Anda di halaman 1dari 20

JENIS MASALAH

PERTANAHAN
Sengketa
Pertanahan
Konflik
Pertanahan
Perkara
Pertanahan

SENGKETA PERTANAHAN
Sengketa
pertanahan
adalah
perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, badan
hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas
secara sosio-politis. Penekanan yang tidak
berdampak luas inilah yang membedakan definisi
sengketa pertanahan dengan definisi konflik
pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa
sengketa
administratif,
sengketa
perdata,
sengketa pidana terkait dengan pemilikan,
transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan,
penguasaan dan sengketa hak ulayat.

KONFLIK PERTANAHAN
Konflik pertanahan merupakan
perselisihan pertanahan antara orang
perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum atau
lembaga yang mempunyai
kecenderungan atau sudah berdampak
luas secara sosio-politis.

PERKARA PERTANAHAN
Perkara pertanahan adalah
perselisihan pertanahan yang
penyelesaiannya dilaksanakan oleh
lembaga peradilan atau putusan
lembaga peradilan yang masih
dimintakan penanganan
perselisihannya di BPN RI.

Pengelompokan Kasus
Pertanahan
1) Penguasaan tanah tanpa hak
2) Sengketa batas
3) Sengketa waris
4) Jual berkali-kali
5) Sertifikat ganda
6) Sertifikat pengganti
7) Akta Jual Beli Palsu
8) Kekeliruan penunjukan batas
9) Tumpang tindih
10)Putusan Pengadilan

SUMBER-SUMBER POTENSI
MASALAH DAN SENGKETA
Sumber data yang minim. Sering dilakukannya
penambahan data baik disengaja maupun tidak
sengaja oleh berbagai pihak.
Itikad yang tidak baik dari pemohon/customer dalam
mengajukan hak atas tanah.
Adanya kesengajaan baik dari pihak pemohon,
bahkan pelayan itu sendiri untuk memperoleh
manfaat sesaat.
Rendahnya kesadaran dari berbagai pihak apakah itu
masyarakat, perorangan, pemerintah daerah mulaia
dari desa/kelurahan sampai pada pemerintah daerah
dalam menata manajemen pertanahan yang baik.

LANJUTA
N
Mengalirnya trend KKN ke daerah, sehingga muncul
berbagai penyimpangan yang dianggap lumrah.
Adanya unsur pemaksaan kehendak dengan
mengedepankan perubahan dan keterbukaan sehingga
tidak jarang yang terjadi bukan right or wrong tetapi
win or lose dalam masyarakat, sehingga menimbulkan
tindakan anarkis, demo dan bahkan ancaman.
Adanya niat buruk dari pelayan itu sendiri yang sengaja
melakukan tindakan tidak terpuji sebagai pelayan yang
prima, jujur dan terbuka.
Mekanisme pelayanan yang terlalu sering bersentuhan
langsung dengan masyarakat, sehingga terkadang kantor
seperti pasar, bukan pelayanan/ services.

MASALAH PERTANAHAN DI
INDONESIA DARI MASA KE MASA

ZAMAN KOLONIAL
Pada masa pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir
kebijakan agraria yang dikenal dengan Agrarische Wet 1870
di Hindia Belanda. UU Agraria 1870 inilah yang kemudian
membuka pintu bagi masuknya modal besar swasta asing,
khususnya Belanda ke Indonesia, dan lahirlah sejumlah
banyak perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Ternyata
kemudian,
sistem
ekonomi
perkebunan
besar
ini
menyengsarakan rakyat.
Berbagai kritik dari sejumlah intelektual Belanda sendiri
terhadap Agrische Wet 1870, antara lain Prof van Gelderen
dan lain-lain. . Kata-kata Prof van Gelderen sangat terkenal,
yang sampai sekarang ini juga banyak dikutip orang, yaitu:
Bangsa Indonesia (karena kebijakan Agrarishce Wet) akan
menjadi bangsa koelie, dan menjadi koelie di antara bangsabangsa.

LANJUTA
N
Karena banyak kritik, maka pemerintah kolonial Belanda
lalu melakukan penelitian mengenai menurunnya
kesejahteraan rakyat(mindere welvaarts onderzoek-MWO).
Kesengsaraan rakyat menjadi terbukti, pemerintah kolonial
lalu menambil langkah kebijakan yang dikenal sebagai
Ethical Policy (Ethische Politiek): enam program perbaikan,
yaitu irigasi, reboisasi, kolonisasi (transmigrasi), pendidikan,
kesehatan dan perkreditan.
Politik Etis (kecuali kesehatan), langsung atau tidak
langsung, berkaitan dengan masalah agraria. Tapi ternyata
tidak banyak mengubah keadaan. Bahkan sengketa-sengketa
agraria juga merebak di mana-mana, dan pada tahun 1929
1933, Hindia Belanda mengalami krisis ekonomi yang sangat
berat.

ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG


1. Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil
produksinya. Hal ini tentu semakin memperparah kemiskinan.
2. Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar karena
ditinggalkan oleh pemiliknya (Belanda maupun modal asing
lainnya). Dengan adanya lahan-lahan perkebunan yang
terlantar dan kemiskinan yang parah di masyarakat, maka
berbondong-bondonglah rakyat menduduki tanah-tanah bekas
perkebunan yang terlantar tersebut. Pemerintah pendudukan
Jepang ternyata memberi toleransi bahkan mendorong
tindakan rakyat tersebut. Secara sosiologis, kenyataan ini
telah menciptakan suatu collective perception di antara
rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah memperoleh kembali
haknya atas tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan
modal asing lainnya melalui UU Agraria kolonial 1870).

ZAMAN AWAL
KEMERDEKAAN
Belajar dari pengalaman masa kolonial, ditarik pelajaran bahwa sistem
ekonomi perkebunan besar ternyata menyengsarakan rakyat, terutama
karena telah menggusur tanah-tanah luas yang semula menjadi
garapan rakyat. Setelah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu,
Jendral Mc Arthur memerintahkan Kaisar Hirohito untuk melaksanakan
Landreform. Begitu merdeka, para pendiri Republik menjadikan pusat
perhatian utama di bidang sosial-ekonomi haruslah diletakkan pada
perencanaan untuk menata ulang masalah pemilikan, penguasaaan
dan penggunaan tanah. Sekitar setengah tahun Indonesia merdeka,
Wakil Presiden, Bung Hatta (sebagai seorang ekonom) telah
menguraikan masalah ekonomi Indonesia di masa depan. Di antara
berbagai uraian beliau yang penting di masa lalu itu, ada dua butir
yang perlu disebut dan dikemudian turut menjiwai isi dan semangat
UUPA 1960), yaitu:
Tanah-tanah perkebunan besar itu dahulunya adalah tanah rakyat;
Bagi bangsa Indonesia, tanah jangan dijadikan barang dagangan
yang semata-mata digunakan untuk mencari keuntungan (komoditi
komersial).

ZAMAN DEMOKRASI
TERPIMPIN
Semula periode ini direncanakan sebagai target masa pelaksanaan
reforma agraria. Tetapi karena berbagai pergolakan, konsentrasi pikiran
pemerintah menjadi terpecah. Berbagai masalah yang dihadapi waktu
itu, antara lain karena pemerintah masih harus menghadapi masalah
penyelesaian sisa-sisa pemberontakan PRRI/Permesta; tindak lanjut
nasionalisasi perkebunan; perjuangan untuk kembalinya Irian Barat;
dan konfrontasi dengan Malaysia.
Semua masalah ini menjadi
hambatan tersendiri untuk segera terlaksananya reforma agraria.
Hambatan hukum, baik di pusat maupun di daerah, aparat hukum
belum menguasai benar persoalan agraria. Hal ini berkaitan erat
dengan hambatan pokok yang kedua.Keterbatasan ketersediaan tenaga
ahli / Hambatan ilmiah (istilah Mc Auslan). Berbeda dari negara
berkembang lainnya, di Indonesia yang justru merupakan negara besar
yang pada dasarnya agraris, jumlah ilmuwan agrarianya sangat
terbatas. Menurut Mac Auslan, ini suatu ironi. Akibatnya, setiap kali
membahas agraria, yang dibahas selalu hukum agraria. Padahal,
agraria itu mencakup hampir semua aspek kehidupan (sosial, ekonomi,
budaya, lingkungan, dan politik, bahkan juga hankam).

ZAMAN ORDE BARU


1

PERTANIAN

KEHUTANAN

PERTAMBANGAN

PERKEBUNAN

PARIWISATA

ZAMAN REFORMASI
Beberapa masalah yang terjadi pada
zaman reformasi (sampai saat ini),
yaitu :
1.
2.
3.
4.

Konversi Lahan
Degradasi Lahan
Sengketa Lahan
Banyaknya lahan yang terlantar

CONTOH KASUS
Misalnya sengketa tanah di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi
Lampung. Masyarakat Tulang Bawang adalah masyarakat adat
Lampung yang bersengketa dengan PT Sugar Group
Companies and Co (SGC) selaku pihak swasta mengenai tanah
ulayat.
Sengketa tanah di Tulang Bawang merupakan sengketa tanah
yang paling tinggi. Permasalahan ini muncul karena adanya
pengakuan tanah ulayat dalam Undang-Undang No 5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria dan
pemahaman tentang Hukum Adat yang berlaku di Kabupaten
Tulangbawang tidak sesuai dengan kaedah hukum adat
setempat.
Menurut masyarakat setempat, sengketa tanah tersebut
bermula dari adanya 30.000-an hektare hutan adat yang
belum dikompensasi oleh perusahaan PT Sugar Group
Companies and Co (SGC) kepada masyarakat adat Tulang
Bawang. Nilai dari hutan adat itu sekitar Rp100,88 milyar, jika
nilai satu hektare tanah adat dipatok Rp3 juta. Hutan adat

LANJUTAN
Masyarakat mengaku belum mendapat dana kompensasi dari
pihak perusahaan atas penggunaan lahan mereka, sementara
Manajer Administrasi PT SGC Heru Sapto Handoko
mengatakan, surat Hak Guna Usaha (HGU) perusahaannya
adalah produk hukum yang dilindungi undang-undang dan
sudah membayar ganti rugi lahan kepada masyarakat.
Menanggapi pernyataan dari Manajer Administrasi PT SGC,
masyarakat merasa dirugikan. Sehingga, empat tokoh atas
nama masyarakat adat didampingi Bupati Tulangbawang
Abdurachman Sarbini menyatakan, bahwa mereka meminta
Presiden untuk menyelesaikan sengketa tanah adat antara
mereka dan PT SGC, produsen gula nasional yang beroperasi
di Tulangbawang.
Dalam kasus ini, pihak masyarakat Tulang Bawang mengaku
bahwa tanah ulayat mereka seluas 30.000-an yang di gunakan
oleh PT Sugar Group Companies and Co (SGC) belum
mendapatkan ganti rugi dari perusahaan, sedangkan pihak
perusahaan merasa bahwa mereka sudah membayar ganti
rugi atas tanah tersebut. Jika memang benar bahwa pihak

KRITERIA PENYELESAIAN KASUS


PERTANAHAN
Kasus pertanahan yang terdapat dalam basis data BPN RI
merupakan kasus-kasus lama maupun kasus-kasus baru yang
timbul sebagai implikasi kasus-kasus lama. Setelah dilakukan
identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut, diperoleh informasi
bahwa tipologi kasus kasus tersebut tidak dapat dilakukan
generalisasi dalam melakukan upaya penanganan kasusnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya penyelesaiannya
dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:
Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian
kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak
yang bersengketa.
Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian
hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah,
pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya
sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.

LANJUTA
N
Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus
Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN
sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan
yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.
Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus
Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa
penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses
perkara di pengadilan.
Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus
Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian
kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk
kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan
melalui instansi lain.

Anda mungkin juga menyukai