Anda di halaman 1dari 6

Nama : Cundradus Jackie Dodok

NIM : 193020701023
Jurusan : Sosiologi/ Kelas A
Mata Kuliah : Pertanahan dan Lingkungan Perdesaan
Dosen Pengampu : Dr. Joni Rusmanto, M.Si

UJIAN AKHIR SEMESTER

Soal Ujian

1. Coba uraikan dengan lengkap dan jelas bagaimana dualisme politik dan hukum pertanahan
di Indonesia pada masa kolonialisme (jaman penjajahan). Berikan 1 (satu) buah contohnya!

2. Coba uraikan dengan jelas dan lengkap bagaimana kebijakan politik dan hukum
pertanahan (agraria) di Indonesia pada Masa Orde Lama. Berikan (satu) buah contohnya!

3. Coba uraikan dengan jelas dan lengkap bagaimana kebijakan politik dan hukum
pertanahan (agraria) di Indonesia pada Masa Orde Baru. Berikan 1 (satu) buah contohnya!

4. Coba uraikan dengan jelas dan lengkap bagaimana kebijakan politik dan hukum
pertanahan (agraria) di Indonesia pada Masa Orde Reformasi (Era Otonomi Daaerah).
Berikan 1 (satu) buah contohnya!

5. Coba jelaskan konflik pertanahan (agraria) di tengah masyarakat pada masa kini. Berikan I
(satu) buah contoh kasus konflik pertanahan di daerah Anda, dan jelaskan dengan lengkap
siapa pihak yang terlibat, sumber masalahnya apa, bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan
apakah terdapat solusi dari konflik tersebut dan solusinya akhir bagaimana?

Jawaban:
1. Dualisme politik dan hukum pertanahan di era kolonial merupakan suatu kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Jawa dan pemerintah kolonial dalam memandang hak atas
sumber-sumber agraria. Sifat dualisme hukum ini bermakna bahwa kebijakan politik hukum
agraria dijalankan atas hukum adat, disamping peraturan dan kebijakan yang berdasarkan dan
dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Pada pelaksanaan kebijakan politik agraria ini
masyarakat pribumi tunduk pada hukum barat dan hukum adat, sedangkan pemerintah
Kolonial belanda tidak memperdulikan hukum adat yang ada di masyarakat Indonesia.
Perbedaan hukum yang berlaku atas tanah ini menimbulkan berbagai ketimpangan dalam
masyarakat era kolonial.
Padahal tanah yang merupakan objek penting dalam masyarakat memiliki status dan
hukum tersendiri terlepas dari siapa yang memilikinya. Contoh dari politik dan hukum
pertanahan era kolonial ini adalah UUD agraria (Agrarische Wet) dengan penerapan sistem
tanam paksa oleh pemerintah kolonial untuk memenuhi komoditas ekspor. Aturan yang
paling signifikan dari Agrarische Wet ini adalah pemberian hak Erfpacht yaitu sejenis hak
guna usaha yang memungkinkan seseorang untuk menyewa tanah yang terlantar dan telah
menjadi milik negara untuk jangka waktu sampai dengan 75 tahun sesuai hak-hak eigendom
(kepemilikan) dan juga memungkinkannya untuk mewarisi dan menggunakan tanah tersebut
sebagai jaminan.

Sumber :
File word kelompok 1
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5743414/undang-undang-agraria-1870--tokoh-dan-
sejarahnya/amp

2. Pada masa orde lama, terjadi perombakan pada sistem politik dan hukum pada kebijakan
penguasa periode kolonial dengan membuat kebijakan atau produk hukum yang sesuai
dengan ketetapan Pancasila dan UUD 1945. Pada pemerintahan era orde lama peraturan
pokok yang telah dikeluarkan diantaranya adalah (1) UU No. 1/1958 tentang Penghapusan
Tanah-tanah Partikelir, (2) UU No. 2 /1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, (3) UU No. 5/1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (4) UU No. 56 Prp/1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian, dan (5) PP No. 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pelaksanaan Ganti Kerugian.
Selain itu, Perombakan pada bidang hukum ditandai dengan keluarnya Kebijakan Pokok
Pertanahan Nasional sebagai yang dirumuskan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dengan
kebijakan baru ini pemerintah berupaya untuk melakukan pembaruan hukum agraria yang
didalamnya mencakup:
1. Penyediaan hak atas tanah untuk kepentingan pemerintah, perusahaan, lembaga sosial dan
agama dengan pendaftaran tanah.
2. Penghapusan hak asing atas tanah dan dialihkan kepada hak penguasa nasional.
3. Mengakhiri sistem feodal & eksploitatif.
4. Program landreform
5. Kegiatan penata-gunaan tanah.
Ketentuan-ketentuan UUPA tersebut terlihat bahwa kebijakan yang berpihak kepada
rakyat banyak terutama golongan ekonomi lemah terutama kaum petani. Contoh pelaksanaan
kebijakan pada era orde lama ini yaitu pada pelaksanaan landreform yang telah diatur dalam
Undang Undang Pokok Agraria No 56 Prp Tahun 1960. Antara tahun 1962-1965 program
Land Reform dilaksanakan oleh pemerintahan Soekarno.
Tahap redistribusi pertama dilakukan di daerah-daerah Jawa, Madura, Bali, dan
Kepulauan Nusa Tenggara, sedangkan wilayah lain direncanakan dilaksanakan berikutnya.
Dalam program landreform ini tanah-tanah pertanian yang penguasaannya melampaui batas
yang ditetapkan akan diambil dan kemudian akan di distribusikan kepada petani yang
memerlukan. Pengambilan tanah-tanah pertanian yang melampui batas inipun disertai dengan
ganti kerugian.

Sumber:
Sutadi, Rayyan Dimas, Ahmad Nashih Luthfi, and Dian Aries Mujiburrohman. "Kebijakan
Reforma Agraria di Indonesia (Kajian Komparatif Tiga Periode Pelaksanaan: Orde Lama
Orde Baru, dan Orde Reformasi)." Tunas Agraria 1.1 (2018).

3. Kebijakan politik dan hukum agraria di era orde baru apabila dilihat dari produk hukum
yang dikeluarkan cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan
industri dan pertanian skala besar dengan melibatkan pengusaha swasta serta investor asing.
Pada awal kekuasaannya Orde Baru mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mencakup
lingkup agraria, yang antara lain: Undang Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967 dan
Undang Undang Penanaman Modal Dalam Negeri Tahun 1967, Undang Undang No 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-undang No 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang diperbaharui dengan Undang Undang No 41
Tahun 1999, Undang Undang No 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform
serta Undang Undang No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Minyak Dan Gas Bumi Negara.
Dalam kebijakan yang dikeluarkan hingga pada implementasi pada era orde baru ini
memiliki ketimpangan dibidang pengelolaan tanah yang menimbulkan meluasnya kemiskinan
dan konflik pada masyarakat dan membuat struktur ekonomi yang semakin mengerucut
dimana masyarakat akhirnya terpinggirkan dari daerah kelolanya. Program landreform yang
dicanangkan pemerintah orde lama untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat juga tertunda
akibat kepentingan para penguasa dan pengusaha. Kepentingan pemerintah pada era orde
baru ini ialah untuk menarik investor asing.
Contoh kasus terjadi ketika disahkannya Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966
tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan yaitu
masuknya Freeport Sulphur Company(FCS/PT. Freeport Indonesia. Inc), milik Amerika yang
bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam bidang pertambangan di daerah kabupaten
Mimika, Provinsi Papua. Akibat kebijakan ini sungai beserta lingkungan hidup masyarakat
adat rusak oleh limbah dan mobilitas alat berat pertambangan. Selain itu, masyarakat
kehilangan klaim rakyat terhadap hak atas tanah dan pemanfaatannya yang mencakup tanah
permukaan serta tubuh bumi, sebagaimana dijamin oleh UU No.5 tahun 1960 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA).

Sumber:
Supriyanto. "Implementasi Kebijakan Pertanahan Nasional." Jurnal Dinamika Hukum 8.3
(2008): 221-230.
https://www.walhi.or.id/menilik-kembali-sejarah-dan-regulasi-industri-pertambangan-di-
indonesia-bagian-3

4. Dalam konteks kebijakan politik dan hukum agraria pada era reformasi, pelaksanaan
kebijakan ditandai dengan penertiban tanah terlantar, penyelesaian sengketa, retribusi tanah,
peningkatan legalisasi aset-tanah masyarakat melalui reforma agraria. Terdapat empat produk
hukum/kebijakan politik agraria yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melaksanakan
sistem politik agraria yaitu: Tap MPR No IX/MPR/2001, Keppres No. 34/2003 tentang
Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan, PP No.11/2010 dan Perpres No. 88/2017. Namun
pelaksanaan kebijakan politik agraria ini menjadi polemik karena didalam pelaksanaanya
terdapat banyak multitafsir hingga persoalan administrasi yang berbelit-belit oleh pemerintah
sehingga menimbulkan konflik pertanahan yang berkepanjangan.
Contohnya pada sengketa agraria di Tawangmangu antara Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah dengan penduduk Tawangmangu pemilik tanah persil. Isu sentral yang
dikembangkan dalam sengketa agraria di Tawangmangu adalah perebutan tanah persil oleh
pemerintah Jawa Tengah untuk dijadikan tempat pariwisata. Namun, upaya pemerintah
mendapatkan perlawanan dari masyarakat dimana mereka menyatakan bahwa pemerintah
tidak berhak atas tanah ulayat mereka yang sudah dikelola dan beberapa sudah mengantongi
izin berupa pethuk letter C sejak zaman kolonial.

Sumber:
Supriyanto, Supriyanto. "Implementasi Kebijakan Pertanahan Nasional." Jurnal Dinamika
Hukum 8.3 (2008): 221-230.
Pratiwi, Poerwanti Hadi. "KONFLIK AGRARIA YANG TAK KUNJUNG USAI."
Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi 4.2 (2010).

5. Konflik agraria menjadi persoalan yang seolah tidak ada habisnya. Posisi masyarakat yang
lemah secara hukum dimanfaatkan para pengusaha untuk mendapatkan sumber-sumber
agraria dan penghidupan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari kebijakan produk hukum yang
memiliki kecenderungan untuk memfasilitasi para pemodal untuk kepentingan bisnis. Contoh
kasus ini bisa dilihat pada Konflik PT. HMBP 2 versus Warga Desa Penyang, Kotawaringin
Timur.
Konflik agraria yang terjadi antara PT HMBP dan Warga desa Penyang ini menurut saya
berakar dari ketidakadaan realisasi permohonan hak atas tanah yang diajukan oleh Warga
desa kepada perusahaan. Karena sebelumnya perusahaan sudah menggarap lahan diluar izin
hak guna usaha yang diberikan oleh Plt Bupati Kotim Suandi. Masyarakat desa Penyang
merasa keberatan sebab lahan mereka dimanfaatkan dan dikelola tanpa melibatkan petani
desa Penyang. Masyarakat ingin agar lahan yang yang diambil oleh PT HMBP dijadikan
kebun sawit untuk dikelola secara kolektif oleh Warga setempat tanpa ada campur tangan
pihak perusahaan. Walaupun begitu sampai sekarang tidak ada realisasi terkait kesepakatan
dengan perusahaan PT HMBP. Malahan perusahaan dengan bebasnya mengambil hasil dari
tanah yang diklaimnya tersebut.
Sejak tahun 2006, PT. HMBP II secara sepihak mencaplok lahan milik masyarakat
seluas 117 hektar untuk di jadikan areal perkebunan sawit. Jika merujuk pada Pasal 28 ayat
(1) Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) yang berarti lahan yang
masuk dalam kawasan HGU atau hak guna usaha adalah lahan yang boleh secara hukum
diusahakan dalam jangka waktu tertentu oleh perusahaan. Dengan ini, lahan yang berada di
luar kawasan HGU perusahaan tidak sah secara hukum untuk digarap perusahaan. Sehingga
penggarapan semacam itu merupakan sebuah pelanggaran hukum.
Sampai saat ini belum ada rapat yang membahas bagaimana rekonsiliasi konflik dapat
berjalan ditengah masyarakat. Adapun alternatif solusi bagi konflik diantara PT. HMBP
dengan Warga desa Penyang yaitu dengan pelaksanaan reforma agraria. Secara sederhana
hakikat dari reformasi agraria adalah menata kembali struktur kepemilikan, penguasaan dan
penggunaan lahan untuk kepentingan rakyat banyak. Reforma agraria sangat perlu
dilaksanakan sebagai basis upaya perbaikan akses masyarakat terhadap lahan yang mereka
miliki.
Dalam hal ini, diperlukan upaya "retribusi" atau pembagian kembali tanah yang
merujuk sesuai dengan peraturan terkait izin HGU. Sebagai prasyarat reforma agraria perlu
adanya peran serta semua pihak, yaitu pihak perusahaan, masyarakat desa Penyang, Pemda,
serta pemimpin informal/ketua-ketua masyarakat hukum adat. Pemda berlaku sebagai
mediator independen (tidak memihak). DPRD berkomitmen kuat untuk membantu
masyarakat.
Tugas: Tugas pribadi sosiologi konflik

Anda mungkin juga menyukai