah-tanah yang
termasuk sua- sana Hukum Adat. Kita mengenal apa yang disebut orang
tanah-tanah Eropah atau tanah-tanah Barat dan tanah-tanah Indonesia atau
tanah-tanah Adat. Di samping itu masih ada lagi tanah-tanah yang dinamakan
tanah-tanah Tionghoa, misalnya landerijenbezitsrecht. Tanah-tanah Eropah
ialah tanah-tanah yang terdaftar menurut Ordonansi Balik Nama, S. 1834-27
untuk memperolehnya.
Hak-hak ini dapat diletakkan atas tanah-tanah di mana tak ada hak-hak
orang lain atau jika karena perubahan status tanah Indonesia ke tanah Eropah.
Tanah-tanah lainnya yang takluk pada Hukum Adat adalah tanah-tanah
Indonesia. Jika dilakukan perbandingan antara kedua macam tanah ini, maka
dapat diumpamakan, seolah-olah tanah-tanah Indonesia. ini merupakan lautan
sekitar pulau-pulau (eilandjes) tanah- tanah dengan hak Eropa.
Oleh karena tanah-tanah di negeri ini dapat dibedakan menurut garis-garis
penggolongan rakyat yang dikenal dalam pasal 163 1.S., maka pernah
dikatakan pula bahwa tanah itu ibarat mempunyai suatu Landaard atau
golongan rakyat tersendiri. Oleh karena itulah tak mengherankan bahwa di
samping golongan tanah dari pada pihak-pihak, maka tanah dapat dipandang
pula sebagai suatu faktor yang dapat mewu- judkan terjadinya suatu
persoalan antar golongan (titik per- tautan primer).
Pasal 163 LS. yang mengatur penggolongan penduduk pada zaman
kolonial ke dalam golongan Eropah, Timur Asing. dan Bumiputera dan pasal
131 1.S. yang menetapkan ling kungan hukum yang berlaku bagi ketiga
golongan penduduk di atas ternyata telah menimbulkan masalah antargolong
an, bahkan sampai sekarangpun pada zaman kemerdekaan pun kita masih
dapat menemukan masalah antargolongan, terutama di bidang pertanahan
dalam rangka penanaman modal asing.

1. Pelaksanaan Reforma Agraria Sebelum Berlakunya UUPA


Pada zaman kolonial ada tanah-tanah dengan hak-hak barat, misalnya
tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah op- stal dan lain-lain, tetapi ada pula
tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia, misalnya tanah-tanah
ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok. tanah
agraricsh eigendom, dan lain-lain."25
Yang pertama lazim disebut tanah-tanah Barat atau tanah-tanah Eropah
dan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut
Overschrijvingsordon- nantie atau Ordonansi Balik Nama (S. 1834-27)
dimuat di dalam Engelbrecht tahun 1954 halaman 570 dan selanjut nya.
Tanah-tanah Barat ini tunduk pada ketentuan-keten- tuan hukum agraria
Barat, misalnya mengenai cara mem- perolehnya, peralihannya, lenyapnya
(hapusnya), pembe- banannya dengan hak-hak lain dan wewenang-wewenang
serta kewajiban-kewajiban yang empunya hak.
Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat diadakan me ngenal tanah-tanah
itu pada asasnya terbatas pada yang dimungkinkan oleh hukum agraria Barat.
Misalnya tanah eigendom tidak dapat digadaikan menurut ketentuan hukum
agraria adat, tetapi hanya dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
hipotik, suatu lembaga hukum yang se bagaimana kita maklum diatur di
dalam KUH Perdata Tanah-tanah Barat ini tidak sebanyak tanah-tanah
Indonesia, tanah-tanah itu seakan-akan merupakan "pulau-pulau di tengah-
tengah lautan tanah-tanah Indonesia".
Tanah tanah Indonesia, yaitu tanah-tanah dengan hak hak Indonesia,
hampir semuanya belum terdaftar, kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom
(S. 1873-38), tanah-tanah milik di dalam kota Yogyakarta (Rijksblad
Yogyakarta tahun 1926 No.13), tanah-tanah milik di dalam kota-kota di
25
Soetojo M,/Undang-Undang Pokok Agraria Dan Pelaksanaan Land Reform/(Jakarta: Staf
Penguasa Perang Tertinggi, 1961),hlm/59.
daerah Surakarta (Rijksblad Surakarta tahun 1938 No. 14), tanah-tanah grant
di Sumatera Timur.
Pendaftaran tanah-tanah milik yang diselenggarakan di daerah-daerah
lainnya di Jawa, Madura, Bali, Lombok dan Sulawesi Selatan oleh Kantor-
kantor Landrente atau Pajak Bumi bukan pendaftaran yang kita maksudkan,
karena tu- juannya adalah untuk keperluan pemungutan pajak bumi ("fiscaal
kadaster"), sedang pendaftaran yang kita maksud- kan itu adalah pendaftaran
yang diadakan untuk memberi kan kepastian hak dan kepastian hukum
(rechtskadaster).
Tidak semua tanah-tanah Indonesia ini adalah tanah- tanah yang
mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, te tapi ada juga yang berstatus
buatan atau ciptaan Pemerintah, misalnya tanah agrarisch eigendom yang
didasarkan kepada ketentuan ayat 6 pasal 51 I.S. Tanah-tanah Indonesia tun-
duk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak diadakan ke tentuan yang
khusus untuk hak-hak tertentu. Misalnya untuk hak agrarisch eigendom
berlaku ketentuan yang dimuat di dalam S. 1872-1173)26
Selain tanah-tanah Barat dan tanah-tanah Indonesia, Gouw Giok Siong di
dalam bukunya "Hukum Agraria Antar Golongan" halaman 8 menunjuk pada
yang disebutnya "tanah-tanah Tionghwa", yaitu tanah tanah yang dipunyai
dengan landerijenbezitrecht. Landerijenbezitrecht adalah hak yang dengan
sendirinya diperoleh seorang Timur Asing pe megang hak usaha di atas tanah
partikelir, yang sewaktu- waktu tanah partikelir itu dibeli kembali oleh
Pemerintah (pasal 3 S. 1913-702 setelah diubah dengan S. 1926-4214).
Tanah-tanah landerjenbezitrecht itu hampir semuanya berada di tangan
orang-orang Tionghwa dan sebagian ter besar terdapat di sekitar Jakarta,
Tanggerang, Karawang dan Bekasi. Keistimewaan hak ini adalah bahwa
(tidak terbatas pada Timur Asing (tidak terbatas pada Timur Asing Tiong-
hwa saja), jika jatuh di tangan orang Indonesia (asli) karena hukum statusnya
menjadi hak milik. Oleh karena itu menurut sifatnya sebenarnya hak ter-
sebut tidaklah lain dari pada hak milik, yaitu hak Indonesia yang subjeknya

26
Subekti R,/Pembinaan Hukum Nasional/(Bandung: Alumni, 1975),hlm.54.
terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing, terutama Timur Asing
Tionghwa.
Berhubung dengan dianutnya asas konkordansi di dalam penyusunan
perundang-undangan Hindia Belanda dulu, maka KUH Perdata Indonesia
juga konkordansi dengan Burger- lijk Wetboek Belanda. Dan Burgerlijk
Wetboek Belanda itu disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang
merupakan pengkondifikasian hukum perdata Perancis sesudah Revo- lusi
Perancis tahun 1789.
Oleh karena ketentuan-ketentuan pokok dan asas-asas hukum agraria Barat
itu bersumber pada KUH Perdata Barat, maka hukum agraria Barat berjiwa
liberal individualistis. Mengapa demikian, karena Revolusi Perancis itu suatu
revo lusi borjuis, yang berjiwa liberal individualistis, maka mudah difahami,
jika KUH Perdata Indonesiapun, melalui Bur gerlijk Wetboek Belanda dan
Code Civil Perancis, pasti ber jiwa liberal individualistis.
Ketentuan-ketentuan hukum agraria berpangkal dan berpusat pada
individu serta pengertian hak eigendom se- bagai hak atas benda, yaitu tanah
yang penuh dan mutlak Menurut pasal 570 KUH Perdata, hak eigendom itu
adalah hak yang memberi wewenang penuh untuk menikmati ke- gunaan
sesuatu benda (tanah) untuk berbuat bebas terhadap benda (tanah itu dengan
kekuasaan penuh, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan peratur an lainnya yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa
yang berwewenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.27
Sesuai dengan jiwa liberalisme dan individualisme yang meliputi seluruh
isi KUH Perdata, maka pembatasan-pem batasan yang diadakan dengan
undang-undang dan peratur an-peraturan lainnya terhadap hak eigendom itu
semula tidak seberapa banyaknya. Sedang pembatasan oleh hak-hak orang
lain juga ditafsirkan sangat sempit dan legistis.
Dengan demikian maka hak eigendom yang merupa kan pusat dari hukum
agraria Barat itu benar-benar merupa kan hak yang memberi wewenang yang
sepenuhnya kepada yang empunya benda (eigenaar) untuk berbuat bebas
27
Notonagoro,/Politik Hukum Dan Pembangungan Agraria Di Indonesia/(Jakarta: C.V Pancuran
Tujuh, 1974),hlm.32.
dengan benda yang bersangkutan. Mengingat apa yang disebutkan di atas la
bebas di dalam mempergunakan atau mengambil manfaat dari benda itu dan
iapun bebas untuk tidak mem- pergunakannya.
Kepentingan pribadilah yang menjadi pedoman, bu kan kepentingan
masyarakat. Konsepsi eigendom memang berpangkal pada adanya kebebasan
individu, kebebasan untuk berusaha dan kebebasan untuk bersaing. Tetapi ke-
mudian terjadilah perubahan di dalam alam fikiran ma syarakat Barat
Masyarakat yang berkonsepsi liberalisme dan individualisme itu mengalami
pengaruh dari konsepsi sosialiame, yang untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur menuntut supaya Negara memperhatikan dan me ngatur
kehidupan masyarakat, sehingga dianggap perlu untuk membatasi kebebasan
individu.
Konsepsi itu berpengaruh juga pada isi hak eigendom yang pada
kenyataannya berakibat membatasi luasnya ke- Telan dan wewenang
wewenang yang ada pada seorang eigenaar, Hak eigendom tidak lagi bersifat
mutlak, seorang eigenaar tidak lagi mempunyai kebebasan penuh untuk ber
buat dengan benda yang dimilikinya. Kepentingan masyarakat lebih
mendapat perhatian di dalam melaksanakan hak-hak individu, yang dikenal
dengan "Vermaatschappelijkt", mengandung pula unsur-unsur
kemasyarakatan, atau mengalami socialiseingspreces.
Perkembangan yurisprudensipun menunjukkan perubah-. an, misalnya
arrest Hoge Raad Belanda tanggal 31 Januari 1919 yang memberikan tafsiran
yang berlainan pada pe ngertian "onrechtmatige daad" (perbuatan melawan
hukum) dari pada arrest yang disebutkan di atas. Arrest tanggal 31 Januari
1919 itu kemudian menjadi "standaard arrest" atau yurisprudensi tetap.
Tetapi biarpun demikian pada asasnya jiwanya masih tetap individualistis,
sehingga tidak sesuai bahkan berten- tangan dengan konsepsi Pancasila yang
berjiwa gotong- royong dan kekeluargaan, yang menjiwai hukum nasional.
Oleh karena itu hukum agraria Barat inipun tidak dapat terus dipertahankan.28

28
Ibid, Notonagoro, hlm.39.
2. Pelaksanaan Reforma Agraria Sesudah Berlakunya UUPA
Dalam pasal 2 ayat 1 ditentukan, bahwa:
"Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan hal-
hal sebagai yang di- maksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang ang kasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan
yang tertinggi di- kuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat"
Dalam Memori Penjelasan ketentuan ini digolongkan pada ketentuan dasar
nasional hukum agraria yang baru. Hak menguasai dari Negara itu tidak saja
di dasarkan atas ketentuan pasal 1 di mana Negara dianggap sebagai organi
sasi kekuasaan rakyat, sebagai alat bangsa tetapi dicarikan juga dasar
hukumnya pada ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar. Isi pasal
tersebut telah kita ketahui di atas.
Dengan demikian maka pasal 2 UUPA memberikan se- kaligus suatu
tafsiran resmi interprestasi otentik mengenai arti perkataan "dikuasai" yang
dipergunakan di dalam pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar itu. Sebelum
UUPA ada sementara orang yang menafsirkan perkataan "dikuasai" itu
sebagai "Dimiliki", tetapi UUPA dengan tegas menyata kan, bahwa perkataan
tersebut bukan berarti dimiliki. Bah- kan pengertian domein Negara
dihapuskan oleh UUPA "Asas domein". tidak dikenal dalam hukum agraria
yang baru, demikian Memori Penjelasan angka II/2.29
Memori Penjelasan angka 11/2 menegaskan, bahwa per kataan "dikuasai"
dalam pasal ini bukanlah berarti "di- miliki", akan tetapi pengertian yang
memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia, sebelumnya disebut sebagai Badan Penguasa pa- da tingkatan
tertinggi untuk :
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi dan lain-lainnya itu (dengan perkataan lain,

29
Roestandi Ardiwilaga R,/Hukum Agraria Indonesia/(Bandung: N.V. Masa Baru, 1962),hal.75.
menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi dan
lain-lainnya itu).
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang
angkasa. (segala sesuatu itu tentunya termasuk juga kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya). Penegasan mengenai arti perkataan
“dikuasai” dinyatakan dalam pasal 2 ayat 2.
Kalau hak menguasai itu ada pada Negara, siapa atau instansi manakah
dalam konkretonya yang akan menjalankan wewenang-wewenang yang
bersumber pada kekuasaan itu, sebagai yang diperinci dalam pasal 2 ayat 2
tersebut di atas? Sebagaimana telah kita ketahui maka yang melaksa nakan
hak ulayat adalah penguasa adat.
Mengenai hal-hal dalam bidang legislatif wewenang itu dijalankan
oleh badan-badan perundang-undangan, yaitu Pe- merintah bersama DPR
(pembentuk undang-undang). Peme rintah atas dasar pasal 5 ayat 2 atau
pasal 22 UUD dan mungkin juga seorang Menteri atas dasar delegasi
kekuasa an perundang-undangan. Mengenai hal-hal yang terletak dalam
bidang eksekutif wewenang Negara itu dijalankan oleh Presiden
(Pemerintah) atau Menteri.
Sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat 4 maka pelaksanaan dari
pada hak menguasai dari Negara tersebut dapat dikuasai atau dilimpahkan
kepada Daerah-daerah Swa tantra dan masyarakat Hukum Adat. Dengan
demikian maka pelaksanaan wewenang-wewenang yang dimaksudkan itu
dijalankan oleh Pemerintah Daerah atau penguasa adat yang
bersangkutan.30
Mengenal soal mengatur dan menyelenggarakan perun- tukkan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi dan lain-lainnya itu (huruf
a) terdapat ketentuannya yang khusus dalam UUPA, yaitu ketentuan pasal
14 UUPA, yang mewajibkan Pemerintah membuat suatu rencana umum,
30
Sudargo Gautama,/Masalah Agraria Berikut Peraturan-Peraturan dan Contoh-
contoh/(Bandung: Alumni, 1973),hlm.34.
suatu nasional planning, yang kemudian akan di- perinci dengan planning
planning daerah regional planning yang dibuat oleh Pemerintah Daerah.
Sedangkan di dalam pasal 15 terdapat ketentuan-ketentuan tentang
kewajiban memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya yang disertai sangsi pidana (pasal 52).
Mengenal wewenang yang disebut dalam huruf b di atas UUPA
mengadakan ketentuan lebih lanjut dalam pasal 4, pasal 6 sampia dengan
11 dan ketentuan-ketentuan dalam Bab II tentang Hak-hak atas tanah, air,
ruang angkasa serta pendaftaran tanah. Ketentuan-ketentuan tentang hak-
hak apa saja yang dapat dipunyai, siapa yang dapat mem- punyainya, hak-
hak dan kewajiban-kewajiban yang empu nya, terjadinya serta hapusnya
hak-hak tersebut dan sebagainya, merupakan wewenang badan legislatif
untuk me netapkannya.
Sedangkan wewenang yang diatur dalam huruf c di jumpai pulak
ketentuan-ketentuannya lebih lanjut dalam pasal-pasal UUPA, misalnya
pasal 12 dan 13 mengenai usaha dalam lapangan agraria, pasal 26 tentang
peralihan hak milik dan pasal 49 ayat 3 mengenai perwakafan tanah milik.

C. Pelaksanaan Reforma Agraria Berdasarkan Perpres No.86 Tahun 2018


Pada akhir bulan September 2018, Presiden Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma
Agraria. Peraturan ini dibuat dalam mewujudkan pemerataan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia
kemudian sebagai mandat dari Ketetapan Majelis Permusyawarahan Rakyat
Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumberdaya alam.31
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menempatkan reforma agraria
sebagai salah satu program prioritas nasional dan menuangkannya ke dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Pelaksanaannya diatur lebih jauh dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun
31
M. Nazir Salim, Reforma Agraria: Kelembagaan Dan Praktik Kebijakan, STPNPress, 2020,
Yogyakarta,hlm. 71-75.
2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. Dari Peraturan
Presiden Nomor 45 Tahun 2016, kemudian 9 juta hektar lahan negara
ditetapkan menjadi target redistribusi dan legalisasi aset di bawah payung
reforma agraria yang sumbernya dari kawasan hutan dan luar kawasan hutan
(perkebunan). Selanjutnya pemerintahan Jokowi mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria untuk menjalankan
agenda prioritas nasional tersebut.32
Pelaksanaan reforma agraria dari masa ke masa di Indonesia telah
dilaksanakan, akan tetapi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah serta
konflik agraria masih ada bahkan cenderung bertambah. Reforma agraria di
Indonesia diarahkan untuk melakukan perubahan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk menjamin terwujudnya
keadilan dan kepastian hukum dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah (Nurlinda 2009). Wiradi (2000, 181-182) mengatakan
salah satu syarat kesuksesan pelaksanaan reforma agraria adalah kemauan elit
politik penguasa, dalam hal ini presiden memadukan secara lintas
sektor/kementerian pelaksana kebijakan. Adapun caranya dengan membentuk
suatu kelembagaan pelaksana reforma agraria di pusat dan daerah. Kantor
Staf Presiden (2016) menyatakan pembentukan kelembagaan pelaksana
reforma agraria di pusat dan daerah bertujuan untuk memastikan tersedianya
dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah serta memampukan
desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah.33
Selama ini, dalam penanganan dan pengurusan masalah pertanahan, baik
itu sengketa maupun konflik pertanahan di daerah, peran pemerintah daerah
sangat minim, bisa dibilang hampir tidak ada. Selama ini pemerintah daerah
hanya fokus dalam pemberian izin kepada perusahaan – perusahaan
perkebunan yang tergolong besar. Di sisi lain, dalam penanganan sengketa
maupun konflik pertanahan, pemerintah daerah justru terkesan setengah hati
32
Zahril Trinanda Putra,dkk,/Peran Gugus Tugas Reforma Agraria Dalam Pelaksanaan Reforma
Agraria Di Kabupaten Lampung Tengah/,Jurnal Widya Bhumi, Vol.1, No.1, 2021,hlm.65.
33
Ibid, Zahril Trinanda Putra,dkk, hlm.66
dalam menyelesaikannya.
Dalam pasal 1 Ayat (2) Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan : “Pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 “.
Pada pasal 1 Ayat (3) Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan yang menjadi unsur pemerintahan daerah
adalah Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Sedangkan pada pasal 1 Ayat (4) nya disebutkan bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dalam hal
pertanahan, pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah propinsi
mempunyai urusan wajib dalam pelayanan pertanahan.
Pada saat memperingati hari jadi UUPA yang ke 58, Presiden Joko
Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018 tentang
Reforma Agraria. Ditegaskan bahwa reforma agraria adalah penataan kembali
struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang
lebih berkeadilan melalui penataan aset dan disertai dengan penataan akses
untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Pada masa sebelumnya pelaksanaan reforma agraria sebagaimana
dilakukan dalam program landreform hanya melakukan redistribusi tanah,
maka Peraturan Presiden No 86 Tahun 2018, menetapkan bahwa pelaksanaan
reforma agraria dilakukan dengan penataan aset yang terdiri dari redistribusi
tanah dan legalisasi aset, serta penataan akses.
Penataan akses yang dimaksud meliputi pemetaan sosial, peningkatan
kapasitas kelembagaan, pendampingan usaha, peningkatan ketrampilan,
penggunaan teknologi tepat guna, diversifikasi usaha, fasilitas akses
permodalan, fasilitas akses pemasaran, penguatan basis data dan informasi
komoditas, dan/atau penyediaan infrastruktur pendukung.
Pada strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2015-2019 yang
ditetapkan di era Pemerintahan Jokowi-JK, antara lain meliputi: penguatan
kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria; penataan penguasaan dan
pemilikan tanah objek Reforma Agraria (TORA); kepastian hokum dan
legalisasi hak atas TORA; dan pemberdayaan masyarakat pemanfaatan
TORA. Sebagai wujud komitmen pemerintah yang telah dijanjikan melalui
Nawacita sejak 2014, dibentuk Perpres No. 86 Tahun 2018 Tentang Reforma
Agraria.34
Adapun subyek reforma agraria yang dapat menerima redistribusi tanah
obyek reforma agraria (TORA) adalah orang perseorangan, kelompok
masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, atau badan hukum. Adapun
tanah obyek reforma agraria sebagaimana disebutkan dalam Peraturan
Presiden antara lain berasal dari tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan yang telah habis jangka waktunya tapi tidak diperpanjang atau
tidak dimohon pembaharuan hak, tanah negara bekas tanah terlantar yang
didayagunakan, tanah berasal dari pelepasan kawasan hutan, tanah timbul,
dan tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik tanah.35
Diatur pula mengenai kelembagaan reforma agraria, dimana dibentuk Tim
Reforma Agraria Nasional, yang bertugas menetapkan kebijakan dan rencana
reforma agraria, melakukan koordinasi dan penyelesaian kendala dalam
penyelenggaraan reforma agraria, dan melakukan pengawasan serta
pelaporan pelaksanaan reforma agraria. Untuk membantu pelaksanaan tugas
Tim Reforma Agraria Nasional dibentuk Gugus Tugas Reforma Agraria,
yang terdiri atas Gugus Tugas Reforma Agraria Pusat, Gugus Tugas Reforma
Agraria Provinsi, dan Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota.
Sejak tahun 1961 sampai dengan tahun 2014, pelaksanaan redistribusi
34
Wahyuddin,dkk,/Menelisik Komprehensifitas Kebijakan Hukum Reforma Agraria Di Indonesia
(Suatu Telaah Kritis Terhadap Perpres No.86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria)/,Jurnal
Kompilasi Hukum, Vol. 6 No. 2, 2021.hlm.70.
35
Endang Pandamdari,/Penguatan Reforma Agraria Untuk Kemakmuran Rakyat Dalam Perspektif
Hukum Tanah Nasional/,Jurnal Hukum Nawasena Agraria, Vol.1, No.1, 2023.hlm.55.
tanah telah mencapai 2.305.804 hektar.36 Faktanya, sejak pelaksanaan
landreform, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah terutama di
pedesaan masih tinggi. Masih banyak ditemukan petani yang memiliki tanah
sempit disebut petani gurem, menyebabkan hasil pertaniannya tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Disamping itu, masih banyak petani yang tidak
mempunyai tanah, dan menjadi buruh tani. Hal ini menunjukkan target
mencapai kemakmuran rakyat di bidang pertanahan masih belum tercapai.
Hasil evaluasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional menjelaskan bahwa kelemahan reforma agraria adalah:
1) tanah obyek landreform yang akan diredistribusikan semakin terbatas
2) subyek tidak tepat sasaran
3) penerima redistribusi tidak patuh terhadap larangan mengalihkan hak atas
tanah selama 10 tahun sejak diterima
4) adanya kepemilikan tanah absentee baru
5) terciptanya kepemilikan tanah diatas batas kepemilikan maksimum 5
hektar
6) akses reform masih ada yang belum dilaksanakan.37
Disamping kelemahan yang dikemukakan tersebut, jika dievaluasi
kebijakan masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, maka dapat
dikemukakan bahwa legislasi Orde Lama dan Orde Reformasi memiliki
prinsip yang sama dalam hal asas, keadilan, transparansi, perlindungan
hukum, dan kelembagaan, namun berbeda dalam tujuan, praktek dan skema
kebijakan. Orde Baru tidak membuat kelembagaan, transparansi dan keadilan
sebagai dasar kebijakan reforma agraria. Orde Baru hanya fokus pada
program transmigrasi dengan mengutamakan pembukaan tanah. Selain itu,
Orde Baru melakukan intensifikasi tanah pertanian, menggunakan tanah
untuk pembangunan infrastruktur serta memfasilitasi industri perkebunan
skala luas.38 Penguatan reforma agraria perlu dilakukan dengan
36
Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional, Paper Kebijakah Evaluasi Pelaksanaan Redistribusi Tanah Pertanian, BPN, 2014, hlm.
22.
37
Ibid,hal.63.
38
M. Nazir Salim dan Westi Utami, Reforma Agraria Menyelesaikan Mandat Konstitusi, STPN
menyempurnakan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum di
bidang reforma agraria. Struktur hukum berkaitan dengan kelembagaan yang
menangani bidang reforma agraria.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Reforma agraria adalah suatu proses atau upaya yang dilakukan oleh
Press, 2019, hlm. 57.
pemerintah atau lembaga terkait untuk merestrukturisasi dan
mendistribusikan kembali kepemilikan lahan pertanian secara adil dan
berkelanjutan. Tujuan utama reforma agraria adalah untuk mengatasi
ketidakadilan dalam kepemilikan dan pemanfaatan lahan pertanian, serta
meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan secara umum.
Dasar hukum reforma agraria di Indonesia dapat ditemukan dalam
beberapa undang-undang dan peraturan yang relevan. Salah satu dasar hukum
utama adalah Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang
memberikan landasan hukum untuk reforma agraria dan pengaturan
mengenai hak-hak atas tanah. Selain itu, beberapa undang-undang atau
peraturan-peraturan yang ada antara lain adalah Perpres No.86 Tahun 2018
Tentang Reforma Agraria serta terdapat juga pada TAP MPR RI Nomor
IX/MPR/2001.
B. Saran
Dari uraian di atas terlihat bahwa pelaksanaan reformasi agraria bukanlah
suatu pekerjaan mudah, namun sangat perlu dilaksanakan sebagai basis upaya
perbaikan akses masyarakat terhadap sumber daya produktif. Reforma agraria
merupakan isu yang kompleks dan melibatkan banyak aspek, termasuk
hukum, politik, ekonomi, dan sosial. Implementasi reforma agraria di
Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, termasuk keterbatasan
sumber daya, konflik kepentingan, dan koordinasi antara lembaga terkait.
Namun, dengan dasar hukum yang ada dan komitmen pemerintah, diharapkan
reforma agraria dapat terus dilakukan untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, yaitu keadilan lahan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Maka dari itu di perlukan penguatan landasan hukum untuk memperkuat
landasan hukum reforma agraria di Indonesia. Tinjau dan analisis undang-
undang, peraturan, dan kebijakan yang ada, dan identifikasi kelemahan atau
celah yang perlu diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai